Rayna mendelik tajam karena sedari tadi Alden terus saja menatapnya. Dia bukan percaya diri karena pria itu naksir padanya, tapi sudah pasti pria itu terus menatapnya karena ingin melihat bagaimana cara kerjanya. Tetap saja hal itu membuatnya risih, apalagi dengan tatapan Alden yang begitu intens.
Rayna mendekati Alden, menggebrak meja itu dengan keras membuat lelaki itu terperanjat kaget."Bapak ngapain ngeliatin saya seperti itu?" tanya wanita itu dengan mata melotot.Alden menatap sekitar, jelas saja saat ini mereka tengah menjadi bahan tontonan banyak orang, terutama pelanggan."Siapa juga yang ngeliatin kamu, jangan Geer," geramnya kesal."Itu dari tadi mata Anda selalu saja mengarah pada saya, pasti Anda berpikir mesum ya?"Alden mengusap wajahnya dengan kasar. Memang benar yang Rayna katakan, bahwa sedari tadi dirinya menatap wanita itu.Entah mengapa matanya selalu tertuju pada Rayna. Tapi kalau dibilang mikir mesum? Bisa jadi iya bisa jadi juga tidak.Alden melipatkan kedua tangannya di dada, dia tersenyum sinis."Kamu baru aja kerja di sini, sudah berani berpikir yang tidak-tidak. Saya ini atasan kamu loh, wajar saja kalau saya dari tadi ngeliatin kamu terus. Selain karena saya punya mata, saya juga berhak melihat bagaimana cara kinerja kamu. Mata punya siapa? Kenapa Anda sewot. Bukan begitu?" tanya Alden sambil menatap sekitar.Yang merasa ditatap oleh Alden mengangguk serempak."Nah, mereka aja setuju kok, masa kamu keberatan. Wajar 'kan kalau saya menilai kinerja orang?" tanya Alden lagi sambil menatap orang-orang yang ada di sana.Lagi-lagi yang ditatap Alden mengangguk.Rayna mengepalkan tangannya karena dia dibuat malu oleh pria itu.'Sialan, bisa-bisanya dia membalikkan sebuah fakta. Kenapa Zidan bisa punya teman nyebelin kayak dia sih. Jadi selain jadi pria mesum, dia juga pria yang paling menyebalkan,' gerutu Rayna dalam hati."Rayna, sebaiknya kamu cuci piring di belakang, sungguh, tingkah kamu ini sungguh memalukan. Bahkan kamu sudah berani membentak bos di depan umum. Meminta maaflah, jika tidak kamu akan berakhir dipecat," peringat manager tersebut.Nasib Rayna hari ini benar-benar apes. Sudah dipermalukan di depan umum, sekarang malah pekerjaannya berada di ujung tanduk, belum ada sehari dia kerja di sini, sudah mau dipecat. Yang benar saja.'Double malu sih ini namanya,' gerutu wanita itu dalam hati.Rayna menatap Alden dengan tajam, dia sempat melihat pria itu tersenyum menyeringai.'Tuh, kan, benar-benar sial aku hari ini. Apalagi lihat dia kayak ngejek aku gitu, dasar laki-laki mesum bin nyebelin. Nggak lagi-lagi deh aku deketan sama kamu.""Rayna, apa kamu dengar suaraku?"Rayna terperanjat, dia menatap Pak Harun, selaku manager di restoran itu dengan senyum kikuk, lalu pandangannya mengarah pada sekeliling restoran tersebut. Semua para pengunjung tengah menatapnya, Rayna juga melihat ada yang berbisik-bisik. Ah, sudah pasti tengah mencibirnya.'Ah, udah terlanjur basah. Ya udah deh, nyemplung aja sekalian.'"Pak Alden, maafkan atas kesalahan saya. Saya janji kejadian ini tidak akan terulang kembali, tolong jangan pecat saya, Pak. Saya mohon," kata wanita itu dengan kepala menunduk.Alden tersenyum tipis. "Janji tidak akan terulang kembali?"Rayna mengangguk cepat. "Janji, Pak." Rayna menjawab dengan mantap."Apa jaminannya?"Rayna mengerjapkan matanya secara perlahan. "Jaminan?" tanya wanita itu bingung."Iya, apa jaminannya supaya kejadian seperti ini tidak kembali terjadi?""Saya nggak punya