Vincent!!! Apa maksudmu melakukan hal itu, ha?!” Lena berteriak kencang hingga urat lehernya mencuat keluar. Matanya mendelik ke arah pria itu.
Lena bangkit dan berlari ke arah pembatas kapal pesiar, berharap ia bisa membatalkan apa yang terjadi barusan. Namun, sia-sia belaka. Laut telah menenggelamkan ponselnya. Tidak ada sedikit pun jejaknya.Lena membalikkan tubuhnya dan melihat ke arah Vincent lagi dengan napas terengah-engah menahan amarah.“Apa yang aku lakukan? Aku tidak melakukan apa pun.” Vincent menjawab sambil menaikkan pundak tidak peduli. Suara dan wajahnya dibuat sepolos mungkin, seperti tidak ada rasa bersalah sedikit pun.Aksi Vincent itu justru membuat Lena murka. Wajah Lena sudah merah padam seperti kepiting rebus.Meski demikian, Lena mencoba menenangkan diri dengan menghirup napas panjang, membiarkan udara laut yang beraroma amis itu masuk ke dalam paru-paru lalu mengembuskannya perlahan.“Kamu membuangVincent kontan tertawa hingga kedua bahunya berguncang. Ditatapinya wajah Lena yang kala itu memerah murka."Aku tidak percaya kau begitu mudah dibodohi," ejek Vincent setelah tawanya mereda."Kau benar-benar sialan!" hardik Lena. Telunjuknya mengacung ke arah Vincent.Wanita itu marah dan kesal lebih kepada dirinya sendiri karena dengan mudah masuk perangkap. Seharusnya, dia menuruti rasa curiganya dari awal dan tidak memilih untuk datang sendiri ke sini. Kalau sudah begini, apa yang bisa Lena lakukan? Mengharap bantuan Oliver pun tidak mungkin mengingat sang suami tidak tahu ke mana perginya."Sudahlah, Lena. Mumpung kau sudah di sini, lebih baik nikmati saja apa yang ada," ujar Vincent. Berusaha mengajak Lena untuk duduk kembali.Namun, tentu saja Lena menolak. Wanita itu kukuh dengan posisinya sekarang."Tidak ada satu pun hal yang bisa kunikmati denganmu," decih Lena sinis."Ucapanmu sungguh menyakitiku."
Lena berteriak kencang saat pipi mulusnya mendapatkan tamparan dari Vincent. Pria bejat itu tak puas menampar Lena satu kali dan terus menerus melayangkan tangan besarnya. Sorot mata Vincent sangat menakutkan seolah siap mencabik-cabik tubuh Lena. "Wanita jalang sialan! Kau meremehkanku, HAH?!" Vincent tidak terima karena Lena meludahi wajahnya. Baginya itu seperti sebuah penghinaan. Dua belah pipi Lena memerah akibat tamparan kencang dari Vincent, tapi Lena sama sekali tak dapat mengeluarkan air matanya meski rasanya menyakitkan. Ia terus menatap tajam mata Vincent dengan penuh kebencian. "Berani-beraninya kau menatapku begitu? Apa kau sama sekali tidak takut padaku?" tanya Vincent tak habis pikir. "Untuk apa aku harus takut padamu? Dasar kau bajingan rendah," maki Lena. Ada penekanan intonasi di bagian kalimat akhirnya. "Bajingan rendah?" Vincent tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak setelah mendengar kata makian Lena. Ia geleng-ge
Oliver melajukan mobilnya dengan cepat, sebenarnya dia sendiri bingung harus mencari Lena ke mana. Lokasi istrinya sama sekali tidak bisa dia temukan, Oliver juga tidak mempunyai tebakan ke mana perginya Lena. Dalam hatinya, semoga saja Lena tidak pergi ke tempat yang membahayakan baginya dan juga calon bayi mereka.Karena pikirannya sudah sangat kalut, Oliver memilih untuk pulang terlebih dahulu. Dia ingin memastikan lebih dulu kalau Lena benar-benar tidak ada di rumah, siapa tahu saja istrinya itu sedang bermain-main dan bersembunyi disuatu tempat yang membuat semua orang tidak bisa menemukannya.Pria itu memacu mobilnya dengan cepat, dia tidak ingin membuang waktu lagi. Saat ini tujuannya harus bisa menemukan Lena dengan secepat mungkin.Sesampainya di rumah, Oliver memarkirkan mobilnya secara acak dan langsung berlari ke dalam rumah. “Lena!” teriaknya dengan lantang.Detik itu juga semua pengawal dan juga pembantu keluar, mereka berkumpul di r
Oliver berlari seperti kesetanan ke arah kapal pesiar setelah menemukan mobil Lena terparkir dekat sana. Ia yakin istrinya itu pasti ada di sekitaran tempat tersebut. “Kita berpencar sekarang! Temukan Lena secepatnya! Perintah Oliver kepada semua anak buahnya yang berjumlah sepuluh orang tersebut. Entah mengapa Oliver memiliki firasat yang tidak enak mengenai Lena sekarang. Dia harus lekas menemukan istrinya itu sebelum terlambat. Begitu Oliver memberikan perintah kepada anak buahnya, mereka langsung membagi diri menjadi dua tim. Satu tim pergi ke arah kanan sedangkan tim lain bersama Oliver pergi ke sisi sebaliknya. “Lena! Lena!” Oliver berteriak kencang memanggil istrinya. Berharap Lena mendengarnya dan memberikan balasan. Satu persatu ruangan di kapal pesiar tersebut digeledah oleh Oliver dan pengawalnya, tetapi semuanya sepi. “Ke mana penghuni kapal ini? Mengapa seperti tidak berpenghuni? Bukankah ini aneh, Tuan?” sahut
