"Kepalaku benar-benar sakit," keluh Lena saat maid datang ke kamarnya setelah membawakan semangkuk sup ayam dan teh hangat.Sudah dua minggu lamanya Oliver pergi untuk perjalanan bisnisnya, Lena benar-benar merasa kesepian terlebih ketika kondisinya sedang sakit seperti ini. "Bisakah kau memberiku obat? Aku benar-benar tak bisa menahan sakit kepalaku lagi."Maid itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Saya tidak bisa melakukan itu, nona Blade. Anda sudah makan, selebihnya istirahat yang cukup atau lebih baik minum chamomilenya selagi masih hangat, itu bisa sedikit menenangkan rasa sakit kepala anda. Lagipula sakit kepala yang terjadi pada anda disebabkan oleh demam. Biar saya ambilkan kompres air hangat untuk meredakan demam anda."Tanpa banyak bicara lagi, Maid itu pun bergegas pergi meninggalkan Lena yang sedari tadi hanya mengaduh kesakitan. Sebenarnya tak sesakit itu, tapi tetap saja Lena merasa tak nyaman dengan kondisinya saat ini. Kepalanya terasa berdenyut nyeri disertai deng
"Anda terlihat resah, ada masalah apa?" tanya Maid ketika membantu Lena mandi. "Apa anda merasa sakit?" Lena menggelengkan kepalanya, sementara keresahan kian terlihat jelas di wajahnya. "Aku tak merasa sakit. Tapi aku benar-benar takut. Ketika beberapa hari aku menjalani pemeriksaan dengan dokter, dokter bilang keadaanku baik-baik saja begitu juga dengan janinnya. Dokter hanya memintaku untuk berhenti mengonsumsi obat pereda nyeri itu. Tapi ini aneh..." "Aneh?" "Iya, ini aneh... sudah dua hari ini aku tak merasakan bayi di dalam perutku bergerak. Padahal biasanya dia sangat aktif menendang dan bergerak setiap waktu. Apa menurutmu ini adalah hal yang umum terjadi?" Lena menolehkan wajahnya menatap maid itu meminta pendapat. Pupil mata maid itu sseketika melebar dan menatap Lena dengan tatapan terkejut, membuat Lena jadi semakin risau. "Kenapa ekspresi wajahmu seperti itu, jangan membuatku takut." Maid itu pun mulai mengendalikan ekspresi wajahnya dan menghela napas berat untuk me
"Kau membunuh anakku hanya karena sejak awal kau tak menginginkannya?" tuduh Oliver. Dia memandangi Lena dengan tatapan sedih dan penuh kekecewaan besar. Lena tak menjawab. Di tempat tidurnya, dengan selang infus yang terpasang pada tangan, Lena hanya menundukan kepalanya.Wajahnya sembab dengan kelopak mata yang merah dan bengkak karena terlalu lama menangis. Tatapannya kosong."Tuan, ini tak seperti yang anda pikirkan. Nona Blade hanya tidak tahu kalau-" maid itu tak melanjutkan kalimatnya ketika Oliver membuat gerakan menghalau."Aku tak sedang bicara padamu. Sebaiknya kau keluar, ini urusanku dengan istriku," tegasnya begitu marah.Maid itu hanya tertunduk patuh dan dengan berat hati melangkah keluar ruangan. Sebelum menutup pintu itu rapat-rapat, maid itu pun lebih dulu melirik ke arah Lena dengan tatapan iba."Jawab aku Aralena, apa kau sengaja membunuh putraku agar kau bisa segera memenuhi keinginanmu untuk menemui Vincent?"Lena masih bungkam."Jawab aku Lena!" bentak Oliver
