"Emang kenapa kak?"
"Tempat itu, nggak jauh beda ama lokasi kerja Elisha."Jawaban duda ganteng itu membuat Nilam terpaku selama beberapa saat. Jean tidak tau saja kalau dia memang sekantor dengan Elisha. Bahkan dia tidak bisa membayangkan jika seandainya kekasihnya ini tau dia dikerjai habis-habisan tadi pagi oleh mantan istrinya itu."Kantor kamu, emang di sebelah mananya sih? Biar besok kalau aku jemput kamu lagi, bisa langsung berhenti depan gedung?"Pertanyaan Jean sukses membuat Nilam tersedak. Gadis itu terbatuk sampai mukanya merah. Jean saja langsung berdiri untuk membantu memberi Nilam minum dan mengusap punggungnya."Pelan-pelan, Nilam!""Sambelnya pedes banget," dustanya.Jean menggelengkan kepalanya. "Ya udah, makan dulu deh! Nanti lanjut lagi ngobrolnya."Nilam menjilat bibir bawahnya dan mengangguk. "Uhm."Dalam hati, Nilam bersyukur karena berhasil lolos dari pertanyaan Jean. Setidaknya"Lho? Jadi Nilam magang di tempat kamu?""Iya Tante.""Ya ampun, Nilam nggak bilang apa-apa soal itu, Nak Dikta." Bu Mala mendongak ke arah putrinya yang semakin cemberut."Mungkin dia lupa." Dikta melihat ke arah Nilam dan tersenyum jahil. Sementara gadis itu hanya memutar kedua bola matanya karena sikap CEO itu."Hmm, Nilam ini emang ceroboh banget anaknya. Nggak pernah bisa bersikap dewasa sama sekali. Padahal usianya udah 20 tahun, tapi dia manja banget anaknya.""Mamaaaa..." Nilam makin merajuk. "Emang penting cerita soal itu ke dia?""Ya nggak masalah Nilam. Biar Dikta bisa ngawasin kamu pas di kantor," sahut Bu Mala.Nilam menjatuhkan bahunya. Capek sekali ngobrol sama Mamanya."Ehm, Tante. Saya boleh ajak Nilam bareng kan?" Dikta kembali buka suara. Menengahi suasana tak nyaman antara ibu dan anak di depannya."Ya boleh lah, kan kamu juga udah jauh-jauh ke sini. Lagian, kalau nggak demi jemput N
"Kira-kira, Jean kecewa nggak kalau tau kamu ini cuma penipu?"Nilam menggemertakkan giginya. Batas kesabarannya sudah di ubun-ubun."Lo lama-lama bikin gue makin muak ya!"Dikta tersenyum miring. "Ya abisnya kamu keras kepala banget jadi perempuan."Nilam menarik dasi Dikta hingga setir pemuda itu sedikit oleng. Untung juga keadaan jalanan sedang sepi sehingga CEO tampan itu bisa menginjak pedal rem dengan sigap."Kamu mau kita tabrakan?!" amuk Dikta sambil menarik lagi dasinya dari cengkraman Nilam."Denger ya! Gue tau lo pasti bakal ngancem gue pakai alasan tadi. Tapi gue peringatkan ke elo! Gue nggak takut sama sekali!" tukas Nilam dengan mata menyipit tajam. Ia sama sekali tidak merasa gentar meskipun tau seperti apa power Dikta.Dikta mungkin juga bisa main kasar pada Nilam. Tapi pemuda itu memilih untuk calm down walaupun kerah kemejanya sudah ditarik oleh Nilam sambil mengultimatum dirinya."Satu lagi ya
"Tapi kamu udah nggak marah lagi kan?" tanya Dikta memastikan."Enggak kok. Aku lebih percaya kamu, daripada siapapun."Dikta menghela nafas lega. Sementara Elisha pamit keluar karena ingin melakukan sesuatu."Haaa..." Dikta menjatuhkan pantatnya di sofa. Ia mengurut keningnya efek sakit kepala. "Aku apes banget pagi ini," keluhnya."Kalau Elisha masih bisa dibujuk pake uang, tapi Nilam... Gue nggak tau gimana caranya bisa bikin perempuan itu nurut sama aku."Dikta memicingkan matanya. Otaknya bekerja keras untuk mencari cara agar bisa mendapatkan Nilam. "Aku nggak tau apa yang ada di diri Jean, sampai dia bisa memikat hati Nilam. Dan lagi, ada apa sama diri gue? Kenapa gue begitu terobsesi sama perempuan milik si miskin itu?""Akh!"Nilam sedang meng-fotocopy beberapa bahan yang akan dibagikan saat rapat siang nanti ketika Elisha tiba-tiba muncul dan menyiramnya dengan air putih.Dalam hitungan detik, wajah dan
