Menghabiskan masa kecil hingga SMA di kota budaya Surakarta, satu setengah tahun lalu akhirnya sang pemuda Abisatnya berpisah dari dua pasang tangan hangat orang tuanya. Si anak tunggal pun melanjutkan pendidikan di ibukota provinsi hingga sekarang. Lantas setelah hampir enam bulan lamanya, hari ini, detik ini Juna pulang. Lebih kurang jam tujuh malam, hujan masih menerpa kala Juna memarkirkan motor di garasi rumahnya. Bangunan dominan putih dengan dua lantai di dalamnya. Petak hangat meski hanya bertiga yang mengisinya. Juna pikir betapa kosongnya tempat tinggal itu ketika dirinya tak ada. Ia tak tega pada orang tua, tapi untuk merasakan rindu harus ada perpisahan dulu, bukan? Juna selalu percaya bahwa tiap orang butuh survive sendirian. Seperti ia yang harus berani menantang dunia saat memutuskan untuk belajar di Semarang dan ia yang berani pulang sendirian di tengah hujan seperti sekarang. Mantel kelabu dilepas, helm sudah sejak tadi mencium tanah. Redeu menggigil, sang empu pun
Apa yang dilakukan anak burung ketika kehilangan induknya? Induk yang pamit mencari makan, tapi tak kunjung pulang. Apa yang bisa bayinya lakukan? Berteriak hingga kulit lembek tak berbulu itu menampilkan urat. Menangis sampai air mata mengering. Mengepakkan sayap meski tahu tak cukup bertenaga untuk terbang. Lalu perlahan diam, kedinginan, dan tertidur dengan perut lapar. Awalnya insan itu menolak untuk bernasib sama dengan si bayi burung. Tubuhnya memang meremang mendengar penuturan di luar batas imajinasinya seumur hidup. Maniknya memanas, tiga objek di depan mata bukanlah gambar yang pernah ia lukiskan. Kakinya melemas, tapi dipaksa untuk tetap kokoh menopang hati yang tergores nestapa. Ia juga cukup memungkinkan untuk pergi saat telinga, mata, dan bibir terlampau kelu untuk bekerja sesuai tugas. Situasinya mengejutkan, Juna belum bisa mencerna meski secara perlahan. Berada di hadapan ayah-ibu, serta lelaki yang mengaku sebagai kakaknya adalah hal mustahil untuk Juna tanggapi
Sepiring nasi tak lagi mengepulkan uap panasnya. Japchae berwijen beserta lauk lainnya masih nampak utuh di sana. Berbeda dengan piring-piring lain yang sering diadu dengan sendok dan garpu. Bukannya segera menyantap makan malam, bibir Arin malah cemberut. Berbentuk kerucut dan mungkin bisa dikuncir dengan karet gelang yang biasa disimpan sang ibu. Pandangan sang belia pun menetap pada ponsel di sebelah kanan gelas. Tangannya memang memegang alat makan dan mengaduk nasi hinnga tak jarang bulir itu terbang meninggalkan piringnya. Namun, pikiran Arin jelas sedang melanglang buana. "Nunggu apa sih? Dari tadi ponsel terus," celetuk wanita di seberang tempat duduk Arin. Nadanya agak sinis, heran karena gelagat putrinya tak seperti biasa. "Pacar kamu?" Ayah Arin pun tak kalah ingin tahu. Sendok diletakkan, pria itu menaruh perhatiaan penuh pada anak sulungnya. "Kenapa? Berantem? Dia bikin kamu kesal? Bilang sama ayah, biar ayah tanganin," ucapnya. Seketika tawa kecil keluar dari bilah l
Sama-sama menjadi kota yang populer, pagi di kampung halaman tentu berbeda dengan tempat pengadu nasib si pemuda. Awal hari di indekos selalu disambut suara mesin-mesin beroda, berpolusi, bergerak memenuhi bulevar kota. Sementara pagi di kios usang, suara yang menyapa rungu manusia adalah kicauan burung serta gerombolannya yang menuju langit utara. Menghirup bau khas tanah basah, lelaki dengan tatanan badan berantakan itu mendongakkan kepala. Setelah semalaman ditenggelamkan di atas lututnya, wajah Juna agak bengkak juga karena tangisnya. Ia menyugar surai sembari mengumpulkan nyawa. Mengais memori kenapa paginya bukan di balik selimut nyaman. Sekuat tenaga berusaha bangkit, Juna melangkahkan kakinya untuk keluar dari tempat hangus itu. Mendekati Redeu, satu helm dikenakan, dan Juna menaiki partner terbaiknya selama sekian tahun belakangan. Menyusuri jalan raya, tentu ada tujuan pada akhirnya. Namun, semuda-mudanya Juna, semahir-mahirnya ia mengoperasikan motornya, ketika pikiran