Luka caesar di perutnya masih berdenyut nyeri juga payudara yang membengkak karena hormon di tubuhnya masih menganggap bahwa janin seharusnya masih tumbuh di rahimnya."Maafkan saya nona Blade, saya tak bisa melakukan apapun selain benar-benar mengantarkan anda ke Bandara..." ucap sopir pribadi Oliver yang melirik Lena dengan rasa bersalah melalui kaca spion tengah.Lena menyeka air matanya dan mengangguk lemah. "Tak perlu merasa bersalah, ini bukan salahmu. Ini memang sudah seharusnya terjadi karena aku yang ingin pergi. Aku menangis karena merasa terkejut, itu saja."Air mata kembali meleleh membasahi pipi Lena tanpa aba-aba. Sehingga untuk kesekian kalinya Lena menyeka airmatanya.Kepulangan yang mendadak dan penerbangan yang sudah diatur oleh Oliver ini seharusnya membuat Lena bahagia, sebab kepulangan ini adalah hal yang sudah lama sekali dia idam-idamkan. Tapi anehnya Lena justru tak merasa bahagia sama sekali, dia justru merasa sangat sedih sampai-sampai tak kuasa menahan air m
"Ada apa dengan perutmu? Apa kau sakit?" tanya Vincent seraya menatap penuh khawatir ke arah perut Lena yang masih membuncit. Sedangkan Lena menggelengkan kepalanya untuk menjawab tidak."Ceritanya panjang." Lena tersenyum canggung ketika mengatakan jawabannya itu.Sejenak, Vincent tampak menatap Lena lekat-lekat, seolah memastikan sesuatu. Sampai akhirnya dia pun mengangguk mengerti."Aku sangat merindukanmu. Apa kau pulang demi diriku, Lena?" tanyanya."Iya, Vincent... aku pulang demi dirimu." Garis bibir Vincent pun melengkung membentuk senyuman termanis yang pernah dia punya. Sarat akan rasa bahagia. Kemudian, sekali lagi dia memeluk Lena dan menghidu aroma tubuh perempuan itu dalam-dalam."Aku sangat merindukanmu, Aralena. Aku pikir... aku pikir kita tak akan bertemu lagi."Lena balas memeluk pelukan itu dan menumpahkan segala kerinduannya pada Vincent yang selama ini dia pendam. "Aku tak mungkin melakukan hal itu. Aku pulang menemuimu," ucapnya."Ayo kita bicara di dalam, sayan
"Apa kau yakin ingin pulang selarut ini?" tanya Vincent memastikan. "Kau pergi hampir satu tahun lamanya, rumahmu pasti kotor karena telah lama ditinggalkan. Apa tak sebaiknya kau menginap saja di rumahku? Maksudku... kau bisa tidur di kamar tamu jika kau tak nyaman jika harus tidur di kamarku," lanjutnya. Kali ini Vincent kembali pada Vincent yang bersikap manis. Tak seperti sebelumnya, setelah Lena menegaskan bahwa perasaan cintanya untuk Vincent tak pernah berubah, dan seketika itu pula Vincent tak lagi memojokannya dengan kalimat-kalimat kejam yang pria itu katakan. "Maaf Vincent... sebaiknya aku menginap saja di hotel untuk malam ini saja lalu besok aku akan pulang untuk membersihkan rumahku. Aku harap kau tak tersinggung," jawab Lena dengan hati-hati. Kemudian dia menatap Risau ke arah Vincent. Setelah melihat bagaimana bengisnya pria itu ketika marah, membuat Lena ketakukan sehingga dia jadi berhati-hati ketika berbicara dengan pria itu untuk pembahasan sensitif seperti ini.