jaminan apa-apa, Pak. Tapi saya janji akan melakukan apa saja demi kelangsungan pekerjaan saya."Alden lagi-lagi tersenyum, membuat Rayna tak nyaman, terutama dengan perasaannya.'Eh, aku nggak salah ngomong, kan?' tanyanya dalam hati."Ya sudah, karena masalah ini sudah diselesaikan secara baik-baik, semuanya bisa bubar. Lanjutkan pekerjaan kalian masing-masing, dan untuk para pengunjung, mohon maaf karena sudah membuat keributan, silakan lanjutkan rutinitas kalian. Kecuali untuk kamu, Rayna. Kamu ikut saya ke ruangan," titah Alden."Tapi, Pak. Pekerjaan saya--""Bisa digantikan dengan yang lain."Selepas mengatakan seperti itu, Alden pergi."Udah sana, jangan buat masalah dengan dia. Nanti kamu punya masalah lagi, pekerjaanmu biar aku yang urus," tegur teman Rayna yang bernama Tika.Rayna mengangguk, dia pun akhirnya mengikuti Alden dari belakang."Ngapain dia nyuruh aku ngikutin dia. Curiga nih aku."Tepat di depan pintu ruangan Alden, Rayna menghirup napas banyak-banyak, lalu mengeluarkannya dengan kasar."Semoga nggak apes lagi," gumamnya pelan.Rayna mengetuk pintu itu pelan, setelah mendapat sambutan dari dalam Rayna akhirnya membuka pintu itu dan masuk ke dalam ruangan itu.'Cih, sok sibuk,' batin wanita itu, ketika melihat Alden tampak membolak-balikkan kertas. 'Halah, paling juga itu kertas kosong, nggak ada tulisannya,' cibirnya lagi, dalam hati."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Rayna sopan, padahal dalam hatinya sangat dongkol."Jelas ada. Makanya saya memanggilmu ke sini.""Kalau boleh tahu, apa yang bisa saya bantu, Pak?""Saya cuma mau mengingatkan dengan ucapanmu tadi, bahwa ingin melakukan apa pun yang aku inginkan asalkan jangan pecat kamu, betul begitu?" tanya pria itu sambil menatap Rayna tajam, tak lupa juga dia menaruh tangannya di dagu, supaya terlihat cool, sayangnya di mata Rayna tidak sama sekali."Iya betul, Pak. Saya memang mengatakan seperti itu."Alden manggut-manggut. "Berarti kamu akan menuruti apa yang saya perintahkan?" tanya pria itu sekali lagi.Tangan Rayna mengepal, sepertinya Alden mencari kesempatan dalam kesempitan. Sial, sepertinya tadi wanita itu benar-benar salah berucap."Y--ya, asalkan menyangkut pekerjaan, pasti akan saya lakukan.""Nah, itu dia. Kalau begitu saya minta kamu buatkan saya kopi. Tidak terlalu pahit dan juga tidak terlalu manis. Sekarang!"Rayna menghela napas panjang, lalu memberikan sebuah senyuman lebar, tapi penuh dengan keterpaksaan."Baik, Pak."Rayna keluar dari ruangan tersebut, tak lama kemudian dia kembali lagi dengan membawa secangkir kopi pesanan Alden."Silakan diminum, Pak."Alden menatap kopi itu sekilas. "Ini sesuai pesananku, kan? Tidak terlalu manis dan juga tidak terlalu pahit?" tanya pria itu dengan tatapan menyipit."Iya, Pak."Alden menyeruput kopi itu secara perlahan, tak lama kemudian pria itu mengernyitkan keningnya. Rayna yang menangkap raut wajah Alden hanya bisa meringis pelan.'Kalau dilihat dari wajahnya, kayaknya aku bawal kena semprot deh.'"Ini mah kemanisan, kamu itu sebenarnya bisa bikin kopi nggak sih?"'Tuh, kan, aku bilang juga apa.'"Jujur saja ya, Pak. Saya sebenarnya nggak bisa bikin kopi, harusnya Anda bilang kalau ingin rasa yang manis, manis sekalian, pahit, pahit sekalian. Biar nggak bikin pusing, saya mana tahu takaran seperti yang Anda bilang."'Syukur-syukur nggak saya kasih garam, Pak. Hitung-hitung buat balas dendam,' batin wanita itu melanjutkan."Jangan banyak omong deh, sekarang kamu bikin kopi itu