"Maafkan aku. Tak seharusnya aku berlarian ketika tubuhku basah kuyup, aku benar-benar ceroboh karena hampir jatuh dan membuatmu cedera seperti ini." Dengan perasaan bersalah, Esme membantu membuka kaos basah yang dipakai Sebastian. Mengelap tubuh pria itu dengan handuk kering sebelum kemudian memasang koyo di bahu pria itu yang cedera karena menarik tubuhnya agar tak terjatuh. "Seharusnya kau tak perlu menarik tubuhku seperti tadi. Seharusnya kau biarkan saja aku terjatuh, mungkin kau tak akan cedera seperti ini." Sebastian mengulas senyum di wajahnya. "Aku baik-baik saja, sungguh. Bahuku hanya sedikit keseleo tapi itu bukanlah hal yang perlu kau khawatirkan. Kau sudah menempelkan koyo dan itu akan segera membuatku merasa lebih baik," ujarnya berusaha menenangkan Esme. Sebab, saat ini perrempuan itu menatapnya dengan kedua mata yang bekaca-kaca, siap menangis karena merasa bersalah. "Kau tak boleh berbohong tentang kau yang baik-baik saja padahal rasanya pasti bahumu sakit sekali."
Sarah diam-diam memperhatikan Sebastian dari meja kerjanya. Ruangan di divisi ini hampir kosong karena semua orang sudah pergi makan siang, kecuali Sarah dan Sebastian yang tampak masih sibuk dengan komputernya."Pak Sebastian, apa anda tidak pergi keluar untuk makan siang?" tanya Sarah yang dengan berani tanpa sekalipun merasa canggung. Dia dengan percaya diri berjalan masuk dan mendekat kearah meja Sebastian dan berdiri di hadapan pria itu tak sekalipun peduli dengan sopan santunnya sebagai karyawan baru. "Apa anda sudah makan siang?"Mendengar Sebastian menoleh dengan senyum ramah. "Belum, sebenarnya. Mengapa?"Sarah tersenyum. "Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Aku baru saja menemukan tempat yang bagus di dekat sini."Sebastian terdiam sejenak, merasa terkejut dengan sikap Sarah yang cukup berani seperti itu, lalu kemudian dia pun mengangguk. "Terima kasih, Sarah atas tawaranmu. Pergilah makan siang sebelum kehabisan waktu, aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku."Sarah
Esme melangkah dengan cepat, nafasnya agak tersengal karena keinginannya untuk menyusul Oliver secepat mungkin. Ketika dia akhirnya berhasil menyusulnya, dia menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Oliver," panggilnya dengan suara yang agak terengah-engah.Mendengar panggilan itu, Oliver berhenti berjalan dan menolehkan wajahnya dengan bingung. "Apa yang membuatmu seheboh ini, Esme?" tanyanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran dan rasa ingin tahu.Esme tersenyum lebar dan bergegas menghampiri Oliver, matanya berbinar-binar dengan antusiasme yang hampir sulit untuk disembunyikan. "Aku punya sesuatu untuk Lena," ucapnya, suaranya gemetar karena kegembiraan yang meluap-luap.Mendengar hal itu, ekspresi wajah Oliver berubah menjadi campuran antara keheranan dan kegembiraan. "Apa itu?" tanyanya dengan rasa ingin tahu yang sama seperti yang dirasakan oleh Esme.Esme dengan senang hati menyodorkan kotak kecil yang dibungkus rapi dengan pita warna-warni kepada O
