FAIOrang bilang tangisan tanpa suara adalah tangisan paling menyedihkan. Itulah yang terjadi pada Cataleya. Tidak ada isakan yang kudengar dari mulutnya, tapi air matanya mengalir tiada henti.Setelah muntah di dalam pelukanku, Cataleya tertidur. Jejak-jejak panjang air mata membayang di pipinya yang mulus. Aku mengecupnya lalu merapatkan selimut ke tubuhnya. Setelahnya, aku keluar dari kamar menuju kamar Devanka.“Ke luar yuk, mumet gue di sini.” Devanka mengajakku pergi.“Gue nggak bisa lama-lama ninggalin Leya, Dev, takut kalo di kebangun.”“Nggak jauh. Di depan ada resto, tomyam di sana enak katanya. Gue laper.”Aku terpaksa menuruti keinginan Devanka karena sesungguhnya perutku juga minta diisi.Lima belas menit kemudian kami sudah berada di tempat itu menyantap makanan yang dimaksud Devanka tadi.“Gimana keadaan Leya?” Devanka menatapku di sela-sela kunyahan.“Tadi dia bangun, nangis, nanya Alan di ma
CATALEYAAku menyetujui untuk bertemu dengan Alan dengan syarat tidak hanya berdua. Dan tempatnya juga bukan di luar tapi di kamar ini.Fai mengajak Devanka dan Kenzio. Devanka sebagai mediator sedangkan Kenzio sebagai saksi sekaligus pengacara yang akan menangani masalahku dan Alan.Aku, Fai dan Kenzio sedang menunggu kedatangan Devanka yang akan membawa Alan.Sambil menanti, aku mendengar percakapan Fai dan Kenzio."Apa rencana lo setelah ini, Fai?” tanya Kenzio."Gue bakal bawa Leya ke rumah dan nikahi dia.""Lo udah siap sama konsekuensinya? Tante Zola dan Om Zach pasti syok berat tau-tau lo pulang membawa calon cucu. Belum lagi kalo mereka tahu fakta tentang Leya. Gue nggak mau menambah kekhawatiran lo. Cuma mengingatkan lo doang kalo masalah ini nggak sesederhana yang lo pikir. Leya sudah pernah menikah dan lebih tua dari lo."Fai tersenyum kecut sebelum menjawab."Gue nggak peduli dia lebih tua atau lebih muda dari gue. Gue juga yakin Mama Papa bakal nerima status dia sebagai m
FAIAku membawa Cataleya pulang ke Amerika dengan perasaan lega dan bahagia tiada tara. Alan dengan mudah menyerahkan Cataleya padaku karena kami memegang kartu As-nya. Jika kami tidak menangkap basah di gay club waktu itu, maka aku yakin dia akan mempertahankan Cataleya sampai nadinya berhenti berdenyut.Semua ini tidak lepas dari bantuan Devanka—sahabatku, dan Kenzio—sepupuku. Aku berutang banyak pada keduanya. Satu masalah sudah terlewati, tinggal satu rintangan lagi yang harus kulalui. Tapi aku yakin menghadapi Mama dan Papa tidak akan serumit menghadapi Alan. Jika keduanya menentangku seharusnya mereka bisa berkaca pada masa lalu.Aku memandangi Cataleya yang tertidur sejak tadi. Setelah beberapa hari ini sering terbangun mendadak dan gelisah setiap kali tidur, baru kali ini dia benar-benar tampak pulas. Cataleya sudah melalui banyak hal di dalam hidupnya. Dia berhasil melewati masa-masa sulit yang pasti menyakitkan.Aku memandangi wajahnya begitu lama. Dia tidak menggunakan ria
