"Tapi kamu udah nggak marah lagi kan?" tanya Dikta memastikan.
"Enggak kok. Aku lebih percaya kamu, daripada siapapun."Dikta menghela nafas lega. Sementara Elisha pamit keluar karena ingin melakukan sesuatu."Haaa..." Dikta menjatuhkan pantatnya di sofa. Ia mengurut keningnya efek sakit kepala. "Aku apes banget pagi ini," keluhnya."Kalau Elisha masih bisa dibujuk pake uang, tapi Nilam... Gue nggak tau gimana caranya bisa bikin perempuan itu nurut sama aku."Dikta memicingkan matanya. Otaknya bekerja keras untuk mencari cara agar bisa mendapatkan Nilam. "Aku nggak tau apa yang ada di diri Jean, sampai dia bisa memikat hati Nilam. Dan lagi, ada apa sama diri gue? Kenapa gue begitu terobsesi sama perempuan milik si miskin itu?""Akh!"Nilam sedang meng-fotocopy beberapa bahan yang akan dibagikan saat rapat siang nanti ketika Elisha tiba-tiba muncul dan menyiramnya dengan air putih.Dalam hitungan detik, wajah dan"Pipi kamu kenapa?"Nilam tidak bisa berkutik ketika Jean melihat memar di tulang pipi kekasihnya, tak lama setelah mereka bertemu. Gadis itu langsung berusaha menutupi lukanya dengan rambut bagian depan agar Jean tak semakin curiga."Jawab Nilam! Kamu kenapa? Ada yang nyakitin kamu?" tanya Jean tak sabaran. Dia terlihat marah karena berpikir ada yang menyakiti gadis itu."A- aku jatuh tadi. Terus wajahku nggak sengaja kebentur, jadi..."Jean mengangkat dagu kekasihnya. Manik gelapnya memindai wajah Nilam tanpa terkecuali. "Ada lagi lukanya?"Gadis itu menggeleng. Ditatap seintens itu membuatnya sedikit salting. "Enggak, cuma ini doang.""Kamu ceroboh banget sih?" tanya Jean, dengan nada yang sedikit lebih rendah sekarang."Lantainya licin. Makanya aku kepleset," Cicitnya.Jean menatap kedua bola mata Nilam. " Kamu nggak bohong kan?""Enggak!""Beneran nggak ada senior yang bully kamu kan?"
"Bapak? Bapak kenapa? Ada yang bisa saya bantu?""Akhirnya ada juga yang mau berhenti buat nolongin bapak." Pria itu terlihat lega, dan itu tampak jelas di wajahnya."Ada yang bisa saya bantu?" tanya Jean."Ini, mobilnya bapak mogok, Nak. Kebetulan bapak nggak bawa ponsel karena berpikir aku perginya cuma sekitaran sini saja," jelas pria dengan kepala botak dengan tubuh sedikit bungkuk tersebut."Bentar Pak, saya cek dulu."Jean langsung meminta tolong pada si Bapak untuk membuka kap mobil tersebut. Sementara Jean mengecek kerusakan yang terjadi, si bapak hanya memperhatikan pria itu di sebelahnya."Gimana Nak?""Kayaknya yang rusak bagian Aki, Pak. Bisa jadi akunya udah soak dan waktunya ganti."Si bapak dengan kemeja lengan pendek warna coklat itu hanya memijat tengkuknya sambil menganggukkan kepalanya. "Oh, gitu ya? Bapak nggak gitu ngerti mobil. Ini juga mobil udah lama bapak pake."Jean tersenyum t
