Nyatanya Harger tak sungguh – sungguh membenarkan pernyataan terakhirnya untuk hanya bicara saat tiba di terminal. Dia tidur di sepanjang jalan, ntah saat sedang berada di dalam bis atau ketika pesawat telah melakukan penerbangan. Harger merasa nyaman sekali tidur lelap di lengan suami sendiri. Sang hakim tidak pernah melontarkan kalimat protes; yang bahkan, hanya benar – benar membangunkan Harger jika perjalanan akan kembali menandai derap – derap panjang menuju pelabuhan terakhir.Betapa Harger tidak sabar begitu pintu kamar hotel dibuka. Semua keperluan berada di tangan sang hakim. Dia hanya perlu membawa diri dan merasa puas setelah menemukan ranjang untuk kemudian menelungkup memeluk bantal.Rasanya lega sekali. Namun, Harger tak pernah lupa kalau sebenarnya dia sedang memikirkan sesuatu. Sang hakim membutuhkan hadiah. Sulur – sulur suara ranjang berderak membuat Harger bersikap waspada. Dia mengatur posisi telentang untuk menatap sang hakim sedang membuka jaket tebal yang membal
Setelah kegiatan menguras energi secara konsumtif. Sekarang adalah waktu untuk mengisi perut yang berbunyi. Harger duduk berseberangan bersama sang hakim, saling menatap dan senyum lembut bermain – main di bibir pria itu. Di depan mereka, ketika akan sama – sama berpaling, iris gelap sang hakim maupun amber milik Harger akan menemukan keberadaan menara yang menjadi lambang identitas negara. Sebuah menara yang menjulang. Indah sekali begitu Harger menengadah ke arah puncak yang nyaris hilang di ketinggian. Sang hakim tahu begitu banyak, seolah kamar hotel ini sudah dipersiapkan; dicari yang paling dekat dengan pemandangan indah. Mereka memang memesan makanan cepat saji. Sama – sama memutuskan untuk menikmati di balkon hotel yang menjorok ke arah Menara Eifel. Menggambarkan betapa tempat ini penuh cinta. Sama seperti bagaimana perasaan hangat sembunyi – sembunyi memainkan peran besar. Harger segera menggigit potongan burger. Dia menatap sang hakim saat sedang mengunyah. “Enak?” tanya
Perjalanan cukup panjang berakhir sampai di sini. Harger terpaku lama saat mengamati struktur besi Menara Eiffel. Sang hakim telah membiarkannya turun, tetapi sungguh, Harger tidak pernah berkhayal akan berdiri sangat dekat di hadapan sebuah monumen negara bersama seseorang yang telah mengisi hari dan perasaannya. Harger akui bentuk Menara Eiffel; dengan lengkungan empat sisi di luar, seperti dirinya saat ini, menjulang sangat kokoh walau suasana berangin jelas membelai kulit wajah dan mengibas rambutnya ke satu arah di mana angin sedang berpamitan. Bentuk menara yang eksponensial merupakan bagian dari pertahanan. Barusan dia dibuat takjub dengan seluruh senyum mengerucut pada satu kebahagiaan. Harger akan senang jika dia tetap terpekur di tempat hanya untuk mengenang momen bersama sang hakim.Dia berpaling menatap suaminya yang sedang mengendarkan perhatian ke sekitar. Sang hakim begitu waspada. Namun, begitu pria itu melirik ke arahnya. Sudut bibir sang hakim melekuk tipis.“Mau du
“Harger, bangun. Sudah pagi. Kemarin apa yang kau bilang? Latihan. Kita latihan ringan pagi ini.”Sayup – sayup suara berat sang hakim memberitahu Harger hal – hal mengusik. Dia merasa masih begitu ngantuk. Masih ingin tidur di atas ranjang, bergelut dengan selimut tebal, menggapai mimpi-nya yang terbuyarkan saat pelan – pelan kelopak matanya bergerak ragu, kemudian kembali menutup saat menyadari penampilan sang hakim begitu santai dengan kaos hitam polos membalut di tubuh.“Harger, cepat bangun dan siapkan dirimu.”Sekali lagi suara sang hakim menembus di pendengaran Harger. Dia mengerang malas, lalu membalikkan tubuh membelakangi pria yang akhirnya duduk di pinggir ranjang. Sentuhan ringan sang hakim di lengannya terasa begitu lembut. Harger bergerak untuk menyingkirkan telapak tangan yang terasa dingin membekukan.“Lima menit lagi,” ucap Harger sarat nada bicara serak. Dia tak mungkin beraktivitas dengan keadaan terkantuk – kantuk.“Kau sendiri bilang ingin aku jadi pelatihmu. Cepa