lagi, pokoknya harus pas. Nggak boleh pahit dan nggak boleh manis, titik!"Baru saja Rayna ingin membuka mulut, Alden sudah lebih dulu menyela."Tidak ada bantahan!" tegas pria itu, membuat Rayna langsung kicep seketika.Mau tak mau dia kembali membuatkan pria itu kopi, tak tanggung-tanggung Rayna langsung membawakan 5 cangkir kopi itu sekaligus di hadapan Alden.Setelah cukup lama Rayna dan Zidan tidak bertukar kabar, akhirnya Rayna memutuskan untuk mendatangi kafe pria tersebut. Dia juga mau meminta maaf karena saat dirinya melamar kerja tidak izin dulu pada pria itu.Rayna tersenyum ketika dia sudah berada di kafe itu, dia melangkahkan kakinya, masuk ke dalam kafe tersebut.Dia tersenyum lebar ketika usaha kekasihnya kini berjalan dengan lancar, banyak pengunjung yang mendatangi tempat itu."Loh, Rayna. Tumben datang ke sini?"Rayna lagi-lagi tersenyum. "Iya nih.""Kangen sama Zidan ya?" ledek pria itu. Rafa, teman Zidan yang pria itu percaya dalam hal pekerjaan."Hehehe, tau aja nih. Zidannya mana ya?" tanya wanita itu, matanya mengedar ke segala arah untuk mencari keberadaan kekasihnya itu."Lagi sibuk banget dia. Ngurusin pengunjung yang nggak kelar-kelar. Mau minum apa nih?" tawar pria itu.Rayna menggeleng. "Nggak usah.""Jangan gitu dong, nanti aku dimarahin sama Zidan, karena udah anggurin kekasihnya."Rayna tak mendengarkan ucapan Ra
Hari ini adalah hari yang begitu membahagiakan bagi Rayna. Karena apa, hari ini adalah hari ulang tahunnya.Tandanya dia akan menghabiskan waktu bersama Zidan, kekasihnya. Pria itu sudah berjanji akan mengajak Rayna ke suatu tempat. Katanya spesial, dan Rayna tidak boleh tahu, Zidan ingin Rayna melihat tempat itu dengan mata kepala wanita itu sendiri.Rayna sudah bersiap-siap dandan, beberapa kali dia tampak menghapus make-upnya karena menurutnya kurang cocok. Bukan hanya make-up, tapi pakaian juga dia melakukan seperti itu.Sekarang kamarnya tampak begitu berantakan karena tumpukan baju-baju itu, Rayna yang melihatnya hanya bisa meringis pelan."Gampanglah diberesin. Nanti habis pulang senang-senang baru aku rapihin kamar ini," gumamnya pelan.Drrttt ... drrrtttt ...Ponsel Rayna tiba-tiba bergetar, dia kembali tersenyum, dia menduga jika Zidanlah yang mengirimi dia pesan.Terbukti, pesan itu memang dari Zidan, Rayna membaca pesan itu dengan teliti.[Selamat ulang tahun, Sayang. Semog
Alden tersentak ketika mendengar ucapan Rayna. Buru-buru pria itu bangun dari tubuh Rayna.Alden mengusap wajahnya dengan kasar, sesekali menjambak rambutnya."Berengsek! Sialan! Apa yang kamu lakukan, Alden," geram pria itu.Pria itu melirik Rayna sebentar, wanita itu kini memejamkan matanya, sesekali meringis pelan.Alden terus menggeleng, dia benar-benar merutuki kebodohannya karena sudah berani mencium wanita itu, wanitanya Zidan, temannya sendiri. Bisa-bisanya Alden bertindak di luar batas? Sialnya sampai saat ini dia masih menginginkan wanita itu."Zidan," kata wanita itu lirih, tak lama kemudian Rayna terisak pelan.Alden terenyuh karena mendengar suara tangisan wanita itu, dia mendekati wanita itu lalu berbisik pelan. "Kamu kenapa?""Zidan.""Aku bukan Zidan, aku temannya," koreksi Alden."Ke mana dia?" tanyanya dengan mata terbuka.Alden terdiam cukup lama, lalu menghela napas berat. "Dia sedang mengadakan launching kafe barunya. Dia yang menyuruhku untuk temani kamu ketika di