"Bapak akan menjadikan kamu sebagai sekretaris pribadiku di kantor."Jean tak bergeming. Tawaran yang pria asing itu berikan membuat ia kehabisan kata-kata."Bapak nggak salah?" tanya Jean memastikan. "Saya ini cuma seorang barista, side job saya juga hanya sebagai pekerja freelance. Saya sama sekali nggak punya bakat untuk jadi sekertaris, Pak."Pak Wijaya tersenyum. Ia menepuk bahu Jean dan kembali berkata, "Melihat kamu yang sampai punya beberapa pekerjaan dalam satu waktu, justru membuatku paham, betapa pekerja kerasnya kamu, Jean.""Soal mampu atau enggak, tidak bisa dinilai hanya dari omongan aja. Tapi harus ada action yang menunjukkan apakah benar kamu bisa mengemban tugas yang aku berikan," lanjut Pak Wijaya yang tampaknya sudah begitu mantap memilih Jean untuk menjadi salah satu orang kepercayaannya."Tapi kenapa harus saya, Pak?" tanya Jean lagi. Dia benar-benar bingung sekarang ini. Antara senang, syok, dan takut. Campur aduk s
["Kamu kok mendadak jadi cenayang sih? Bisa tau apa yang bakal terjadi."]Jawaban Jean itu membuat Nilam mempoutkan bibirnya. "Tuh kan, pasti bakalan sibuk deh?"["Aku masih harus banyak belajar di pekerjaanku yang baru ini Nilam. Jadi mungkin bakalan sibuk juga selama beberapa waktu ke depan."]"Terus aku kalau kangen gimana?" Rengekan Nilam itu sukses membuat orang-orang yang ada di sana jadi menoleh ke arah Nilam. Tapi Nilam yang sudah bucin, mana peduli dengan hal-hal semacam itu. ["Maaf sayaaang. Tapi aku janji kalau ada waktu aku bakal telfon kamu. Video call kalau perlu."]"Wajib sih kalau itu."Terdengar suara tawa Jean dari line seberang. ["Kamu udah sarapan?"]"Udah."["Udah nyampek kantor?"]"Iya, ini OTW ke ruanganku."["Yaudah, semangat ya kerjanya. Nanti pas jam makan siang, aku telfon kamu lagi."]"Okey. Kamu juga semangat kak. Bye. Love you—"Nilam langsung me
"Bapak bener juga sih, tapi—""Besok kan hari sabtu? Lebih baik kamu ambil cuti." Belum selesai bicara, Pak Wijaya lebih dahulu memotong ucapan Jean."Tapi saya harus menghafalkan materi yang akan saya sampai kan di acara pertemuan, Pak. Saya takut kalau santai-santai, nanti presentasi saya nggak tereksekusi dengan baik.""Apa kamu nggak kangen sama anak dan pacar kamu?" tanya Pak Wijaya. "Kalau kamu enggak merasa begitu, coba posisikan diri kamu sebagai mereka, Je!"Bapak kandung Qila ini langsung terdiam ketika mendengar ucapan Pak Wijaya. Sebenarnya, dia cukup tertohok karena kata-kata lelaki di hadapannya."Anak kamu pasti kangen sama Papanya, dia pasti berharap Papanya akan pulang dengan membawa banyak hadiah. Apa kamu tega ngebiarin anak kamu nahan kangen ke Papanya sendiri?""Tentu aja enggak, Pak. Mana tega saya gitu ke Qila.""Ya udah. Besok kamu cuti aja dulu! Habiskan waktu berharga kamu sama Qila," kata Pak W
"Nilam, lo beneran nggak apa?" Wajar temannya itu khawatir, apalagi wajah gadis itu sudah terlihat pucat. "Apa sih? Lebay banget!" Nilam menatap ke arah Elisha dengan pandangan yang sedikit memburam. Dia tidak mood menjawab ocehan wanita itu. Nilam berjalan ke luar sambil mengeluarkan ponselnya, niatnya untuk menelfon supir supaya bisa menjemputnya. Dia benar-benar lemas sekarang gara-gara penyakitnya. "Halo... Bisa jemput sekarang nggak Sur?" "Gue di kantor nih. Baru keluar." "Udah buruan jangan banyak nanya! Kepala gue pusing banget nih! Darah rendah gue kambuh kayaknya." "Gue tungguin di pos satpam ya! Jangan lama-lama! Kalo lo kelamaan, gue aduin lo ke Mama! Awas aja!" "Ugh..." Nilam menyandarkan kepalanya di dinding pos. Padahal satpam sudah menyuruhnya untuk menunggu di dalam, tapi dia malah menolak karena takut orang-orang ini berbuat macam-macam. Catat! Ini kota besar, tidak ada yang bisa dipercaya bahkan pada orang terdekat kita. "Nilam!" Gadis itu tampak sumringah
