"Bu? Ibu?! Awan, Ibu di mana?!" Persis seperti bangau yang hendak pulang ke peraduan, namun terpisah dari gerombolan. Pria yang tengah melangkah dari garasi ke teras rumah itu teriak-teriak mencari pasangan hidupnya. Tentu bukan tanpa alasan, ada yang darurat hingga butuh pertolongan sang perawat. Tidak main-main, putra bungsunya kembali tepar. Ayah harus memapah si pemuda untuk sampai ke dalam rumah mereka. "Ibu belum pulang. Kenapa, Yah?" tanya Awan dari dalam. Sekian detik kemudian ia muncul di pintu depan dan langsung melihat diorama tak mengenakkan. "Cepat bantu bawa Juna masuk," titah sang ayah yang nampak mulai kualahan. Tenaga orang tua tentu tak sekuat zaman mudanya. Kadang untuk membawa beban tubuh sendiri saja merasa tak kuat. Apalagi harus memapah si jangkung Juna. Awan pun menurut. Diraihnya lengan kanan sang adik dan ia kalungkan di pundaknya. Awan dan ayah sama-sama membantu Arjuna yang terus memejam. Lelaki di tengah itu amat lemas. Kepala beserta setengah b
Pagi ini hujan. Matahari belum sempat datang, tapi air sudah bertebaran. Januari memang demikian. Katanya akronim dari 'hujan sehari-hari'. Ya, tak heran. Udara membawa petrichor menyisip dari luar ke dalam ruangan melalui celah kusen jendela. Tirainya yang tak menutup sempurna menjadi jalan masuknya sinar dari dirgantara. Meski tak menyengat, tetapi kanvas dominan putih itu tetap bercahaya terang. Menyilaukan dua manik yang baru terbuka di atas ranjangnya. Juna mengerjap perlahan untuk menyesuaikan pandangan. Kedua tangannya keluar dari selimut untuk diregangkan. Pemuda itu menatap sekitar, terutama pada jam. Lewat pukul tujuh, tapi tak ada yang mengetuk pintu. Setengah badan dibangkitkan, Juna duduk di tepi ranjang. Ia harus tahu dulu bagaimana kondisi tubuhnya. Sudah cukup ringan. Ia mengacak surai gelapnya. Haus, tapi yang ada hanya cangkir kosong di nakas. Si adam harus keluar guna memenuhi keinginan. Pemandangan indah sedang terlukis di ruang makan. Meski sederhana, rumah o
Juna duduk di tepi ranjang. Kedua siku bertumpu pada lutut yang menapak keramik kamar. Seluruh jari tangannya bertautan. Isi kepala ribut bukan kepalang. Topik utama adalah sifat Awan. Tetesan air jatuh di atas jemari Juna. Teringat bahwa rambutnya masih basah, lelaki itu lantas mengusapnya dengan sepotong handuk yang sedari tadi ada di bahu. Benar, dia habis mandi plus keramas. Sangat ampuh untuk meringankan tubuh usai diserang penyakit.'Ah, ganggu banget anjir," batin Juna setelah berdecak kesal. Muak dengan kelakuan sosok manusia yang terus mengusik ruang kepalanya. CklekPintu dibuka dari luar. Presensi ibu Juna ada di sana. Berbalut gaun malam warna cokelat dengan kardigan panjang. Putra termudanya bahkan tak tahu jika wanita itu sudah pulang dari kerjaan. "Juna, waktunya makan," ucap ibu. Tanpa mendekat, ia tetap di ambang pintu sambil mengatakan hal tersebut. Sekejap kemudian, ibu pergi setelah Juna mengangguk sebagai balasan. Handuk dilempar ke kasur, Juna akan turun. Mel
Kemeja hitam di atas jins biru terang. Lelaki terlampau jangkung itu turun dari motornya usai melepas sebuah helm di kepala. Tidak sendirian, sejak awal kendaraannya memang ditumpangi dua orang. Pasangannya yang lebih dulu turun kini melangkah menuju sebuah gerbang. Belia bernama Lila lantas menunggu si adam untuk masuk ke pekarangan rumah bata bercat merah. Bukannya cepat mengekor Lila, Sena malah menekan bel yang ada di pilar sebelah gerbang. "Aku udah bilang Arin, Sena. Buruan ah," ucap gadis itu. Maksud perkataannya adalah mereka diperbolehkan langsung masuk rumah oleh pemiliknya. Sebab Lila sudah menghubungi tuan rumah via telepon sebelumnya. "Oh ya?" gumam Sena dengan singkat dan pelan. Ia pun segera menggerakkan kaki untuk mengikuti sang puan. CklekPintu dari bangunan merah itu terbuka, seseorang muncul untuk menyambut tamu yang datang. Arin dengan blouse hitam berkerah putih serta celana kain moka mengulas senyum tipis kepada dua teman baiknya. "Ayo masuk," ajak perempua
