Kehadiran Gabriel Emilio Johnson membuat suasana rumah utama menjadi ramai dan lebih berwarna.
Bayi yang berusia 1 bulan itu akan menangis di setiap jam 1 malam dan tak akan berhenti sebelum Maria menggendongnya.
“Kamu menangis lagi, hm?” Itulah ucapan Maria ketika Baby Gabriel sudah berada dalam dekapannya.
Setelah Baby Gabriel menangis, Maria akan membawa bayi itu masuk ke kamarnya sendiri. Beruntung William tak pernah keberatan.
“Menangis lagi, Mom?”
“Iya, Dad.”
William yang baru saja membuka kedua matanya, mengubah posisi tidurnya menjadi miring untuk melihat bayi yang kini mulai berceloteh.
“Kamu mirip dengan Daddy-mu, Nak,” ucap William seperti biasanya.
Maria tersenyum geli mendengar ucapan itu lagi. Memang tak bisa dielak jika Gabriel dan Alexander memiliki sifat yang sangat mirip.
Menangis adalah salah satu contohnya.
Akan tetapi, tidak dengan wajah Baby Gabriel. Paras bayi itu seratus persen mi
“Please, Kak. Bantu kami berdua, ya?” rengek dua remaja yang baru akan mendaftar di Universitas yang sama dengan sang kakak.“Kalian berdua benar-benar merepotkan, huh,” gumam Gabriel kesal. “baiklah, kakak akan membantu pada masa orientasi mahasiswa nanti.”“Yes!” ucap dua remaja dengan wajah yang sama itu bersamaan. “terima kasih, Kak,” ucap mereka selanjutnya dan berhambur memeluk Gabriel.“Kalian mengacaukan penampilanku lagi!” geram Gabriel sambil memukul kedua bahu adiknya gemas.Selalu seperti ini jika mereka bersama.“Ada apa kalian ribut terus setiap hari?” tanya pria paruh baya yang merangkul pinggang istrinya.“Biasa, Dad,” jawab Gabriel santai.Alex yang kini duduk di kursi meja makan menatap satu per satu wajah ketiga putranya.“Kalian harus belajar dengan baik. Daddy harap mulai tahun depan Kak Gabriel harus masuk
Suasana pesta putra putri Keluarga Johnson baru saja berakhir setengah jam yang lalu. Dibantu seorang pegawaiWeddingOrganizer, Jenny lebih dulu masuk ke dalam kamar pengantin, yang telah disiapkan pihak hotel. “Apakah Anda akan berendam dulu, Nyonya?” tanya seorang pelayan yang diperintahkan membantu Jenny. “Tidak perlu. Kamu boleh keluar,” ucapnya.
“Mau ke mana?” tanya pria yang tak masih memejamkan mata dengan memeluk tubuh polos istrinya. “Kamar mandi.” Pria dengan tubuh polos itu membuka mata. Menyusuri wajah istrinya yang berantakan dengan bibir membengkak. “Jangan lama-lama,” pesannya. Wanita itu mengangguk. Namun, saat kedua kakinya menginjak lantai, ia merasakan ada yang aneh pada area miliknya. “Sshh ...” “Kenapa, Honey?” tanya Tommy yang segera terbangun mendengar rintihan istrinya. Tampak wajah Jenny yang meringis menahan sakit, membuat Tommy kebingungan. “Hanya sedikit tak nyaman di bawah sana,” keluh Jenny. Tommy yang paham meraih tubuh Jenny dalam gendongannya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Jenny seraya melingkarkan kedua tangannya, di leher Tommy. “Mengantarmu,” jawabnya singkat. Mendengar itu, pipi Jenny merona. Ingatannya kembali pada olah raga mereka semalam. Tommy menurunkan tubuh Jenny
Sebuah mobil Lamborghini Aventandor milik Tommy, membelah jalanan kota New York di pagi hari, menuju landasan pribadi milik Keluarga Johnson. Tommy dan Jenny sepakat akan berangkat lebih pagi, mengingat waktu yang dibutuhkan tidak sebentar. Jenny terlihat elegan dengan setelan kemeja yang terbalut blazer, dipadukan celana bahan senada warna peach dan sepatu hak warna hitam, setinggi 7 senti. Sedangkan Tommy, sangat tampan dengan setelan jas formal dengan warna hitam, dipadukan dengan dasi bergaris miring dan sepatu pantofel hitam. Pasangan pengantin baru itu, saling melemparkan senyuman ketika tatapan mereka bertemu. Sesampainya di landasan pribadi milik Keluarga Johnson, Tommy keluar lebih dulu, dan berlari dengan cepat, memutari mobil. Bergerak membukakan pintu untuk istrinya. Jenny mengulurkan tangan dengan seulas senyum yang tersungging di bibirnya. “Thank you,” ucap Jenny setelah menerima kecupan bibir dari suaminya.