Sepanjang malam itu Lena tak bisa tidur. Tiap kali dia memejamkan mata, maka pada detik itu pula dia melihat wajah tampan anak laki-lakinya yang tak bernyawa, juga... wajah kecewa Oliver terhadapnya. Dadanya terasa sesak dan sakit melihat bayangan itu, sehingga dia memutuskan untuk tak tidur. Dia tetap terjaga, sambil sesekali mengecek ponselnya. Entah dapat bisikan darimana, tapi dia berharap saat itu ponselnya berdering karena panggilan telepon yang datang dari Oliver. "Kau pasti sudah gila karena mengharapkan panggilan telepon darinya," gumam Lena menghardik dirinya sendiri. "Oliver tak akan lagi menghubungimu seperti biasanya setelah kau menghancurkannya dengan cara mengerikan, Lena." Berulang kali Lena menghela napas kasar. Dia menaruh ponselnya itu di samping bantalnya dan kemudian memandanginya dengan tatapan nanar. Padahal baru sehari dia di negeri kelahirannya, tapi dia tak merasakan kenyamanan yang diharapkannya. "Ada yang tak beres dengan hati dan otakku," gumam Lena. K
"Rasanya seperti aku adalah manusia paling bodoh di dunia ini," cicitnya. "Aku merasa begitu percaya diri kalau aku tahu segala hal tentang pria yang akan ku nikahi, padahal aku tak tahu apapun."Penyesalan hanya tinggal penyesalan. Lena pulang ke kamar hotelnya dengan perasaan hampa. Dulu dia merasa sangat benci dan muak ketika Oliver mengatakan hal-hal jahat yang Vincent lakukan, tapi setelah hari ini dia membuktikannya sendiri... Lena merasa luar biasa terluka. Sampai-sampai yang dia rasakan bukan lagi sedih ataupu kecewa, tapi kekosongan yang mengerikan.Dengan langkah gontai, dia menuju tempat tidurnya dan menghempaskan tubuhnya ke atas sana. Beberapa kali helaan napas kasar terdengar dari Lena, sebelum kemudian perempuan itu menutup kedua mata menggunakan lengannya."Sialan," rutuknya. "Setelah berbuat kejam pada pria yang mencintaiku, aku juga harus kehilangan rassa cinta pada pria yang selama ini aku impikan."Suasana kamar itu cukup hening ketika Lena berhenti bicara. Membuat
Kali pertama dalam hidupnya, Vincent baru merasakan kalau melihat langit biru dengan awan putih yang bergerak ternyata begitu membahagiakan setelah ia bebas dari penjara. Dulu, sebelum hidupnya jungkir balik seperti sekarang, Vincent tidak pernah merasa bersyukur pada hal sekecil apa pun yang ia dapatkan. Fokus Vincent pada hal besar serta hal-hal yang belum ia dapatkan sehingga ia melupakan hal yang sudah ia punya dan raih selama ini. “Udara pagi ini terasa begitu segar. Tidak pernah kudengar kicauan burung semerdu ini.” Vincent berkata pada dirinya sendiri sembari tersenyum kecut. Hari-hari yang ia lewati sebelum hari ini adalah hari penyiksaan. Hidup di penjara bagaikan neraka. Hanya jeruji besi, atap, baju dan selimut tipis yang menemani Vincent selama di penjara. Hidup Vincent di penjara tidak pernah menyenangkan. Ia dipaksa oleh keadaan untuk menyesuaikan diri. Mengerjakan pekerjaan kasar yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Menyapu, mencuci, membersihkan
"Sayang, apa kamu sudah siap?" teriak Esme dari dapur. Wanita itu tampak sibuk menata bekal untuk anak-anaknya dan juga untuk Sebastian tentunya. Karena tidak mendengar jawaban apa pun, Esme menjeda terlebih dahulu kegiatannya dan berjalan untuk masuk ke kamar putrinya. Dia takut kalau ada yang perlu dibutuhkan oleh putrinya. "Kamu perlu bantuan?" tanya Esme saat baru membuka pintu kamar putrinya. Gisel, gadis berusia sembilan tahun itu masih berdiri di depan cermin dengan seragam sekolahnya itu tersenyum manis. "Sebenarnya aku ingin bersiap sendiri tanpa bantuan Mama, tapi sepertinya aku tetap ingin dibantu. Lihat, terlihat masih belum rapi, kan?" tanya Gisel sambil melihat seragamnya yang kusut. Esme tersenyum, lalu mendekati putrinya itu. Dengan cekatan dia membantu merapikan seragam yang sudah dipakai Gisel agar terlihat lebih rapi. "Anak gadis Mama rupanya ingin belajar lebih mandiri, ya. Seragamnya sudah cukup rapi, Mama hanya perlu membenarkan sedikit saja," tuturnya. Gi
