Darah di dalam tubuh Becca berdesir tatkala bibir hangat Gabriel mendekat. Tepat di dekat telinganya.
Dalam posisi seperti itu, katakan wanita waras mana yang masih bisa bertahan untuk berdiri tegak kala ada satu embusan napas yang menggelitik lehernya yang terekspos.
Menjadi prestasi terbaik bagi gadis bergaun merah itu tidak pingsan dalam waktu dekat. Apalagi ketika tangan besar nan hangat itu menyentuh pundaknya yang polos.
Ah, ada rasa warna-warni yang tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata biasa. Semuanya terjadi begitu saja.
Dan bertahan untuk masih tetap waras membuat gadis itu melirihkan sebuah nama. Namun, kenyataan yang terjadi bukan seperti yang ia pikirkan.
Laki-laki yang berada di belakangnya jelas masih seratus persen sadar. Bahkan lebih dari kata sadar. Karena memang ia bukan orang yang baru saja menikmati cairan beralkohol atau sejenisnya.
“S-sir ...?” cicit Becca melirih. Dan itu menjadi kesalahannya. Karena li
“Are you, Okay?” Tangan Gabriel menepuk punggung gadis itu perlahan. Menimbulkan kenyamanan yang selalu dirindukan olehnya.Zeline mengangguk. Mengendurkan pelukannya ia menatap dalam pada wajah laki-laki kedua yang berada di hatinya itu dengan wajah berbinar.“Bagaimana kabarmu?”“Aku baik,” jawab Gabriel singkat.“Kau semakin tampan,” puji Zeline lugas. Seperti itulah dia yang selalu berkata terang-terangan.“Apa tak ada pujian lain yang lebih menarik? Tidak bertemu denganmu selama setahun ternyata tak ada yang berubah.” Gabriel menggelengkan kepalanya, geli.Bibir Zeline mengerucut. “Bahkan kau tidak membalas sedikit pujian untukku?”Lagi-lagi Gabriel menggeleng. “Tapi ... ada sesuatu yang ingin kukenalkan padamu.” Gabriel memberi jarak dengan Zeline. Kemudian beralih meraih tangan Becca yang masih terpaku.“Siapa?” tanya Ze
“Jadi pelayan ini yang kau pilih ketimbang Zeline yang jelas-jelas bermartabat?”Gabriel seketika menoleh ke arah di mana sumber suara itu berasal. Tepat tak jauh darinya, seorang laki-laki bersetelan formal perlahan mendekat.Ia yang tak lain adalah Albert. Teman sekaligus rekan bisnis dalam tiga tahun terakhir.Albert memindai penampilan gadis yang di samping Gabriel. Ia terkesima untuk beberapa saat. Namun, secepat mungkin ia mengendalikan dirinya.“Jaga mulutmu, Albertus Dominic!” desis Gabriel diiringi dengan tatapan tajamnya.Sudut bibir Albert tertarik ke atas. Membentuk seringai remeh kepada gadis di dekat teman sekaligus rekan bisnisnya itu.“Ck. Hanya untuk membela jalang ini ... kau bisa berkata seperti itu padaku?” Kepala Albert menggeleng seolah ini adalah hal paling lucu. “Kau sangat keterlaluan, Gabriel!”“Bahkan untuk membela seorang pengemis di jalanan pun, aku aka
Semenjak semalam, Gabriel memikirkan soal membawa Becca ke atas altar tanpa membawa restu orang tua. Jujur saja, bisikan William tentang hal itu membuat dirinya tak bisa tidur nyenyak. Jangankan tidur, mau beraktivitas pun terasa berat.Seperti pagi ini, Gabriel hanya duduk melamun. Menatap ke arah dinding kaca yang menampilkan pemandangan pusat kota, pikirannya berkelana jauh ke mana-mana. Dan yang lebih parah, ia mengabaikan setumpuk dokumen di atas mejanya.Sejujurnya, ia pernah memiliki pemikiran itu. Namun, selalu ia urungkan mengingat nasehat sang mommy yang terpatri di benaknya.Helaan napas panjang berembus ke sekian kali tanpa menemukan apa pun. Tak ada petunjuk ataupun hal yang bisa ia pakai untuk pertimbangan.“AARRGHH!”Gabriel menggeram seraya mengacak-acak rambutnya yang semula rapi menjadi berantakan. Tak sampai di situ, ia juga melonggarkan dasi yang terasa mencekik. Pun dengan kedua lengan kemeja yang turut menjadi sasa