FAIAku tidak sempat menghindar. Terlambat untuk mengelak agar Cataleya tidak menyaksikan pemandangan tersebut. Rasti berhasil memelukku. Tubuh kami menempel rapat. Dia lalu berjingkat menjangkau bibirku lalu mengecupnya.Aku mendorong tubuh Rasti pelan yang membuatnya menatap heran padaku."Why?" Dia menengadah mengamati mukaku. “Kamu pergi seminggu lebih dan nggak ada kabar apa-apa. Sekalinya ketemu malah kayak gini. Memangnya kamu nggak kangen aku, Fai?"Situasi ini membuatku dilema. Aku tidak merindukan Rasti. Aku tidak butuh wanita mana pun selagi Cataleya bersamaku. Tapi aku juga tidak mungkin untuk sejujur itu. Rasti bisa tersinggung."Fai, kenapa sih ngeliat aku kayak ngeliat hantu gitu?" Rasti kebingungan oleh sikap yang aku tunjukkan. Seharusnya tidak begini. Ini semua berada di luar prediksiku. Tidak ada di bayanganku kalau Rasti ternyata ada di rumah.***CATALEYAIni semua sungguh sebuah kejutan besar. Aku pikir hanya akan bertemu dengan orang tua Fai Namun ternyata lebih
FAIBanyak hal yang tidak sejalan dengan apa yang kita rencanakan. Dan sering kali kita terpaksa untuk menghadapinya. Termasuk saat kali ini rencana yang telah kususun gagal sebelum berhasil terlaksana.Aku menjauhkan ponsel dari telinga setelah mengakhiri percakapan dengan Papa lalu memusatkan atensiku pada seseorang yang berada di hadapan kami. Cataleya yang tadinya berbaring di pangkuanku ikut bangun dari posisinya lalu duduk di sebelahku.“Duduk dulu, Ras,” suruhku pada Rasti yang menangkap basahku dengan Cataleya.“Duduk? Apa menurutmu aku masih bisa duduk setelah semua yang kulihat?” Rasti membentakku dengan suara yang tidak pernah kudengar sebelumnya.Aku mengerti kalau saat ini dia emosi. Aku memakluminya. Aku terpaksa mengalah lalu bangun dari posisiku kemudian berdiri tegak di hadapannya.“Aku akan jelaskan semua sekarang soal aku dan Cataleya.”Rasti tidak menjawab kata-kataku namun matanya menyorot tajam pada Cataleya.“Ras, kayak yang kamu lihat Cataleya sedang hamil dan
FAIKami berdua termangu memandangi kepergian Rasti.Aku sudah mematahkan satu hati. Tapi aku pikir aku sudah mengambil keputusan yang tepat. Tentang karma atau apa pun namanya jika orang-orang menilai aku mempermainkan Rasti, biar itu menjadi urusanku dan penciptaku. Jika memang aku berdosa karena perbuatanku ini maka Tuhan pasti akan menghukumku cepat atau lambat."Fai …“ Cataleya menyentuh tanganku.Aku mengarahkan badan padanya. "Iya, Sayang?""Maaf kalau sikapku salah. Tapi aku nggak bisa mengalah pada Rasti. Aku nggak bisa mundur lalu memberikan kamu untuk dia. I love you so much, Fai. Aku nggak punya apa-apa di dunia. Satu-satunya yang kumiliki hanya kamu. Tolong izinkan aku untuk mempertahankan kamu."Aku merangkum kedua pipi Cataleya dengan telapak tanganku. "Kamu nggak salah apa-apa. Sikapmu sudah benar. Aku juga nggak mau kamu mengalah. Aku nggak mau kamu mundur. Aku mau kita berdua sama-sama memperjuangkan hubungan kita. Ada atau nggak ada anak ini bagiku nggak ada bedanya
FAIAku tahu perasaan banyak orang tua terutama para ibu. Mereka ingin anak lelakinya bersanding dengan wanita yang sepadan dalam artian cantik, baik, sopan dan tentu saja masih single. Aku bisa memberikan menantu dengan semua kriteria itu untuk Mama kecuali yang terakhir.Setelah lama tertegun Mama menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih syok dan tidak percaya pada apa yang baru didengarnya. Papa sama terkejutnya dengan Mama. Hanya saja Papa jauh lebih bisa mengendalikan diri.“Kayaknya kamu memang mau Mama mati berdiri.” Akhirnya Mama mendapatkan kembali cadangan kata-katanya. Aku melihat gurat-gurat kecewa menghiasi muka Mama.“Ma, Leya memang pernah menikah, tapi bukan berarti dia nggak pantas untukku, Ma,” ujarku menjawab kata-kata Mama.“Oh ya? Jadi dia pantas untuk kamu? Dari segi apa? Kalau kamu mencari yang cantik di luar sana sangat banyak dan mereka masih single. Bahkan jauh lebih cantik. Kamu tinggal tunjuk mau yang mana. Kamu pasti bisa mendapatkannya. Kamu punya modal untu
