FAI“Fai, kata asistennya besok sore Alan akan ke Bangkok. Aku juga udah minta nomor penerbangannya dan hotel tempat dia stay di sana.”“Good, Leya. Tapi kamu nggak lupa bilang sama asistennya itu untuk merahasiakan kalau kamu minta info ini kan?”“Udah. Winda bisa dipercaya kok orangnya.”Aku mengacungkan jempol.“Terus gimana? Apa rencana kita?”“Nanti aku kasih tahu ya, sekarang kita pulang dulu.”“Fai, jangan bikin penasaran deh. Kenapa harus nanti kalo bisa sekarang?” Cataleya memberengut menyatakan protes atas sikapku.“Pokoknya nanti, aku masih kangen sama kamu jadi mau kangen-kangenan dulu.”Bersamaan dengan itu lampu merah menyala. Aku berhenti. Ikut antri bersama kendaraan lainnya.Aku memiringkan duduk mengarah pada Cataleya.“Leya, kamu ingat nggak apa yang sering kita lakuin kalau lagi di lampu merah kayak gini?” tanyaku.“Nunggu lampunya sampe mati.”Aku tertawa mendengar jawaban polosnya.“Itu sudah pasti, Sayang. Semua orang yang ada di sini pasti menunggu sampe lampun
CATALEYAFai adalah kesalahan terindah dalam hidupku. Dia satu-satunya kesalahan yang tidak akan pernah kusesali.Dia mengecup pipiku, bibirku, dahiku, alisku, hidungku, yang kemudian merambat ke leherku.Sekujur tubuhku meremang ketika bibir dinginnya menyentuh puncak dadaku yang membuatku refleks merenggangkan kedua kaki.Lidahnya lalu menyapu perutku. Begitu tiba di puncaknya yang tinggi, Fai menaikkan pandangannya menatapku.Aku membelai kepalanya memintanya untuk lanjut.Fai masih menatapku dengan mesra lalu berucap yang membuat pipiku merona.“Kamu yang di atas ya?”Tentu aku tidak akan menolak permintaannya.Fai mengecup keningku lalu kembali berbaring di sebelahku. Aku bangun dari berbaring lalu memosisikan diri di atas tubuhnya.Fai menuntun tanganku memasukkan miliknya. Setelah posisinya berada pas di dalamku, dia mencengkram pinggulku. Dia mengisiku dengan penuh, menyesakiku tanpa me
CATALEYAAku dan Fai masih berada di hotel. Kami berbaring berdua berpelukan tanpa ada yang menutupi walau hanya selembar selimut. Setelah percintaan kami tadi, kami melanjutkannya dengan afterplay. Satu hal yang kucatat dari Fai adalah dia tidak pernah meninggalkanku tidur setelah kami selesai bercinta. Dia akan memelukku, mencium, serta memanjakan dengan usapan dan sentuhan-sentuhannya yang memabukkan.“Kamu belum cerita apa rencana kita selanjutnya.” Aku menagih janji Fai di mobil tadi.“Kita ikuti Alan ke Bangkok.”“Hah?” Aku mengernyit mendengar jawaban Fai. “Buat apa ngikutin dia?” tanyaku masih belum paham.“Aku hanya ingin tahu apa yang dilakukannya di sana.”“Paling hanya main, happy-happy sama Handi dan temannya yang lain.”“Handi itu siapa?” tanya Fai.“Handi itu teman dekat Alan,” jawabku.“Jadi Alan punya banyak teman dekat selain Devanka?”“Bisa dibilang begitu. Tapi Alan jauh lebih akrab dengan Handi dibanding Devanka.”Dengan Handi, Alan hampir setiap hari berinteraksi