Kedatangan Alexander Johnson pagi ini membuat mood Gabriel semakin memburuk. Bagaimana tidak, saat hatinya masih dipenuhi berbagai kegelisahan, pria paruh baya itu semakin menambah beban pikirannya.Tangan Gabriel mengepal. Ada segumpal emosi yang seketika melingkupi dirinya. Dan sedetik kemudian, kepalan itu melayang ke atas meja. Hingga menimbulkan suara berdebum.Beruntung ruangannya kedap suara sehingga, Algio yang masih sibuk dengan dokumen untuk persiapan meeting siang ini tak terganggu.“Sial! Kenapa Daddy selalu seperti ini padaku?” Napasnya terengah-engah seperti habis berlari ribuan kilometer. Ia terduduk kembali di kursi kebesarannya. Memejamkan mata.Berusaha mengusir bisikan nakal, Gabriel mulai membuka matanya yang semula terpejam. Ia sedikit membayangkan bagaimana jika mommy-nya tahu tentang pertengkaran tadi.“Pasti Mommy akan kecewa padaku.” Begitu mudahnya ia berpikir seperti itu. Ia tak ingin memulai, tapi
Dalam desakan keinginan yang menggebu, terkadang akal sehat menjadi hal terakhir yang lambat untuk dikendalikan. Karena, saat semua kenyamanan yang bergelung dengan kehangatan menyatu, berpikir jernih sudah menjadi hal yang tak perlu lagi dilakukan.Semua hal itu hanya akan bermuara pada satu kenikmatan yang memberikan kebahagiaan.Rasa gelisah, bingung, dan sederet kata yang hampir memiliki makna yang sama itu hilang. Digantikan dengan rasa bahagia yang membuncah.Itulah yang terjadi pada dua anak manusia yang terhanyut dalam pagutan liar di atas sofa. Kesenangan yang berasal dari manusia berbeda jenis kelamin itu memiliki kesamaan, sehingga atas dasar itu, mereka saling memberi dan menerima.“Ahh ...”Adalah Becca yang kemudian mendesah pasrah ketika bibir tebal Gabriel menyusuri telinganya. Turun ke leher, dan bermain-main di sana.Bibir tebal itu bergerak menjilat sesuka hati. Menambahkan gigitan dan isapan kecil
“Ma-maksud Anda ... pelayan baru yang sekarang bersama Tuan Gabriel?” tanya Rose yang masih bertahan di dalam kesakitan.“Ya. Dialah orangnya. Gadis sok suci yang sekarang memilih menjadi simpanan.”Hal itu membuat Rose terkejut. Apa hebatnya wanita itu dibanding dirinya? Bahkan setaunya, dia tidak mau melayani laki-laki. Namun, mengapa malah sekarang menjadi rebutan para pria kaya? Dan apa tadi yang ia dengar? Menjadi simpanan? Oh my God!Rose tidak paham dengan pikiran mereka. Namun, hal itu dimanfaatkan olehnya untuk mendapat keuntungan.“A-aku bisa membantu ... ji-jika Tuan menginginkannya,” cicit Rose susah payah.“Membantu?”“I-iya, Tuan.” Kedua mata Rose mengerjap. Berharap tawarannya itu diterima oleh laki-laki yang ternyata sangat terobsesi pada Rebecca.Cengkeraman di leher Rose mengendur. Dan kesempatan itu dimanfaatkannya untuk kembali merayu laki-laki pemilik nam
Derap langkah santai, seorang laki-laki bersetelan formal menjadi pusat perhatian para karyawan, yang kebetulan baru saja memasuki area tersebut.Para karyawan itu saling berbisik melihat ketampanan dengan senyum yang tersungging di bibir lelaki itu.“Wah, andai saja CEO kita seperti dia. Pasti gue nggak akan gemeteran kalau pas papasan sama beliau,” celetuk salah satu karyawan.“Lo bener. Apalagi Mr. Dominic. Yang sangat bersikap lembut kepada semua wanita. Lo nggak tau sih kalau gue pernah di sapa oleh dia.” Satu karyawan lain menyetujui ucapan temannya.“Dah lah. Pokoknya, apa pun yang terjadi, Mr. Johnson itu CEO idaman sejuta umat,” timpal yang lain.“Ck. Susah kalau ngomong sama orang yang sudah bucin mendarah daging.”“Ha ha ha ....”“Hush! Jangan kenceng-kenceng ketawanya!”Para karyawan itu kemudian memasang wajah polos ketika sang pria tampa
