Sesampainya di rumah sakit, Lena langsung mendapat penanganan dari dokter dan perawat yang bertugas. Selama itu pula, tidak sedikit pun Oliver beranjak.
Lelaki itu meremas tangannya dengan kalut. Mondar mandir di depan ruangan sembari menunggu hasil pemeriksaan. Lima menit menjadi terasa seperti lima tahun dalam kondisi tersebut.Ponsel yang disimpan Oliver di saku celana mendadak bergetar. Telepon masuk dari Esme pada saat yang tepat."Halo, Esme," panggil Oliver."Oliver, apa yang terjadi? Aku baru saja datang ke rumahmu dan pelayan bilang Lena hilang. Apa kau sudah berhasil menemukannya? Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Esme tanpa basa-basi. Dari cara bicaranya yang cepat dan terburu-buru, Oliver tahu wanita itu juga tidak kalah khawatir."Vincent pelakunya. Saat ini aku sedang berada di rumah sakit dekat pantai. Lena tidak sadarkan diri. Apa kau bisa ke sini sekarang, Esme?" tanya Oliver penuh harap."Bisa. Kebetulan akKejadian tragis yang dialami Lena memberikan efek traumatis luar biasa. Sudah hampir dua hari Lena belum kunjung sadarkan diri. Wanita cantik yang sedang hamil itu hanya terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Sejak pertama kali Lena berada di rumah sakit, Esme selalu berada di sampingnya. Esme bahkan enggan pulang ke rumah karena sangat mengkhawatirkan keadaan Lena apalagi saat ini Oliver tidak berada di rumah sakit. "Apa yang harus aku lakukan? Lena ... bangunlah. Apa kau tidak bosan berbaring seperti ini? Aku ada di sini, Lena." Wajah Esme tampak sangat cemas. Tidak semalam pun ia bisa tidur dengan nyenyak. Esme menggenggam erat tangan Lena sambil mengusapnya pelan. Ia berharap Lena akan cepat sadar karena ia takut hal buruk terjadi. Entah sudah berapa banyak air matanya yang keluar sejak melihat kondisi Lena pertama kali. Hati Esme begitu terenyuh melihat kondisi Lena. Ia tak tak tahu pasti hal yang dialami sahabatnya itu sehingga bi
Esme baru saja sampai di rumah sakit setelah menyempatkan pulang sebentar ke rumah untuk mengambil beberapa pakaian, meskipun dia baru saja pulang dari rumah tapi raut wajahnya terlihat tidak begitu segar. Bahkan jika diperhatikan lebih dekat, kantung mata wanita itu semakin jelas terlihat.“Apa kita akan terus di sini, Ma?” Suara cempreng Matthew itu membuayarkan lamunan Esme. Bocah laki-laki itu menoleh pada ibunya yang masih termenung menatap kosong ke depan.Barulah setelah mendapat teguran itu dari sang putra, Esme langsung tersenyum tipis, menatap wajah Matthew yang tampak polos itu. “Apa kamu sudah tidak sabar bertemu dengan Tante Lena?”Matthew mengangguk dengan penuh antusias, senyumnya juga terlihat sangat lebar. “Iya, aku igin bertemu dengannya. Sudah sangat lama aku tidak bertemu dengan Tante Lena,” jawabnya.Mendengar antusias Mtthew membuat Esme tersenyum. “Tapi, nanti kalau sudah di dalam kamu tidak boleh berisik. Tante Le
Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Esme telah selesai membersihkan tubuh Lena yang masih berbaring di ranjang rumah sakit menggunakan lap basah dan air hangat. Meskipun Lena belum sadar dari tidur panjangnya, Esme tetap memastikan wanita itu dalam keadaan bersih, rapi dan wangi. “Cantik sekali kamu sore ini Lena,” kata Esme sambil memijat tangan Lena yang tidak terkena cairan infus. “Ayo cepat bangun, ya. Aku, Oliver dan Matthew di sini. Kami semua menunggumu di sini dengan penuh harap. Matthew bilang dia rindu bermain denganmu. Dia kemarin nangis memanggil namamu berkali-kali, tapi kamunya belum mau membuka mata.” Esme berkata panjang lebar kepada Lena. Esme tidak mau menangis lagi walaupun tanpa bisa ia cegah tangisannya kembali pecah dan membanjiri wajah Esme yang terpoles make up. Sakit sekali dadanya begitu mendengar apa yang menimpa Lena. Mengapa orang sebaik Lena harus diperlakukan seperti itu? “Aku tahu kamu ora