Sesampainya di rumah sakit, Lena langsung mendapat penanganan dari dokter dan perawat yang bertugas. Selama itu pula, tidak sedikit pun Oliver beranjak.Lelaki itu meremas tangannya dengan kalut. Mondar mandir di depan ruangan sembari menunggu hasil pemeriksaan. Lima menit menjadi terasa seperti lima tahun dalam kondisi tersebut.Ponsel yang disimpan Oliver di saku celana mendadak bergetar. Telepon masuk dari Esme pada saat yang tepat."Halo, Esme," panggil Oliver."Oliver, apa yang terjadi? Aku baru saja datang ke rumahmu dan pelayan bilang Lena hilang. Apa kau sudah berhasil menemukannya? Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Esme tanpa basa-basi. Dari cara bicaranya yang cepat dan terburu-buru, Oliver tahu wanita itu juga tidak kalah khawatir."Vincent pelakunya. Saat ini aku sedang berada di rumah sakit dekat pantai. Lena tidak sadarkan diri. Apa kau bisa ke sini sekarang, Esme?" tanya Oliver penuh harap."Bisa. Kebetulan ak
Kejadian tragis yang dialami Lena memberikan efek traumatis luar biasa. Sudah hampir dua hari Lena belum kunjung sadarkan diri. Wanita cantik yang sedang hamil itu hanya terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Sejak pertama kali Lena berada di rumah sakit, Esme selalu berada di sampingnya. Esme bahkan enggan pulang ke rumah karena sangat mengkhawatirkan keadaan Lena apalagi saat ini Oliver tidak berada di rumah sakit. "Apa yang harus aku lakukan? Lena ... bangunlah. Apa kau tidak bosan berbaring seperti ini? Aku ada di sini, Lena." Wajah Esme tampak sangat cemas. Tidak semalam pun ia bisa tidur dengan nyenyak. Esme menggenggam erat tangan Lena sambil mengusapnya pelan. Ia berharap Lena akan cepat sadar karena ia takut hal buruk terjadi. Entah sudah berapa banyak air matanya yang keluar sejak melihat kondisi Lena pertama kali. Hati Esme begitu terenyuh melihat kondisi Lena. Ia tak tak tahu pasti hal yang dialami sahabatnya itu sehingga bi
Esme baru saja sampai di rumah sakit setelah menyempatkan pulang sebentar ke rumah untuk mengambil beberapa pakaian, meskipun dia baru saja pulang dari rumah tapi raut wajahnya terlihat tidak begitu segar. Bahkan jika diperhatikan lebih dekat, kantung mata wanita itu semakin jelas terlihat.“Apa kita akan terus di sini, Ma?” Suara cempreng Matthew itu membuayarkan lamunan Esme. Bocah laki-laki itu menoleh pada ibunya yang masih termenung menatap kosong ke depan.Barulah setelah mendapat teguran itu dari sang putra, Esme langsung tersenyum tipis, menatap wajah Matthew yang tampak polos itu. “Apa kamu sudah tidak sabar bertemu dengan Tante Lena?”Matthew mengangguk dengan penuh antusias, senyumnya juga terlihat sangat lebar. “Iya, aku igin bertemu dengannya. Sudah sangat lama aku tidak bertemu dengan Tante Lena,” jawabnya.Mendengar antusias Mtthew membuat Esme tersenyum. “Tapi, nanti kalau sudah di dalam kamu tidak boleh berisik. Tante Le
Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Esme telah selesai membersihkan tubuh Lena yang masih berbaring di ranjang rumah sakit menggunakan lap basah dan air hangat. Meskipun Lena belum sadar dari tidur panjangnya, Esme tetap memastikan wanita itu dalam keadaan bersih, rapi dan wangi. “Cantik sekali kamu sore ini Lena,” kata Esme sambil memijat tangan Lena yang tidak terkena cairan infus. “Ayo cepat bangun, ya. Aku, Oliver dan Matthew di sini. Kami semua menunggumu di sini dengan penuh harap. Matthew bilang dia rindu bermain denganmu. Dia kemarin nangis memanggil namamu berkali-kali, tapi kamunya belum mau membuka mata.” Esme berkata panjang lebar kepada Lena. Esme tidak mau menangis lagi walaupun tanpa bisa ia cegah tangisannya kembali pecah dan membanjiri wajah Esme yang terpoles make up. Sakit sekali dadanya begitu mendengar apa yang menimpa Lena. Mengapa orang sebaik Lena harus diperlakukan seperti itu? “Aku tahu kamu ora