Berkali-kali Alden membasuh wajahnya di wastafel tersebut. Wajah Rayna yang tengah mabuk itu selalu terbayang-bayang di dalam ingatannya."Sial! Lupakan Alden, lupakan. Dia bukan untuk dijadikan bahan fantasi, dia adalah tunangan temanmu. Ingat itu, Alden," ucapnya dalam memperingati dirinya sendiri.Alden masih ingat betul kejadian malam itu, ketika Rayna menggoda dirinya. Alden tahu jika Rayna baru pertama kalinya bertindak seperti itu, terbukti dari caranya yang begitu amatir. Kendati demikian, Alden begitu bergairah dengan sentuhan-sentuhan yang Rayna berikan."Argghhh!" Alden berteriak, dia frustrasi, mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Pikiran itu sangat mengganggunya.Drrttt ... drtttt ... drtttt ...Alden melirik ponsel yang ada di meja, dia langsung menyambar ponsel itu, dia melakukan seperti itu agar pikirannya tentang Rayna segera hilang.Zidan is calling.Alden tersenyum sinis. "Mau apa lagi nih orang, selalu menyusahkan diriku saja," gerutunya pelan."Halo, kenapa?" tany
Rayna mendorong tubuh Alden sekuat tenaga."Maksud kamu apa, Alden?" tanya Rayna tak percaya, dia masih begitu syok dengan tindakan Alden barusan. Bukankah itu tindakan yang sangat kurang ajar? Alden telah melecehkan Rayna."A--aku hanya mencontohkan apa yang kamu lakukan padaku tadi malam," jawab pria itu gugup.Rayna menggeleng cepat, dia tidak mungkin percaya dengan ucapan yang pria itu berikan. Bukankah pria itu penjahat wanita? Bisa saja itu adalah sebuah trik agar Rayna jatuh dalam permainannya. Tapi sayangnya Rayna masih mempunyai akal sehat. Semarah-marahnya dia dengan Zidan, tidak mungkin segampang itu cintanya goyah."Kamu pikir aku percaya?" tanya Rayna sinis."Untuk apa aku berbohong padamu," kata Alden tak terima. "Nggak ada untungnya," lanjutnya kemudian."Bukankah seperti itu untuk menjerat wanita? Itu kan trik yang selalu kamu lakukan agar para wanita bertekuk lutut padamu?""Kamu nggak usah ngalihin pembicaraan, memang kenyataannya kamu memang seperti itu, mencoba mera
Alden tersenyum tipis ketika melihat Rayna sudah terlihat mabuk, wanita itu juga beberapa kali cegukan serta mengoceh tidak jelas. Hal itu membuat Alden sangat gemas, tidak sabar ingin mengecup bibir wanita itu, sayangnya ada kamera, jadi Alden harus tahan untuk bertindak, biar Rayna dulu yang memulainya."Kamu tahu, sampai saat ini aku belum mabuk," celoteh wanita itu, diiringi tawa lirih."Oh ya?" tanya Alden."Iya, coba kamu lihat aku, aku masih waras, kan?"Mana berani Alden melakukannya, yang ada nanti malah dia hilang kendali."Kamu tidak berani menatapku? Atau jangan-jangan kamu duluan yang mabuk?" tanya Rayna sambil tertawa pelan.Alden tak menjawab, dia terus saja menatap wajah cantik Rayna, wanita itu saat ini benar-benar mabuk, dan bagi Alden wanita itu begitu sangat seksi. Dan tanpa dirinya duga, dia juga saat ini sudah setengah sadar."Kamu cantik," puji pria itu dengan tulus."Aku tahu itu, Zidan juga mengatakannya. Apa kamu tertarik juga denganku?"Alden mengangguk. "Ya,
Rayna meringis pelan ketika dia membuka matanya tiba-tiba saja merasakan pusing yang luar biasa."Ya Tuhan, ini kepalaku kenapa mendadak pusing kayak gini sih. Sejak kapan aku punya penyakit seperti ini," keluh wanita itu sambil memejamkan matanya.Tiba-tiba saja dia merasa jika tubuhnya terasa tertiup angin, hal itu membuat dahi wanita itu mengernyit."Masa iya aku mau sakit?" gumamnya pelan, pasalnya dia benar-benar merasakan kedinginan.Rayna membuka kedua matanya, ia mencoba untuk duduk, tiba-tiba saja dia memekik tertahan karena merasakan sekujur tubuhnya remuk redam, apalagi di daerah kewanitaannya, rasanya sakit sekali."Kenapa badanku pada sakit kayak gini? Kayak habis digebukin?"Rayna membuka selimut yang menutupi bagian tubuhnya itu, matanya membola ketika dia tidak memakai sehelai benang pun."Apa yang terjadi?" Wanita itu benar-benar syok dengan apa yang baru saja dilihatnya."Kamu sudah bangun?"Rayna langsung menoleh ke arah sumber suara, lagi-lagi matanya membulat keti
