terima kasih telah membaca
Restoran El Mirador menyuguhkan pemandangan kota yang begitu luas dan menawan dari lantai atas. Langit siang yang cerah serta angin sepoi-sepoi yang sesekali berembus melalui jendela kaca besar, menciptakan suasana yang sempurna untuk makan siang yang tenang.Ariana dan Diego duduk di salah satu meja eksklusif, terpisah dari keramaian utama restoran. Interior yang elegan, lampu gantung kristal, serta alunan musik jazz lembut semakin memperkuat kesan mewah tempat itu.Seorang pelayan datang dengan sikap ramah, menyerahkan buku menu sebelum menunggu dengan sabar. Ariana melihat daftar makanan dengan cepat, lalu menoleh pada Diego yang tampak lebih fokus pada suasana sekitar."Aku pesan salmon steak dengan saus lemon butter," ujar Ariana santai, lalu mengangkat alis menunggu pilihan Diego.Diego akhirnya menutup menu dan menyerahkannya pada pelayan. "Untukku… rib-eye steak, tingkat kematangan medium rare."Pelayan itu mengangguk, mencatat pesanan mereka sebelum mundur dengan sopan. Begitu
Diego dan Ariana kembali ke kantor setelah makan siang. Suasana masih sama seperti sebelumnya—sibuk dan penuh aktivitas. Beberapa karyawan melirik sekilas ke arah mereka, tetapi tidak ada lagi tatapan penasaran seperti tadi pagi.Saat mereka melewati beberapa meja, Ariana bisa merasakan beberapa pasang mata diam-diam kembali memperhatikan Diego. Ia hanya tersenyum kecil, merasa geli sendiri melihat bagaimana para karyawan wanita masih penasaran dengan pria di sampingnya.Ketika mereka sampai di ruangan, Andrew belum kembali. Berarti ia mungkin masih di luar untuk makan siang atau ada urusan lain.Diego berjalan ke meja kerja dan mengambil beberapa dokumen yang sudah tertata rapi. Ia menyerahkannya pada Ariana. “Ini perlu ditandatangani,” katanya singkat.Ariana mengambilnya, mulai membaca dengan serius. Sesekali, ia mengetukkan pena ke meja, menandakan bahwa pikirannya sedang mencerna isi dokumen tersebut.Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hanya suara detak jam dan bunyi samar
Ariana tersenyum semringah, merasa haru dan penuh semangat. Ia menjabat tangan Richard erat-erat, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat."Terima kasih banyak, Tuan Richard. Aku akan melakukan yang terbaik," ucapnya dengan penuh keyakinan.Diego yang penasaran akhirnya melangkah lebih dekat. Matanya menyipit saat melihat dokumen yang masih dipegang Ariana. Tapi begitu ia melihat angka yang tertera di dalamnya, matanya membesar, dan rahangnya sedikit terbuka."Sial…" gumamnya pelan.Ariana melirik ke arahnya, menahan tawa. "Kenapa?"Diego menunjuk dokumen itu dengan ekspresi syok. "Ini… ini angka semua, kan? Bukan typo?"Richard terkekeh. "Hahaha! Itu uang semua, Diego."Ariana tak bisa menahan tawanya lagi melihat ekspresi Diego yang masih terkejut.Namun, tawa mereka terhenti ketika suara langkah kaki terdengar semakin dekat dari luar ruangan.Richard tersenyum tipis, melirik ke arah pintu. "Sepertinya mereka sudah datang."Ariana dan Diego bertukar pandang, bingung.Tak lam
Udara malam di luar terasa sejuk, angin bertiup lembut membawa aroma tanah yang masih basah akibat hujan sore tadi. Di dalam kediaman mewah Ariana, suasana jauh lebih hangat, diterangi lampu-lampu temaram yang memberikan kesan nyaman.Ariana dan Diego baru saja tiba setelah hari yang panjang di kantor. Namun, bukannya langsung beristirahat, mereka malah menuju sebuah ruangan di sayap barat rumah—ruangan yang dulu milik Sergio.Diego yang berjalan di belakang Ariana sempat menghela napas pelan. Ini bukan pertama kalinya ia masuk ke ruangan ini, tapi tetap saja ada perasaan berbeda setiap kali ia melangkah ke dalamnya.Begitu Ariana membuka pintu, aroma khas kayu mahoni bercampur wangi samar parfum lama yang dulu sering digunakan Sergio menyambut mereka. Ruangan itu masih dipertahankan hampir sama seperti saat Sergio masih hidup—meja besar yang tertata rapi, rak buku yang berisi koleksi literatur bisnis dan hukum, serta beberapa barang pribadi yang dibiarkan tetap berada di tempatnya.A
Tak terasa, sudah seminggu berlalu.Ariana dan Diego semakin terbiasa dengan ritme kerja mereka di OBC. Keduanya membentuk tim yang solid—Ariana dengan kepemimpinannya yang tegas, sementara Diego dengan ketajaman analisis serta eksekusinya.Yang lebih mengejutkan, Miguel tidak lagi muncul mengusik Ariana. Setelah kejadian minggu lalu, pria itu sepertinya memilih untuk menarik diri. Alasannya jelas—ia tak pernah menyangka bahwa Ariana akan mendapatkan dukungan sebesar ini dari para sahabat lama Sergio.Kini, di ruang kerja mereka, suasana terasa hening.Ariana dan Diego duduk di meja masing-masing, menatap layar laptop dengan serius.“Proyek properti di distrik utara ini menarik,” gumam Ariana.Diego melirik layar laptopnya. “Aku sudah meneliti pengembangnya, ada dua opsi terbaik. Tapi yang lebih solid Ventura Development.”Ariana mengangguk. “Pastikan mereka punya portofolio yang stabil. Aku tidak mau mengambil risiko.”Diego mengetik sesuatu, lalu menatap Ariana. “Aku akan urus itu.”