Malam yang menghamba akhirnya datang. Para penghuni angkasa masih tetap pada tempat dan tugasnya. Sementara hewan nokturnal senantiasa menyanyikan melodi kesukaannya. Selain mereka, ada pula yang bising hingga membuat satu insan yang masih bergulat dengan demam itu tak jadi terlelap nyaman. Detak jam dan tawa dari kamar sebelah. Juna menatap waktu, lewat pukul satu. Tangannya menyentuh dahinya sendiri. Tiada lagi panas macam sengatan cahaya matahari. Ia menghela napas, membenarkan selimut dan hendak kembali tidur. Namun, suara kakaknya benar-benar mengganggu. Arkian, pria itu mencari-cari keberadaan ponselnya yang entah ia letakkan di mana. Ternyata ada di bawah bantal yang tak ia gunakan. Juna menggulir layar persegi itu hingga sampai di aplikasi berkirim pesan. Ada puluhan, bahkan ratusan chat masuk. Yang memiliki isi paling banyak sudah tentu grup obrolan dengan kawan-kawan. Berakhirlah ia di sana sekarang. Membaca secepat kilat, Juna cukup mengerti saja poin apa yang teman-tem
"Juna? Sudah bangun?"CklekLalu lelaki jangkung di dalam kamar cepat-cepat menurunkan kaus yang sudah lolos dari kepala. Sepertinya karena efek obat, pagi ini Juna terbangun dengan badan berkeringat hebat. Ia belum mandi, hanya berganti pakaian ketika sang ibu membuka pintu. "Ayo sarapan," ajak wanita yang masih berdiri di ambang portal. Dia sudah mengenakan setelan serba putih dengan surai legam yang masih terurai. Sementara Juna gelagapan sendiri. Pasalnya setelah menghadapi realita, ada rasa canggung ketika berhadapan dengan orang tuanya. Sebuah perasaan yang alamiah muncul di dalam benak. Ia agak kesulitan mengendalikan. "Ah, iya," jawab Juna.Ia kira langsung ditinggal, tapi ibunya malah melangkah mendekat. Juna segera menarik baju kotornya di lantai agar tidak duluan diambil ibu. Tak tahunya wanita itu malah mengulurkan tangan ke dahi si adam. "Udah dingin, syukurlah," kata ibu sambil mengulas senyum di wajah berkerut tipis itu. "Ayo!"Sebab digiring oleh lengan di pinggang
"Bu? Ibu?! Awan, Ibu di mana?!" Persis seperti bangau yang hendak pulang ke peraduan, namun terpisah dari gerombolan. Pria yang tengah melangkah dari garasi ke teras rumah itu teriak-teriak mencari pasangan hidupnya. Tentu bukan tanpa alasan, ada yang darurat hingga butuh pertolongan sang perawat. Tidak main-main, putra bungsunya kembali tepar. Ayah harus memapah si pemuda untuk sampai ke dalam rumah mereka. "Ibu belum pulang. Kenapa, Yah?" tanya Awan dari dalam. Sekian detik kemudian ia muncul di pintu depan dan langsung melihat diorama tak mengenakkan. "Cepat bantu bawa Juna masuk," titah sang ayah yang nampak mulai kualahan. Tenaga orang tua tentu tak sekuat zaman mudanya. Kadang untuk membawa beban tubuh sendiri saja merasa tak kuat. Apalagi harus memapah si jangkung Juna. Awan pun menurut. Diraihnya lengan kanan sang adik dan ia kalungkan di pundaknya. Awan dan ayah sama-sama membantu Arjuna yang terus memejam. Lelaki di tengah itu amat lemas. Kepala beserta setengah b
Pagi ini hujan. Matahari belum sempat datang, tapi air sudah bertebaran. Januari memang demikian. Katanya akronim dari 'hujan sehari-hari'. Ya, tak heran. Udara membawa petrichor menyisip dari luar ke dalam ruangan melalui celah kusen jendela. Tirainya yang tak menutup sempurna menjadi jalan masuknya sinar dari dirgantara. Meski tak menyengat, tetapi kanvas dominan putih itu tetap bercahaya terang. Menyilaukan dua manik yang baru terbuka di atas ranjangnya. Juna mengerjap perlahan untuk menyesuaikan pandangan. Kedua tangannya keluar dari selimut untuk diregangkan. Pemuda itu menatap sekitar, terutama pada jam. Lewat pukul tujuh, tapi tak ada yang mengetuk pintu. Setengah badan dibangkitkan, Juna duduk di tepi ranjang. Ia harus tahu dulu bagaimana kondisi tubuhnya. Sudah cukup ringan. Ia mengacak surai gelapnya. Haus, tapi yang ada hanya cangkir kosong di nakas. Si adam harus keluar guna memenuhi keinginan. Pemandangan indah sedang terlukis di ruang makan. Meski sederhana, rumah o