"Pipi kamu kenapa?"Nilam tidak bisa berkutik ketika Jean melihat memar di tulang pipi kekasihnya, tak lama setelah mereka bertemu. Gadis itu langsung berusaha menutupi lukanya dengan rambut bagian depan agar Jean tak semakin curiga."Jawab Nilam! Kamu kenapa? Ada yang nyakitin kamu?" tanya Jean tak sabaran. Dia terlihat marah karena berpikir ada yang menyakiti gadis itu."A- aku jatuh tadi. Terus wajahku nggak sengaja kebentur, jadi..."Jean mengangkat dagu kekasihnya. Manik gelapnya memindai wajah Nilam tanpa terkecuali. "Ada lagi lukanya?"Gadis itu menggeleng. Ditatap seintens itu membuatnya sedikit salting. "Enggak, cuma ini doang.""Kamu ceroboh banget sih?" tanya Jean, dengan nada yang sedikit lebih rendah sekarang."Lantainya licin. Makanya aku kepleset," Cicitnya.Jean menatap kedua bola mata Nilam. " Kamu nggak bohong kan?""Enggak!""Beneran nggak ada senior yang bully kamu kan?"
"Bapak? Bapak kenapa? Ada yang bisa saya bantu?""Akhirnya ada juga yang mau berhenti buat nolongin bapak." Pria itu terlihat lega, dan itu tampak jelas di wajahnya."Ada yang bisa saya bantu?" tanya Jean."Ini, mobilnya bapak mogok, Nak. Kebetulan bapak nggak bawa ponsel karena berpikir aku perginya cuma sekitaran sini saja," jelas pria dengan kepala botak dengan tubuh sedikit bungkuk tersebut."Bentar Pak, saya cek dulu."Jean langsung meminta tolong pada si Bapak untuk membuka kap mobil tersebut. Sementara Jean mengecek kerusakan yang terjadi, si bapak hanya memperhatikan pria itu di sebelahnya."Gimana Nak?""Kayaknya yang rusak bagian Aki, Pak. Bisa jadi akunya udah soak dan waktunya ganti."Si bapak dengan kemeja lengan pendek warna coklat itu hanya memijat tengkuknya sambil menganggukkan kepalanya. "Oh, gitu ya? Bapak nggak gitu ngerti mobil. Ini juga mobil udah lama bapak pake."Jean tersenyum t
"Bapak akan menjadikan kamu sebagai sekretaris pribadiku di kantor."Jean tak bergeming. Tawaran yang pria asing itu berikan membuat ia kehabisan kata-kata."Bapak nggak salah?" tanya Jean memastikan. "Saya ini cuma seorang barista, side job saya juga hanya sebagai pekerja freelance. Saya sama sekali nggak punya bakat untuk jadi sekertaris, Pak."Pak Wijaya tersenyum. Ia menepuk bahu Jean dan kembali berkata, "Melihat kamu yang sampai punya beberapa pekerjaan dalam satu waktu, justru membuatku paham, betapa pekerja kerasnya kamu, Jean.""Soal mampu atau enggak, tidak bisa dinilai hanya dari omongan aja. Tapi harus ada action yang menunjukkan apakah benar kamu bisa mengemban tugas yang aku berikan," lanjut Pak Wijaya yang tampaknya sudah begitu mantap memilih Jean untuk menjadi salah satu orang kepercayaannya."Tapi kenapa harus saya, Pak?" tanya Jean lagi. Dia benar-benar bingung sekarang ini. Antara senang, syok, dan takut. Campur aduk s