FAISuara ketukan yang cukup keras di depan pintu membangunkanku. Pasti Kenzio yang datang.Aku menarik diri begitu perlahan agar tidak membangunkan Cataleya yang tidur pulas di sebelahku lalu mengambil selimut yang sejak tadi tidak kami gunakan untuk menutupi tubuh polosnya.Saat membuka pintu aku dibuat kaget karena bukan Kenzio yang datang melainkan Devanka.“Sorry gue ngeganggu,” ucapnya saat melihatku bertelanjang dada.“Kayak orang lain aja lo, Dev, kenapa sih?”“Gue udah urus semuanya. Kita tinggal terbang.”Aku baru ingat kalau tadi meminta bantuan Devanka untuk mengurus penerbangan kami ke Bangkok besok. Aku juga mengajak Devanka karena dia cukup tahu seluk-beluk Thailand serta culture-nya."Good job, Dev. Thanks, Man." Aku menepuk pundaknya senang. Devanka selalu bisa diandalkan dalam hal apa pun."Ya udah, gue cabut. Lanjutin lagi kalo gitu," ucapnya meledekku.Aku tertawa ringan.Devanka berlalu pergi meninggalkanku."Dev!" Aku memanggilnya sebelum dia benar-benar lenyap d
FAIKami tiba di Bangkok dengan selamat. Dari bandara kami menuju hotel yang sama dengan tempat Alan menginap. Berkat Devanka kami mendapat dua kamar yang berada satu lantai dengan Alan.“Kenapa sih kita kayak stalker begini? Gimana kalau misalnya ketahuan?” tanya Cataleya cemas.“Nggak akan. Aku dan Devanka udah atur semua serapi mungkin,” jawabku menenangkan.“Aku beneran nggak ngerti tujuan kita menguntit Alan sampai sekarang.”Aku dan Devanka bertukar pandang menyikapi ucapan Cataleya. Devanka mengangkat bahu menyerahkan semua padaku.“Nanti kamu akan tahu, Leya. Sabar ya, hanya sedikit lagi.””Cataleya memutar bola matanya tidak sabar yang membuatku dan Devanka tersenyum geli.“Fai, lo bawa Leya istirahat dulu deh sekalian healing biar nggak terlalu tegang,” ucap Devanka meledekku.Cataleya refleks melebarkan matanya penuh protes atas kata ‘healing’ yang baru didengarnya. Pasti dia mengira aku menc
CATALEYAAku mengikuti arah telunjuk Fai dengan mataku. Butuh waktu beberapa detik bagiku untuk mengenali sosok di sana. sampai akhirnya aku benar-benar mengetahui siapa dia. Sekujur tubuhku terasa lemah. Sendi-sendi yang menyanggah seakan lepas dari tempat seharusnya. Aku merasa akan pingsan saat menyaksikan dengan mataku sendiri pemandangan di depan sana."F—Fai, itu Al—lan?" tanyaku tergagap.Fai merangkulku. Tangannya menyanggah tubuhku yang tidak sanggup lagi berdiri."Stay strong, Leya," ucapnya memintaku untuk tetap kuat."Jadi beneran itu Alan?" lirihku sekali lagi."Iya, itu Alan."“Tapi kenapa dia di sini?"Fai dan Devanka saling memandang seakan sedang mempertimbangkan siapa yang akan menjelaskan. Lalu aku mendengar suara Devanka."Alan ada di sini karena dia ... gay."Aku menatap Devanka lekat dengan sorot tak percaya. Dia membalas pandanganku."Sejak kapan, Dev?" Suaraku hampir tak terdengar saking syoknya."Sudah lama, Leya.""Sudah lama dan kamu baru bilang ke aku sekar
FAIOrang bilang tangisan tanpa suara adalah tangisan paling menyedihkan. Itulah yang terjadi pada Cataleya. Tidak ada isakan yang kudengar dari mulutnya, tapi air matanya mengalir tiada henti.Setelah muntah di dalam pelukanku, Cataleya tertidur. Jejak-jejak panjang air mata membayang di pipinya yang mulus. Aku mengecupnya lalu merapatkan selimut ke tubuhnya. Setelahnya, aku keluar dari kamar menuju kamar Devanka.“Ke luar yuk, mumet gue di sini.” Devanka mengajakku pergi.“Gue nggak bisa lama-lama ninggalin Leya, Dev, takut kalo di kebangun.”“Nggak jauh. Di depan ada resto, tomyam di sana enak katanya. Gue laper.”Aku terpaksa menuruti keinginan Devanka karena sesungguhnya perutku juga minta diisi.Lima belas menit kemudian kami sudah berada di tempat itu menyantap makanan yang dimaksud Devanka tadi.“Gimana keadaan Leya?” Devanka menatapku di sela-sela kunyahan.“Tadi dia bangun, nangis, nanya Alan di ma