Oliver pulang terlambat malam itu. Langit gelap di luar, dan hanya beberapa lampu di mansion yang masih menyala, memberikan kesan yang tenang dan hangat. Saat masuk ke dalam rumah, Oliver disambut oleh maid yang selalu setia berdiri di dekat pintu dengan senyum ramah."Selamat malam, Tuan Eduardo," sapanya lembut."Selamat malam," jawab Oliver dengan lelah. "Di mana Lena?"Maid itu tersenyum penuh pengertian. "Nyonya Blade sudah tidur di kamar, Tuan. Dia tampak sangat lelah hari ini."Oliver mengangguk, mengucapkan terima kasih singkat sebelum melangkah menuju kamarnya. Lorong-lorong mansion terasa sunyi, hanya terdengar langkah kaki Oliver yang teredam oleh karpet tebal. Dia berhenti sejenak di depan pintu kamar, menghela napas pelan, lalu dengan hati-hati membuka pintu.Di dalam kamar yang remang-remang, lampu tidur di sudut ruangan memancarkan cahaya hangat yang lembut. Di tempat tidur, Lena tampak terlelap, wajahnya tenang dan damai. Oliver memperhatikan bahwa Lena memeluk kemejany
Pada hari libur yang cerah itu, Esme dan Sebastian duduk di meja makan, memandangi peta besar yang terbentang di depan mereka. Matahari pagi memancar masuk melalui jendela dapur, memberikan kehangatan dan suasana yang menyenangkan. Esme, dengan rambut cokelatnya yang tergerai, tampak bersemangat menunjuk beberapa destinasi di peta, sementara Sebastian, dengan senyum tenangnya, mengangguk setuju dengan beberapa usulan Esme."Bagaimana kalau kita ke pantai ini, Sebastian? Pasirnya putih dan lautnya biru jernih. Pasti menyenangkan," kata Esme dengan antusias, menunjuk sebuah pantai eksotis di peta.Sebastian mengangguk sambil tersenyum. "Itu terdengar sempurna, Esme. Aku sudah lama ingin kembali menghabiskan waktu santai di pantai."Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan perencanaan, Matthew berlari masuk ke dapur dengan wajah ceria. Rambut pirangnya berantakan dan pipinya memerah karena berlari-lari di halaman. Dengan mata yang berbinar-binar, dia langsung bergabung dengan mereka di mej
Di kantor yang sibuk pada hari Senin pagi, Sarah duduk di mejanya dengan mata yang terus-menerus melirik ke arah ruangan Oliver. Rambut pirangnya terurai rapi, dan dia mengenakan pakaian kerja super ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Kantor dipenuhi dengan suara telepon berdering, bunyi keyboard yang terus-menerus ditekan, dan suara percakapan rekan kerja yang sibuk membahas proyek mereka.Sarah mengambil napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberaniannya. Hari ini, dia memutuskan untuk mengambil langkah besar. Sudah lama dia menyimpan perasaan untuk Oliver, dan setiap kali mereka bertemu, jantungnya selalu berdegup lebih cepat. Oliver, dengan penampilan profesionalnya yang rapi dan karisma alami, selalu menarik perhatian di kantor.Akhirnya, Sarah berdiri dari kursinya dan dengan langkah pasti menuju ke ruang Oliver. Dia mengetuk pintu dan mendengar suara Oliver yang ramah menyuruhnya masuk."Silakan masuk, Sarah," kata Oliver, tersenyum padanya sambil menyelesaikan beberapa
Rasa malu dan juga kecewa yang dirasakan Sarah imbas dari penolakan Oliver membawanya menuju salah satu bar sepulang dari kantor. Masih dengan setelan kerja yang sengaja dibuat super ketat, Sarah duduk di salah satu sudut dengan segelas wine di tangan.Sepasang mata wanita itu mengamati sekitar yang penuh ingar bingar. Suasana seramai itu pun tidak mampu menutupi kekosongan hatinya.Mengesah berat, Sarah mendekatkankan gelas tersebut ke bibir lantas menyesap isinya hingga tandas."Sial! Suasana seperti ini saja tidak bisa membuatku lupa dengan rasa sakit yang kurasakan. Tuan Eduardo, sebenarnya apa yang kurang dariku? Aku bahkan rela menjatuhkan harga diri dengan menjadi istri kedua, tapi tetap saja ditolak." Sarah menelungkupkan kepalanya ke atas meja sembari menceracau."Aku juga cantik. Jauh lebih seksi dari istrimu itu. Memuaskanmu di ranjang pun aku pasti mampu. Sepuluh ronde kalau perlu."Ocehan Sarah terus melantur ke mana-mana. Merutuki nasib nahas yang dialami. Sekalinya jatu
