Matahari baru saja meninggi, tetapi keributan sudah terjadi di perusahaan Oliver. Lelaki yang baru berapa saat tiba di kantor itu meminta Sarah mengumpulkan karyawan yang menangani salah satu project mereka ke ruangan.Oliver memijit pelipisnya selagi menunggu. Pening bukan main. Karyawan yang tidak ada sangkut pautnya pun ikut mengkerut di tempat. Tidak berani mengeluarkan suara. Aura yang dikeluarkan sang atasan saat dilanda emosi sungguh menakutkan.Atmosfer tempat tersebut terasa panas. Empat orang yang dipanggil Oliver masuk dengan takut-takut. Saling menyenggol lengan di sampingnya dan memberi kode jika mereka ada dalam masalah besar.Sarah siaga di tempat. Mengetahui Oliver tengah murka, dia jadi tidak berani meninggalkan keluar. Jika terjadi sesuatu, mungkin dia bisa membantu.Oliver menghampiri meja, menyahut salah satu dokumen di sana lantas melemparnya ke hadapan empat orang itu hingga kertas-kertas berhamburan di lantai."Empat orang dari kalian itu tidak ada yang becus be
Begitu sampai di rumah, Oliver langsung berlari ke kamar. Ia sangat cemas dengan keadaan Lena setelah mendapatkan telepon. Pikirannya sudah ke mana-mana dan membayangkan istri tercintanya terluka. "Sayang, apa kau baik-baik saja?" tanya Oliver begitu ia membuka pintu kamar. Napasnya terengah-engah dan keringat membasahi wajahnya. Di sana sudah ada Lena yang duduk di atas kasur dengan santai. Seperti tidak ada yang terjadi, Lena membaca novel sambil menikmati potongan buah pir segar. Ia bahkan heran karena suaminya pulang sebelum jam kerja berakhir. "Ada apa? Mengapa kau sudah pulang?" Dengan polosnya Lena bertanya dengan ekspresi wajah datar. Seketika Oliver menghela napas lirih sembari meraup wajahnya. Ia lega karena Lena baik-baik saja. Tadinya ia sangat khawatir sebab ia mendengar kabar jika istrinya itu sempat shock berat. Namun, selang sedetik kemudian ekspresi wajahnya berubah serius. Dengan langkah cepat ia pun mendekati Lena. "Aku mendapatkan telepon kalau kau tadi hampir
Lena menghela napasnya cukup panjang, dia menatap langit-langit kamarnya yang tampak begitu membosakan. Dia sudah sering melihatnya, itu artinya dia sudah sangat bosan hanya di kamar saja. Detik berikutnya, Lena bangkit dari posisi berbaringnya menjadi posisi duduk. Dia menatap pantulan dirinya yang di cermin rias di samping ranjangnya.“Lihatlah betapa kasihannya kamu, Lena. Di rumah sebesar ini, kau juga punya banyak uang, tapi kau tidak bisa melakukan apa pun dan hanya berada di kamar. Sungguh luar biasa membosankan sekali hidupmu, padahal kau hanya ingin menikmati hidup dengan santai tapi suamimu terus melarang. Katanya itu semua bahaya. Ck, aku sudah bosan! ” monolognya.Kemudian Lena beranjak dari kasur dan memilih untuk melihat keadaan luar dari jendela kamarnya. Dia melihat burung-burung bisa terbang bebas, hal itu membuatnya sedikit iri.“Bahkan burung itu lebih bebas dari diriku.” Lagi-lagi Lena kembali bermonolog sambil bernapas jengah.