Aku akan menjemputmu sore nanti.Satu pesan di aplikasi online yang baru saja masuk membuat Becca masih betah memandangi layar ponselnya. Tanpa sadar seulas senyum tipis tersungging ketika mengingat siapa pengirim pesan itu.“Becca.”Panggilan dari wanita paruh baya di dekat pintu kamar tak lantas membuat gadis yang masih berkutat dengan ponselnya itu menoleh. Rupanya si gadis itu masih melamunkan sesuatu.Dahi Lucia mengernyit tatkala putri semata wayangnya tak merespons dirinya. Ia pun memutuskan untuk menghampiri dengan langkah pelan, sambil mengintip dari belakang.“Aneh. Tidak biasanya ia seperti ini,” batin Lucia.Ketika jarak Lucia semakin dekat, bertepatan dengan menolehnya kepala Becca dan membuat mereka terkejut.“Astaga Mama! Apa yang Mama lakukan?” Ia mengusap dadanya yang berdebar hebat. Apa-apaan mama-nya ini. Bisa-bisanya masuk ke kamar dengan mengendap-endap seperti itu.Wanit
“Apa kau yakin ini semua akurat?” “Tentu, Sir,” jawab pria di seberang sana dengan yakin. Bahkan Alexander tidak perlu bertanya dua kali untuk hal seperti itu.“Dan apa kau tahu di mana tempat tinggal Gabriel sekarang?” tanya Alexander penasaran. Karena sampai saat ini ia tidak berhasil menemukan keberadaan putranya.Terdengar helaan napas singkat di seberang sana. “Maaf Sir, saya tidak bisa mencari tahu. Semua akses tentang Gabriel Johnson telah dikunci. Pun dengan keberadaan Rebecca Annastasia.”Tangan Alexander mengepal hingga urat-uratnya menonjol. Emosi seketika mendominasi otak pintarnya yang menjadi bodoh karena merasa dikelabuhi oleh anak-anak muda nakal.“Tapi, saya bisa mencari tahu lewat akses orang tua Rebecca Annastasia jika Anda mengijinkan.”Mengingat siapa orang tua Becca saja membuat Alexander terus murka. Apalagi jika diingatkan bagaimana Gerald membuat kekacauan hingga nyaris membuat keluarganya berantakan. Ingat! Gara-gara ulah Gerald bukan hanya Adelia, tapi Jenn
Suasana meja makan di Keluarga Johnson tampak hening setelah Maria dan William duduk di tempatnya. Alexander yang sedari tadi lebih banyak diam pun hanya membalas tatapan Maria sebentar sebelum kembali berpura-pura fokus dengan sarapan di piringnya.“Besok kita akan pergi berlibur,” ucap Maria yang kemudian menatap satu per satu anggota keluarga di sana. “Kalian bisa berkemas mulai hari ini.”Christian dan Christopher mengangkat wajahnya sejenak hanya untuk memperhatikan atmosfer dingin, lalu berpaling ke arah sang nenek. Mereka tersenyum sebelum kembali kompak menundukkan wajah. Tak terkecuali Clara yang diam-diam hanya mengintip tanpa berani menyela seperti kebiasaannya.Namun berbeda dengan Alexander yang memang tak bisa menerima begitu saja. Putra satu-satunya William dan Maria itu menegakkan punggung untuk menatap kedua orang tuanya yang masih terlihat sangat santai.“Kita tidak akan pergi tanpa Gabriel!” tolak Alexander tiba-tiba.Bukan Maria dan William saja yang terkejut, tapi