Semenjak kejadian itu, Rayna selalu menghindari Alden. Bahkan di tempat kerja pun seperti itu.Rayna masih belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Hubungannya dengan Zidan pun sama seperti biasa, tidak ada kemajuan atau semakin renggang. Hubungan mereka selalu jalan di tempat.Entah hubungan apa namanya, Rayna menamakannya hubungan nggak jelas. Mungkin setelah dia sudah bisa berdamai dengan dirinya sendiri, dia akan memutuskan hubungan pada pria itu, dia tidak ingin hidup penuh egois.Zidan pantas mendapatkan yang lebih baik dari dirinya, apalagi saat ini dirinya sudah kotor, sangat tidak pantas jika harus bersanding dengan pria sebaik Zidan."Rayna, dipanggil sama Pak Alden, kamu disuruh menghadap ke ruangannya," panggil temannya itu, Riska namanya.Rayna menghela napas berat. "Nggak deh kayaknya, aku lagi ... lagi sakit perut, bisa nggak kalau kamu yang gantiin aku?" pinta wanita itu.Riska tampak menimbang-nimbang jawaban, tak lama kemudian dia mengangguk mengiyakan."Iya deh,
"Selamat, Bro. Akhirnya nikah juga," kata Zidan seraya memeluk temannya itu.Alden pun membalas pelukan pria itu. "Terima kasih, Zidan. Kalau bukan karena kamu, nggak mungkin aku bisa seperti ini, menikah dengan orang yang aku cintai. Semua ini berkat kamu, karena kamu yang bantu aku, dan juga merelakan rasa egomu hanya untukku. Maaf karena aku udah egois banget sama kamu, mengambil pacarmu tapi tidak memikirkan bagaimana perasaanmu."Zidan tersenyum getir. "Aku rela mengorbankan perasaanku karena aku kasihan sama kamu. Aku tidak pergi, aku hanya membatasi diri untuk tidak menggangu Rayna lagi. Jujur, sampai saat ini aku belum bisa melupakannya, aku masih mencintainya, tapi aku sadar kalau aku ini bukan pilihannya. Alden, jaga Raynaku baik-baik, sampai kapanpun itu. Hanya itu yang kupinta darimu," pinta pria itu."Apa kamu berniat ingin menghancurkan acara pernikahan ini?" tanya Alden dengan suara berat, kentara sekali kalau sedang menahan gejolak amarah."Nggak, aku cuma mau mengelua
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari ini adalah hari pernikahan Alden dan juga Rayna.Zidan menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin seraya tersenyum tipis.Sebentar lagi dia akan datang ke tempat acara mereka berdua, lantas kenapa dia menjadi gugup seperti ini?"Dek, bagus nggak sih kalau pakai ini?" tanya Zidan.Zara geleng-geleng kepala seraya tersenyum tipis. "Mas udah ganti baju berapa kali sih? Coba lihat tuh, berantakan," ujar wanita itu seraya menunjuk ke arah pakaian Zidan.Pria itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil nyengir lebar. "Aduh, maaf ya, Dek. Nanti aku bantuin rapihin deh, habisnya aku merasa pakai baju apa aja nggak ada yang cocok. Heran deh," keluh pria itu."Bukan pada nggak cocok, tapi Mas itu terlalu gugup. Yang Mas pakai saat ini udah bagus kok, cocok banget. Udah ya, nggak usah diganti lagi," pinta istrinya itu."Tapi aku kurang suka sama warna bajunya.""Terus Mas mau pakai baju yang mana? Biar aku bantu cariin deh," usul wanita itu
