CATALEYAUcapan Devanka membuatku termangu. Setelah sekian lama tidak bertemu sekalinya berjumpa dia malah menawarkan hal yang mustahil untuk aku lakukan."Aku nggak main-main, Leya. Aku mengajak kamu pergi kalau kamu mau." Devanka menatapku sungguh-sungguh.Aku percaya kalau dia memang tidak main-main. Sayangnya aku tentu saja tidak bisa ikut dengannya."Jangan gila, Dev. Jangan bicara hal yang nggak mungkin aku lakukan," ucapku menjawab perkataannya. Memang untuk apa aku ikut dengan lelaki ini?"Oh, okay kalau menurutmu nggak mungkin ikut denganku. Tapi kalau sekadar berkirim pesan menurutku bukan hal yang mustahil."Hati-hati di jalan."Devanka tersenyum mendengar kata-kataku. "Bukan pesan untuk aku, Leya, tapi untuk Fai. Jangan pura-pura nggak ngerti.""Kita sudah selesai membahas ini sejak lama, Dev," jawabku malas.Aku melihat gerakan Devanka menghela napas sedangkan matanya menyebar ke sekeliling, entah mencari apa."Kamu sendiri?" tanyanya kemudian.Aku menggelengkan kepala. T
FAIAku sedang memasukkan pakaian yang terdiri dari beberapa helai baju dan celana ke dalam tas. Dan tentu saja aku juga membawa kamera.Devanka mengabari hari ini dia akan tiba di LA setelah penerbangan panjang dari Indonesia. Devanka meminta beretemu denganku seperti kebiasaan kami selama ini.Bedanya, kali ini kami akan double date. Devanka with his long time girlfriend sedangkan aku dengan Rasti.Pintu kamar terbuka saat aku sedang berkemas-kemas. Mama masuk lalu melangkah mendekatiku.“Fai, kamu jadi berangkat?” Mama bertanya setelah duduk di pinggir tempat tidur. Sepasang matanya tidak lepas mengawasi setiap pergerakanku.“Jadi dong, Ma. Devanka udah nyampe di LA pagi tadi,” jawabku.“Sama Rasti?”“Iya, Ma.”Mama dan Papa sudah tahu aku berpacaran dengan Rasti. Mereka setuju atas hubungan kami. Apalagi Mama Papa dan keluarga Rasti sudah saling mengenal satu sama lain. Malah saat berkumpul bersama mereka berangan-angan jika suatu hari nanti aku dan Rasti akan berjodoh dan menikah
FAIDevanka dan Karen sudah menunggu saat kami tiba di Los Angeles International Airport. Aku mengenalkan kekasihku pada keduanya.Devanka hampir tak berkedip menatap Rasti sampai aku terpaksa menginjak kakinya."Gitu banget ngeliatnya. Cewek gue woi!"Rasti tertawa sedangkan Devanka tersenyum canggung lalu memandang ke arah Karen. Karen menatapnya horor. Aku yakin nanti Devanka akan disidang. Membayangkannya aku tertawa geli di dalam hati.Dari bandara kami menuju hotel. Devanka sudah memesan dua buah kamar untuk kami.Setibanya di kamar aku dan Rasti langsung beristirahat. Lima jam di peswat lumayan melelahkan.Sambil menonton televisi aku dan Rasti berbaring berdua. Rasti berbaring di atas lenganku sementara tangan dan kakinya melingkari tubuhku.Rasti mulai lagi dengan kelakuannya di pesawat tadi mengendus-endus leherku. Tidak hanya mengendus, lidahnya juga menjilat daun telingaku. Lalu dengan nakal tangannya membelai keperkasaanku. Meski dilakukan dari balik celana namun tak urun