Mobil yang dikendarai Oliver memasuki garasi rumah mewahnya. Pria bertubuh tegap itu langsung bergegas masuk untuk menemui sang istri. Entah mengapa hari ini ia begitu merindukan Lena setelah seharian pergi bekerja. Rasa rindu yang tak biasa pada Lena tiba-tiba saja muncul setelah ia mendapatkan pernyataan cinta dari Sarah yang merupakan salah satu pegawai di perusahaannya. "Sayang, Kamu di mana?" Oliver mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamarnya, tapi ia tidak menemukan Lena. "Huft ... di mana dia?" keluh Oliver sambil mengembus napas kasar dan mengacak rambutnya karena sepertinya ia cukup frustrasi.Tadinya Oliver sudah berandai-andai akan langsung memeluk Lena dengan sangat erat setelah ia menemukan istrinya. Ia ingin segera mencurahkan perasaan rindunya yang sudah tak tertahan sejak tadi. "Mengapa Kamu terlihat sangat frustrasi? Ada apa dengan rambut berantakanmu itu?" Tiba-tiba saja Lena muncul di belakang Oliver. Di tangannya ada segelas teh panas yang asapnya masih meng
Kali pertama dalam hidupnya, Vincent baru merasakan kalau melihat langit biru dengan awan putih yang bergerak ternyata begitu membahagiakan setelah ia bebas dari penjara. Dulu, sebelum hidupnya jungkir balik seperti sekarang, Vincent tidak pernah merasa bersyukur pada hal sekecil apa pun yang ia dapatkan. Fokus Vincent pada hal besar serta hal-hal yang belum ia dapatkan sehingga ia melupakan hal yang sudah ia punya dan raih selama ini. “Udara pagi ini terasa begitu segar. Tidak pernah kudengar kicauan burung semerdu ini.” Vincent berkata pada dirinya sendiri sembari tersenyum kecut. Hari-hari yang ia lewati sebelum hari ini adalah hari penyiksaan. Hidup di penjara bagaikan neraka. Hanya jeruji besi, atap, baju dan selimut tipis yang menemani Vincent selama di penjara. Hidup Vincent di penjara tidak pernah menyenangkan. Ia dipaksa oleh keadaan untuk menyesuaikan diri. Mengerjakan pekerjaan kasar yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Menyapu, mencuci, membersihkan
"Sayang, apa kamu sudah siap?" teriak Esme dari dapur. Wanita itu tampak sibuk menata bekal untuk anak-anaknya dan juga untuk Sebastian tentunya. Karena tidak mendengar jawaban apa pun, Esme menjeda terlebih dahulu kegiatannya dan berjalan untuk masuk ke kamar putrinya. Dia takut kalau ada yang perlu dibutuhkan oleh putrinya. "Kamu perlu bantuan?" tanya Esme saat baru membuka pintu kamar putrinya. Gisel, gadis berusia sembilan tahun itu masih berdiri di depan cermin dengan seragam sekolahnya itu tersenyum manis. "Sebenarnya aku ingin bersiap sendiri tanpa bantuan Mama, tapi sepertinya aku tetap ingin dibantu. Lihat, terlihat masih belum rapi, kan?" tanya Gisel sambil melihat seragamnya yang kusut. Esme tersenyum, lalu mendekati putrinya itu. Dengan cekatan dia membantu merapikan seragam yang sudah dipakai Gisel agar terlihat lebih rapi. "Anak gadis Mama rupanya ingin belajar lebih mandiri, ya. Seragamnya sudah cukup rapi, Mama hanya perlu membenarkan sedikit saja," tuturnya. Gi