"Sayang!" Lena berseru saat keluar kamar menuju ruang tamu, membawa perutnya yang kini sudah sebesar semangka lalu duduk di samping Oliver. "Apa, Sayang?" tanya Oliver tanpa menghentikan gerakan tangannya menggulir tab. Kurang dari lima belas menit lagi dia harus berangkat ke kantor, tetapi sampai sekarang masih sibuk mengurusi materi meeting siang nanti. "Lihat ini dulu sebentar." Lena menyodorkan ponselnya hingga menutupi layar tab. Membuat si empunya menghela napas pasrah dan terpaksa menekan tombol home. Pada layar ponsel Lena, terpampang gambar sebuah taman bunga. Sebagian besar isinya diisi oleh bunga mawar, sedangkan yang lain Oliver tidak paham. Lelaki itu mengangkat sebelah alis sembari bertanya, "kamu mau ke situ? Memang itu di mana? Dalam negeri atau luar negeri? Nanti kita ke situ setelah kamu melahirkan dan anak kita cukup besar." "Aku maunya lihat sekarang!" Lena cemberut dan langsung membelakangi tubuh Oliver. "Iya, tapi ...." Belum sempat Oliver menyelesa
Pagi ini kediaman Oliver lebih ramai daripada biasanya. Banyak orang berlalu lalang untuk mempersiapkan acara tujuh bulanan Lena yang akan dilaksanakan sore nanti. Oliver mempersiapkan acara ini dengan sangat matang. Dia menyewa vendor terbaik untuk membantu terselenggaranya acara. Ruang keluarga yang luas disulap dengan dekorasi cantik yang penuh dengan bunga karena Lena menyukai itu. Oliver sengaja memesan semua bunga segar. Ada mawar, tulip, lili, ester hingga bunga matahari. Semua itu ditata dengan begitu apik. Membuat acara perayaan kehamilan Lena yang sudah memasuki usia tujuh bulan itu semakin terasa meriah. Di sisi kiri dan kanan ruangan juga ditata dengan meja yang sudah dihias. Nantinya meja tersebut akan diisi dengan aneka minuman, dessert serta hidangan utama. Tentu saja Oliver memesan semua hidangan terbaik dan memanjakan lidah. Awalnya Lena menginginkan acara digelar di halaman belakang tetapi Oliver tidak setuju mengingat cuaca sekarang yang tidak menentu.
Mobil Sebastian sudah berhenti di depan rumah Oliver, pria itu turun dari mobil dan menekan bel. Suasana rumah masih terlihat sepi, sepertinya dia datang terlalu pagi, tapi jika dia tidak datang pagi-pagi takutnya Matthew nanti merepotkan.Setelah menekan bel dua kali, akhirnya Oliver sendiri yang membukakan pintu. Dari wajahnya, Oliver baru bangun tidur."Oh, kamu rupanya. Aku kira siapa," ucap Oliver dengan suara serak lhas orang baru bangun tidur."Maaf aku datang pagi sekali. Sebenarnya aku ingin menjemput Matthew kemarin malam, tapi aku pulang terlalu larut. Jadi kupikir lebih baik aku menjemput pagi ini saja agar tidak mengganggu kalian." Sebastian merasa tidak enak.Oliver tersenyum. "Tidak masalah. Ayo masuk."Lena juga baru saja beranjak dari sofa, wanita itu menggulung rambutnya agar lebih rapi. "Kamu datang pagi sekali, Matthew masih di kamar dan sepertinya dia belum bangun," ucapnya."Aku akan menggendongnya saja, tid
Malam ini Matthew tidur di tengah-tengah Oliver dan Lena sebab Sebastian dan Esme mengatakan akan menghabiskan waktu berdua saja di hotel sebagai perayaan. Tentu saja keputusan itu disambut baik dengan mereka berdua karena Oliver sudah menganggap Matthew sebagai putranya sendiri. "Apa kau senang bisa tidur bersama kami?" tanya Oliver. "Tentu saja aku sangat senang sekali!" jawab Matthew antusias. "Baguslah. Kau memang anak pintar," puji Oliver sembari mengusap lembut kepala Matthew. Di sisi lain, Lena senyum-senyum sendiri sambil menatap ke arah suaminya dan Matthew secara bergantian. Sepertinya Lena sangat bahagia dengan situasi sekarang ini. Siapa sangka sikapnya tersebut ternyata disadari oleh Oliver. "Sepertinya ada yang senang juga di sini selain Matthew," celetuk Oliver. Lena sedikit terkejut ketika Oliver menegurnya. Namun, ia tak dapat menyangkal jika ia memang sangat senang.