Halo!Haihaw di sini!Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us.Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap.Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh.Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan.Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nanti akan
Halo! Haihaw di sini! Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us. Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap. Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh. Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan. Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nan
"Tunggu sebentar, ya."Perempuan berbalut celana jins dan jaket kulit hitam itu melangkah rikat dari satu kamar ke kamar lainnya. Tangan-tangan itu pun cekatan menguncir kuda rambut panjangnya. Hal lain yang ia lakukan bersamaan dengan dua kegiatan itu yaitu memandang sekilas sembari mengatakan permintaan pada seseorang untuk bersabar menunggu ia selesai bersiap.Seseorang yang duduk di ruang tamu dengan kudapan dan minuman sebagai jamuan. "Iya, santai aja," jawabnya.Ini hari Sabtu. Masih pagi, sekitar pukul sembilan menuju angka sepuluh. Hanya memberi gambaran kasar bahwa Juna mengajak Arin ke Surakarta, tapi ia tak menyebutkan hari dan jam secara spesifik. Alhasil, lelaki itu kini harus menunggu kekasihnya bersiap-siap dulu."Juna, kamu udah sarapan?" Sosoknya tak nampak, tapi suara perempuan yang bertanya sedemikian itu terdengar dari arah dapur."Sudah, Bu." Juna menjawab dengan sedikit lantang agar suaranya sampai pada sang pendengar yang dituju."Beneran? Jangan sampai belum ma
Matahari condong di langit barat. Sinarnya menerobos sela-sela ranting dan dedaunan. Hingga akhirnya menerpa wajah-wajah yang baru saja keluar dari pelindung kepala. Sembari disisir dengan ruas jari, surai-surai itupun menari karena terpaan angin sepoi.Dua pria di dekat gerbang FIB itu sibuk dengan penampilan masing-masing. Seperti biasalah, bersiap untuk bertemu sang pujaan."Gue udah tahu weekend ini mau main ke mana," celetuk salah satu pemuda di atas motor hitam.Mendengar hal tersebur, si pemilik Redeu menoleh. "Ke mana?" tanyanya acuh tak acuh."Lo sendiri ada rencana apa?" Sena malah balik bertanya.Juna yang menunduk sambil memainkan helm di pangkuan itu lantas mendongak ke arah kawannya. "Solo," jawabnya singkat."Serius? Lo mau pulang kampung?" Entah kenapa Sena sok terkejut. Padahal bagi perantau memang wajar untuk pulang ke rumah orang tua saat ada kesempatan. Ah, mungkin dia ingat sentimen yang pernah terjadi antara Juna dan keluarganya."Iya, kenapa?" ujar Juna."Nggak
"Gue mau putus."Tidak hanya si gadis bersurai sebahu yang menoleh pada lelaki yang mengucapkan kalimat itu. Tapi penjual jagung manis di tengah pasangan tersebut juga dibuat terperangah seketika."Makasih, pak," kata Rima sembari membayar kudapan yang dibelinya.Dengan paksa, Rima menarik lengan sang pacar pergi dari kumpulan penjual makanan kaki lima. Belum juga melangkah lebih jauh, Banu berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Rima."Gue mau putus," ulangnya.Di tempat yang tak begitu banyak orang itu, sang puan memicing karena jengah dengan si adam yang tiba-tiba mengatakan hal tak menyenangkan. "Udah empat kali lo bilang kayak gitu. Sekarang apa lagi alasannya? Karena gue nggak nemenin lo karaokean kemarin? Gue sibuk anjir, tugas gue banyak," jelas Rima. Ia berusaha keras menekan ego dan emosinya."Nggak usah bohong. Kemarin—" ucapan Banu terpotong karena dirinya yang menyuapkan jagung bertabur keju dan meses itu ke mulut. "Kemarin lo jalan sama orang lain, kan?" lanjutnya.Se