CATALEYAKegalauanku berakhir setelah Fai muncul menemuiku di kamar. Sejak tadi aku menanti dengan perasaan khawatir yang begitu menggila. Berbagai bayangan dan pikiran buruk memenuhi kepalaku. Tentang orang tua Fai yang tidak akan bisa menerimaku. Tentang kami yang harus berpisah karena ternyata orang tua Fai tidak setuju lalu meminta Fai untuk meninggalkanku.“Fai, gimana?” Aku langsung memburu jawaban dengan tidak sabar.“Guess what?” Fai membalas pertanyaan dengan pertanyaan. Rautnya yang tegang membuatku semakin gusar.“Orang tua kamu nggak setuju?” tanyaku kelu.“Iya. Mereka nggak setuju.”Jawaban yang kudengar membuat tubuhku lemas seketika. Aku hampir menangis. Kalau orang tua Fai tidak merestui, kami bisa apa?Fai lalu merangkum pipiku. Mempertemukan iris kami berdua. Aku hanya bisa menatapnya dengan perasaan sedih yang mendalam.“Leya, Mama dan Papa nggak setuju kalau kita berpisah. Jadi kita harus menikah.”Aku mendadak speechless mencerna kata-kata Fai sampai kemudian meny
FAINggak terasa sudah cukup lama aku dan Cataleya berumah tangga. Sejauh ini hubungan kami berjalan dengan harmonis walau ada pasang surut. Tapi setiap kali aku dan Cataleya bertengkar, senyum si kecil Xena membuat kami kembali akur. Xena menyadarkanku dan Cataleya bahwa kami sudah sejauh ini. Kami bisa bersatu seperti sekarang setelah melewati banyak rintangan dan jalan yang berliku. Jadi setelah segala perjuangan panjang itu rasanya terlalu sayang jika mengisinya dengan perpecahan dan perselisihan yang tidak penting.Xena adalah putri kecilku dan Cataleya yang saat ini sudah berumur tiga tahun.Anak itu sekarang sedang aktif-aktifnya dan hampir tidak bisa diam. Dia selalu bergerak lincah ke sana kemari dan ingin tahu segalanya. Rasa ingin tahunya terhadap sesuatu begitu besar. Mama bilang Xena seperti aku waktu kecil.Belajar dari pengalamanku dulu yang kekurangan kasih sayang Papa di awal-awal kelahiranku ke dunia, aku menghujani Xena dengan curahan kasih sayang. Aku memanjakan X
FAIMama dan Papa menatapku dan Cataleya heran karena kami ikut pulang ke rumah bersama mereka.“Lho, kenapa malah pulang ke rumah?” tanya Mama.“Jadi mentang-mentang udah nikah aku nggak boleh lagi pulang ke rumah ya, Ma? Jadi aku bukan anak Mama lagi nih?”"Bukannya begitu, tapi ini kan malam pengantin kalian, nggak mau stay di hotel aja memangnya?""Di rumah aja deh, Ma," jawabku menolak. "Mau di hotel atau di rumah sama aja kok.""Yakin?" Papa ikut bertanya padaku."Yakin, Pa. Lagian udah mainstream banget malam pengantinan di hotel," jawabku beralasan sambil tertawa.Mama dan Papa hanya geleng-geleng kepala tidak mengerti apa yang ada di pikiranku lalu mengajakku dan Cataleya pulang bersama mereka.Setiba di rumah kami langsung menyerbu kamar. Tak lupa menguncinya buat jaga-jaga karena dulu Cleo suka nyelonong masuk untuk menggangguku."Fai, bantuin bukain dong." Cataleya membelakangiku.Aku lalu berdiri di belakangnya. Kukaitkan kedua tanganku di perutnya. Dengan sedikit membung