CATALEYAAku menyetujui untuk bertemu dengan Alan dengan syarat tidak hanya berdua. Dan tempatnya juga bukan di luar tapi di kamar ini.Fai mengajak Devanka dan Kenzio. Devanka sebagai mediator sedangkan Kenzio sebagai saksi sekaligus pengacara yang akan menangani masalahku dan Alan.Aku, Fai dan Kenzio sedang menunggu kedatangan Devanka yang akan membawa Alan.Sambil menanti, aku mendengar percakapan Fai dan Kenzio."Apa rencana lo setelah ini, Fai?” tanya Kenzio."Gue bakal bawa Leya ke rumah dan nikahi dia.""Lo udah siap sama konsekuensinya? Tante Zola dan Om Zach pasti syok berat tau-tau lo pulang membawa calon cucu. Belum lagi kalo mereka tahu fakta tentang Leya. Gue nggak mau menambah kekhawatiran lo. Cuma mengingatkan lo doang kalo masalah ini nggak sesederhana yang lo pikir. Leya sudah pernah menikah dan lebih tua dari lo."Fai tersenyum kecut sebelum menjawab."Gue nggak peduli dia lebih tua atau lebih muda dari gue. Gue juga yakin Mama Papa bakal nerima status dia sebagai m
FAINggak terasa sudah cukup lama aku dan Cataleya berumah tangga. Sejauh ini hubungan kami berjalan dengan harmonis walau ada pasang surut. Tapi setiap kali aku dan Cataleya bertengkar, senyum si kecil Xena membuat kami kembali akur. Xena menyadarkanku dan Cataleya bahwa kami sudah sejauh ini. Kami bisa bersatu seperti sekarang setelah melewati banyak rintangan dan jalan yang berliku. Jadi setelah segala perjuangan panjang itu rasanya terlalu sayang jika mengisinya dengan perpecahan dan perselisihan yang tidak penting.Xena adalah putri kecilku dan Cataleya yang saat ini sudah berumur tiga tahun.Anak itu sekarang sedang aktif-aktifnya dan hampir tidak bisa diam. Dia selalu bergerak lincah ke sana kemari dan ingin tahu segalanya. Rasa ingin tahunya terhadap sesuatu begitu besar. Mama bilang Xena seperti aku waktu kecil.Belajar dari pengalamanku dulu yang kekurangan kasih sayang Papa di awal-awal kelahiranku ke dunia, aku menghujani Xena dengan curahan kasih sayang. Aku memanjakan X
FAIMama dan Papa menatapku dan Cataleya heran karena kami ikut pulang ke rumah bersama mereka.“Lho, kenapa malah pulang ke rumah?” tanya Mama.“Jadi mentang-mentang udah nikah aku nggak boleh lagi pulang ke rumah ya, Ma? Jadi aku bukan anak Mama lagi nih?”"Bukannya begitu, tapi ini kan malam pengantin kalian, nggak mau stay di hotel aja memangnya?""Di rumah aja deh, Ma," jawabku menolak. "Mau di hotel atau di rumah sama aja kok.""Yakin?" Papa ikut bertanya padaku."Yakin, Pa. Lagian udah mainstream banget malam pengantinan di hotel," jawabku beralasan sambil tertawa.Mama dan Papa hanya geleng-geleng kepala tidak mengerti apa yang ada di pikiranku lalu mengajakku dan Cataleya pulang bersama mereka.Setiba di rumah kami langsung menyerbu kamar. Tak lupa menguncinya buat jaga-jaga karena dulu Cleo suka nyelonong masuk untuk menggangguku."Fai, bantuin bukain dong." Cataleya membelakangiku.Aku lalu berdiri di belakangnya. Kukaitkan kedua tanganku di perutnya. Dengan sedikit membung