["Kamu kok mendadak jadi cenayang sih? Bisa tau apa yang bakal terjadi."]Jawaban Jean itu membuat Nilam mempoutkan bibirnya. "Tuh kan, pasti bakalan sibuk deh?"["Aku masih harus banyak belajar di pekerjaanku yang baru ini Nilam. Jadi mungkin bakalan sibuk juga selama beberapa waktu ke depan."]"Terus aku kalau kangen gimana?" Rengekan Nilam itu sukses membuat orang-orang yang ada di sana jadi menoleh ke arah Nilam. Tapi Nilam yang sudah bucin, mana peduli dengan hal-hal semacam itu. ["Maaf sayaaang. Tapi aku janji kalau ada waktu aku bakal telfon kamu. Video call kalau perlu."]"Wajib sih kalau itu."Terdengar suara tawa Jean dari line seberang. ["Kamu udah sarapan?"]"Udah."["Udah nyampek kantor?"]"Iya, ini OTW ke ruanganku."["Yaudah, semangat ya kerjanya. Nanti pas jam makan siang, aku telfon kamu lagi."]"Okey. Kamu juga semangat kak. Bye. Love you—"Nilam langsung me
"Bapak bener juga sih, tapi—""Besok kan hari sabtu? Lebih baik kamu ambil cuti." Belum selesai bicara, Pak Wijaya lebih dahulu memotong ucapan Jean."Tapi saya harus menghafalkan materi yang akan saya sampai kan di acara pertemuan, Pak. Saya takut kalau santai-santai, nanti presentasi saya nggak tereksekusi dengan baik.""Apa kamu nggak kangen sama anak dan pacar kamu?" tanya Pak Wijaya. "Kalau kamu enggak merasa begitu, coba posisikan diri kamu sebagai mereka, Je!"Bapak kandung Qila ini langsung terdiam ketika mendengar ucapan Pak Wijaya. Sebenarnya, dia cukup tertohok karena kata-kata lelaki di hadapannya."Anak kamu pasti kangen sama Papanya, dia pasti berharap Papanya akan pulang dengan membawa banyak hadiah. Apa kamu tega ngebiarin anak kamu nahan kangen ke Papanya sendiri?""Tentu aja enggak, Pak. Mana tega saya gitu ke Qila.""Ya udah. Besok kamu cuti aja dulu! Habiskan waktu berharga kamu sama Qila," kata Pak W
"Nilam!""Iya Bu? Kenapa?" "Kenapa? Coba jelasin padaku, kenapa bisa ada Jean di sini?" Nilam mengerutkan keningnya karena merasa aneh dengan pertanyaan Elisha tersebut. "Kan tadi dia udah bilang kalau hadir sebagai CEO Indojaya grup?" "Tapi di daftar tamu nggak ada nama dia, Nilam! Karena yang harusnya datang itu Pak Wijaya langsung! Bukan dia!" Nilam mengendikkan bahunya. "Kalau itu aku nggak tau Bu. Kenapa ibu nggak tanya langsung aja ke dia?" "Pak Wijaya sakit. Makanya dia mengirim Jean sebagai perwakilannya." Dikta yang baru selesai menelpon seseorang, muncul di antara Elisha dan Nilam hanya untuk menengahi pertengkaran mereka. "Apa? Tapi kok nggak ada konfirmasi sebelumnya?" tukas Elisha balik. "Ya mana aku tau? Aku kan bukan bagian dari perusahaan mereka," balas Dikta lagi. Sama seperti Elisha yang kesal karena kemunculan Jean, Dikta pun juga merasa demikian. Apal
"Selamat siang. Saya Mala, founder sekaligus CEO dari NM Group yang operasionalnya di bidang food and drink. Jadi...""Nilam! Itu nyokap lo kan?"Nilam yang sedang memperhatikan sang Mama yang berdiri di depan sebagai salah satu pembicara, langsung menoleh ke arah rekannya."Ehehehe. Iya." Nilam tersenyum canggung sambil memegangi belakang kepalanya."Wah, nyokap lo keren banget.""Iya nih. Ilmunya nggak main-main.""Bener. Walaupun single parent tapi perjuangannya nggak main-main, Nilam."Pujian-pujian yang disampaikan oleh rekan-rekannya itu tentu saja membuat Nilam makin kagum pada sang Mama. "Nyokap gue emang paling the best di dunia.""Gue jadi iri, pengen banget punya nyokap sekeren itu."Nilam terkekeh saat mendengar penuturan temannya itu. "Kalau lo mau nyokap sekeren nyokap gue, minimal lo harus rela nggak punya bokap sih.""Ish!" Perempuan itu langsung menepuk bahu Nilam. "Jokes lo se