FAI“Kenapa lo baru bilang sekarang? Kenapa setelah berbulan-bulan lo baru ngasih tau ke gue, Dev?”Kalimat bernada penyesalan itu meluncur dari mulutku setelah Devanka menceritakan dengan detail dari A sampai Z mengenai Cataleya tanpa ada yang terlewatkan. Cerita-cerita itu membuatku ingin membenturkan kepala ke dinding. Terlebih ketika membayangkan perasaannya saat datang ke rumahku dan mendapati aku bersama wanita lain yang kuakui sebagai kekasih.“Bukannya gue nggak mau cerita, tapi Leya ngelarang gue. Dia mohon-mohon biar gue jaga rahasia ini dengan baik,” jawab Devanka membela diri.“Lo kan bisa aja bilang iya ke dia tapi lo spill ke gue,” ucapku gemas. Devanka begitu patuh pada Cataleya sampai-sampai melupakan aku, sahabatnya sendiri yang jelas-jelas lebih membutuhkan informasi itu.“Gimana gue mau jujur ke lo, Fai. Gue nggak mau ngerusak momen indah lo dengan Rasti. Apalagi Leya juga ngelarang gue. Waktu dia baru pulang dari DC da
Aku mengambil kacamata hitam yang kugantung di depan baju tepat di bagian dada lalu membingkai wajahku untuk menangkis serangan cahaya matahari begitu turun dari pesawat.Indonesia ternyata jauh lebih panas dari yang diceritakan Mama dan Papa padaku. Setidaknya itu yang kurasakan saat ini.Sembari kakiku berjalan, mataku mengedar mencari-cari sosok Devanka, sahabatku, yang katanya akan menjemput.Lima belas menit menunggu dia tidak kunjung datang, padahal janjinya tidak akan telat. Aku bisa saja sendiri tapi Devanka mewanti-wanti agar menunggunya sampai datang.Ini bukanlah kunjungan pertamaku. Tahun-tahun sebelumnya aku juga pernah ke Indonesia, tapi hanya dalam waktu yang singkat. Sedangkan kedatanganku kali ini untuk waktu yang cukup lama. Ada project yang harus kukerjakan di sini.Awalnya Mama melarang mengambil project itu. Mama yang sangat menyayangi dan memanjakanku sejak kecil menahan sekuat yang bisa dilakukannya agar aku tidak berangkat. Tapi Papa memberi pengertian pada Mam
Tante Zoia mendelik ketika pagi ini aku mengatakan tidak bisa tinggal di rumahnya. Begitu pun dengan Om Javas yang tidak setuju aku keluar dari rumah mereka.“Apa salahnya tinggal di sini? Om dan Tante nggak akan ngelarang atau mengekang kamu kok. Om kan juga pernah muda.”“Bukannya gitu, Om, tapi sayang aja kalo fasilitas dari mereka nggak dimanfaatin,” jawabku mengemukakan alasan sambil nyengir.Om Javas dan Tante Zoia akhirnya hanya bisa mengesah pasrah karena aku begitu teguh dengan pendirianku.“Ya sudahlah, jaga diri baik-baik. Kalo lagi nggak sibuk jangan lupa main ke sini.”“Baik, Om.”“Kalo butuh mobil bawa aja. Mobilnya Kaka ada tuh yang lagi nganggur. Pilih aja maunya yang mana.”“Sekali lagi makasih, Om, tapi aku dikasih mobil juga, sayang kalo dianggurin.”Selain apartemen, Alan juga meminjamkan salah satu mobilnya padaku untuk memudahkan transportasi selama di sini. Bodoh namanya kalau sampai kutolak.Suara klakson di depan pagar mengalihkan perhatian kami. Aku, Om Javas
Kami tiba di apartemen tempatku tinggal selama di Indonesia. Hunian itu berwarna putih bersih. Furniture yang mengisinya rata-rata juga berwarna aman."Aku nggak tahu kamu suka warna apa jadi kupilihkan saja warna-warna netral," kata Cataleya saat kami melewati sofa abu-abu lalu dia menuntunku mengikutinya. Dia mengajakku room tour mengitari setiap sudut apartemen."Ada satu kamar di sini, kamar mandi di dalam, dapur yang menyatu dengan ruang makan dan balkon." Bersama dengan kata terakhirnya kaki kami tiba di kamar. Lalu Cataleya membuka pintu balkon. Seketika udara segar menyergap masuk.Aku dan Cataleya berdiri di pinggir pembatas balkon memandang keramaian jalanan di bawah sana. Dari ketinggian lantai dua puluh semuanya tampak bagai kotak-kotak kecil."Fai, apa ada yang kurang?" Cataleya bertanya padaku sembari memutar tubuhnya menghadap ke arah kamar. Aku ikut melakukan hal yang sama."Sudah cukup," jawabku. "Kamu suka apartemennya?""Suka sekali." Aku mengacungkan jempol. Satu-