"Kamu serius pergi sekarang?"Pertanyaan kesekian pada pagi hari nan cerah ini. Yup, yang biasa kelam dengan rintik hujan, kali ini lazuardi menghiasi langit. Itu menjadi alasan berbentuk lisan yang dilontarkan si pemuda bersurai gelap. Padahal ada dalih lain yang hanya mampu diucap dalam benaknya. "Iya, takutnya besok-besok hujan terus. Aku harus balik ke kafe juga, Bu," balas Juna yang sibuk menata isi tasnya. Ia menanggapi tiap ucapan sang ibu sembari melangkah sana-sini mengumpulkan barang yang akan dibawanya. "Kenapa nggak seminggu lagi? Masih libur juga, kan? Bilang sama bos di kafe kalau kamu pulang ke rumah," saran ibu pada putranya. 'Ya, mungkin itu bisa. Tapi gue nggak bisa terus-terusan jadi beban di sini,' batin lelaki itu. Namun, yang ditampilkan adalah senyum dan sanggahan sopan untuk pendapat ibunya. "Ya udah. Yang penting kamu udah beneran sehat. Jaga diri juga di sana," titah sang puan. "Sarapan dulu, ya?" Ibu menaruh lengan di pinggang si bungsu dan menuntun unt
Angin berembus cukup kencang kala pagi buta datang. Derunya membawa gumpalan kapas di langit menjadi samar. Kompromi dengan matahari, gelap mengalah untuk dijadikan terang. Permulaan hari ini seperti demikian. Hanya ujung rambut yang menyembul dari balik selimut tebal. Sebongkah insan di dalamnya meringkuk dengan gerak napas konstan. Kala dering ponsel menjerit, barulah ia menggeliat hingga ujung kaki-kaki panjangnya mencuat. Juna meraih benda pipih di dekat bantal. Alarm pada ponsel itu segera dimatikan. Jemari si adam lantas berpindah ke kelopak matanya. Dikucek perlahan, ia harus bangun untuk merealisasikan ucapan kemarin pada sang pacar. Sebab nanti siang ia berniat kembali menjadi barista. Beberapa menit dihabiskan Juna untuk berusaha meninggalkan ranjang. Setelah usaha kesekian, ia pun berdiri tegap sambil melemaskan otot-otot tubuhnya. Daripada malas kembali menyapa, diraihnya handuk dan langsung pergi ke kamar mandi. Putaran jam berikutnya, cahaya sang rawi menghujam jend
Apron cokelat membalut rapi badan si adam di balik meja barrier hitam. Berdiri tegap, hanya kepala yang menunduk dalam. Netranya mengamati gelas yang berputar di tangan. Pikiran melayang dengan sayap-sayap tak bertuan. Juna kembali ke Semarang untuk keluar dari kesedihan. Tidak tahunya malah masuk ke jurang menyakitkan. Dan lagi-lagi di perpotongan usia dua puluh tahunnya ia harus menghadapi hal-hal tak terduga sendirian. Benar-benar terasa sendiri sebab hati seolah dikhianati.Oleh siapapun, semua orang. Termasuk mereka yang datang ke hadapannya sekarang. Empat pemuda yang melangkah melewati pintu kaca dengan bunyi genta. Mendekat pada Juna dan melempar sapaan ceria. "Ck!" decakan pelan keluar dari bibir ranum si barista. "Aloha!" pekik Kamal sambil melambaikan kedua tangan pada Juna. Rambut blonde menjadi gaya dia di masa libur semester kali ini. Valid sebagai pemuda blasteran yang menarik perhatian banyak orang. Terlebih dengan sifatnya yang polos macam serat kapas di angkasa.
