Untuk beberapa saat lamanya, Becca menatap pria itu tak berkedip. Ia bahkan tak bergeming kala pria paruh baya itu memintanya masuk untuk yang kedua kalinya.
Hingga satu suara Lucia terdengar memecah keterkejutannya.
“Gerald? Siapa yang datang?”
Suara itu, suara yang amat Becca rindukan. Setelah beberapa minggu ia meninggalkan rumah, selama itu pula lah ia tak bertemu dengan wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya.
“Ayo kita masuk, Baby.” Ajakan Gabriel langsung diangguki oleh Becca dan wanita itu semakin berpegangan erat pada lengannya.
“Semuanya akan baik-baik saja, Baby.”
Bukan ucapan, bukan pula sahutan, tapi satu senyum manis yang Becca berikan sebagai balasan untuk perkataan Gabriel barusan.
Atmosfer di ruang inap VIP rumah sakit itu menjadi kaku ketika Becca dan Gabriel melangkah masuk, mendekati Lucia yang termangu di atas ranjang.
“Selamat malam, Ma.”
Adala
Harapan Becca pada sosok ayah sangat besar. Oleh karena itu, sedari kecil ia selalu bersemangat menghitung hari yang dijanjikan oleh Lucia.Anehnya, ketika pria yang ia tunggu bertahun-tahun ada di hadapannya, hati Becca mendadak ragu untuk menerima. Apalagi ketika ia teringat ucapan pemilik kelab malam—tempat ia bekerja dan bertemu dengan Gabriel.‘Kau itu cantik, Becca. See, wajahmu terlihat mahal. Tidak seperti orang kekurangan pada umumnya. Aku jadi curiga ... apakah sebenarnya kau adalah anak orang kaya yang tak diinginkan?’Tubuh Becca menegang kaku. Alih-alih menyambut sang ayah, ia malah beranjak dan berlari keluar dari ruang perawatan Lucia tanpa berpamitan.“Becca!” seru semua orang bersamaan.“Susul dia, Gabriel. Mama mohon.”Gabriel bangkit. “Mama tenang. Gabriel akan mengurusnya.”Setelah mengucapkan itu Gabriel langsung keluar mencari keberadaan istrinya.Di da
Butuh waktu yang tidak sebentar bagi Becca kembali tenang. Dan sebagai suami yang pengertian, Gabriel tetap bertahan pada posisinya, meskipun kedua kakinya mulai kesemutan.Hingga setelah lebih dari tiga puluh menit lamanya, Becca yang sudah puas menangis berangsur melonggarkan pelukannya.“Sudah?”Becca mengangguk lemah.Kedua tangan besar Gabriel menangkup pipi Becca dan membawa tatapan wanita itu hanya berpusat padanya. Mengulas senyum termanis yang ia miliki, Gabriel kemudian mengecup bibir tipis itu sebelum berkata.“Menerima dan memaafkan memang tidak mudah, tapi menghindar juga tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Kau tau jika aku akan selalu di sampingmu apa pun yang terjadi nanti?”Becca ingin menggeleng, tapi terasa kaku. Memang yang dikatakan sang suami adalah benar. Ia pun tahu dan seratus persen sadar. Namun, ia hanya belum siap mendengar alasan mengapa ayah kandungnya harus meninggalkan ia dan sang m
Orang-orang selalu bilang jika pasangan pengantin baru akan lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur ketimbang di kantor atau tempat kerja lainnya. Nyatanya itu benar dan sedang dialami oleh Gabriel.Sang CEO di Johnson Corporation itu benar-benar tak bisa sedikit pun meninggalkan sang istri lebih dari delapan jam. Ketika laki-laki itu di kantor, setiap saat pasti akan selalu mengirimkan pesan dan mengharap mendapatkan balasan dalam waktu singkat. Jika tidak, bisa dipastikan ia akan emosi.Seperti halnya pagi ini. Gabriel mengamuk pada Algio hanya karena salah meletakkan dokumen yang belum ia kerjakan.Hal itu tentu saja membuat sang asisten terkejut. Selama ia bekerja dengan sang CEO, ia belum pernah mendapat kemarahan sebesar ini.Tapi demi apa bosnya yang terkenal dingin dan cuek bisa mengamuk semengerikan ini?Begitulah pertanyaan itu menggema di kepala Algio. Meskipun ia sudah meminta maaf, Gabriel bersikap ketus padanya.“