Akan tetapi rasa tidak sabar Harger telah membayar sesuatu yang membuatnya berpikir beberapa kali; harusnya dia benar – benar mengajak sang hakim terdampar di atas ranjang, alih – alih melakukan gerakan pemanasan dengan malas.Sekarang pria itu masih terus menghitung. Harger tidak bisa menghindari perintah yang dia terima. Sang hakim mendadak dalam penyamaran sebagai guru olahraga. Tiupan peluit akan membuat Harger kembali menegakkan tubuh. Mengerakkan seluruh tangan dan kaki dengan hitungan sekian kali sekian.Harger perlu menjaga keseimbangan saat dia mengangkat satu kaki, sementara sang hakim mulai menghitung dengan hitungan lamban. Ini masih terduga pemanasan statis. Tidak tahu jika nanti dia akan dituntut melakukan pemanasan dinamis.“Apa kita tidak bisa langsung memulai saja, Deu?” tanya Harger setengah mengaduh. Sang hakim begitu serius memastikan dirinya tidak melakukan sedikit kecurangan. Keseimbangan Harger nyaris hilang, tetapi, sekali lagi dia berpegangan pada satu kakiny
Bukan ide buruk memikirkan es krim sebagai makanan penutup. Harger merasa puas saat sang hakim tidak mengatakan apa pun sekadar menolak ajakan singgah di kedai es krim. Beberapa percakapan telah dilalui. Sekarang Harger duduk tidak jauh dari tempat bersantai; begitu banyak orang sedang mengantre, dan dia mendapat pilihan duduk di bawah pohon besar; menunggu sang hakim memesan satu es krim crone untuknya. Sesekali Harger akan melonggokkan wajah sekadar memastikan. Dia menemukan sang hakim sedang bicara langsung kepada penjaga kedai. Memesan dan bayar di tempat, itu sudah termasuk ke dalam kebutuhan toko. Sang hakim pula yang akan membawakan es krim secara langsung.Harger memindahkan perhatian ke sisi lain. Mungkin tidak akan terlalu lama. Dia mengayunkan kaki sambil – sambil menunduk menatap sepatu baru dari pria itu. Sepatu bagus dan nyaman di kaki, meski warna pink dengan campuran putih menurut Harger terlalu feminim untuknya yang terkadang pecicilan, terutama ketika hanya berdua b
Harger menahan erangan saat sang hakim menggerakkan pinggulnya; naik turun berayun dalam dekapan pria itu. Dada mereka saling bersentuhan diliputi iris mata saling memerangkap; menawarkan kehangatan dan cinta yang begitu besar. Apa yang bisa Harger katakan? Dia menyukai sang hakim, meski tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan. Mendadak bibirnya lebih sering mengeluarkan suara mendesah, alih – alih membicarakan sesuatu secara serius.Harger segera menjatuhkan wajah di garis bahu sang hakim. Berpegangan erat. Menyesap kulit tubuh pria itu sebagai upaya merendam lenguhannya, sekaligus meninggalkan jejak kemerahan yang benar – benar membentuk satu bekas percintaan; sayang darinya.Napas Harger menggebu. Demikian hal yang sama ditunjukkan sang hakim. Tubuh mereka seolah telah disiram begitu banyak oleh air. Titik embun meleleh, membuat keduanya sama – sama licin. Sangat basah melebihi saat melakukan beberapa putaran di taman.Harger akhirnya mengangkat wajah untuk meraup pasokan uda
Selama berjam – jam berada di antara momen indah di Paris. Rasanya Harger tak akan pernah melupakan semua yang telah dilakukan bersama sang hakim di sini. Dia menatap lurus – lurus ke arah Menara Eiffel dengan kedua lengan terlipat di pagar balkon. Keheningan berselimut di antara embusan angin di langit malam; begitu sayup. Sulur – sulur nada itu terasa membelai kulit di pipinya.Sesekali Harger akan menatap ke layar ponsel. Menunggu sang hakim kembali dari luar setelah pria itu berpamitan pergi. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam bersama. Tidak tahu apa yang akan sang hakim lakukan, atau berangkali urusan yang ntah seperti apa pentingnya; Harger belum sempat bertanya. Tetapi berusaha mengerti saat sang hakim terlihat diburu oleh sesuatu.Senyum Harger tipis mengamati tampilan baru dari ponsel di tangannya. Foto yang diambil beberapa saat lalu sudah berkamuflase sebagai tampilan yang cantik di layar kunci maupun wallpaper utuh.Kendati, Harger sedikit merasa bahwa dia perlu me