Satu dari tujuh persen populasi pemilik sifat unik ini adalah Arjuna Abisatya. Pemuda yang banyak mengandalkan pikiran dan rasa. Menarik, mandiri, penuh semangat, dan senantiasa berbelas kasihan. Hingga iba tak tahunya menjadi momok yang membuat perkara—jikalau tak disalurkan dengan benar. "Ck! Mending baku hantam daripada diam-diaman kayak perawan gini!" kata Banu yang menghempaskan ponsel ke lantai. Ia kemudian menabrakkan punggung ke ranjang kayu di belakangnya. "Lo juga tahu dia nggak bakal pakai otot ke orang-orang terdekatnya," sahut si adam yang bersandar pada dinding kamar. Sena sebagai sang pemilik ruang itu duduk di ranjang sambil memainkan kolor dari celana yang ia kenakan. "Sorry, I don't know what's his problem, selain kios ayahnya yang terbakar dan kakak ajaibnya." Kamal yang memeluk bantal di samping Sena pun bertanya-tanya. "Karena kakek Arin meninggal dan nggak ada yang bagi kabar ke dia," balas Tara yang duduk dengan siku bertumpu pada sebuah meja pendek di lanta
Halo!Haihaw di sini!Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us.Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap.Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh.Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan.Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nanti akan
Halo! Haihaw di sini! Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us. Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap. Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh. Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan. Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nan
"Tunggu sebentar, ya."Perempuan berbalut celana jins dan jaket kulit hitam itu melangkah rikat dari satu kamar ke kamar lainnya. Tangan-tangan itu pun cekatan menguncir kuda rambut panjangnya. Hal lain yang ia lakukan bersamaan dengan dua kegiatan itu yaitu memandang sekilas sembari mengatakan permintaan pada seseorang untuk bersabar menunggu ia selesai bersiap.Seseorang yang duduk di ruang tamu dengan kudapan dan minuman sebagai jamuan. "Iya, santai aja," jawabnya.Ini hari Sabtu. Masih pagi, sekitar pukul sembilan menuju angka sepuluh. Hanya memberi gambaran kasar bahwa Juna mengajak Arin ke Surakarta, tapi ia tak menyebutkan hari dan jam secara spesifik. Alhasil, lelaki itu kini harus menunggu kekasihnya bersiap-siap dulu."Juna, kamu udah sarapan?" Sosoknya tak nampak, tapi suara perempuan yang bertanya sedemikian itu terdengar dari arah dapur."Sudah, Bu." Juna menjawab dengan sedikit lantang agar suaranya sampai pada sang pendengar yang dituju."Beneran? Jangan sampai belum ma
Matahari condong di langit barat. Sinarnya menerobos sela-sela ranting dan dedaunan. Hingga akhirnya menerpa wajah-wajah yang baru saja keluar dari pelindung kepala. Sembari disisir dengan ruas jari, surai-surai itupun menari karena terpaan angin sepoi.Dua pria di dekat gerbang FIB itu sibuk dengan penampilan masing-masing. Seperti biasalah, bersiap untuk bertemu sang pujaan."Gue udah tahu weekend ini mau main ke mana," celetuk salah satu pemuda di atas motor hitam.Mendengar hal tersebur, si pemilik Redeu menoleh. "Ke mana?" tanyanya acuh tak acuh."Lo sendiri ada rencana apa?" Sena malah balik bertanya.Juna yang menunduk sambil memainkan helm di pangkuan itu lantas mendongak ke arah kawannya. "Solo," jawabnya singkat."Serius? Lo mau pulang kampung?" Entah kenapa Sena sok terkejut. Padahal bagi perantau memang wajar untuk pulang ke rumah orang tua saat ada kesempatan. Ah, mungkin dia ingat sentimen yang pernah terjadi antara Juna dan keluarganya."Iya, kenapa?" ujar Juna."Nggak
"Gue mau putus."Tidak hanya si gadis bersurai sebahu yang menoleh pada lelaki yang mengucapkan kalimat itu. Tapi penjual jagung manis di tengah pasangan tersebut juga dibuat terperangah seketika."Makasih, pak," kata Rima sembari membayar kudapan yang dibelinya.Dengan paksa, Rima menarik lengan sang pacar pergi dari kumpulan penjual makanan kaki lima. Belum juga melangkah lebih jauh, Banu berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Rima."Gue mau putus," ulangnya.Di tempat yang tak begitu banyak orang itu, sang puan memicing karena jengah dengan si adam yang tiba-tiba mengatakan hal tak menyenangkan. "Udah empat kali lo bilang kayak gitu. Sekarang apa lagi alasannya? Karena gue nggak nemenin lo karaokean kemarin? Gue sibuk anjir, tugas gue banyak," jelas Rima. Ia berusaha keras menekan ego dan emosinya."Nggak usah bohong. Kemarin—" ucapan Banu terpotong karena dirinya yang menyuapkan jagung bertabur keju dan meses itu ke mulut. "Kemarin lo jalan sama orang lain, kan?" lanjutnya.Se