Sejak Gabriel memutuskan panggilan teleponnya tadi pagi, tak ada kabar hingga waktu hampir sore hari. Wanita yang sejak tadi mulai gusar, berulang kali mengecek ponselnya.“Kenapa dia belum pulang?” gumam Becca kesal.Tanpa ia sadari, laki-laki yang ia rindukan sudah berdiri tepat di belakangnya membawa satu buket mawar merah segar. Laki-laki itu menahan diri untuk tidak tertawa mendengar umpatan yang jelas ditujukan padanya.Tak ingin melihat wanita itu merajuk, tangannya terulur memberikan buket itu tepat di depan wajah sang istri.“Terimalah bunga ini sebagai permintaan maafku, Baby,” bisik Gabriel mesra. Tentu saja perlakuannya itu membuat Becca terkejut dan menegang.Alih-alih menjawab, Becca malah memberikan pertanyaan. “Kau sudah pulang?”Gabriel mengangguk dan masih berada di belakang tubuh istrinya. “Ya. Aku baru saja pulang.”Tak salah Gabriel mendengar kelegaan dari istrinya.
“Apa yang kau lakukan, Gabriel?” tanya Becca yang masih mengenakan gaun tidur dengan jubahnya. Berjalan menuju dapur di mana Gabriel berada.Alih-alih menjawab, lelaki bersetelan kemeja tanpa jas itu mengangkat hasil masakannya pagi ini.“Gabriel?”“Tunggu sebentar, Baby. Duduklah di kursi dan temani aku sarapan,” perintah Gabriel tanpa menoleh sedikit pun.Wanita yang baru saja mengambil segelas air hangat itu mendengkus, tapi tak ayal menurut. Duduk di salah satu kursi dan meneguk air hangat untuk membasahi tenggorokannya.“Silakan, Nyonya Johnson.” Gabriel meletakkan dua piring pasta seafood dengan parutan keju di atasnya. Selain itu, ia juga membuat satu mangkuk salad buah.“Temani aku sarapan dan kau bisa beristirahat kembali setelah aku berangkat,” ucap Gabriel dengan seulas senyum di bibirnya. Dan sebelum ia menyantap sarapannya, lelaki itu sempat menarik tekuk Becca untuk me
Setelan celana panjang berwarna hitam dan kemeja warna biru elektrik menjadi pilihan Becca pagi ini. Memulas bedak tipis-tipis dan lipstik berwarna nude, wanita itu terlihat lebih manis. Jangan lupakan kalung pemberian Gabriel semalam.Kalung berinisial huruf ‘G’ itu sebagai permintaan maaf sekaligus tanda kepemilikan. Ah, Becca mendadak geli mengingat keabsurdan laki-laki yang telah menjadi suaminya itu.Sulit ditebak dan selalu penuh kejutan.Bukan berlebihan mengatakan hal itu. Terhitung sejak mereka bersama, Gabriel lah yang lebih sering menunjukkan sikap kekanak-kanakan ketimbang Becca. Dimulai dari rasa cemburu tanpa melihat waktu dan tempat, menciumnya secara tiba-tiba ketika ada laki-laki yang memerhatikannya, dan masih banyak lagi.Bagaimana perasaan Becca? Tentu senang sekaligus kesal. Ia bahkan sering kali menutupi wajahnya dari pandangan pria lain. Hal itu semata ia lakukan untuk menghindari perang dunia ketiga.Kembali ke t
“Rapat akan dimulai dua puluh menit lagi, Sir.”Gabriel tak bergeming di kursi kebesarannya. Ia masih menatap layar ponselnya yang masih gelap. Tak ada tanda-tanda bahwa akan ada pesan atau panggilan yang masuk dalam waktu dekat.“Sir?”Gabriel mendengkus. “Kita pergi sekarang.”Lelaki dua puluh sembilan itu memasukkan ponselnya ke saku jas, tanpa mengubah pemberitahuan menjadi senyap.Sementara itu, dua orang perempuan digiring masuk ke dalam rumah tua, dengan tangan terikat di belakang.*Lucia mengernyit heran saat panggilannya tak bisa tersambung. Padahal, Becca menghubunginya dengan nomor yang sama.‘Kenapa perasaanku tidak enak?’Wanita paruh baya itu segera menelepon suaminya. Dan lagi-lagi ia harus menelan kekesalan saat mendengar nada dering ponsel sang suami berada di ruangan ini.“Kenapa kebetulan sekali dia tak membawa ponselnya?” gumam Lucia