"Terima kasih, Pak. Semoga dengan barang bukti tambahan yang kuberikan bisa menjadi bahan pertimbangan untuk memperberat hukuman Vincent. Meskipun dia adalah keponakanku, kejahatan yang dia lakukan sudah sangat keterlaluan." Oliver mengulurkan tangan pada lelaki berseragam polisi di hadapannya. Dia baru saja memberikan bukti terakhir mengenai kejahatan Vincent yang kemungkinan bisa memberinya pasal berlapis."Sama-sama, Tuan Oliver. Kami juga berterima kasih karena Anda sudah banyak membantu penyelidikan. Nama Vincent memang akhir-akhir ini menjadi sorotan di sini karena keterlibatannya dalam memperjualbelikan anak di bawah umur. Sebagian anak buahnya sudah ditangkap sebelum ini. Setelah berbagai paksaan akhirnya mereka mau buka suara mengenai siapa pimpinan mereka dan nama Vincent yang disebut.." Polisi tersebut menerima jabatan tangan Oliver dan mengguncangnya sekilas."Iya, Pak. Anak buahnya memang banyak dan dia bergerak dengan sangat rapi. Kami yang
Esme duduk sambil menundukkan kepalanya di pojokan kursi. Saat ini ia masih setia menunggu Lena di rumah sakit. Ia teringat pertengkarannya dengan Sebastian beberapa waktu lalu. Ada rasa penyesalan di dalam hatinya karena ia terlalu membela Oliver. "Sepertinya aku terlalu keras padanya," gumam Esme. Meskipun Sebastian marah padanya, pria itu tetap menepati janji mengajak bermain Matthew. Hal tersebut lah yang membuat Esme sadar jika tindakannya salah sebab Sebastian bukannya bersikap egois, kekasihnya itu merupakan sosok yang sangat bertanggungjawab dan penuh perhatian. "Aku harus meminta maaf padanya." Esme mengambil ponselnya dan mencari nomor Sebastian. Ia hendak menelepon, tapi tangannya terhenti menekan layar sebab ia ragu. "Hahh ... lebih baik meminta maaf secara langsung padanya. Hanya saja bagaimana dengan Lena?" Pandangan mata Esme tertuju pada Lena yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Ha
Hening menyelimuti ruang rawat inap Lena, dia sana hanya tersisa Oliver yang terduduk lemas sambil menatap sendu ke arah istrinya yang sama sekali tidak bergerak. Suara alat bantu yang menempel ditubuh Lena sesekali berbunyi membelah keheningan di ruangan itu, setiap kali Oliver mendengar itu rasanya keinginannya untuk melihat Lena segera siuman semakin tinggi.“Kenapa malam itu kamu harus menemuia pria bajingan itu, Sayang?” gumam Oliver mengenang malam kejadian itu.Dia merasa bersalah atas semua yang menimpa Lena, kenapa malam itu dia tidak pulang lebih awal dan menemani Lena. Jika malam itu dia pulang lebih awal, maka mereka akan menghabiskan waktu bersama dan Lena tidak memiliki kesempatan untuk menemui Vincent. Tetapi, tidak ada gunanya lagi penyesalan itu, semuanya sudah terjadi. Kini Oliver hanya berharap kalau Lena segera siuman dan bayi yang ada di dalam kandungannya masih kuat bertahan.Oliver beranjak dari tempat duduknya, berjalan mendekat pad
Pemulihan Lena setelah sadar dari tidur panjangnya terbilang cukup cepat, bahkan dokter pun sangat takjub dan memberikan semangat serta dukungan kepadanya. Ini bisa disebabkan karena keinginan Lena untuk sembuh begitu besar. Selain itu peran serta Oliver yang selalu berada di sisinya membuat Lena tidak merasa sendirian. Seperti hari ini, Oliver begitu setia menemani Lena di rumah sakit sampai-sampai ia rela mandi di kamar mandi ruang rawat inap Lena. Padahal pria itu begitu pemilih jika harus masuk ke dalam fasilitas umum. Untungnya kamar rawat inap yang ditempati Lena adalah VVIP. “Ada apa? Apa ada yang sakit? Di bagian mana?” tanya Oliver panik. Ia memeriksa seluruh tubuh Lena. “Aku panggilkan dokter.” Begitu Oliver hendak menelpon, Lena memegang tangan suaminya itu sembari terkekeh. “Aku baik-baik saja. Tidak ada yang sakit. Bukankah dokter sudah bilang juga padamu demikian? Bahkan aku adalah salah satu pasien yang pemulihannya cepat.” Lena