“Sungguh, aku sangat malu.” Kedua pipi Becca masih merona setelah William dan Maria meninggalkan ruang perawatan sejak satu jam yang lalu. Jelas, tuntutan yang terang-terangan ditujukan padanya menjadi tanggung jawab.Melihat tingkah sang istri Gabriel justru tersenyum geli. “Kemari.”Membawa langkahnya yang lesu, Becca segera mendekat. “Bagaimana nanti aku bertemu mereka lagi, Gabriel?”Dada Gabriel bergetar menahan tawa. Lalu, tangannya meraih pipi merona sang istri yang membuatnya sangat gemas. Ia tersenyum. “Kenapa mesti malu, hm? Mereka pernah muda, tentu saja hal seperti tadi sangat wajar.”“Tapi tetap saja aku malu,” kelit Becca masih tak mampu menjabarkan perasaannya sendiri. “Bagaimanapun juga kau masih sakit dan bisa-bisanya aku berbuat seperti tadi. Oh ….”Melihat kegusaran Becca, Gabriel mengabaikan tangannya yang cedera hanya untuk mencium bibir sang istri. Hal spontan itu tentu saja membuat Becca terkejut hingga kedua matanya membulat sempurna.“Daripada memikirkan hal
Jari-jari yang memiliki kuku panjang itu mengepal erat. Amarahnya sudah mendominasi hingga ia nyaris berbuat ceroboh.“Dasar jalang tak tahu malu!” desisnya tak suka. Masih memperhatikan aktivitas kedua orang di atas ranjang perawatan, pemilik nama Celine Addison mengambil kamera dan membidik beberapa foto.“Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Uncle Alexander mengetahui ini.”Seolah mendapat kemenangan, Celine menatap sinis wanita yang baru saja turun dari tubuh pria yang ia inginkan.“Tunggu pembalasanku!”**Bukan hanya Adelia yang pulang setelah memastikan Gabriel dan Becca baik-baik saja. Gerald yang melihat bagaimana pasangan muda dimabuk asmara itu bersama juga memutuskan untuk memberi mereka privasi.Pria yang saat ini telah tiba di halaman rumahnya langsung masuk dan mengabaikan sapaan para pelayan. Tentu saja mereka bingung, tapi tak berani bertanya.“Bagaimana keadaan menantu kita, Gerald?” tanya Lucia cemas karena sepulang dari rumah sakit Gerald belum mengatakan apa pun
“Belum puas memandangiku, hm?”Becca menggeleng. Bibirnya masih terasa kebas setelah Gabriel menciumnya dengan isapan dalam.“Sini.” Gabriel menepuk tempat di sampingnya yang masih muat untuk Becca berbaring, tapi hingga beberapa saat lamanya wanita yang telah ia nikahi itu masih tak bergeming. Hanya menatap tanpa berucap sepatah kata pun.Gabriel maklum. Pasti sang istri masih syok. Dan bukan Gabriel jika tak mampu membujuk.“Ayolah, Baby. Jika kau ingin aku sembuh, kau juga harus menemaniku tidur,” bujuk Gabriel yang sudah tak sabar untuk memeluk sang istri setelah beberapa hari ia harus tidur sendiri di apartemen mereka.“Kau membuatku takut,” ucap Becca lirih. Matanya kemudian terpejam demi menghalau butiran-butiran kristal yang telah menggenang.Gabriel tertegun.“Kau begini karena aku.” Lagi, Becca masih menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab Gabriel celaka. Jika saja ia tidak menolak untuk permintaan pria itu, maka kecelakaan ini tidak akan terjadi.“Kalau kau menyesal, s
Entah apa kalimat yang cukup untuk menggambarkan perasaan Becca saat ini. Belum kering air mata mengalir di pipinya, ia kembali dikejutkan oleh kabar dari sang ibu mertua.Becca syok hingga ponsel yang masih tersambung dengan Adelia jatuh ke lantai. Tenggorokannya seketika kering dan kedua kakinya gemetar.“Mama!” teriak Becca begitu kesadaran menghampirinya.Lucia yang kebetulan akan keluar dari kamar pun segera mencari sumber suara. Matanya membulat saat putri semata wayangnya sudah terduduk di lantai dengan tangisan yang tersendat.Buru-buru Lucia turun setelah memanggil Gerald yang tak lama kemudian menyusulnya keluar. Lucia segera mendekat dan memeluk Becca yang masih menangis.“Kenapa, Sayang?” tanya Lucia cemas. Namun sayangnya, Becca tak mampu menjawab. Wanita dengan wajah memerah dan basah karena air mata itu balas memeluk dan malah histeris.“Ada apa?” Gerald terkejut melihat keadaan putrinya, tapi ia mencoba tenang saat kedua wanita yang menempati posisi tertinggi di hatiny
