Kinan membuka matanya dengan senyum mengembang di wajahnya. Dia melihat Shaka masih terlelap di sampingnya. Hatinya berdesir bahagia dan tanpa ragu, dia memutuskan untuk memanjakan dirinya hari ini dengan waktu berkualitas bersama sang suami. Kinan mencubit pelan pipi Shaka dan kemudian dengan suara manja, dia merengek, "Maas.""Hmm?" timpal Shaka dengan mata yang masih tertutup. "Nggak usah masuk kantor ya hari ini," pinta Kinan. Shaka terbangun dari tidurnya dengan wajah yang penuh tanda tanya. Dia terkejut dengan permintaan manja Kinan, tetapi melihat betapa serius dan bersemangatnya istri kecilnya itu, dia tentu tidak bisa menolak rayuan itu. Dia tersenyum dan mengelus lembut rambut Kinan."Kamu nggak lagi kesambet kan? Tumben manja banget kaya gini?" "Ya enggaklah. Aku cuma pingin menghabiskan hari ini sama mas Shaka. Nggak tahu, rasanya lagi kangen aja.""Iya, iyaa. Kita bisa lakukan apa pun yang kamu mau hari ini. Ayo kita buat hari ini jadi spesial," kata Shaka sambil berc
"Mas, kenapa sih senyum-senyum mulu. Aku lagi nggak enak badan malah keliatannya seneng banget, sih?" protes Kinan dalam perjalanan ke rumah sakit. Pasalnya dari tadi dia lihat suaminya senyum-senyum tak jelas, entah apa yang sedang dipikirkannya."Aku nggak lagi senyumin kamu sakit. Tapi, aku lagi seneng ngebayangin kalau mungkin sebentar lagi aku akan jadi seorang ayah." Shaka menaik-naikkan alisnya dengan jahil. "Yakin banget sih, Mas? Kalau aku cuma sakit biasa gimana""Makanya kita lihat aja nanti." Shaka masih terlihat percaya diri dengan harapan yang ada di dalam hatinya. Sementara Kinan sebenarnya ketar-ketir kalau dirinya benar-benar hamil. Pasalnya, dia masih ingin menikmati masa-masa berdua dengan Shaka. Juga, dia ingin menikmati semua yang dia dapatkan belakangan ini. Semua anugrah yang telah Tuhan berikan padanya. Menikmati segala kenikmatan, kasih sayang dan harta benda yang hingga umurnya dewasa, belum pernah dia nikmati. Entah ini egois atau tidak, Kinan merasa dia m
Rena terlonjak gembira saat menerima kabar kehamilan Kinan dari mulut sahabatnya itu. Dia langsung bertindak overprotected pada Kinan. Hal itu membuat Kinan merasa cukup risih. "Ren, biasa aja sih," gerutunya saat Rena mengambil kursi untuk Kinan duduki. Mereka berada di cafetaria kampus. "Ih, aku kan mau punya ponakan. Lucu banget pasti," kikik Rena sambil menangkup pipinya sendiri dan menggoyangkannya ke sana kemari.Kinan cemberut. Dia sedang bergulat dengan perasaannya sendiri yang tidak menentu. Belum lagi ketambahan cerewetnya mama mertua yang punya aturan ini itu. Pusing sekali rasanya kepala Kinan. Belum lagi dia harus merasakan badannya yang lemas, perutnya mual dan moodnya yang naik turun."Kinan, kamu kenapa sih?" tanya Rena sambil meneliti wajah Kinan. Kinan menghembuskan napas kasar. "Aku lagi kacau banget, Ren," keluhnya."Kacau kenapa? Ada masalah sama Mas Shaka?"Kinan menggeleng. Dia terdiam untuk beberapa saat. "Jujur aja sebenarnya aku belum siap hamil.""Loh, ko
Shaka membukakan pintu untuk Kinan yang sudah menunggunya di depan gerbang kampus. Wajah gadis itu masih seperti biasa. Cemberut. Mungkin mood Kinan masih tidak bagus, batin Shaka. Jadi, dia berusaha untuk tidak membuat masalah atau menanyakan apa pun pada Kinan."Mas, kenapa harus repot-repot keluar kantor terus jemput aku sih? Aku kan bisa dijemput Pak Noto," ujar Kinan memecah keheningan di dalam mobil. "Nggak papa, emang aku pingin jemput kamu kok." "Maksudku nggak usah.""Ya siapa tahu kamu abis kuliah pingin makan apa gitu.""Nggak ngidam kok," sahut Kinan ketus. "Oh, nggak ngidam, ya?" Kinan menghela napas dalam-dalam. Entah kenapa moodnya turun sekali siang itu. Mungkin gara-gara pesan dari Doni. "Nggak pingin ke mana-mana gitu? Aku siap loh antar kamu ke manapun, misalnya kamu pingin jalan-jalan.""Udah bilang nggak pingin apa-apa," sahut Kinan."Okay, okay. Jadi langsung pulang aja, nih?" "Hmm."Shaka mengangangguk mengiyakan. Astaga, perempuan hamil sungguh melatih ke