"Sayang!" Lena berseru saat keluar kamar menuju ruang tamu, membawa perutnya yang kini sudah sebesar semangka lalu duduk di samping Oliver. "Apa, Sayang?" tanya Oliver tanpa menghentikan gerakan tangannya menggulir tab. Kurang dari lima belas menit lagi dia harus berangkat ke kantor, tetapi sampai sekarang masih sibuk mengurusi materi meeting siang nanti. "Lihat ini dulu sebentar." Lena menyodorkan ponselnya hingga menutupi layar tab. Membuat si empunya menghela napas pasrah dan terpaksa menekan tombol home. Pada layar ponsel Lena, terpampang gambar sebuah taman bunga. Sebagian besar isinya diisi oleh bunga mawar, sedangkan yang lain Oliver tidak paham. Lelaki itu mengangkat sebelah alis sembari bertanya, "kamu mau ke situ? Memang itu di mana? Dalam negeri atau luar negeri? Nanti kita ke situ setelah kamu melahirkan dan anak kita cukup besar." "Aku maunya lihat sekarang!" Lena cemberut dan langsung membelakangi tubuh Oliver. "Iya, tapi ...." Belum sempat Oliver menyelesa
Pagi ini kediaman Oliver lebih ramai daripada biasanya. Banyak orang berlalu lalang untuk mempersiapkan acara tujuh bulanan Lena yang akan dilaksanakan sore nanti. Oliver mempersiapkan acara ini dengan sangat matang. Dia menyewa vendor terbaik untuk membantu terselenggaranya acara. Ruang keluarga yang luas disulap dengan dekorasi cantik yang penuh dengan bunga karena Lena menyukai itu. Oliver sengaja memesan semua bunga segar. Ada mawar, tulip, lili, ester hingga bunga matahari. Semua itu ditata dengan begitu apik. Membuat acara perayaan kehamilan Lena yang sudah memasuki usia tujuh bulan itu semakin terasa meriah. Di sisi kiri dan kanan ruangan juga ditata dengan meja yang sudah dihias. Nantinya meja tersebut akan diisi dengan aneka minuman, dessert serta hidangan utama. Tentu saja Oliver memesan semua hidangan terbaik dan memanjakan lidah. Awalnya Lena menginginkan acara digelar di halaman belakang tetapi Oliver tidak setuju mengingat cuaca sekarang yang tidak menentu.
Mobil Sebastian sudah berhenti di depan rumah Oliver, pria itu turun dari mobil dan menekan bel. Suasana rumah masih terlihat sepi, sepertinya dia datang terlalu pagi, tapi jika dia tidak datang pagi-pagi takutnya Matthew nanti merepotkan.Setelah menekan bel dua kali, akhirnya Oliver sendiri yang membukakan pintu. Dari wajahnya, Oliver baru bangun tidur."Oh, kamu rupanya. Aku kira siapa," ucap Oliver dengan suara serak lhas orang baru bangun tidur."Maaf aku datang pagi sekali. Sebenarnya aku ingin menjemput Matthew kemarin malam, tapi aku pulang terlalu larut. Jadi kupikir lebih baik aku menjemput pagi ini saja agar tidak mengganggu kalian." Sebastian merasa tidak enak.Oliver tersenyum. "Tidak masalah. Ayo masuk."Lena juga baru saja beranjak dari sofa, wanita itu menggulung rambutnya agar lebih rapi. "Kamu datang pagi sekali, Matthew masih di kamar dan sepertinya dia belum bangun," ucapnya."Aku akan menggendongnya saja, tid
Malam ini Matthew tidur di tengah-tengah Oliver dan Lena sebab Sebastian dan Esme mengatakan akan menghabiskan waktu berdua saja di hotel sebagai perayaan. Tentu saja keputusan itu disambut baik dengan mereka berdua karena Oliver sudah menganggap Matthew sebagai putranya sendiri. "Apa kau senang bisa tidur bersama kami?" tanya Oliver. "Tentu saja aku sangat senang sekali!" jawab Matthew antusias. "Baguslah. Kau memang anak pintar," puji Oliver sembari mengusap lembut kepala Matthew. Di sisi lain, Lena senyum-senyum sendiri sambil menatap ke arah suaminya dan Matthew secara bergantian. Sepertinya Lena sangat bahagia dengan situasi sekarang ini. Siapa sangka sikapnya tersebut ternyata disadari oleh Oliver. "Sepertinya ada yang senang juga di sini selain Matthew," celetuk Oliver. Lena sedikit terkejut ketika Oliver menegurnya. Namun, ia tak dapat menyangkal jika ia memang sangat senang.