Tok tokDua ketukan pada bangku putih di baris ketiga dari depan. Si empu yang duduk pun menoleh pada sang pelaku. Ternyata sobat sendiri yang mendekat dan tersenyum."Sst," gadis berbandana itu menempelkan telunjuk di bibir sembari duduk di sebelah Arin. Tak lupa, Lila mengeluarkan sebuah sticky note dan memperlihatkannya pada sang kawan.Membaca sejenak, raut Arin nampak terkejut. Manik matanya membulat. Bahkan mulutnya juga menganga dan langsung ia tutup dengan tangan. Sementara Lila tersenyum melihat reaksi gadis di sisinya itu.Kemudian Lila mendongak dan mendapati seorang lelaki jangkung di barisan depan bangkit dari bangkunya sembari menaruh tas di punggung.Tanpa sepatah kata, Lila menepuk lengan Arin. Yang menerima kode pun mengikuti arah pandang Lila. Kedua belia itu pun segera meninggalkan kursi dan keluar dari kelas. Mereka diam-diam mengikuti sosok kasanova di depan sana.Berjarak lebih kurang dua meter, si adam terus menginjakkan kakinya di lantai tiga gedung A Fakultas
Tentang dia yang katanya bisa memantik tantrum orang-orang di dekatnya."Kelompok terakhir yaitu Ayuna, Dea, Gita, Kamal, Mahesa, dan Peter." Wanita berkacamata itu menyebut satu per satu nama mahasiswa di kelompok ketujuh yang beliau buat. "Silakan mulai mengerjakan tugas. Kumpulkan pada kormat dalam bentuk soft file, lalu kormat mengumpulkan pada saya maksimal besok jam sepuluh pagi. Paham semuanya?" jelas sang dosen tersebut."Paham," balas sebagian besar seisi kelas."Baiklah kita akhiri kelas hari ini. Selamat siang," pamit dosen itu sebelum akhirnya meninggalkan ruangan usai anak didiknya membalas serempak.Seseorang di samping meja Ayuna pun berdiri. Dia mengamati arloji di tangan kiri. "Masih ada lima belas menit, mau bahas tugas sekarang di sini?" tanya Mahesa pada Ayuna, Dea, dan Gita yang duduk sebaris."Boleh," kata Ayuna. Dua gadis lain pun juga setuju."Kamal, sini dulu bentar, bahas tugas!" Mahesa memanggil satu lelaki jangkung yang sudah berdiri dengan ransel di pungg
Derit pintu tak ubahnya menarik atensi enam insan di dalam ruangan itu. Petak persegi yang baunya tak pasti. Kadang hanya parfuma badan, kadang makanan ringan, kadang juga bau khas konsol mainan baru. Lalu si orang ketujuh kini menutup kembali pintu. Namun, ia tak kunjung duduk di kursi empuk."I wanna talk," ucap si blasteran, Marven.Haydar, Randi, dan Aji masih fokus pada kesibukannya melempar kartu UNO di meja. Cakra dan Jovi hanya nampak punggung saat menghadap mesin game gulat. Sementara satu manusia lagi di kursi nampaknya bersedia mengalihkan pandang dari ponsel ke arah Marven berdiri."Ada apa?" tanya Jayendra. Tak lebih baik, dia kembali sibuk dengan elektronik pipih di tangannya.Haydar pun menyadari eksistensi Marven. "Oh, my bro! Sini, ngapain berdiri?" ucapnya santai.Diamnya Marven adalah penolakan. Ia mengeraskan rahang dengan kepalan tangan yang tertutup jaket jins panjangnya. Logika dan hatinya berusaha tetap sinkron untuk membulatkan keputusan."I'm done," katanya.
Bohlam-bohlam keemasan yang menggelantung itu bersinar terang. Semakin malam, makin banyak pula yang berdatangan. Memang benar kegiatan ngopi paling nikmat adalah saat malam hari."Mas, vietnam drip sama einspänner ya," ucap seorang pria berkaus polo hitam. Sesuai jumlah pesanan, ia tentu tak sendiri. Ada seorang gadis di belakangnya. Perempuan yang nampak tak asing di mata Juna. Hawa yang mengenggam posesif tangan si adam dengan senyuman manisnya."Mohon ditunggu, ya. Silakan duduk dulu," kata Juna sambil mengesampingkan rasa penasarannya.Sepasang pembeli itu pun menuju bangku kosong yang dipilih. Sementara Juna segera menyiapkan minuman yang dipesan.'Kayaknya gue pernah lihat dia,' batin Juna.Sembari terus mencoba mengingat-ingat siapa wanita semampai, bersurai sedikit gelombang, dengan ciri khas anting panjang. Sepertinya ini bukan kunjungan pertamanya di kafe tempat Juna bekerja. Makanya si pemuda itu seolah pernah melihatnya.Juna menaruh dua minuman yang telah siap ke atas na