Belum ada satu jam lalu keluar dengan keadaan cukup baik, kini Lena digendong kembali ke rumah sakit dalam kondisi pendarahan.Tubuh Oliver gemetar hanya demi melihat darah mengalir dari paha sang istri dan menetes di sepanjang keramik putih.Seorang wanita berseragam perawat mendekat. Mengetahui Lena masih memakai seragam dan gelang rumah sakit, dia pun bertanya, "Apa yang terjadi, Tuan?""Istriku mengalami pendarahan. Dia sedang hamil dan beberapa hari ini dirawat di sini." Oliver menyebutkan ruang VIP tempat Lena dirawat.Mengangguk mengerti, perawat tersebut lantas membantu Oliver membawa Lena ke ruangan. Berpapasan dengan dokter yang hendak melakukan kunjungan rutin."Dokter, tolong istriku! Dia pendarahan." Oliver nyaris berteriak. Namun, urung begitu teringat mereka sedang berada di mana.Dokter tersebut menyuruh Oliver untuk membaringkan Lena ke atas ranjang. Sedari tadi, tidak ada sepatah kata pun yang mampu wanita itu k
Kali pertama dalam hidupnya, Vincent baru merasakan kalau melihat langit biru dengan awan putih yang bergerak ternyata begitu membahagiakan setelah ia bebas dari penjara. Dulu, sebelum hidupnya jungkir balik seperti sekarang, Vincent tidak pernah merasa bersyukur pada hal sekecil apa pun yang ia dapatkan. Fokus Vincent pada hal besar serta hal-hal yang belum ia dapatkan sehingga ia melupakan hal yang sudah ia punya dan raih selama ini. “Udara pagi ini terasa begitu segar. Tidak pernah kudengar kicauan burung semerdu ini.” Vincent berkata pada dirinya sendiri sembari tersenyum kecut. Hari-hari yang ia lewati sebelum hari ini adalah hari penyiksaan. Hidup di penjara bagaikan neraka. Hanya jeruji besi, atap, baju dan selimut tipis yang menemani Vincent selama di penjara. Hidup Vincent di penjara tidak pernah menyenangkan. Ia dipaksa oleh keadaan untuk menyesuaikan diri. Mengerjakan pekerjaan kasar yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Menyapu, mencuci, membersihkan
"Sayang, apa kamu sudah siap?" teriak Esme dari dapur. Wanita itu tampak sibuk menata bekal untuk anak-anaknya dan juga untuk Sebastian tentunya. Karena tidak mendengar jawaban apa pun, Esme menjeda terlebih dahulu kegiatannya dan berjalan untuk masuk ke kamar putrinya. Dia takut kalau ada yang perlu dibutuhkan oleh putrinya. "Kamu perlu bantuan?" tanya Esme saat baru membuka pintu kamar putrinya. Gisel, gadis berusia sembilan tahun itu masih berdiri di depan cermin dengan seragam sekolahnya itu tersenyum manis. "Sebenarnya aku ingin bersiap sendiri tanpa bantuan Mama, tapi sepertinya aku tetap ingin dibantu. Lihat, terlihat masih belum rapi, kan?" tanya Gisel sambil melihat seragamnya yang kusut. Esme tersenyum, lalu mendekati putrinya itu. Dengan cekatan dia membantu merapikan seragam yang sudah dipakai Gisel agar terlihat lebih rapi. "Anak gadis Mama rupanya ingin belajar lebih mandiri, ya. Seragamnya sudah cukup rapi, Mama hanya perlu membenarkan sedikit saja," tuturnya. Gi