CATALEYAFai mengantarku pulang. Tadi aku menemaninya tidak hanya ke apartemen tapi juga studio. Setelahnya kami makan siang, mengunjungi kantor manajemen model milik Alan, jalan-jalan berkeliling Jakarta, hingga terasa hari sudah sore. Aku tidak tahu entah kenapa waktu begitu cepat berlalu saat bersama Fai. Atau mungkin ini hanya perasaanku saja karena keasyikan."Baru pulang kamu?" Langkahku terhenti tiba-tiba ketika aku memasuki rumah lalu melintas di ruang tengah."Iya, Ma," jawabku pada Mama Nuri, ibu mertuaku.Mama Nuri geleng-geleng kepala sembari melirik jam dinding. Aku ikut melempar mata ke arah yang sama. Baru jam lima sore tapi respon Mama Nuri seakan aku pulang jam dua belas malam."Dari mana saja?" tanyanya lagi menginterogasi dengan tatapan tegasnya."Dari kantor Alan, Ma.""Ngapain sih pakai keluyuran kalau nggak ada tujuan yang jelas?""Tadi Alan meminta aku mengantar fotografer yang baru sekalian memberitahu dia mengenai pekerjaanya." Aku menjawab apa adanya."Hany
FAI“Kenapa lo baru bilang sekarang? Kenapa setelah berbulan-bulan lo baru ngasih tau ke gue, Dev?”Kalimat bernada penyesalan itu meluncur dari mulutku setelah Devanka menceritakan dengan detail dari A sampai Z mengenai Cataleya tanpa ada yang terlewatkan. Cerita-cerita itu membuatku ingin membenturkan kepala ke dinding. Terlebih ketika membayangkan perasaannya saat datang ke rumahku dan mendapati aku bersama wanita lain yang kuakui sebagai kekasih.“Bukannya gue nggak mau cerita, tapi Leya ngelarang gue. Dia mohon-mohon biar gue jaga rahasia ini dengan baik,” jawab Devanka membela diri.“Lo kan bisa aja bilang iya ke dia tapi lo spill ke gue,” ucapku gemas. Devanka begitu patuh pada Cataleya sampai-sampai melupakan aku, sahabatnya sendiri yang jelas-jelas lebih membutuhkan informasi itu.“Gimana gue mau jujur ke lo, Fai. Gue nggak mau ngerusak momen indah lo dengan Rasti. Apalagi Leya juga ngelarang gue. Waktu dia baru pulang dari DC da
FAIDevanka dan Karen sudah menunggu saat kami tiba di Los Angeles International Airport. Aku mengenalkan kekasihku pada keduanya.Devanka hampir tak berkedip menatap Rasti sampai aku terpaksa menginjak kakinya."Gitu banget ngeliatnya. Cewek gue woi!"Rasti tertawa sedangkan Devanka tersenyum canggung lalu memandang ke arah Karen. Karen menatapnya horor. Aku yakin nanti Devanka akan disidang. Membayangkannya aku tertawa geli di dalam hati.Dari bandara kami menuju hotel. Devanka sudah memesan dua buah kamar untuk kami.Setibanya di kamar aku dan Rasti langsung beristirahat. Lima jam di peswat lumayan melelahkan.Sambil menonton televisi aku dan Rasti berbaring berdua. Rasti berbaring di atas lenganku sementara tangan dan kakinya melingkari tubuhku.Rasti mulai lagi dengan kelakuannya di pesawat tadi mengendus-endus leherku. Tidak hanya mengendus, lidahnya juga menjilat daun telingaku. Lalu dengan nakal tangannya membelai keperkasaanku. Meski dilakukan dari balik celana namun tak urun