Zidan menghela napas berkali-kali. Semenjak mendengar Alden dan Rayna akan menikah, pria itu tampak selalu menyendiri.Katakanlah kalau dia itu memang munafik, jika di depan Alden, pria itu terus ceria, seolah-olah berkata kalau dirinya sudah tak memiliki perasaan apapun lagi dengan Rayna, kenyataannya itu salah besar.Rasanya rumit kalau untuk dijelaskan, tapi ingin berteriak untuk hal yang dirasakan. Dari hati yang paling dalam, ada yang masih mengganjal di hati Zidan, entah itu apa.Kepala Zidan menengadah ke atas seraya memejamkan matanya."Pintu yang tidak dibukakan jangan diketuk lagi, itu namanya nggak sopan, Zidan. Lupakan saja, lupakan. Dia hanya masa lalu kamu, sementara kamu saat ini sudah mempunyai masa depan, yaitu istri kamu. Berhentilah menyakiti diri kamu sendiri dan juga orang yang ada di sampingmu, Zidan," gumam pria itu guna mengingatkan dirinya sendiri."Kenapa nggak masuk, Mas? Udara di luar tampak begitu dingin."Zidan tersentak, dia menoleh ke arah sumber suara
"Aku nggak mau, Alden. Kita nggak perlu rayain pesta yang begitu megah, seadanya aja udah cukup."Alden menggeleng. "Hari pernikahan kita harusnya kita rayakan dengan pesta besar-besaran, Rayna. Ingat, itu pernikahan kita loh, kita harus merayakannya hitung-hitung buat kenangan di hari tua kita kelak," bantah Alden."Kenapa kita harus capek-capek merayakan yang jelas-jelas pernikahan hanya di laksanakan hanya satu hari saja? Harusnya kita memikirkan bagaimana nantinya ketika kita sudah menikah, kita selamanya akan hidup berdua. Harusnya kita memikirkan hal itu, Alden," jelas Rayna."Gini, Sayang. Ya, aku tahu kalau hari pernikahan itu hanya sekali atau sehari, tapi itu, kan, hari yang sakral. Momen di mana tempat kita melepas lajang. Jadi--""Ya udah deh, terserah kamu aja. Aku ngikut aja," sela Rayna cepat."Nah, gitu dong. Wanita lain itu ketika ingin menikah, pasti minta pesta yang besar-besar, tapi kamu ini nggak mau, aneh banget. Aku senang loh kalau kamu minta ini minta itu, per
"Thanks ya, karena kamu akhirnya Rayna mau diajak nikah."Zidan mendengkus pelan. "Cuma gitu aja, cuma bilang makasih aja? Ya kali, kasih hadiah kek, mobil atau apa gitu," cibir pria itu.Alden mendelik kesal. "Dikasih hati malah minta jantung. Kemarin pas kamu nikah, aku udah kasih kamu mobil ya, kira-kira dong kalau minta.""Halah! Kamu kasih hadiah mobil juga bukan karena hadiah pernikahanku, tapi karena aku berhasil suruh Rayna datang," kata Zidan tak terima.Alden tertawa keras. "Nah, anggap aja itu sama.""Nggak bisa gitu. Harusnya kamu kasih aku hadiah dobel. Hadiah karena berhasil membuat Rayna datang ke sini, hadiah untuk hari pernikahanku, dan yang terakhir, hadiah karena aku udah berhasil bujuk Rayna mau nikah sama kamu. Sekarang mana dong hadiahnya?" pinta Zidan sambil memberi kode ke arah Alden menggunakan tangannya."Nanti aku pikirin, kalau aku udah nikah sama Rayna. Sial! Harusnya aku yang dikasih hadiah, kenapa jadi aku yang kasih hadiah?" tanya pria itu seraya meliri
Setelah berbicara dengan Zidan, akhirnya pikiran Rayna pun mulai terbuka. Dia akan membuka hatinya untuk Alden walau hanya sedikit demi sedikit."Zidan nggak ngomong macam-macam, kan, sama kamu?" tanya Alden memastika.Rayna menggeleng. "Harusnya kamu bersyukur karena mempunyai teman sebaik dia."Alden mendengkus pelan. "Apa nih maksudnya? Kok tiba-tiba bicara kayak gitu?""Aku udah tahu semuanya kok. Tadi Zidan yang cerita sama aku, kalau selama ini kamu yang nyuruh Zidan buat ketemu sama aku. Padahal diam-diam kamu ngelihat aku dari kejauhan, kan?"Alden menghela napas berat. 'Sial! Kenapa tuh orang mulutnya bocor banget,' gerutu Alden dalam hati."Kenapa harus Zidan yang kamu suruh terus? Kasihan loh dia.""Kalau aku langsung temuin kamu, yang ada kamu langsung kabur. Makanya aku diam-diam perhatikan kamu dari kejauhan. Aku selalu mencari momen yang pas, agar kita bisa ketemu, tanpa ada paksaan sedikit pun. Dan menurutku waktu pernikahan Zidan memang momen yang begitu pas. Lagian Z