Gabriel meremas ponsel di tangannya. Seolah-olah itu adalah penelepon yang telah lancang menculik sang istri tercinta.Tak membuang waktu untuk meratapi, laki-laki dengan emosi di hatinya itu menghubungi pengawal kepercayaannya—Peter. Langsung bertanya tanpa basa-basi.“Kau di mana?”“Di markas, Tuan. Saya sedang mengawasi pergerakan Albert Dominic,” jawab Peter tenang. Ia tahu jika sang tuan kini sedang panik dan pasti akan mengamuk.“Kau tau apa kesalahanmu, hah!” seru Gabriel tajam. Laki-laki itu tak bisa lagi mengontrol emosinya. Apalagi berhubungan dengan sang istri.“Sebaiknya Tuan datang kemari. Ada yang ingin saya tunjukkan pada Anda tentang Nona Celine Addison.”“Celine? Ada apa lagi dengan jalang itu?”“Datanglah, Tuan. Anda harus tahu sesuatu.”Alih-alih menjawab, Gabriel langsung memastikan sambungan ponselnya, dan bergegas meninggalkan ar
“Apa kau yakin ini semua akurat?” “Tentu, Sir,” jawab pria di seberang sana dengan yakin. Bahkan Alexander tidak perlu bertanya dua kali untuk hal seperti itu.“Dan apa kau tahu di mana tempat tinggal Gabriel sekarang?” tanya Alexander penasaran. Karena sampai saat ini ia tidak berhasil menemukan keberadaan putranya.Terdengar helaan napas singkat di seberang sana. “Maaf Sir, saya tidak bisa mencari tahu. Semua akses tentang Gabriel Johnson telah dikunci. Pun dengan keberadaan Rebecca Annastasia.”Tangan Alexander mengepal hingga urat-uratnya menonjol. Emosi seketika mendominasi otak pintarnya yang menjadi bodoh karena merasa dikelabuhi oleh anak-anak muda nakal.“Tapi, saya bisa mencari tahu lewat akses orang tua Rebecca Annastasia jika Anda mengijinkan.”Mengingat siapa orang tua Becca saja membuat Alexander terus murka. Apalagi jika diingatkan bagaimana Gerald membuat kekacauan hingga nyaris membuat keluarganya berantakan. Ingat! Gara-gara ulah Gerald bukan hanya Adelia, tapi Jenn
Suasana meja makan di Keluarga Johnson tampak hening setelah Maria dan William duduk di tempatnya. Alexander yang sedari tadi lebih banyak diam pun hanya membalas tatapan Maria sebentar sebelum kembali berpura-pura fokus dengan sarapan di piringnya.“Besok kita akan pergi berlibur,” ucap Maria yang kemudian menatap satu per satu anggota keluarga di sana. “Kalian bisa berkemas mulai hari ini.”Christian dan Christopher mengangkat wajahnya sejenak hanya untuk memperhatikan atmosfer dingin, lalu berpaling ke arah sang nenek. Mereka tersenyum sebelum kembali kompak menundukkan wajah. Tak terkecuali Clara yang diam-diam hanya mengintip tanpa berani menyela seperti kebiasaannya.Namun berbeda dengan Alexander yang memang tak bisa menerima begitu saja. Putra satu-satunya William dan Maria itu menegakkan punggung untuk menatap kedua orang tuanya yang masih terlihat sangat santai.“Kita tidak akan pergi tanpa Gabriel!” tolak Alexander tiba-tiba.Bukan Maria dan William saja yang terkejut, tapi