"Kamu sekarang kerja di mana? Kok kayaknya sibuk banget?""Aku kerja ikut orang. Aku bantuin dia ngurusin pegawai yang kerja ama dia."Nilam mengerutkan keningnya. "Gimana? Gimana? Aku bingung dengernya."Jean mengusap puncak kepala Nilam dan berkata, "Nanti kamu juga bakal tau.""Oh, jadi kamu udah mulai main rahasia-rahasiaan nih?""Kayak kamu enggak aja."Deg!Nilam membeku."Kenapa wajah kamu tegang banget? Kamu nggak lagi nutupin sesuatu kan sekarang?" tanya Jean dengan mimik wajah serius.Gadis itu menarik selimut yang dia kenakan dan menutupi separuh wajahnya dengan kain itu. "Enggak kok," beonya.Jean tak mengatakan apapun. Dia hanya memandangi Nilam sebelum berkata, "Tidur gih! Nanti aku bangunin kalau infusnya udah habis."Gadis 20 tahun itu mengangguk. Ia patuh begitu saja dengan apa yang Jean perintahkan.Dan sekarang, sembari menunggu Nilam istirahat, Jean mengambil hapenya dan mulai mengerjakan materi yang harus ia siapkan untuk presentasi dua minggu lagi. Tapi, baru 30
Nilam berusaha untuk tidak menangis. Tapi apesnya, air matanya itu malah keluar dengan sendirinya. Dadanya sesak, takut, khawatir, sedih. Campur aduk."Lho? Lho? Nilam, kamu kenapa nangis? Mana yang sakit? Mau Mama panggilin dokter?" Bu Mala yang melihat anaknya tiba-tiba menangis tentu saja kaget. Dia langsung memperhatikan putrinya dan mengecek bagian mana dari anak-anaknya yang sakit."Mama... Gimana ini?""Apanya yang gimana?" tanya Bu Mala kebingungan."Calon mantu Mama, kayaknya marah sama aku," rengek Nilam sambil memeluk Mamanya.Bu Mala mengerutkan keningnya. "Kamu ini ngomong apa? Calon mantu gimana maksudnya?"Dan Nilam, bukannya menjawab malah terus memeluk Mamanya sambil terisak.***Jean duduk di atas motornya dengan mimik wajah kalut. Bagaimana tidak, dia terus saja memikirkan kejadian selama beberapa waktu kebelakang. Mengenai Nilam dan semua rahasianya yang perlahan-lahan mulai menemukan titik t
"Sayang... Sayaaang...""Sayaaang ayo banguuun...""Hnggg?" Tidur Jean hari itu sedikit terganggu karena panggilan lembut Nilam. "Apa Nilam sayang?" Mau tak mau, ia membuka kedua matanya dan membiasakan sinar matahari menyilaukan pandangannya."Sayang, liat deh!" Nilam memegang pipi Jean yang masih sibuk memfokuskan penglihatannya, memaksa pria yang beberapa tahun lebih tua darinya ini untuk menatap langsung ke arahnya."Nilam? Ngapain kamu pake baju gitu?" Rasa kantuk Jean seketika lenyap, matanya bahkan nyaris mendelik saat melihat istrinya hanya memakai bikini.Yup— BIKINI! Warna pink pula. Ada hiasan pita di bagian dada pula. Dan celananya— kalau ditarik sedikit saja sudah ke mana-mana itu aurotnya Nilam."Iih! Kamu gimana sih?" Nilam yang tadinya berdiri di samping ranjang dengan posisi setengah membungkuk supaya bisa melihat wajah suaminya dari dekat langsung mundur. Dia duduk dengan posisi W di atas tempat tidur sambil memasang raut cemberut. "Katanya mau ngajakin renang pagi-p