"Namanya... Ayunda." Jean mergerjap. "Ayunda?" "Iya. Dia anak perempuan dari mantan istriku yang pertama." "Di mana aku bisa mencarinya?" Pak Wijaya berusaha untuk duduk lebih tegap untuk menunjuk ke arah lemari pakaiannya. "Di dalam lemari itu ada foto kenanganku dengan Ayu. Aku meletakkannya didalam kotak kecil yang terbuat dari kayu." Jean menganggukkan kepalanya dan mengikuti arahan Pak Wijaya untuk mengambil benda tersebut. Setelah menemukan benda yang dicari, ia langsung menyerahkan kotak itu pada si empunya. Pak Wijaya sendiri nampak memandangi kotak itu dengan mata menerawang. Banyak momen indah antara ia dan sang putri yang sengaja ia simpan di dalam sana. "Ini fotonya... Dia cantik kan?" Jean menerima lembaran kertas tersebut dari tangan Pak Wijaya yang sedikit gemerar. "Dia anak ke sayangku, Jean. Satu-satunya harta yang aku miliki di dunia," ucap Pria itu lagi.
"Mumpung semuanya belum terlambat, Nilam. Sebelum cinta kamu semakin besar, lebih baik kita akhiri aja.""Liat aku kak! Liat aku dan katakan kalau kamu emang beneran mau putus sama aku!" Nilam menangkap pipi Jean. Membuat wajah mereka berhadapan satu sama lain. "Aku tau kamu nggak mungkin kayak gini."Jean memasang ekspresi datarnya. Ia tatap Nilam dengan begitu intens seperti kemauan gadis itu. Siapa bilang ia tidak berani memandang langsung kedua manik indah Nilam?Beberapa detik berlalu, pandangan Nilam justru mulai buram karena air matanya. Entah kenapa ia merasa Jean sedang tidak main-main atas ucapannya."Kamu itu gadis yang baik. Kamu berhak dapat pasangan yang lebih pantas dariku.""Aku muak denger kalimat itu, kak," lirih Nilam dengan suara bergetar. Tenggorokannya terasa sakit karena berusaha untuk menahan tangis."Kamu harus percaya, kelak bakalan ada cowok yang bisa bikin kamu bahagia. Cowok yang sepadan sama kamu, co
"Gimana kabar kamu?"Nilam menggigit kecil bagian dalam bibirnya. Harusnya Jean tidak perlu bertanya begitu padanya. Karena sudah jelas, dia sedang tidak baik-baik saja."Buruk, kak." Nilam membalas dengan lesu."Oh.""Cuma 'oh' doang?" protes Nilam sedikit kecewa. "Lebih dari dua minggu kakak ngilang, nggak ngasih kabar, kepastian, ngeghosting anak orang selama itu dan tanggapan kakak cuma OH doang?" Nilam memiringkan duduknya, ia menatap Jean dengan raut tak percaya. "Aku hampir gila kak."Okey— air mata Nilam kembali keluar seperti kran. Mendadak dia jadi melow saat di depan Jean. Seperti bocah saja."Kamu kenapa nangis lagi?" balas Jean."Aku juga nggak tau kenapa air matanya keluar terus tiap ngomong ama kamu. Mungkin karena udah lama aku tahan." Nilam duduk di samping Jean dengan banyak tingkah. Padahal mereka sedang di jalan menuju ke rumah Nilam."Duduk yang bener Nilam! Kita lagi di mobil!" balas Jean s