FAIAku sedang memasukkan pakaian yang terdiri dari beberapa helai baju dan celana ke dalam tas. Dan tentu saja aku juga membawa kamera.Devanka mengabari hari ini dia akan tiba di LA setelah penerbangan panjang dari Indonesia. Devanka meminta beretemu denganku seperti kebiasaan kami selama ini.Bedanya, kali ini kami akan double date. Devanka with his long time girlfriend sedangkan aku dengan Rasti.Pintu kamar terbuka saat aku sedang berkemas-kemas. Mama masuk lalu melangkah mendekatiku.“Fai, kamu jadi berangkat?” Mama bertanya setelah duduk di pinggir tempat tidur. Sepasang matanya tidak lepas mengawasi setiap pergerakanku.“Jadi dong, Ma. Devanka udah nyampe di LA pagi tadi,” jawabku.“Sama Rasti?”“Iya, Ma.”Mama dan Papa sudah tahu aku berpacaran dengan Rasti. Mereka setuju atas hubungan kami. Apalagi Mama Papa dan keluarga Rasti sudah saling mengenal satu sama lain. Malah saat berkumpul bersama mereka berangan-angan jika suatu hari nanti aku dan Rasti akan berjodoh dan menikah
CATALEYAUcapan Devanka membuatku termangu. Setelah sekian lama tidak bertemu sekalinya berjumpa dia malah menawarkan hal yang mustahil untuk aku lakukan."Aku nggak main-main, Leya. Aku mengajak kamu pergi kalau kamu mau." Devanka menatapku sungguh-sungguh.Aku percaya kalau dia memang tidak main-main. Sayangnya aku tentu saja tidak bisa ikut dengannya."Jangan gila, Dev. Jangan bicara hal yang nggak mungkin aku lakukan," ucapku menjawab perkataannya. Memang untuk apa aku ikut dengan lelaki ini?"Oh, okay kalau menurutmu nggak mungkin ikut denganku. Tapi kalau sekadar berkirim pesan menurutku bukan hal yang mustahil."Hati-hati di jalan."Devanka tersenyum mendengar kata-kataku. "Bukan pesan untuk aku, Leya, tapi untuk Fai. Jangan pura-pura nggak ngerti.""Kita sudah selesai membahas ini sejak lama, Dev," jawabku malas.Aku melihat gerakan Devanka menghela napas sedangkan matanya menyebar ke sekeliling, entah mencari apa."Kamu sendiri?" tanyanya kemudian.Aku menggelengkan kepala. T
CATALEYAAku buru-buru mengembalikan foto Papa ke dalam dompet saat mendengar pintu kamar dibuka.Alan muncul dari luar dan bertanya padaku, "Sudah siap, Sayang?"Aku memberi jawaban anggukan kepala. Hari ini kami berencana mengunjungi dokter kandungan.Setelah pertengkaran dengan Devanka, aku mencoba berdamai dengan keadaan. Menerima kenyataan bahwa mungkin takdir hidupku adalah bersama Alan, bukan Fai."Ayo, Sayang!" Alan mengulurkan tangan untuk membantuku bangun dari duduk.Aku tidak suka panggilan lebay itu. Berjuta kali Alan bilang sayang tidak akan berefek apa-apa padaku. Berbeda dengan Fai. Dia tidak pernah menyebutku sayang, tapi damage-nya sampai ke tulang.Aku bangkit dari tempatku merenung sejak tadi lalu saat melalui kaca melirik sekilas untuk mencari tahu bentuk tubuhku. Perutku sudah cukup besar tapi karena aku juga menggunakan gaun-gaun longgar ukurannya jadi tidak terlalu kentara."Udah bisa dilihat jenis kelaminnya kan ya bulan ini?" tanya Alan begitu kami berada d
CATALEYAIngatan tentang Devanka dan kata-kata terakhirnya melekat di benakku bahkan hingga berbulan-bulan lamanya.“Kamu mikir nggak sih kalau Fai juga memiliki perasaan yang sama dengan kamu? Both of you love each other. He has a type, Cataleya. Dia nggak mungkin nyari cewek yang mirip sama kamu kalau nggak punya perasaan apa-apa.”Aku tidak tahu apa itu benar atau hanya sekadar kebetulan. Atau mungkin kata-kata Devanka yang hanya ingin menghiburku.Apa pun itu, semua sudah terlambat. Fai sudah memilih. Dia sudah menjatuhkan pilihannya. Dan mirisnya perempuan pilihannya adalah orang yang berpotensi besar sebagai saudara tiriku. Jika benar Fai mencintaiku seharusnya dia mengungkapkan padaku. Bukannya mencari perempuan lain yang mirip denganku.Ah, sudahlah. Sudah sangat terlambat untuk menyesalinya.Mengeluarkan dompet, aku membuka lagi pas foto usang itu. Pria yang pernah menjadi suami mendiang Mama, yang katanya adalah ayahku.Foto yang kulihat berwarna hitam putih dan sudah sanga