Suasana restoran yang semula tenang berubah begitu Juan menarik kursi dari meja di sebelahnya dan tanpa izin menggesernya hingga dekat dengan Ariana. Dengan percaya diri yang berlebihan, dia duduk, menyilangkan kakinya, dan menatap Ariana dengan tatapan familiar—tatapan seorang pria yang merasa memiliki segalanya.Diego, yang sedari tadi sudah merasa tidak nyaman, hendak membuka mulut. “Tuan, apa yang kamu la—”Namun, sebelum kalimatnya selesai, Juan mengangkat tangan, menghentikannya dengan tatapan tajam penuh penghinaan.“Diam.” Suaranya tegas dan menusuk. “Aku sudah tahu siapa kamu, hanya seorang asisten pribadi Ariana.” Senyuman sinisnya merekah, lalu dia melanjutkan, “Kamu seharusnya tahu diri. Uang yang membayar gaji kamu itu berasal dari hasil jerih payah ayahku.”Mata Diego menyipit. Tangannya mengepal di atas paha, bersiap untuk membalas. Namun, Ariana lebih dulu memberi isyarat dengan meletakkan tangannya di atas punggung tangannya, seolah meminta Diego untuk menahan diri.D
Udara malam terasa sejuk saat Ariana dan Diego berjalan berdampingan menuju parkiran restoran. Malam ini seharusnya berakhir dengan sempurna, makan malam yang menyenangkan, candaan ringan di antara mereka, dan perasaan hangat yang terus menggantung sejak insiden dengan Juan.Diego berjalan setengah langkah lebih dulu, seperti biasa, dengan naluri protektifnya yang selalu memastikan Ariana tetap aman. Tangannya terulur, hendak membuka pintu mobil untuk Ariana.Namun, sebelum jari-jarinya sempat menyentuh gagang pintu—TING!Suara benturan keras terdengar begitu brutal.Diego bahkan tidak sempat menyadari apa yang terjadi sebelum kepalanya dihantam tongkat baseball dengan kekuatan penuh.BUK!Tubuhnya langsung tersungkur ke aspal. Darah mengucur deras dari luka di pelipisnya, mengalir melewati dahi, menodai wajahnya yang kini diliputi rasa sakit luar biasa. “DIEGO!” Jerit Ariana.Tiga pria berpakaian serba hitam dan bertopeng berdiri di atas tubuh Diego. Tanpa memberi kesempatan, merek
Sirene ambulans melolong keras saat kendaraan medis itu akhirnya berhenti tepat di depan unit gawat darurat rumah sakit.Pintu belakang ambulans terbuka dengan kasar, dan dua paramedis langsung menarik tandu keluar dengan cepat.“Cidera kepala parah! Pendarahan aktif! Tekanan darahnya menurun!” salah satu paramedis meneriakkan kondisi Diego begitu mereka berlari masuk ke dalam rumah sakit.Ariana yang duduk di dalam ambulans segera melompat turun dan berlari mengejar Diego.“Diego!” teriaknya, suaranya penuh kepanikan.Sepatu hak tingginya nyaris membuatnya tersandung saat ia berlari di lantai rumah sakit yang licin. Matanya terus terpaku pada tubuh Diego yang terbaring lemah di atas tandu, wajahnya pucat dan tak sadarkan diri. Para staf medis mendorong tandu dengan cepat melewati lorong rumah sakit, menuju ruang UGD.Namun, ketika Ariana hendak masuk bersama mereka, seorang perawat muda dengan sigap menghadangnya.“Maaf, Nona, Anda tidak bisa masuk!”Ariana terhenti, napasnya terseng