This is the day.Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Fai. Kami berdua menyerahkan segala penyelenggaraannya pada Daddy. Daddy lah yang mengurus, mengatur dan mewujudkan segalanya hingga acara pernikahan yang indah ini akhirnya terselenggara.Tadinya aku pikir intimate wedding yang Daddy maksud hanyalah acara pernikahan biasa yang sama seperti acara intimate wedding pada umumnya. Namun ternyata perkiraanku salah. Pesta buatan Daddy jauh lebih mewah dari yang kukira.Konsep acara buatan Daddy lebih ke acara pernikahan ala pesta kerajaan. Aku dan Fai menaiki kereta kencana yang ditarik oleh seekor kuda putih. Empat orang pengawal yang menggunakan kostum ala kerajaan mengawal kami pada sisi kanan dan kiri. Membuatku dan Fai merasa seperti raja dan ratu sungguhan.Setiba di lokasi acara kusir pun berhenti. Para orang tua kami sudah menanti.Daddy mengulurkan tangan untuk membantuku turun dari kereta. Wajahnya begitu bahagia.Setelahnya Daddy mengembalikanku pada Fai. Fai menggandengku
CATALEYASaat Fai pulang aku langsung menyampaikan perihal kedatangan Daddy tadi dan keinginannya untuk mengajak kami dinner di rumahnya, juga mengenai pesta yang dikehendakinya.“Tadi Daddy ke sini, dia minta kita dinner di rumahnya. Katanya ingin membicarakan hal yang penting,” beritahuku.“Hal penting apa?” Fai menatapku lekat sambil melepas tali sneaker-nya.Aku mengangkat bahu. “Aku juga nggak tahu. Tapi Daddy bilang sangat penting. Kita wajib datang ke rumahnya, nggak boleh menolak. Selain itu tadi Daddy juga bilang akan mengadakan party untuk kita. Aku udah jelasin kalau itu nggak akan mungkin karena aku lagi hamil. Tapi Daddy bilang nanti cuma mau ngadain intimate wedding, jadi yang diundang hanya teman-teman dan koleganya Daddy. Gimana menurut kamu?”“Jadi nanti teman-temannya Mama dan Papa nggak diundang?”“Nggak sih. Pada awalnya Daddy mau pestanya diselenggarakan secara besar-besaran, tapi itu nggak akan mungkin. Jadi jalan tengahnya Daddy mau ngadain intimate wedding buat
CATALEYA“Leya, yang ini bagus, suka nggak?”Aku memandang pada gaun putih berpotongan A line yang ditunjukkan Tante Zola padaku. Gaun itu cantik dan terkesan glamour. Modelnya yang juga strapless memperkuat kesan summer wedding.“Bagus, Tante, suka banget,” ucapku menjawab pertanyaan Tante Zola.“Cobain yuk!”Aku mengangguk setuju lalu mengikuti Tante Zola menuju fitting room setelah dia berbicara dengan penjaga butik.Selagi aku mencoba gaun tersebut Tante Zola menungguku di luar.Aku memindai diri sendiri dari puncak kepala hingga bagian paling bawah. Gaun pengantin itu kini melekat sempurna di tubuhku. Ukurannya yang longgar berhasil menyamarkan bagian perutku yang membola.Cantik. Tidak hanya gaunnya, tapi juga diriku.Karena Fai ada job hari ini maka Tante Zola yang menemaniku ke bridal butik. Beruntung kami menemukan persediaan gaun yang sesuai denganku tanpa harus memesan dulu.“Leya? G
CATALEYASejak kecil aku selalu bertanya pada Mama di mana Papa karena tidak sekali pun melihatnya. Mama bilang Papa bekerja di tempat yang jauh. Namun bukan berarti jawaban itu membuatku lekas puas. Para ayah teman-temanku juga bekerja tapi mereka pulang ke rumah setiap hari. Tapi kenapa papaku tidak?Aku menginginkan momen-momen di mana aku butuh seorang ayah. Aku ingin Papa hadir mendampingi saat merayakan ulang tahun di sekolah seperti temanku yang lain. Tapi nyatanya hanya Mama yang selalu ada untukku.Sampai setelah umurku beranjak lima belas tahun dan akal sehatku sudah tidak lagi bisa menerima alasan yang terus Mama kemukakan, aku mulai menuntut Mama kenapa Papa nggak pernah pulang. Memangnya Papa mau mencari uang sebanyak apa?Mama akhirnya jujur menceritakan kisah hidupnya. Dan aku pada saat itu begitu terguncang mengetahuinya. Tapi aku belajar ikhlas dan mencoba untuk menerima keadaan. Aku selalu menyimpan foto Papa di dompetku tanpa pernah berharap akan bertemu dengannya. K