“Nyonya! Nyonya! Nyonya tolong respon panggilan saya!” Pelayan yang melihat kejadian tadi berteriak kencang pada Lena yang tidak bereaksi apa pun. Wajah Lena begitu pucat. Kedua tangan mulus dan bibirnya gemetar dengan hebat. Keringat dingin membasahi kening dan punggung Lena. Wanita itu berdiam diri seperti patung. Matanya kosong. Kejadian penyekapan yang terjadi begitu cepat tadi membuat Lena terkejut bukan main. Kalau saja tidak ada pengawal, Lena tidak akan tahu bagaimana nasibnya. “Ambilkan Nyonya air putih! Cepat!” suruh salah satu pengawal. Dengan sigap pelayan tersebut berlari ke arah dapur. Tidak sampai lima menit, ia kembali membawa satu botol air besar dan diberikan pada Lena. “Diminum dulu Nyonya, biar tenang.”Lena mengambil botol air tersebut dan meminumnya dengan rakus. Tenggorokan tiba-tiba saja terasa kering dan sakit. Dadanya masih berdebar kencang. Baik pengawal dan pelayan yang mendampingi Lena
"Aku baik-baik saja. Buktinya aku bisa mengangkat teleponmu sekarang. Kau tidak perlu mengadu pada Oliver karena walaupun kau keponakannya, aku ini istrinya. Tentu dia lebih percaya padaku," sergah Lena.Hubungan Paman dan keponakan antara Oliver dan Vincent tidak sedekat itu. Ada sebuah sekat tak kasat mata membatasi mereka berdua. Terlebih mengingat apa yang pernah terjadi di masa lalu. "Oh ya? Kau tahu seprotektif apa Oliver, sekalipun orang itu membual, jika menyangkut keselamatanmu Oliver pasti akan percaya."Lena menggigit bibir bawahnya cemas. Mau tidak mau, dia setuju dengan ucapan Vincent karena sudah banyak buktinya.Oliver adalah tipe lelaki yang akan melindungi wanitanya secara ugal-ugalan jika ada sesuatu yang buruk terjadi. Termasuk rela meninggalkan pekerjaan dan yang lain."Jangan bermain denganku, Vincent. Urus saja urusanmu sendiri!"Suara Lena bergetar karena geram. Berurusan lagi dengan Vincent adalah hal te
Pikiran Oliver menjadi tidak fokus sejak perubahan sikap Lena. Biasanya istrinya itu selalu ceria dan banyak bicara, tapi semalam Lena lebih memilih diam. Entah mengapa ia merasa ada sesuatu hal yang salah sedang terjadi. Saat sedang bekerja di kantor saja, pikiran Oliver selalu tertuju pada Lena. Hatinya selalu cemas sebab takut ada hal buruk yang akan menimpa istrinya. Tadi pagi ketika ingin berangkat ke kantor pun ia sedikit enggan, tapi ia tetap harus pergi karena masih memiliki tanggung jawab atas pekerjaannya. "Ck! Mungkin hanya pikiranku saja," gumam Oliver seraya menghela napas lirih. "Apa ada yang salah, Tuan?" tanya Sarah. Sejak tadi ia memperhatikan Oliver yang tampak gelisah dan tidak fokus dengan pekerjaan."Tidak ada," dalih Oliver. Sarah tak begitu saja percaya dengan perkataan Oliver. Ia menerka-nerka hal yang sedang dipikirkan oleh atasannya itu. Tiba-tiba tersemat sebuah senyum samar di bibirnya. 'Mungkinka
Setelah berhasil mengelabuhi para pengawal, kini Lena melajukan mobilnya menuju lokasi yang sudah dikirim Vincent. Wanita itu melajukan mobilnya cukup cepat, untung saja jalanan malam ini tidak terlalu ramai. Dengan begini dia bisa lebih cepat untuk sampai dan para pengawal tidak akan bisa mengikuti jejaknya.Lena harus fokus antara jalanan dan juga maps lokasi yang harus dia tuju. Dia sedikit menggerutu karena lokasi yang dikirim Vincent lumayan jauh, itu juga wilayah yang kurang dia tahu. Kelemahan seorang wanita adalah membaca maps, dan kali ini Lena harus mengalami hal itu.Dia yang terbiasa disupiri dan tinggal duduk manis, kini harus bersusah payah memahani jalur-jalur berliku yang ada di layar maps. “Ah, persimpangan! Aku harus ke mana ini,” gerutu Lena. Yang pada akhirnya dia memilih belok kanan, karena dia memiliki feeling kalau itu jalan yang benar.Tanpa ragu, Lena menyusuri jalan itu dengan tetap fokus dengan maps. Akan tetapi saat dia berjalan cukup jauh, Lena merasa kal