“Sungguh, aku sangat malu.” Kedua pipi Becca masih merona setelah William dan Maria meninggalkan ruang perawatan sejak satu jam yang lalu. Jelas, tuntutan yang terang-terangan ditujukan padanya menjadi tanggung jawab.Melihat tingkah sang istri Gabriel justru tersenyum geli. “Kemari.”Membawa langkahnya yang lesu, Becca segera mendekat. “Bagaimana nanti aku bertemu mereka lagi, Gabriel?”Dada Gabriel bergetar menahan tawa. Lalu, tangannya meraih pipi merona sang istri yang membuatnya sangat gemas. Ia tersenyum. “Kenapa mesti malu, hm? Mereka pernah muda, tentu saja hal seperti tadi sangat wajar.”“Tapi tetap saja aku malu,” kelit Becca masih tak mampu menjabarkan perasaannya sendiri. “Bagaimanapun juga kau masih sakit dan bisa-bisanya aku berbuat seperti tadi. Oh ….”Melihat kegusaran Becca, Gabriel mengabaikan tangannya yang cedera hanya untuk mencium bibir sang istri. Hal spontan itu tentu saja membuat Becca terkejut hingga kedua matanya membulat sempurna.“Daripada memikirkan hal
Jari-jari yang memiliki kuku panjang itu mengepal erat. Amarahnya sudah mendominasi hingga ia nyaris berbuat ceroboh.“Dasar jalang tak tahu malu!” desisnya tak suka. Masih memperhatikan aktivitas kedua orang di atas ranjang perawatan, pemilik nama Celine Addison mengambil kamera dan membidik beberapa foto.“Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Uncle Alexander mengetahui ini.”Seolah mendapat kemenangan, Celine menatap sinis wanita yang baru saja turun dari tubuh pria yang ia inginkan.“Tunggu pembalasanku!”**Bukan hanya Adelia yang pulang setelah memastikan Gabriel dan Becca baik-baik saja. Gerald yang melihat bagaimana pasangan muda dimabuk asmara itu bersama juga memutuskan untuk memberi mereka privasi.Pria yang saat ini telah tiba di halaman rumahnya langsung masuk dan mengabaikan sapaan para pelayan. Tentu saja mereka bingung, tapi tak berani bertanya.“Bagaimana keadaan menantu kita, Gerald?” tanya Lucia cemas karena sepulang dari rumah sakit Gerald belum mengatakan apa pun
“Belum puas memandangiku, hm?”Becca menggeleng. Bibirnya masih terasa kebas setelah Gabriel menciumnya dengan isapan dalam.“Sini.” Gabriel menepuk tempat di sampingnya yang masih muat untuk Becca berbaring, tapi hingga beberapa saat lamanya wanita yang telah ia nikahi itu masih tak bergeming. Hanya menatap tanpa berucap sepatah kata pun.Gabriel maklum. Pasti sang istri masih syok. Dan bukan Gabriel jika tak mampu membujuk.“Ayolah, Baby. Jika kau ingin aku sembuh, kau juga harus menemaniku tidur,” bujuk Gabriel yang sudah tak sabar untuk memeluk sang istri setelah beberapa hari ia harus tidur sendiri di apartemen mereka.“Kau membuatku takut,” ucap Becca lirih. Matanya kemudian terpejam demi menghalau butiran-butiran kristal yang telah menggenang.Gabriel tertegun.“Kau begini karena aku.” Lagi, Becca masih menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab Gabriel celaka. Jika saja ia tidak menolak untuk permintaan pria itu, maka kecelakaan ini tidak akan terjadi.“Kalau kau menyesal, s
Entah apa kalimat yang cukup untuk menggambarkan perasaan Becca saat ini. Belum kering air mata mengalir di pipinya, ia kembali dikejutkan oleh kabar dari sang ibu mertua.Becca syok hingga ponsel yang masih tersambung dengan Adelia jatuh ke lantai. Tenggorokannya seketika kering dan kedua kakinya gemetar.“Mama!” teriak Becca begitu kesadaran menghampirinya.Lucia yang kebetulan akan keluar dari kamar pun segera mencari sumber suara. Matanya membulat saat putri semata wayangnya sudah terduduk di lantai dengan tangisan yang tersendat.Buru-buru Lucia turun setelah memanggil Gerald yang tak lama kemudian menyusulnya keluar. Lucia segera mendekat dan memeluk Becca yang masih menangis.“Kenapa, Sayang?” tanya Lucia cemas. Namun sayangnya, Becca tak mampu menjawab. Wanita dengan wajah memerah dan basah karena air mata itu balas memeluk dan malah histeris.“Ada apa?” Gerald terkejut melihat keadaan putrinya, tapi ia mencoba tenang saat kedua wanita yang menempati posisi tertinggi di hatiny