This is the day.Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Fai. Kami berdua menyerahkan segala penyelenggaraannya pada Daddy. Daddy lah yang mengurus, mengatur dan mewujudkan segalanya hingga acara pernikahan yang indah ini akhirnya terselenggara.Tadinya aku pikir intimate wedding yang Daddy maksud hanyalah acara pernikahan biasa yang sama seperti acara intimate wedding pada umumnya. Namun ternyata perkiraanku salah. Pesta buatan Daddy jauh lebih mewah dari yang kukira.Konsep acara buatan Daddy lebih ke acara pernikahan ala pesta kerajaan. Aku dan Fai menaiki kereta kencana yang ditarik oleh seekor kuda putih. Empat orang pengawal yang menggunakan kostum ala kerajaan mengawal kami pada sisi kanan dan kiri. Membuatku dan Fai merasa seperti raja dan ratu sungguhan.Setiba di lokasi acara kusir pun berhenti. Para orang tua kami sudah menanti.Daddy mengulurkan tangan untuk membantuku turun dari kereta. Wajahnya begitu bahagia.Setelahnya Daddy mengembalikanku pada Fai. Fai menggandengku
CATALEYASaat Fai pulang aku langsung menyampaikan perihal kedatangan Daddy tadi dan keinginannya untuk mengajak kami dinner di rumahnya, juga mengenai pesta yang dikehendakinya.“Tadi Daddy ke sini, dia minta kita dinner di rumahnya. Katanya ingin membicarakan hal yang penting,” beritahuku.“Hal penting apa?” Fai menatapku lekat sambil melepas tali sneaker-nya.Aku mengangkat bahu. “Aku juga nggak tahu. Tapi Daddy bilang sangat penting. Kita wajib datang ke rumahnya, nggak boleh menolak. Selain itu tadi Daddy juga bilang akan mengadakan party untuk kita. Aku udah jelasin kalau itu nggak akan mungkin karena aku lagi hamil. Tapi Daddy bilang nanti cuma mau ngadain intimate wedding, jadi yang diundang hanya teman-teman dan koleganya Daddy. Gimana menurut kamu?”“Jadi nanti teman-temannya Mama dan Papa nggak diundang?”“Nggak sih. Pada awalnya Daddy mau pestanya diselenggarakan secara besar-besaran, tapi itu nggak akan mungkin. Jadi jalan tengahnya Daddy mau ngadain intimate wedding buat
CATALEYA“Leya, yang ini bagus, suka nggak?”Aku memandang pada gaun putih berpotongan A line yang ditunjukkan Tante Zola padaku. Gaun itu cantik dan terkesan glamour. Modelnya yang juga strapless memperkuat kesan summer wedding.“Bagus, Tante, suka banget,” ucapku menjawab pertanyaan Tante Zola.“Cobain yuk!”Aku mengangguk setuju lalu mengikuti Tante Zola menuju fitting room setelah dia berbicara dengan penjaga butik.Selagi aku mencoba gaun tersebut Tante Zola menungguku di luar.Aku memindai diri sendiri dari puncak kepala hingga bagian paling bawah. Gaun pengantin itu kini melekat sempurna di tubuhku. Ukurannya yang longgar berhasil menyamarkan bagian perutku yang membola.Cantik. Tidak hanya gaunnya, tapi juga diriku.Karena Fai ada job hari ini maka Tante Zola yang menemaniku ke bridal butik. Beruntung kami menemukan persediaan gaun yang sesuai denganku tanpa harus memesan dulu.“Leya? G
CATALEYASejak kecil aku selalu bertanya pada Mama di mana Papa karena tidak sekali pun melihatnya. Mama bilang Papa bekerja di tempat yang jauh. Namun bukan berarti jawaban itu membuatku lekas puas. Para ayah teman-temanku juga bekerja tapi mereka pulang ke rumah setiap hari. Tapi kenapa papaku tidak?Aku menginginkan momen-momen di mana aku butuh seorang ayah. Aku ingin Papa hadir mendampingi saat merayakan ulang tahun di sekolah seperti temanku yang lain. Tapi nyatanya hanya Mama yang selalu ada untukku.Sampai setelah umurku beranjak lima belas tahun dan akal sehatku sudah tidak lagi bisa menerima alasan yang terus Mama kemukakan, aku mulai menuntut Mama kenapa Papa nggak pernah pulang. Memangnya Papa mau mencari uang sebanyak apa?Mama akhirnya jujur menceritakan kisah hidupnya. Dan aku pada saat itu begitu terguncang mengetahuinya. Tapi aku belajar ikhlas dan mencoba untuk menerima keadaan. Aku selalu menyimpan foto Papa di dompetku tanpa pernah berharap akan bertemu dengannya. K