Nilam berjalan mondar-mandir di area pintu keluar mall. Bukannya dia caper atau kurang kerjaan, tapi dia sengaja berdiri di sana karena sedang menunggu Jean.Yup, kali ini mereka harus bicara. Dia tidak mau digantung dengan ketidakpastian seperti sekarang."Kak Je—" Nilam menutup mulutnya. Dia bisa saja meneruskan panggilannya. Tapi sayangnya, saat melihat Qila, dia reflek merungkan niatnya. 'Enggak Nilam! Lo nggak boleh egois. Kalau lo buat keributan di sini, kasian nanti sama Qila.''Tahan Nilam! Tahan!'Gadis dengan rambut di ikat di belakang tengkuk itu memilih untuk menjauh dan mengawasi Jean dengan sembunyi-sembunyi.Gadis itu memperhatikan ketiga orang tersebut yang sibuk menata barang yang mereka beli dan memasukkannya ke bagasi. Ia mengintip Jean dari kejauhan dengan gaya lucu karena beberapa kali hampir ketahuan. "Kali ini, lo nggak akan gue lepasin kak," gumam Nilam pada dirinya sendiri.*Nilam itu super nekat kalau sudah ada kemauan. Apa yang jadi tujuannya, benar-benar h
"Kenapa baru sekarang?"Pertanyaan Elisha barusan membuat Jean kembali melirik ke arahnya."Kenapa nggak dari dulu kamu cari kerjaan yang tepat? Kenapa harus nunggu kita cerai dulu?""Emang penting bahas itu sekarang?" tukas Jean balik. "Bukannya kamu juga udah nyaman sama selingkuhan kamu.""Ya kalau kamu bisa nyukupin semua kebutuhanku dan Qila, mana mungkin dulu aku selingkuh." Elisha membalas sindiran Jean dengan kalimat barusan. Berharap Jean paham kalau dia turut andil dengan segala perbuatan yang dulu pernah ia lakukan."Anggap aja kita emang nggak jodoh," tutur Jean lagi. Sesekali pandangan matanya tertuju ke arah Qila yang sedang bermain dengan sangat riang tak jauh darinya.Elisha berdecak. Dia kadang tidak bisa memahami dengan betul isi kepala mantan suaminya ini."Oh ya, omong-omong soal Qila. Lain kali kalau mau ajak pergi jangan dadakan! Soalnya aku nggak bisa tiba-tiba ijin cuti gitu aja!""Ya harusnya kamu nggak perlu ikut kan? Toh, Qila pergi sama Papanya sendiri." Ia
"Ahh!" Nilam tersentak saat jari Dikta mulai menggerilya di area sensitifnya. Menggosok bibir kewanitaannya hingga membuat Nilam was-was."Di sini ada yang basah, Nilam."Gadis itu menggelengkan kepalanya. Menatap Dikta yang menyeringai puas ke arahnya."Kayaknya bagian ini minta dipuasin juga.""Diam! Jangan macam-macam lo!""Makanya, jangan cari gara-gara.""Di— Dikta jangan! Jangan! Aku mohon—" Nilam kian panik saat Dikta mulai melucuti dalamannya. Ia berusaha menutupi miliknya yang jadi pusat perhatian Dikta dengan tangannya. Tapi tentu saja, hal itu sama sekali tidak berpengaruh pada Dikta. Lelaki itu dengan mudah mencengkram kedua tangan Nilam dan menaruhnya di atas kepala.Rudal miliknya sudah siap menerobos masuk lubang surgawi milik Nilam. Tapi belum sempat itu terjadi, seseorang memanggil namanya dari arah luar."Pak! Pak Dikta! Pak Dikta!""PAK!!!!"Pemuda itu tersentak dari lamunann
"Kenapa baru sekarang?"Pertanyaan Elisha barusan membuat Jean kembali melirik ke arahnya."Kenapa nggak dari dulu kamu cari kerjaan yang tepat? Kenapa harus nunggu kita cerai dulu?""Emang penting bahas itu sekarang?" tukas Jean balik. "Bukannya kamu juga udah nyaman sama selingkuhan kamu.""Ya kalau kamu bisa nyukupin semua kebutuhanku dan Qila, mana mungkin dulu aku selingkuh." Elisha membalas sindiran Jean dengan kalimat barusan. Berharap Jean paham kalau dia turut andil dengan segala perbuatan yang dulu pernah ia lakukan."Anggap aja kita emang nggak jodoh," tutur Jean lagi. Sesekali pandangan matanya tertuju ke arah Qila yang sedang bermain dengan sangat riang tak jauh darinya.Elisha berdecak. Dia kadang tidak bisa memahami dengan betul isi kepala mantan suaminya ini."Oh ya, omong-omong soal Qila. Lain kali kalau mau ajak pergi jangan dadakan! Soalnya aku nggak bisa tiba-tiba ijin cuti gitu aja!""Ya har