"Aku mau ketemu sama Rayna sebentar saja.""Nggak boleh!" tolak Alden mentah-mentah.Zidan mendengkus keras. "Kamu ini kenapa? Kok mendadak jadi posesif begini?" tanya pria itu ketus."Gimana nggak posesif coba, Rayna aja baru aku temuin, kalau nggak kayak gitu nanti dia hilang lagi, pergi lagi," gerutu Alden."Ya tapi jangan dikurung juga kali, kasihan dia. Bukannya dia jatuh cinta sama kamu, yang ada malah dia jadi ilfil ngelihat tingkah kamu kayak gini. Lagian aku mau ketemu sama Rayna, aku mau ngomong serius sama dia."Alden berdecih pelan. "Nah, yang mau diomongin itu kira-kira apa. Kamu beneran mau jadikan Rayna istri kedua? Yang benar saja?""Hahahaha, masih aja dipikirin. Ya nggak lah, aku cuma mau yakinin dia aja kalau kamu itu serius sama dia. Kalau lihat pergerakan kamu yang kayak gini aja, mana mungkin Rayna luluh sama kamu. Pikiran kamu aja di ranjang melulu, coba sekali-kali kamu ajak dia itu bicara serius, dari hati ke hati, biar hasilnya tuh maksimal."Alden mengusap w
"Kamu udah ketemu sama Rayna?"Alden mendengkus keras karena mendapat pertanyaan dari temannya itu, Zidan."Omong kosong macam apa itu? Bukannya kamu udah lihat sendiri waktu di acara pernikahanmu?" tanya pria itu sinis.Zidan tergelak kencang. "Yaelah, basa-basi doang aja kok. Terus sekarang Rayna ke mana ya? Kok aku hubungi nomornya nggak aktif-aktif?"Alden memicingkan kedua matanya, menatap temannya itu dengan curiga. "Kamu coba hubungi Rayna? Untuk apa? Kamu lupa kalau kamu itu udah nikah?" tanya Alden dengan tatapan tajam."Apaan, cuma mau tahu kabarnya aja. Waktu itu, kan, dia kamu bawa pergi entah ke mana. Makanya aku sedikit was-was, nggak usah mikir aneh gitu lah, lagian aku juga tahu batasan.""Aneh aja gitu loh, jangan-jangan kamu masih naruh perasaan lagi sama dia?" tebak Alden."Sembarangan, pikiranmu itu loh ke mana, Den. Mana mungkin aku seperti itu, kasihan sama istriku," dengkus Zidan."Siapa tahu aja, kan?""Nggak ada. Jadi waktu itu kamu bawa Rayna ke mana?" tanya
Rayna berdecak kesal karena dikurung oleh Alden di dalam kamar. Wanita itu benar-benar bingung dengan apa yang terjadi, seingatnya ketika mereka habis bercinta, Rayna langsung tidur karena benar-benar kelelahan.Ya, Rayna dan Alden kembali mengulang kejadian waktu itu di tempat yang sama. Namun kali ini Aldenlah yang begitu bersemangat. Rayna meringis pelan ketika melihat Alden meminum obat kuat, entah dari mana asalnya pria itu bisa berpikir seperti itu, yang jelas Alden berkata jika pria itu akan membuat Rayna hamil.Mereka bercinta berkali-kali, sampai Rayna lemas dengan tenaga Alden yang tak kunjung reda, sialnya stamina pria itu malah semakin kuat. Kalau saja Rayna tak mengeluh lelah, sudah pasti Alden akan menyetubuhinya hingga pagi.Beruntungnya Alden mempunyai rasa kasihan pada Rayna, jelas saja membuat wanita itu bernapas lega. Rayna memutuskan untuk beristirahat, setelah itu akan pulang, sayangnya itu hanya rencana wanita itu saja. Ketika wanita itu membuka mata, dia sudah b