Egbert menghela napasnya. Entah apa yang akan dia katakan. Kalau sampai dia tidak mengakui Cataleya bukan masalah bagi kami. Yang penting aku dan Cataleya tahu seperti apa faktanya."Daddy, kenapa nggak dijawab? Apa Daddy pernah menikah sebelumnya? Apa Daddy punya anak selain aku?" Dengan mata berkaca-kaca Rasti ikut mendesak Egbert agar berterus terang."Egbert, please, tolong jawab semuanya sekarang. Kami hanya ingin tahu kebenarannya. Kami nggak bermaksud apa-apa apalagi memanfaatkan situasi." Papa ikut turun tangan agar Egbert membuka mulut.Pria berambut pirang lurus itu mengembuskan napas sekali lagi. Dia menatap kami satu demi satu lalu matanya berhenti lama saat beradu pandang dengan Cataleya. Posisi dudukku dan Cataleya yang tidak berjarak membuatku bisa merasakan saat tubuh Cataleya menegang."Okay. Aku akan jujur." Egbert mengeluarkan suaranya. "Aku memang pernah menikah sebelumnya, tapi aku tidak tahu kalau dia hamil. Aku benar-benar tidak tahu.""Oh my Gosh, Daddy! Jadi i
FAIAku membawa Cataleya ke ruang depan untuk menemui Rasti dan orang tuanya. Mendapat tatapan tajam dari Rasti, Cataleya mengeratkan tangannya di dalam genggamanku.Kami lalu duduk dengan posisi Cataleya di sebelahku berhadapan dengan Rasti yang duduk bertiga di sofa panjang bersama kedua orang tuanya. Kedua orang tua Rasti menggilir mata memandangku dan Cataleya bergantian sebelum bicara padaku."Fai, kami sudah berbicara dengan orang tua kamu dan sekarang kami ingin mendengar langsung dari kamu. Sejujurnya kami sangat kecewa atas apa yang kamu lakukan pada Rasti," ucap Tante Nira mengawali obrolan."Maaf, Tante. Aku nggak bermaksud untuk menyakiti Rasti. Sedikit pun tidak. Tapi aku nggak mungkin terus bersama Rasti. Aku anggap aku dan Rasti tidak berjodoh. Aku juga minta maaf kalau ternyata aku di luar bayangan Tante dan keluarga Tante. Aku nggak sesuai ekspektasi.""Ya, kamu memang sangat jauh berada di luar ekspektasi kami, Fai. Tante kecewa," jawab Tante Nira menaikkan intonasi
CATALEYAAku tidak mampu menjawab pertanyaan itu sendiri. Dan aku juga sangat terbebani oleh keingintahuan yang menggebu.Tidak. Sekalipun dia benar ayahku maka aku nggak akan meminta pertanggungjawaban apa-apa padanya atau pun pengakuan untuk diakui sebagai anak. Aku hanya ingin tahu. Itu saja."Leya?” Usapan lembut Fai di pundakku membuat mataku terbuka. Aku beralih menatapnya."Fai, kalau misalnya namanya Egbert adalah Egbert Van Linden apa menurutmu dia adalah papaku?" tanyaku hati-hati.Fai terdiam mendengar kata-kataku. Dia juga terlihat kaget. Sebelum kebingungannya berlarut-larut, aku mengimbuhkan penjelasan."Foto di dompet itu sangat mirip dengan Egbert. Jadi menurutku dia adalah papaku. Menurut dugaanku, setelah meninggalkan Mama, Egbert menikah lagi lalu memiliki anak perempuan yaitu Rasti. Jadi kemiripanku dari segi fisik dengan Rasti aku pikir sangat beralasan. Tapi ini hanya dugaanku aja sih."Untuk kedua kali Fai aku buat tidak sanggup berkata-kata. Dia memikirkan ana