Saat keluar dari kelas, Kinan dan Rena dikejutkan oleh kehadiran Doni yang menghadang langkah mereka menuju cafetaria kampus. Rena yang sejak awal memang tidak suka dengan Doni, segera pasang badan untuk melindungi sahabatnya. "Mau apa kamu?" tanya Rena dengan kepala yang dia tegakkan dengan angkuhnya."Aku ada urusan sama Kinan." Doni memandang miring Rena. Batinnya, gadis ini menyebalkan dan bisa jadi batu sandungan dirinya mendekati Kinan."Iya, urusan apa?" tantang Rena. "Bukan urusan kamu," timpal Doni sebal. Dia menatap Rena sinis. Cantik-cantik sengak, pikirnya. "Kalau urusan sama Kinan ya itu urusanku juga. Apalagi yang mau berurusan itu cowok kayak kamu." Rena berucap dengan sengit. Doni mengibaskan tangan, menganggap ucapan Rena hanya angin lalu. "Kinan, bisa kan kita ngobrol?" Dia menggeser badannya untuk memandang ke arah Kinan yang ada di belakang Rena. "Kayaknya nggak deh, Don. Aku laper banget mau makan sama Rena." Kinan menolak dengan halus. "Tuh, kan ... nggak b
Doni berusaha untuk fokus dengan apa yang sedang dibicarakan oleh Nikita yang tak henti-hentinya mengoceh. Perempuan itu sudah dalam pengaruh alkohol yang tinggi. Namun mata Doni tidak mampu lepas dari dada Nikita yang terlihat begitu montok dan menggiurkan. "Shaka memang brengsek. Tega banget dia sama aku." Tangis Nikita tiba-tiba pecah. Doni dengan cekatan meraih tubuh perempuan itu dan memeluknya. Akhirnya, Nikita pun menangis dalam pelukannya. Doni menarik sudut bibirnya saat tiba-tiba saja ide jahat melintas di benaknya. "Nona Nikita, gimana kalau aku antar kamu ke hotel?" tawar Doni. "Hotel?" tanya Nikita seraya mengerutkan kening. "Ah, ya ... aku mau tidur hotel," kikinya kemudian. Doni terlihat senang dengan jawaban Nikita. Pria itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia bimbing Nikita yang sempoyongan keluar dari club menuju mobilnya. Kemudian setelah mereka masuk Doni melajukan mobil Nikita menuju salah satu hotel bintang lima yang paling dekat dengan club.Setelah menguru
"Mas!" panggil Kinan sambil mengguncang bahu Shaka di sampingnya. "Mas Shaka!" panggilnya kembali saat hanya mendengar gumaman dari Shaka yang sedang tertidur lelap."Ya, Sayang?" Shaka buru-buru membuka mata saat mendengar seruan Kinan. "Ada masalah? Ada yang sakit? Kamu pingin sesuatu?" tanyanya dengan wajah panik."Ish! Enggak!" sahut Kinan sambil memasang wajah cemberut. "Aku nggak bisa tidur, Mas," keluhnya. "Oh, okay," ucap Shaka lega. Belakangan ini dia suka panikan sendiri kalau Kinan membangunkannya tengah malam begini. Dia takut Kinan kenapa-kenapa. "Terus, gimana?"Kinan mendecak sebal. "Kok gimana? Ya Mas Shaka jangan enak-enakan tidur, dong.""Oh, iya, iya, maaf.""Nyebelin banget, sih?" gerutu Kinan."Iya, nih aku nggak akan tidur sebelum kamu tidur," ujar Shaka seraya berusaha membuka mata lebar-lebar untuk mengusir rasa kantuknya."Tapi aku bosen di kamar, pingin jalan-jalan.""Hah? Jalan-jalan?" Shaka menoleh ke arah jam dinding. Pukul dua dini hari. "Jam segini?""N
"Kok si brengsek mantan kamu itu nggak keliatan lagi, ya?" tanya Rena sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling."Ya bagus kan dia nggak ganggu-ganggu lagi." Kinan menyahut sambil mencebik. Mereka berdiri di depan gerbang kampus untuk menunggu jemputan Kinan. Biasanya Shaka yang menjemput. Sebuah mobil sedan berwarna hitam metalik berhenti di depan mereka. Seorang pemuda tampan berkemeja hitam dengan lengan digulung hingga ke siku keluar dari mobil dan menghampiri. Rena yang trauma dengan mantan pacar Kinan, segera mencegah pemuda itu untuk berbicara dengan Kinan. "Kamu siapa dan mau apa? Ada perlu apa sama Kinan?" tanya Rena ketus sambil menatap miring pada pemuda itu. Sementara Kinan hanya senyum-senyum saja di balik punggung Rena karena dia sudah tahu siapa pemuda itu. "Eh, ditanya diem aja. Denger nggak sih?" ujar Rena sewot."Non Kinan, ini temannya kok galak banget mirip herder ya?" Si pemuda berucap pada Kinan."Heh! Kok ngata-ngatain aku mirip anjing sih? Kurang ajar bange