Tok tokDua ketukan pada bangku putih di baris ketiga dari depan. Si empu yang duduk pun menoleh pada sang pelaku. Ternyata sobat sendiri yang mendekat dan tersenyum."Sst," gadis berbandana itu menempelkan telunjuk di bibir sembari duduk di sebelah Arin. Tak lupa, Lila mengeluarkan sebuah sticky note dan memperlihatkannya pada sang kawan.Membaca sejenak, raut Arin nampak terkejut. Manik matanya membulat. Bahkan mulutnya juga menganga dan langsung ia tutup dengan tangan. Sementara Lila tersenyum melihat reaksi gadis di sisinya itu.Kemudian Lila mendongak dan mendapati seorang lelaki jangkung di barisan depan bangkit dari bangkunya sembari menaruh tas di punggung.Tanpa sepatah kata, Lila menepuk lengan Arin. Yang menerima kode pun mengikuti arah pandang Lila. Kedua belia itu pun segera meninggalkan kursi dan keluar dari kelas. Mereka diam-diam mengikuti sosok kasanova di depan sana.Berjarak lebih kurang dua meter, si adam terus menginjakkan kakinya di lantai tiga gedung A Fakultas
Tentang dia yang katanya bisa memantik tantrum orang-orang di dekatnya."Kelompok terakhir yaitu Ayuna, Dea, Gita, Kamal, Mahesa, dan Peter." Wanita berkacamata itu menyebut satu per satu nama mahasiswa di kelompok ketujuh yang beliau buat. "Silakan mulai mengerjakan tugas. Kumpulkan pada kormat dalam bentuk soft file, lalu kormat mengumpulkan pada saya maksimal besok jam sepuluh pagi. Paham semuanya?" jelas sang dosen tersebut."Paham," balas sebagian besar seisi kelas."Baiklah kita akhiri kelas hari ini. Selamat siang," pamit dosen itu sebelum akhirnya meninggalkan ruangan usai anak didiknya membalas serempak.Seseorang di samping meja Ayuna pun berdiri. Dia mengamati arloji di tangan kiri. "Masih ada lima belas menit, mau bahas tugas sekarang di sini?" tanya Mahesa pada Ayuna, Dea, dan Gita yang duduk sebaris."Boleh," kata Ayuna. Dua gadis lain pun juga setuju."Kamal, sini dulu bentar, bahas tugas!" Mahesa memanggil satu lelaki jangkung yang sudah berdiri dengan ransel di pungg
Derit pintu tak ubahnya menarik atensi enam insan di dalam ruangan itu. Petak persegi yang baunya tak pasti. Kadang hanya parfuma badan, kadang makanan ringan, kadang juga bau khas konsol mainan baru. Lalu si orang ketujuh kini menutup kembali pintu. Namun, ia tak kunjung duduk di kursi empuk."I wanna talk," ucap si blasteran, Marven.Haydar, Randi, dan Aji masih fokus pada kesibukannya melempar kartu UNO di meja. Cakra dan Jovi hanya nampak punggung saat menghadap mesin game gulat. Sementara satu manusia lagi di kursi nampaknya bersedia mengalihkan pandang dari ponsel ke arah Marven berdiri."Ada apa?" tanya Jayendra. Tak lebih baik, dia kembali sibuk dengan elektronik pipih di tangannya.Haydar pun menyadari eksistensi Marven. "Oh, my bro! Sini, ngapain berdiri?" ucapnya santai.Diamnya Marven adalah penolakan. Ia mengeraskan rahang dengan kepalan tangan yang tertutup jaket jins panjangnya. Logika dan hatinya berusaha tetap sinkron untuk membulatkan keputusan."I'm done," katanya.
Bohlam-bohlam keemasan yang menggelantung itu bersinar terang. Semakin malam, makin banyak pula yang berdatangan. Memang benar kegiatan ngopi paling nikmat adalah saat malam hari."Mas, vietnam drip sama einspänner ya," ucap seorang pria berkaus polo hitam. Sesuai jumlah pesanan, ia tentu tak sendiri. Ada seorang gadis di belakangnya. Perempuan yang nampak tak asing di mata Juna. Hawa yang mengenggam posesif tangan si adam dengan senyuman manisnya."Mohon ditunggu, ya. Silakan duduk dulu," kata Juna sambil mengesampingkan rasa penasarannya.Sepasang pembeli itu pun menuju bangku kosong yang dipilih. Sementara Juna segera menyiapkan minuman yang dipesan.'Kayaknya gue pernah lihat dia,' batin Juna.Sembari terus mencoba mengingat-ingat siapa wanita semampai, bersurai sedikit gelombang, dengan ciri khas anting panjang. Sepertinya ini bukan kunjungan pertamanya di kafe tempat Juna bekerja. Makanya si pemuda itu seolah pernah melihatnya.Juna menaruh dua minuman yang telah siap ke atas na