“Ayo, buka mulutnya,” titah Tommy dengan lembut.Bibir Jenny yang awalnya merengut, kini mulai membuka. Menerima tawaran suaminya.Beberapa menit yang lalu, saat mereka akan melakukan hal yang lebih intim, tiba-tiba saja perut Jenny bergemuruh.Suasana yang semula panas dan bergairah, menjadi hal yang paling memalukan seumur hidup Jenny.Memang Tommy tidak menertawakannya. Namun, tetap saja, insiden itu menjadi hal yang membuatnya malu.“Bagaimana?”“Cukup enak. Tetapi, masih enak masakanmu di apartemen waktu itu,” jawabnya jujur.“Kamu menyukainya?” tanya Tommy tak percaya.“Hm, aku menyukainya,” jawabnya.“Baiklah, Nyonya Fernandez. Aku akan lebih sering menyiapkan makan malam untuk kita, sepulang dari bulan madu ini,” janji Tommy dengan sungguh-sungguh.Jenny tersenyum dan memajukan wajahnya. “Aku akan menunggu, Tuan Fernandez.”
“Panas sekali,” gumam Tommy saat telapak tangannya menyentuh dahi Jenny yang sedang menggigil. Dengan gerakan cepat, Tommy beranjak mencari kotak P3K yang ada di dalam kamarnya. Pria itu mengambil termometer dan segera mengecek suhu tubuh Jenny. Angka pada termometer, yang menunjukkan angka tiga puluh sembilan koma tujuh derajat, cukup membuatnya panik. Apalagi Jenny terus menggigil dengan wajah yang memucat. “Astaga!” pekik Tommy di tengah kepanikannya. Tommy segera menyambar telepon di nakas dan menghubungi pihak hotel untuk mencarikan seorang dokter. Lima belas menit kemudian, sang pelayan hotel datang bersama dokter muda yang berjenis kelamin laki-laki. Tommy menunjukkan wajah tak ramah kepada sang pelayan karena dokter yang diminta tidak sesuai keinginannya. Namun, segera ia enyahkan. Mengingat ada hal yang lebih penting dari itu. Rupanya Tommy tak rela jika yang memeriksa istrinya adalah laki-laki. “Bagaim
Jenny bingung mengungkapkan perasaannya saat ini. Perlakuan pria yang berstatus menjadi suaminya itu sangat menjaga dan melayaninya sepenuh hati.“Tommy, ini berlebihan,” desis Jenny berulang kali.Akan tetapi, pria itu seperti tuli. Tak mengindahkan protes sang istri yang sejak tadi menolak pelayanannya.“Tommy,”CupCupCup“Nikmati saja, Honey. Tidak perlu banyak membantah,” jawab Tommy lembut.Lihatlah! Pria yang biasa dipuja banyak wanita di luar sana, menjadi bucin dan posesif kepada Jenny.‘Bagaimana bisa?’Itulah pertanyaan yang memenuhi otak Jenny. Bahkan, ia harus menahan semua kesiap karena terlalu terkejut dengan apa yang ia dapatkan selama ini.“Finish,” gumam Tommy perlahan. “Sebaiknya kamu beristirahat, Honey. Kita akan jalan-jalan ke tempat lain jika esok hari kamu sudah merasa lebih baik.”“Be-Benarkah? Kam
Semenjak bertemu dengan Clarissa, perasaan Tommy bagai terombang-ambing di pinggir jurang.Benar kata Alexander, Tommy belum sepenuhnya bisa melepaskan wanita yang menjadi kekasihnya selama empat tahun itu. Padahal, wanita itu yang lebih dulu menghianatinya dengan pria lain.Tommy menunduk, melihat pada wanita yang sudah berstatus sebagai istrinya, memeluk erat padanya. Kebimbangan itu perlahan pudar. Tergantikan ekspresi penuh cinta.‘Jangan mengingat masa lalu, Tommy!’‘Ingatlah! Saat ini ada wanita yang memasrahkan seluruh hidupnya hanya untuk bersamamu.’‘Kamu pun sudah berjanji di hadapan Tuhan bahwa akan membahagiakannya sepenuh hati.’‘Jangan bertindak bodoh dengan mengingat wanita itu!’Hati kecil Tommy mengingatkan pria itu untuk tak lagi melakukan hal-hal yang memicu pertengkaran dengan sang istri. Apalagi mereka baru saja menikah.“Maafkan aku, Honey. Ternya