Puas mengobrol sekaligus menemani istri tuan rumah, Sebastian mengajak Esme pulang. Karena Lena masih belum pulih, Oliverlah yang kebagian mengantar tamunya hingga ke depan pintu.Esme menggandeng tangan Matthew di depan sedangkan Sebastian dan Oliver berjalan di belakang. Kedua lelaki berbeda usia itu kembali membahas mengenai rencana Sebastian melamar."Apa kamu sudah melamar Esme secara resmi? Atau baru sebatas obrolan biasa?" tanya Oliver."Aku belum melamarnya secara resmi. Baru mengutarakan niat kemarin saat kami berbaikan," sahut Sebastian. it"Ah, seperti itu. Tidak apa-apa, itu pun sudah menjadi langkah awal yang bagus. Setidaknya, Esme jadi tahu kalau kamu serius dengan hubungan kalian."Oliver menepuk pundak Sebastian. Memuji keberanian lelaki itu."Aku selalu serius dengan Esme. Walaupun kami beberapa kali bertengkar, tetapi aku tidak pernah memiliki niat meninggalkan."Tatapan mata Sebastian fokus pada dua o
Begitu mendengar kabar bahwa Lena telah diperbolehkan pulang oleh dokter, Esme langsung berinisiatif untuk pergi ke rumah wanita itu dan menolongnya beberes. Esme yakin walaupun di rumah nanti Lena akan banyak dibantu oleh pembantunya, tapi tetap saja dia pasti membutuhkan support system dari sahabatnya. Esme ke sana tentu saja tidak seorang diri. Matthew dan Sebastian juga ikut menemani. Sejak meminta maaf kepada Sebastian atas kesalahannya tempo hari, dada dan pundak Esme terasa lebih ringan, seolah beban berat yang ia pikul selama ini menghilang dalam sekejap. Apalagi setelah Sebastian mengutarakan niatnya kepada Esme untuk mengikat hubungan mereka ke jenjang pernikahan, hidup Esme terasa berubah. Ia jauh lebih bahagia, tenang dan selalu tersenyum. Yang paling bahagia tentu saja Matthew. Meskipun mereka belum bilang secara langsung kepada bocah tujuh tahun itu, tapi dengan kehadiran Sebastian yang lebih sering dari sebel
Setelah lama di rumah sakit, Lena akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Oliver sengaja menyewa banyak pengawal tambahan untuk mengawal kepulangannya dan Lena. Istrinya itu sampai terheran melihat semua pengawalnya."Kenapa kamu sampai menyewa banyak sekali pengawal?" tanya Lena saat sudah berada di dalam mobil dan melihat mobilnya dikelilingi.Oliver menggenggam tangan Lena dengan lembut. "Aku melakukan itu untuk keselamatanmu, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu lagi.""Tapi bukankah ini terlalu berlebihan?""Tidak, ini semua normal."Lena tidak bisa membantah lagi, jika Oliver sudah melakukan sesuatu tidak ada gunanya berdebat lagi. Toh juga ini semua juga untuk keselamatannya dan juga calon bayinya.Setelah perjalanan beberapa menit dari rumah sakit, akhirnya rombongan mobil sampai juga di kediaman Oliver, saking banyaknya seperti ada iring-iringan.Tidak kalah banyak pengawal saat perjalanan, di rumah pun Oliver me