Vincent!!! Apa maksudmu melakukan hal itu, ha?!” Lena berteriak kencang hingga urat lehernya mencuat keluar. Matanya mendelik ke arah pria itu. Lena bangkit dan berlari ke arah pembatas kapal pesiar, berharap ia bisa membatalkan apa yang terjadi barusan. Namun, sia-sia belaka. Laut telah menenggelamkan ponselnya. Tidak ada sedikit pun jejaknya. Lena membalikkan tubuhnya dan melihat ke arah Vincent lagi dengan napas terengah-engah menahan amarah. “Apa yang aku lakukan? Aku tidak melakukan apa pun.” Vincent menjawab sambil menaikkan pundak tidak peduli. Suara dan wajahnya dibuat sepolos mungkin, seperti tidak ada rasa bersalah sedikit pun. Aksi Vincent itu justru membuat Lena murka. Wajah Lena sudah merah padam seperti kepiting rebus. Meski demikian, Lena mencoba menenangkan diri dengan menghirup napas panjang, membiarkan udara laut yang beraroma amis itu masuk ke dalam paru-paru lalu mengembuskannya perlahan. “Kamu membuang
Kali pertama dalam hidupnya, Vincent baru merasakan kalau melihat langit biru dengan awan putih yang bergerak ternyata begitu membahagiakan setelah ia bebas dari penjara. Dulu, sebelum hidupnya jungkir balik seperti sekarang, Vincent tidak pernah merasa bersyukur pada hal sekecil apa pun yang ia dapatkan. Fokus Vincent pada hal besar serta hal-hal yang belum ia dapatkan sehingga ia melupakan hal yang sudah ia punya dan raih selama ini. “Udara pagi ini terasa begitu segar. Tidak pernah kudengar kicauan burung semerdu ini.” Vincent berkata pada dirinya sendiri sembari tersenyum kecut. Hari-hari yang ia lewati sebelum hari ini adalah hari penyiksaan. Hidup di penjara bagaikan neraka. Hanya jeruji besi, atap, baju dan selimut tipis yang menemani Vincent selama di penjara. Hidup Vincent di penjara tidak pernah menyenangkan. Ia dipaksa oleh keadaan untuk menyesuaikan diri. Mengerjakan pekerjaan kasar yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Menyapu, mencuci, membersihkan
"Sayang, apa kamu sudah siap?" teriak Esme dari dapur. Wanita itu tampak sibuk menata bekal untuk anak-anaknya dan juga untuk Sebastian tentunya. Karena tidak mendengar jawaban apa pun, Esme menjeda terlebih dahulu kegiatannya dan berjalan untuk masuk ke kamar putrinya. Dia takut kalau ada yang perlu dibutuhkan oleh putrinya. "Kamu perlu bantuan?" tanya Esme saat baru membuka pintu kamar putrinya. Gisel, gadis berusia sembilan tahun itu masih berdiri di depan cermin dengan seragam sekolahnya itu tersenyum manis. "Sebenarnya aku ingin bersiap sendiri tanpa bantuan Mama, tapi sepertinya aku tetap ingin dibantu. Lihat, terlihat masih belum rapi, kan?" tanya Gisel sambil melihat seragamnya yang kusut. Esme tersenyum, lalu mendekati putrinya itu. Dengan cekatan dia membantu merapikan seragam yang sudah dipakai Gisel agar terlihat lebih rapi. "Anak gadis Mama rupanya ingin belajar lebih mandiri, ya. Seragamnya sudah cukup rapi, Mama hanya perlu membenarkan sedikit saja," tuturnya. Gi