Suasana di meja makan sangat hening. Hanya ada suara alat makan yang mengisi kesunyian di sana. Lucia dan Gerald yang tak ingin ikut campur pun segera beranjak begitu makanan di atas piring telah habis.“Jaga putri Daddy, Gabriel,” pesan Gerald sebelum ia benar-benar pergi dari ruangan itu.Tak ada sahutan dari bibir Gabriel yang masih mengunyah dan tampaknya Gerald pun tidak sedang menuntut balasan.Lima menit telah berlalu. Waktu terasa lambat bagi Becca yang baru saja menghabiskan bubur di dalam mangkoknya. Tanpa menoleh ke arah Gabriel yang juga selesai sarapan, Becca meneguk air putih di gelas miliknya. Hal itu tak luput dari lirikan mata Gabriel yang mengintai.“Masih tak mau bicara,” gumam Gabriel seraya menunggu. Ia ingin melihat seberapa lama wanita yang telah menjadi istrinya itu bertahan. Namun, prediksi Gabriel lagi-lagi salah. Buktinya, setelah air dalam gelas itu tandas, Becca hendak bangkit tanpa menoleh ke arah Gabriel.Dengan gerakan lincah Gabriel menahan tangan Bec
“Bagaimana hasilnya, Derick?” tanya seorang pria dengan tatapan tajam yang kini duduk di kursi kebesarannya. Rahang yang dipenuhi bulu halus itu terlihat mengeras hingga urat-uratnya menonjol.“Maaf Tuan, saya tidak menemukan petunjuk apa pun.”Brak!Meja tak bersalah itu digebrak dengan kencang hingga pria bernama Derick itu terlonjak kaget.“Apa kau bilang?” desis pria itu dingin.Derick meneguk ludahnya kasar. Ia tak mampu menatap mata pria yang telah beberapa tahun menjadi bosnya.“Kau tahu ... aku paling tidak suka mendengar kegagalan.”“Maaf Tuan. Ini semua benar-benar di luar kendali saya. Tuan tentunya sudah tahu kinerja Baron selama ini,” jawab Derick mencoba menjelaskan. Berharap setelah ini sang tuan bisa menerima. Brak!Lagi, meja bersalah itu menjadi pelampiasan pemilik nama Albert Dominic dalam menuntaskan amarahnya. Ia seketika bangkit dan menghampiri sang asisten dan langsung menarik kemeja pria itu hingga terdongak.BUGH!Satu pukulan tangan Albert melayang ke pipi D
Sesuai kata dokter, keesokan harinya Lucia sudah diperbolehkan pulang. Betapa bahagia wanita yang sejak beberapa menit lalu tak meredupkan senyumannya.Ya. Tepatnya setelah dokter mengatakan dirinya bisa pulang. Dengan begitu, ia bisa membawa putri satu-satunya itu pulang bersamanya.“Becca.”Wanita dengan rambut ikal sebahu itu menoleh. Ia tersenyum setelah memasukkan pakaian sang ibu ke dalam tas.“Ada apa, Ma?”Lucia tersenyum. “Kemarilah.”Mau tak mau pemilik nama Rebecca Annastasia itu mendekat. Mencoba mempertahankan senyuman di wajahnya.“Duduklah,” perintah Lucia dengan lembut.Becca menurut. Sejurus kemudian ia menggenggam tangan Lucia erat.“Ada yang ingin Mama katakan?” tanya Becca tanpa mengurai genggaman tangannya. Napas Lucia berembus pelan. “Apakah hubunganmu dengan Gabriel baik-baik saja?” Deg!Mendapat pertanyaan yang tak pernah Becca duga mampu membuat debaran dadanya bertalu. Lebih kencang daripada saat ia mendengar tawa wanita yang sudah tidur dengan suaminya sen