Suasana di meja makan sangat hening. Hanya ada suara alat makan yang mengisi kesunyian di sana. Lucia dan Gerald yang tak ingin ikut campur pun segera beranjak begitu makanan di atas piring telah habis.“Jaga putri Daddy, Gabriel,” pesan Gerald sebelum ia benar-benar pergi dari ruangan itu.Tak ada sahutan dari bibir Gabriel yang masih mengunyah dan tampaknya Gerald pun tidak sedang menuntut balasan.Lima menit telah berlalu. Waktu terasa lambat bagi Becca yang baru saja menghabiskan bubur di dalam mangkoknya. Tanpa menoleh ke arah Gabriel yang juga selesai sarapan, Becca meneguk air putih di gelas miliknya. Hal itu tak luput dari lirikan mata Gabriel yang mengintai.“Masih tak mau bicara,” gumam Gabriel seraya menunggu. Ia ingin melihat seberapa lama wanita yang telah menjadi istrinya itu bertahan. Namun, prediksi Gabriel lagi-lagi salah. Buktinya, setelah air dalam gelas itu tandas, Becca hendak bangkit tanpa menoleh ke arah Gabriel.Dengan gerakan lincah Gabriel menahan tangan Bec
“Bagaimana hasilnya, Derick?” tanya seorang pria dengan tatapan tajam yang kini duduk di kursi kebesarannya. Rahang yang dipenuhi bulu halus itu terlihat mengeras hingga urat-uratnya menonjol.“Maaf Tuan, saya tidak menemukan petunjuk apa pun.”Brak!Meja tak bersalah itu digebrak dengan kencang hingga pria bernama Derick itu terlonjak kaget.“Apa kau bilang?” desis pria itu dingin.Derick meneguk ludahnya kasar. Ia tak mampu menatap mata pria yang telah beberapa tahun menjadi bosnya.“Kau tahu ... aku paling tidak suka mendengar kegagalan.”“Maaf Tuan. Ini semua benar-benar di luar kendali saya. Tuan tentunya sudah tahu kinerja Baron selama ini,” jawab Derick mencoba menjelaskan. Berharap setelah ini sang tuan bisa menerima. Brak!Lagi, meja bersalah itu menjadi pelampiasan pemilik nama Albert Dominic dalam menuntaskan amarahnya. Ia seketika bangkit dan menghampiri sang asisten dan langsung menarik kemeja pria itu hingga terdongak.BUGH!Satu pukulan tangan Albert melayang ke pipi D
Sesuai kata dokter, keesokan harinya Lucia sudah diperbolehkan pulang. Betapa bahagia wanita yang sejak beberapa menit lalu tak meredupkan senyumannya.Ya. Tepatnya setelah dokter mengatakan dirinya bisa pulang. Dengan begitu, ia bisa membawa putri satu-satunya itu pulang bersamanya.“Becca.”Wanita dengan rambut ikal sebahu itu menoleh. Ia tersenyum setelah memasukkan pakaian sang ibu ke dalam tas.“Ada apa, Ma?”Lucia tersenyum. “Kemarilah.”Mau tak mau pemilik nama Rebecca Annastasia itu mendekat. Mencoba mempertahankan senyuman di wajahnya.“Duduklah,” perintah Lucia dengan lembut.Becca menurut. Sejurus kemudian ia menggenggam tangan Lucia erat.“Ada yang ingin Mama katakan?” tanya Becca tanpa mengurai genggaman tangannya. Napas Lucia berembus pelan. “Apakah hubunganmu dengan Gabriel baik-baik saja?” Deg!Mendapat pertanyaan yang tak pernah Becca duga mampu membuat debaran dadanya bertalu. Lebih kencang daripada saat ia mendengar tawa wanita yang sudah tidur dengan suaminya sen