Devi menatap Elisha dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kasihan—tapi karena ia bisa merasakan tulusnya penyesalan itu. Rasa bersalah yang tak hanya tertahan di kepala, tapi meresap hingga ke dalam tulang. Elisha mungkin tak lagi bersama Jean, tapi luka yang ditinggalkan masih menggores.“Sha… semua orang pernah buat kesalahan,” ucap Devi lirih. “Yang membedakan kita adalah gimana kita belajar dari situ.”Elisha hanya menunduk. Tangannya kembali meremas ujung selimut. Kali ini, ia tak lagi menahan air mata. Setetes jatuh, menyusul satu lagi. Tapi tak ada isakan, tak ada tangisan keras—hanya keheningan yang menyakitkan.“Aku cuma pengen jadi ibu yang layak buat Qila,” ucap Elisha lirih. “Aku gak bisa balikin waktu, tapi aku pengen punya kesempatan kedua. Meskipun kecil… meskipun aku harus mulai dari nol.”Devi meraih bahunya, menepuk pelan. “Dan kamu akan punya kesempatan itu, Sha. Kamu udah jalanin hukumannya, kamu udah bayar semua. Yang penting sekarang, kamu harus semangat. Kamu j
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga
Setelah Nana dan Reno pamit, Jean menoleh pada Nilam yang dari tadi terus tersenyum sambil menyambut para tamu. Tapi ia tahu, senyuman itu mulai terasa dipaksakan. “Sayang, kamu kelihatan capek.” Nilam sempat menggeleng kecil, masih ramah melambai ke tamu lain. “Nggak kok. Aku gak apa-apa.” Jean tersenyum tipis, lalu mengisyaratkan pada salah satu panitia untuk membawakan segelas air putih. Tak lama, air itu datang bersamaan dengan dua kursi yang langsung diletakkan agak ke sisi, masih dekat pelaminan tapi sedikit lebih tenang. “Duduk dulu, ya!” bisik Jean seraya menggandeng tangan istrinya. Nilam sempat ragu, tapi akhirnya menurut. Sepatunya yang berhak tinggi sudah terasa menyiksa dari tadi. Ia duduk pelan-pelan sambil menarik napas dalam. “Thanks, sayang,” ucapnya tulus. Jean ikut duduk di sebelahnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Hari ini milik kita berdua. Tapi aku gak mau kamu maksain diri demi kelihatan kuat. Nikmati aja, ya?” Nilam tersenyum lembut.
Hari H pun tiba. Suasana pernikahan Nilam dan Jean dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Rangkaian bunga yang indah dan dekorasi yang bersinar menambah nuansa romantis di ruang pernikahan. Kedua pasangan itu berdiri di panggung resepsi dengan senyuman yang tak terus terkembang di wajah masing-masing, sama-sama siap untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka. "Kamu cantik banget." Nilam tersenyum malu, entah sudah berapa kali Jean mengatakan itu padanya hari ini. Dan yeah, gadis itu memang terlihat sangat cantik sekaligus anggun. Gaun pengantin warna putihnya begitu pas di tubuh ramping Nilam, rambutnya sengaja di sanggul ala modern. "Kamu juga keren banget," balas Nilam sambil memandang ke arah suaminya. Yah, beberapa saat yang lalu mereka telah mengikat janji suci pernikahan dengan di saksikan para tamu undangan. Manik gelap Nilam menatap lekat ke arah Jean yang begitu gagah dengan setelan jas warna putih, dasi hitam, dan sepatu fantofel. Terlihat sederh