"Sayang!" Lena berseru saat keluar kamar menuju ruang tamu, membawa perutnya yang kini sudah sebesar semangka lalu duduk di samping Oliver. "Apa, Sayang?" tanya Oliver tanpa menghentikan gerakan tangannya menggulir tab. Kurang dari lima belas menit lagi dia harus berangkat ke kantor, tetapi sampai sekarang masih sibuk mengurusi materi meeting siang nanti. "Lihat ini dulu sebentar." Lena menyodorkan ponselnya hingga menutupi layar tab. Membuat si empunya menghela napas pasrah dan terpaksa menekan tombol home. Pada layar ponsel Lena, terpampang gambar sebuah taman bunga. Sebagian besar isinya diisi oleh bunga mawar, sedangkan yang lain Oliver tidak paham. Lelaki itu mengangkat sebelah alis sembari bertanya, "kamu mau ke situ? Memang itu di mana? Dalam negeri atau luar negeri? Nanti kita ke situ setelah kamu melahirkan dan anak kita cukup besar." "Aku maunya lihat sekarang!" Lena cemberut dan langsung membelakangi tubuh Oliver. "Iya, tapi ...." Belum sempat Oliver menyelesa
Pagi ini kediaman Oliver lebih ramai daripada biasanya. Banyak orang berlalu lalang untuk mempersiapkan acara tujuh bulanan Lena yang akan dilaksanakan sore nanti. Oliver mempersiapkan acara ini dengan sangat matang. Dia menyewa vendor terbaik untuk membantu terselenggaranya acara. Ruang keluarga yang luas disulap dengan dekorasi cantik yang penuh dengan bunga karena Lena menyukai itu. Oliver sengaja memesan semua bunga segar. Ada mawar, tulip, lili, ester hingga bunga matahari. Semua itu ditata dengan begitu apik. Membuat acara perayaan kehamilan Lena yang sudah memasuki usia tujuh bulan itu semakin terasa meriah. Di sisi kiri dan kanan ruangan juga ditata dengan meja yang sudah dihias. Nantinya meja tersebut akan diisi dengan aneka minuman, dessert serta hidangan utama. Tentu saja Oliver memesan semua hidangan terbaik dan memanjakan lidah. Awalnya Lena menginginkan acara digelar di halaman belakang tetapi Oliver tidak setuju mengingat cuaca sekarang yang tidak menentu.
Mobil Sebastian sudah berhenti di depan rumah Oliver, pria itu turun dari mobil dan menekan bel. Suasana rumah masih terlihat sepi, sepertinya dia datang terlalu pagi, tapi jika dia tidak datang pagi-pagi takutnya Matthew nanti merepotkan.Setelah menekan bel dua kali, akhirnya Oliver sendiri yang membukakan pintu. Dari wajahnya, Oliver baru bangun tidur."Oh, kamu rupanya. Aku kira siapa," ucap Oliver dengan suara serak lhas orang baru bangun tidur."Maaf aku datang pagi sekali. Sebenarnya aku ingin menjemput Matthew kemarin malam, tapi aku pulang terlalu larut. Jadi kupikir lebih baik aku menjemput pagi ini saja agar tidak mengganggu kalian." Sebastian merasa tidak enak.Oliver tersenyum. "Tidak masalah. Ayo masuk."Lena juga baru saja beranjak dari sofa, wanita itu menggulung rambutnya agar lebih rapi. "Kamu datang pagi sekali, Matthew masih di kamar dan sepertinya dia belum bangun," ucapnya."Aku akan menggendongnya saja, tid
Malam ini Matthew tidur di tengah-tengah Oliver dan Lena sebab Sebastian dan Esme mengatakan akan menghabiskan waktu berdua saja di hotel sebagai perayaan. Tentu saja keputusan itu disambut baik dengan mereka berdua karena Oliver sudah menganggap Matthew sebagai putranya sendiri. "Apa kau senang bisa tidur bersama kami?" tanya Oliver. "Tentu saja aku sangat senang sekali!" jawab Matthew antusias. "Baguslah. Kau memang anak pintar," puji Oliver sembari mengusap lembut kepala Matthew. Di sisi lain, Lena senyum-senyum sendiri sambil menatap ke arah suaminya dan Matthew secara bergantian. Sepertinya Lena sangat bahagia dengan situasi sekarang ini. Siapa sangka sikapnya tersebut ternyata disadari oleh Oliver. "Sepertinya ada yang senang juga di sini selain Matthew," celetuk Oliver. Lena sedikit terkejut ketika Oliver menegurnya. Namun, ia tak dapat menyangkal jika ia memang sangat senang.