Dua minggu telah berlalu sejak Diego terakhir kali terbaring lemah di rumah sakit.Waktu berjalan perlahan, namun dalam keheningan itu, banyak hal yang tumbuh dan menguat—terutama rasa percaya Ariana terhadap dirinya sendiri, dan kekaguman Diego terhadap perempuan yang nyaris tak pernah menyerah dalam menghadapi segalanya.Selama masa pemulihan, Ariana nyaris tak pernah beranjak jauh dari sisi Diego.Ia merawat pria itu dengan penuh kelembutan, memperhatikan jadwal minum obat, memastikan pola makan, hingga hal-hal kecil seperti mengingatkan agar Diego tak menggerakkan tubuhnya terlalu cepat.Tak sekalipun ia mengeluh, bahkan saat matanya memerah karena kurang tidur, ia tetap tersenyum setiap kali Diego membuka mata dan mencarinya.Jorge juga memainkan perannya dengan baik.Ia menjadi orang yang selalu hadir, mengimbangi kecanggungan Diego dan meredakan ketegangan Ariana dengan gurauan-gurauan kecilnya.“Kalau Diego terlalu banyak diam, itu artinya dia menyusun kalimat agar terdengar pu
Dua Hari Kemudian...Pagi hari itu, sinar matahari menyusup pelan melalui kisi tirai jendela ruang rawat, mengambang lembut di antara aroma disinfektan dan udara pendingin yang stabil. Di sudut ruangan, Ariana berdiri di dekat jendela, merapikan map kecil berisi dokumen medis dan resep yang telah ia ambil dari bagian farmasi sejak pagi. Sesekali matanya melirik ke arah Diego yang masih berbaring, napasnya tenang, matanya mengamati langit-langit seolah menghitung waktu yang bergerak lambat.Pintu diketuk singkat, lalu terbuka. Seorang dokter pria berusia pertengahan tiga puluhan, mengenakan jas putih bersih dan kacamata persegi tipis, melangkah masuk bersama dua perawat wanita yang masing-masing membawa alat pemeriksaan.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, hangat namun profesional. “Kami akan melakukan pemeriksaan terakhir sebelum menentukan apakah pasien sudah bisa dipulangkan.”Diego yang sudah bisa duduk bersandar menyambut dengan anggukan kecil. Wajahnya memang belum sepenuhnya pulih—m
Di ruang kerjanya, Juan berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke selatan, memperhatikan siluet Giralda di kejauhan. Tangannya diselipkan di saku celana, postur tegapnya tampak tenang, tapi alisnya menyiratkan ketidaksabaran.Pintu terbuka tanpa ketukan. Seorang wanita muda, ramping, mengenakan setelan hitam dengan detail merah darah pada kerahnya, melangkah masuk. Rambut cokelatnya disanggul rapi, dan raut wajahnya netral, nyaris tanpa ekspresi."Lucia," kata Juan tanpa menoleh. "Ada kabar dari orang-orangmu?"Lucia menutup pintu, berjalan perlahan hingga berdiri dua meter di belakangnya. “Sudah aku konfirmasi. Polisi belum menemukan apa pun yang bisa mengaitkan Anda dengan insiden itu. Tapi…”“Tapi?”“Salah satu penyelidik bertanya langsung kepada Ariana hari ini. Artinya, mereka bergerak, meski tanpa arah yang jelas.”Juan menarik napas panjang. “Lalu bagaimana reaksi Ariana?”