"Sayang!" Lena berseru saat keluar kamar menuju ruang tamu, membawa perutnya yang kini sudah sebesar semangka lalu duduk di samping Oliver. "Apa, Sayang?" tanya Oliver tanpa menghentikan gerakan tangannya menggulir tab. Kurang dari lima belas menit lagi dia harus berangkat ke kantor, tetapi sampai sekarang masih sibuk mengurusi materi meeting siang nanti. "Lihat ini dulu sebentar." Lena menyodorkan ponselnya hingga menutupi layar tab. Membuat si empunya menghela napas pasrah dan terpaksa menekan tombol home. Pada layar ponsel Lena, terpampang gambar sebuah taman bunga. Sebagian besar isinya diisi oleh bunga mawar, sedangkan yang lain Oliver tidak paham. Lelaki itu mengangkat sebelah alis sembari bertanya, "kamu mau ke situ? Memang itu di mana? Dalam negeri atau luar negeri? Nanti kita ke situ setelah kamu melahirkan dan anak kita cukup besar." "Aku maunya lihat sekarang!" Lena cemberut dan langsung membelakangi tubuh Oliver. "Iya, tapi ...." Belum sempat Oliver menyelesa
Pagi ini kediaman Oliver lebih ramai daripada biasanya. Banyak orang berlalu lalang untuk mempersiapkan acara tujuh bulanan Lena yang akan dilaksanakan sore nanti. Oliver mempersiapkan acara ini dengan sangat matang. Dia menyewa vendor terbaik untuk membantu terselenggaranya acara. Ruang keluarga yang luas disulap dengan dekorasi cantik yang penuh dengan bunga karena Lena menyukai itu. Oliver sengaja memesan semua bunga segar. Ada mawar, tulip, lili, ester hingga bunga matahari. Semua itu ditata dengan begitu apik. Membuat acara perayaan kehamilan Lena yang sudah memasuki usia tujuh bulan itu semakin terasa meriah. Di sisi kiri dan kanan ruangan juga ditata dengan meja yang sudah dihias. Nantinya meja tersebut akan diisi dengan aneka minuman, dessert serta hidangan utama. Tentu saja Oliver memesan semua hidangan terbaik dan memanjakan lidah. Awalnya Lena menginginkan acara digelar di halaman belakang tetapi Oliver tidak setuju mengingat cuaca sekarang yang tidak menentu.
Mobil Sebastian sudah berhenti di depan rumah Oliver, pria itu turun dari mobil dan menekan bel. Suasana rumah masih terlihat sepi, sepertinya dia datang terlalu pagi, tapi jika dia tidak datang pagi-pagi takutnya Matthew nanti merepotkan.Setelah menekan bel dua kali, akhirnya Oliver sendiri yang membukakan pintu. Dari wajahnya, Oliver baru bangun tidur."Oh, kamu rupanya. Aku kira siapa," ucap Oliver dengan suara serak lhas orang baru bangun tidur."Maaf aku datang pagi sekali. Sebenarnya aku ingin menjemput Matthew kemarin malam, tapi aku pulang terlalu larut. Jadi kupikir lebih baik aku menjemput pagi ini saja agar tidak mengganggu kalian." Sebastian merasa tidak enak.Oliver tersenyum. "Tidak masalah. Ayo masuk."Lena juga baru saja beranjak dari sofa, wanita itu menggulung rambutnya agar lebih rapi. "Kamu datang pagi sekali, Matthew masih di kamar dan sepertinya dia belum bangun," ucapnya."Aku akan menggendongnya saja, tid
Malam ini Matthew tidur di tengah-tengah Oliver dan Lena sebab Sebastian dan Esme mengatakan akan menghabiskan waktu berdua saja di hotel sebagai perayaan. Tentu saja keputusan itu disambut baik dengan mereka berdua karena Oliver sudah menganggap Matthew sebagai putranya sendiri. "Apa kau senang bisa tidur bersama kami?" tanya Oliver. "Tentu saja aku sangat senang sekali!" jawab Matthew antusias. "Baguslah. Kau memang anak pintar," puji Oliver sembari mengusap lembut kepala Matthew. Di sisi lain, Lena senyum-senyum sendiri sambil menatap ke arah suaminya dan Matthew secara bergantian. Sepertinya Lena sangat bahagia dengan situasi sekarang ini. Siapa sangka sikapnya tersebut ternyata disadari oleh Oliver. "Sepertinya ada yang senang juga di sini selain Matthew," celetuk Oliver. Lena sedikit terkejut ketika Oliver menegurnya. Namun, ia tak dapat menyangkal jika ia memang sangat senang.