CATALEYAAku tiba hari Rabu waktu Indonesia yang artinya telat satu hari dari yang kurencanakan. Devanka meneleponku dan bertanya apa aku sudah tiba. Aku memintanya datang menjemput ke bandara.Dan di sinilah aku sekarang. Duduk berdua dengannya di salah satu tempat makan yang ada di sana.“Kok lesu? Surprise-nya gagal?”Aku mengembuskan napas berat mendengar tebakan Devanka yang sepenuhnya benar. Bukan aku yang memberi Fai kejutan tapi malah diriku yang mendapat kejutan.“Jadi beneran mission failed?” ujar Devanka lagi menyaksikanku membisu tidak memberi respon apa-apa.“Dev, Fai udah punya pacar di sana.” Aku memberitahu dengan suara dan tubuh yang sama lunglainya.Devanka menyipit menatapku. “Gimana?”“Your best friend has a girlfriend. Kedatanganku ke sana hanya sia-sia,” ucapku makin lemah.“Fai punya pacar? Masa sih? Kamu salah lihat kali. Dia memang dekat dengan banyak cewek. Atau mungkin yang kamu kira pacarnya adalah salah satu modelnya,” sanggah Devanka tidak percaya.“Aku n
FAIRasti tidak berkata apapun dalam perjalanan pulang setelah dari airport. Dia duduk membeku di sebelahku dengan tangan terlipat di depan dada. Padahal biasanya Rasti adalah orang paling ceria yang pernah kukenal. Dia seperti tidak pernah kehabisan topik pembicaraan untuk dibahas.Serupa dengannya, aku juga memilih untuk menutup mulutku lalu memusatkan konsentrasi menyetir.Mobil yang kukendarai baru menghabiskan setengah perjalanan ketika pada akhirnya Rasti berbicara.“Fai …”Aku menggerakkan kepala memandang padanya.“Cataleya itu sebenarnya siapa?”“Maksud kamu gimana, Ras?”Aku tidak mengerti apa maksud dan tujuan Rasti menanyakannya. Bukankah aku dan dia sudah sama-sama tahu siapa Cataleya? Bahkan Rasti berinteraksi cukup intens dengan Cataleya.Rasti mengembuskan napasnya. Matanya menyorotku dengan tajam.“Kamu bilang dia istri dari pemilik agensi yang bekerjasama dengan kamu, tapi kenapa kalian bisa sedekat itu?”“Dekat gimana?”“Kamu menyuruh dia tidur di kamarmu, Fai, seda
CATALEYASiang ini Rasti merealisasikan keinginannya. Dia mengajakku ke rumah orang tuanya. Kami pergi bertiga.Sepanjang perjalanan Rasti bercerita banyak mengenai hidupnya. Tentang orang tuanya, tentang pekerjaannya dan kegiatannya sehari-hari. Dia gadis yang sangat beruntung. Selain memiliki orang tua yang masih lengkap, harta benda yang berlimpah, pewaris tunggal perusahaan dan seluruh aset orang tuanya, dia juga memiliki lelaki yang mencintainya."Welcome to my house, Cataleya.”Mataku berpendar menatap rumah megah dengan pilar-pilar tinggi dan jendela besar membingkainya. Berbeda dengan rumah Fai yang bernuansa vintage, rumah Rasti bernuansa Amerika modern.Kami lalu turun dari mobil. Aku rasa Rasti sudah memberitahu perihal kedatangan kami pada keluarganya. Seorang perempuan yang kurasa seumuran dengan mertuaku menyambut kami."Mommy, ini Cataleya. Dia adalah partner kerja Fai waktu di Indonesia. Leya, ini ibu aku." Rasti mengenalkan kami berdua.Mamanya Rasti yang belakangan k