Puas mengobrol sekaligus menemani istri tuan rumah, Sebastian mengajak Esme pulang. Karena Lena masih belum pulih, Oliverlah yang kebagian mengantar tamunya hingga ke depan pintu.Esme menggandeng tangan Matthew di depan sedangkan Sebastian dan Oliver berjalan di belakang. Kedua lelaki berbeda usia itu kembali membahas mengenai rencana Sebastian melamar."Apa kamu sudah melamar Esme secara resmi? Atau baru sebatas obrolan biasa?" tanya Oliver."Aku belum melamarnya secara resmi. Baru mengutarakan niat kemarin saat kami berbaikan," sahut Sebastian. it"Ah, seperti itu. Tidak apa-apa, itu pun sudah menjadi langkah awal yang bagus. Setidaknya, Esme jadi tahu kalau kamu serius dengan hubungan kalian."Oliver menepuk pundak Sebastian. Memuji keberanian lelaki itu."Aku selalu serius dengan Esme. Walaupun kami beberapa kali bertengkar, tetapi aku tidak pernah memiliki niat meninggalkan."Tatapan mata Sebastian fokus pada dua o
Begitu mendengar kabar bahwa Lena telah diperbolehkan pulang oleh dokter, Esme langsung berinisiatif untuk pergi ke rumah wanita itu dan menolongnya beberes. Esme yakin walaupun di rumah nanti Lena akan banyak dibantu oleh pembantunya, tapi tetap saja dia pasti membutuhkan support system dari sahabatnya. Esme ke sana tentu saja tidak seorang diri. Matthew dan Sebastian juga ikut menemani. Sejak meminta maaf kepada Sebastian atas kesalahannya tempo hari, dada dan pundak Esme terasa lebih ringan, seolah beban berat yang ia pikul selama ini menghilang dalam sekejap. Apalagi setelah Sebastian mengutarakan niatnya kepada Esme untuk mengikat hubungan mereka ke jenjang pernikahan, hidup Esme terasa berubah. Ia jauh lebih bahagia, tenang dan selalu tersenyum. Yang paling bahagia tentu saja Matthew. Meskipun mereka belum bilang secara langsung kepada bocah tujuh tahun itu, tapi dengan kehadiran Sebastian yang lebih sering dari sebel
Setelah lama di rumah sakit, Lena akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Oliver sengaja menyewa banyak pengawal tambahan untuk mengawal kepulangannya dan Lena. Istrinya itu sampai terheran melihat semua pengawalnya."Kenapa kamu sampai menyewa banyak sekali pengawal?" tanya Lena saat sudah berada di dalam mobil dan melihat mobilnya dikelilingi.Oliver menggenggam tangan Lena dengan lembut. "Aku melakukan itu untuk keselamatanmu, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu lagi.""Tapi bukankah ini terlalu berlebihan?""Tidak, ini semua normal."Lena tidak bisa membantah lagi, jika Oliver sudah melakukan sesuatu tidak ada gunanya berdebat lagi. Toh juga ini semua juga untuk keselamatannya dan juga calon bayinya.Setelah perjalanan beberapa menit dari rumah sakit, akhirnya rombongan mobil sampai juga di kediaman Oliver, saking banyaknya seperti ada iring-iringan.Tidak kalah banyak pengawal saat perjalanan, di rumah pun Oliver me