Puas mengobrol sekaligus menemani istri tuan rumah, Sebastian mengajak Esme pulang. Karena Lena masih belum pulih, Oliverlah yang kebagian mengantar tamunya hingga ke depan pintu.Esme menggandeng tangan Matthew di depan sedangkan Sebastian dan Oliver berjalan di belakang. Kedua lelaki berbeda usia itu kembali membahas mengenai rencana Sebastian melamar."Apa kamu sudah melamar Esme secara resmi? Atau baru sebatas obrolan biasa?" tanya Oliver."Aku belum melamarnya secara resmi. Baru mengutarakan niat kemarin saat kami berbaikan," sahut Sebastian. it"Ah, seperti itu. Tidak apa-apa, itu pun sudah menjadi langkah awal yang bagus. Setidaknya, Esme jadi tahu kalau kamu serius dengan hubungan kalian."Oliver menepuk pundak Sebastian. Memuji keberanian lelaki itu."Aku selalu serius dengan Esme. Walaupun kami beberapa kali bertengkar, tetapi aku tidak pernah memiliki niat meninggalkan."Tatapan mata Sebastian fokus pada dua o
Begitu mendengar kabar bahwa Lena telah diperbolehkan pulang oleh dokter, Esme langsung berinisiatif untuk pergi ke rumah wanita itu dan menolongnya beberes. Esme yakin walaupun di rumah nanti Lena akan banyak dibantu oleh pembantunya, tapi tetap saja dia pasti membutuhkan support system dari sahabatnya. Esme ke sana tentu saja tidak seorang diri. Matthew dan Sebastian juga ikut menemani. Sejak meminta maaf kepada Sebastian atas kesalahannya tempo hari, dada dan pundak Esme terasa lebih ringan, seolah beban berat yang ia pikul selama ini menghilang dalam sekejap. Apalagi setelah Sebastian mengutarakan niatnya kepada Esme untuk mengikat hubungan mereka ke jenjang pernikahan, hidup Esme terasa berubah. Ia jauh lebih bahagia, tenang dan selalu tersenyum. Yang paling bahagia tentu saja Matthew. Meskipun mereka belum bilang secara langsung kepada bocah tujuh tahun itu, tapi dengan kehadiran Sebastian yang lebih sering dari sebel
Setelah lama di rumah sakit, Lena akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Oliver sengaja menyewa banyak pengawal tambahan untuk mengawal kepulangannya dan Lena. Istrinya itu sampai terheran melihat semua pengawalnya."Kenapa kamu sampai menyewa banyak sekali pengawal?" tanya Lena saat sudah berada di dalam mobil dan melihat mobilnya dikelilingi.Oliver menggenggam tangan Lena dengan lembut. "Aku melakukan itu untuk keselamatanmu, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu lagi.""Tapi bukankah ini terlalu berlebihan?""Tidak, ini semua normal."Lena tidak bisa membantah lagi, jika Oliver sudah melakukan sesuatu tidak ada gunanya berdebat lagi. Toh juga ini semua juga untuk keselamatannya dan juga calon bayinya.Setelah perjalanan beberapa menit dari rumah sakit, akhirnya rombongan mobil sampai juga di kediaman Oliver, saking banyaknya seperti ada iring-iringan.Tidak kalah banyak pengawal saat perjalanan, di rumah pun Oliver me