Egbert menghela napasnya. Entah apa yang akan dia katakan. Kalau sampai dia tidak mengakui Cataleya bukan masalah bagi kami. Yang penting aku dan Cataleya tahu seperti apa faktanya."Daddy, kenapa nggak dijawab? Apa Daddy pernah menikah sebelumnya? Apa Daddy punya anak selain aku?" Dengan mata berkaca-kaca Rasti ikut mendesak Egbert agar berterus terang."Egbert, please, tolong jawab semuanya sekarang. Kami hanya ingin tahu kebenarannya. Kami nggak bermaksud apa-apa apalagi memanfaatkan situasi." Papa ikut turun tangan agar Egbert membuka mulut.Pria berambut pirang lurus itu mengembuskan napas sekali lagi. Dia menatap kami satu demi satu lalu matanya berhenti lama saat beradu pandang dengan Cataleya. Posisi dudukku dan Cataleya yang tidak berjarak membuatku bisa merasakan saat tubuh Cataleya menegang."Okay. Aku akan jujur." Egbert mengeluarkan suaranya. "Aku memang pernah menikah sebelumnya, tapi aku tidak tahu kalau dia hamil. Aku benar-benar tidak tahu.""Oh my Gosh, Daddy! Jadi i
FAIAku membawa Cataleya ke ruang depan untuk menemui Rasti dan orang tuanya. Mendapat tatapan tajam dari Rasti, Cataleya mengeratkan tangannya di dalam genggamanku.Kami lalu duduk dengan posisi Cataleya di sebelahku berhadapan dengan Rasti yang duduk bertiga di sofa panjang bersama kedua orang tuanya. Kedua orang tua Rasti menggilir mata memandangku dan Cataleya bergantian sebelum bicara padaku."Fai, kami sudah berbicara dengan orang tua kamu dan sekarang kami ingin mendengar langsung dari kamu. Sejujurnya kami sangat kecewa atas apa yang kamu lakukan pada Rasti," ucap Tante Nira mengawali obrolan."Maaf, Tante. Aku nggak bermaksud untuk menyakiti Rasti. Sedikit pun tidak. Tapi aku nggak mungkin terus bersama Rasti. Aku anggap aku dan Rasti tidak berjodoh. Aku juga minta maaf kalau ternyata aku di luar bayangan Tante dan keluarga Tante. Aku nggak sesuai ekspektasi.""Ya, kamu memang sangat jauh berada di luar ekspektasi kami, Fai. Tante kecewa," jawab Tante Nira menaikkan intonasi
CATALEYAAku tidak mampu menjawab pertanyaan itu sendiri. Dan aku juga sangat terbebani oleh keingintahuan yang menggebu.Tidak. Sekalipun dia benar ayahku maka aku nggak akan meminta pertanggungjawaban apa-apa padanya atau pun pengakuan untuk diakui sebagai anak. Aku hanya ingin tahu. Itu saja."Leya?” Usapan lembut Fai di pundakku membuat mataku terbuka. Aku beralih menatapnya."Fai, kalau misalnya namanya Egbert adalah Egbert Van Linden apa menurutmu dia adalah papaku?" tanyaku hati-hati.Fai terdiam mendengar kata-kataku. Dia juga terlihat kaget. Sebelum kebingungannya berlarut-larut, aku mengimbuhkan penjelasan."Foto di dompet itu sangat mirip dengan Egbert. Jadi menurutku dia adalah papaku. Menurut dugaanku, setelah meninggalkan Mama, Egbert menikah lagi lalu memiliki anak perempuan yaitu Rasti. Jadi kemiripanku dari segi fisik dengan Rasti aku pikir sangat beralasan. Tapi ini hanya dugaanku aja sih."Untuk kedua kali Fai aku buat tidak sanggup berkata-kata. Dia memikirkan ana