Puas mengobrol sekaligus menemani istri tuan rumah, Sebastian mengajak Esme pulang. Karena Lena masih belum pulih, Oliverlah yang kebagian mengantar tamunya hingga ke depan pintu.Esme menggandeng tangan Matthew di depan sedangkan Sebastian dan Oliver berjalan di belakang. Kedua lelaki berbeda usia itu kembali membahas mengenai rencana Sebastian melamar."Apa kamu sudah melamar Esme secara resmi? Atau baru sebatas obrolan biasa?" tanya Oliver."Aku belum melamarnya secara resmi. Baru mengutarakan niat kemarin saat kami berbaikan," sahut Sebastian. it"Ah, seperti itu. Tidak apa-apa, itu pun sudah menjadi langkah awal yang bagus. Setidaknya, Esme jadi tahu kalau kamu serius dengan hubungan kalian."Oliver menepuk pundak Sebastian. Memuji keberanian lelaki itu."Aku selalu serius dengan Esme. Walaupun kami beberapa kali bertengkar, tetapi aku tidak pernah memiliki niat meninggalkan."Tatapan mata Sebastian fokus pada dua o
Begitu mendengar kabar bahwa Lena telah diperbolehkan pulang oleh dokter, Esme langsung berinisiatif untuk pergi ke rumah wanita itu dan menolongnya beberes. Esme yakin walaupun di rumah nanti Lena akan banyak dibantu oleh pembantunya, tapi tetap saja dia pasti membutuhkan support system dari sahabatnya. Esme ke sana tentu saja tidak seorang diri. Matthew dan Sebastian juga ikut menemani. Sejak meminta maaf kepada Sebastian atas kesalahannya tempo hari, dada dan pundak Esme terasa lebih ringan, seolah beban berat yang ia pikul selama ini menghilang dalam sekejap. Apalagi setelah Sebastian mengutarakan niatnya kepada Esme untuk mengikat hubungan mereka ke jenjang pernikahan, hidup Esme terasa berubah. Ia jauh lebih bahagia, tenang dan selalu tersenyum. Yang paling bahagia tentu saja Matthew. Meskipun mereka belum bilang secara langsung kepada bocah tujuh tahun itu, tapi dengan kehadiran Sebastian yang lebih sering dari sebel
Setelah lama di rumah sakit, Lena akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Oliver sengaja menyewa banyak pengawal tambahan untuk mengawal kepulangannya dan Lena. Istrinya itu sampai terheran melihat semua pengawalnya."Kenapa kamu sampai menyewa banyak sekali pengawal?" tanya Lena saat sudah berada di dalam mobil dan melihat mobilnya dikelilingi.Oliver menggenggam tangan Lena dengan lembut. "Aku melakukan itu untuk keselamatanmu, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu lagi.""Tapi bukankah ini terlalu berlebihan?""Tidak, ini semua normal."Lena tidak bisa membantah lagi, jika Oliver sudah melakukan sesuatu tidak ada gunanya berdebat lagi. Toh juga ini semua juga untuk keselamatannya dan juga calon bayinya.Setelah perjalanan beberapa menit dari rumah sakit, akhirnya rombongan mobil sampai juga di kediaman Oliver, saking banyaknya seperti ada iring-iringan.Tidak kalah banyak pengawal saat perjalanan, di rumah pun Oliver me