Cahaya pagi menyelinap malu-malu dari celah tirai jendela rumah sakit. Aroma antiseptik masih menyelimuti udara, berpadu dengan samar harum kopi yang dibawa suster beberapa menit lalu.Di kursi samping tempat tidur, Ariana sebelumnya duduk sambil melipatkan baju bersih yang baru diambil dari koper. Tapi kini ia sedang keluar—katanya hendak membeli sesuatu di apotek lantai dasar.Kesunyian itu yang kemudian dipecah oleh ketukan pelan pada pintu.“Masuk,” ujar Diego, suaranya serak karena belum banyak bicara pagi ini.Pintu terbuka. Andrew melangkah masuk dengan langkah tenang, jas hitamnya terlihat rapi seperti biasanya. Wajahnya tampak serius, namun tidak menunjukkan kecemasan berlebihan.“Selamat pagi,” ucap Andrew sembari menutup pintu perlahan di belakangnya.Diego mengangguk lemah. “Pagi, Tuan Andrew. Sendirian?”“Ya. Kurasa lebih baik bicara berdua dulu,” sahut Andrew sambil menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Ia membuka map
Pagi hari – pukul 10.00Ariana duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengenakan atasan lengan panjang warna krim dan celana santai abu lembut. Di pangkuannya, sebuah talenan kecil dan pisau mungil. Tangannya lincah memotong sebuah apel menjadi potongan kecil, lalu menaruhnya di mangkuk kaca bening. Ia menyodorkan sepotong ke arah Diego, yang menyender pelan di ranjang dengan beberapa bantal menopang punggungnya."Aku tahu kamu tidak lapar," ucap Ariana, nadanya setengah memaksa namun tetap lembut. "Tapi ini manis dan segar. Coba satu potong saja."Diego membuka mulutnya dengan pasrah. “Aku tidak punya banyak pilihan, kan?” “Yup, pasien tidak punya pilihan,” balas Ariana, menyuap potongan lainnya.Suasana itu terhenti seketika saat pintu kamar diketuk, lalu terbuka pelan. Seorang dokter pria paruh baya masuk, diikuti oleh dua perawat wanita berseragam biru muda. Aroma antiseptik mengambang di udara.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, dengan suara hangat dan tenang. “Maaf mengganggu. Kami a
Sinar matahari pagi menyelinap dari celah tirai, menebar cahaya lembut ke seluruh sudut ruangan. Udara terasa tenang, dan aroma khas rumah sakit samar tercium, bercampur dengan wangi bunga segar dari vas kecil di sudut ruangan.Diego perlahan membuka mata. Kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lelah, tapi kesadarannya mulai pulih. Pandangannya sempat buram, namun perlahan fokus—dan yang pertama kali ia lihat adalah wajah Ariana, tertidur di sisi ranjangnya.Kepala Ariana bersandar tepat di atas tempat tidurnya, tangannya masih menggenggam tangan Diego yang terbaring. Wajahnya terlihat tenang meski masih menyisakan guratan lelah, dan beberapa helai rambutnya jatuh ke pipi.Diego tersenyum kecil. Dengan tangan yang masih lemah, ia mencoba mengangkatnya sedikit, lalu dengan hati-hati mengelus kepala Ariana. Jarinya menyibak pelan rambut dari wajah sang kekasih, menyentuhnya dengan lembut, takut membuat sang kekasih yang tengah tidur terbangun.
Cahaya temaram dari lampu gantung menyinari meja kerja luas berlapis kaca hitam. Ruangan itu senyap, hanya terdengar denting es batu dari gelas bourbon yang diletakkan Juan di sebelah laptopnya. Ia duduk bersandar dalam kursi kulit, mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung, dasi terlepas, tampak lelah dan terlihat gelisah.Ponselnya bergetar di atas meja. Ia melihat nama pengirim pesan—nomor yang disimpan dengan label : “Berto.”Pesan masuk:“Target sudah diberi pelajaran.”Juan membacanya perlahan. Matanya menyipit, lalu mengerjapkan kelopak, seolah ingin memastikan tak salah baca. Ia meletakkan ponsel, lalu mengambil sebatang cerutu dari laci, menyalakannya dengan tenang.Setelah dua isapan panjang, ia bersandar lagi. Sebuah senyum kecil menyeringai di sudut bibirnya.Lalu ia mengangkat ponsel dan menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala.“Esteban?” Suaranya datar.&ldqu
Lampu ruangan rawat inap berpendar tenang, melemparkan cahaya kekuningan ke sudut-sudut ruangan. Aroma antiseptik menusuk hidung, menciptakan atmosfer khas rumah sakit yang senyap namun tak pernah sepenuhnya damai. Jam dinding berdetak pelan, menyeret malam lebih dalam ke dalam kesunyian.Di atas tempat tidur rumah sakit, tubuh Diego terbaring diam. Kepala yang diperban, wajah pucat yang masih menampakkan bekas luka memar, serta napas yang naik turun pelan dari selimut putih bersih—semuanya seolah menyatu dalam lukisan suram bernama “ketakberdayaan.”Ariana duduk di kursi kecil di sisi tempat tidur, tubuhnya membungkuk, kedua tangannya menggenggam tangan Diego yang tak bergerak. Ia tak peduli betapa pegal punggungnya, atau betapa lelah matanya karena tidak tidur sejak malam sebelumnya.Ia bahkan tak menyentuh makanan yang disodorkan Andrew beberapa jam lalu. Matanya hanya tertuju pada satu hal: wajah pria yang dicintainya.&ldqu
Dua jam telah berlalu, pintu Unit Gawat Darurat akhirnya terbuka kembali.Ariana dan Andrew, yang sedari tadi duduk dalam kecemasan, langsung menoleh. Dua perawat wanita tampak mendorong tempat tidur rumah sakit ke luar ruangan, dan di atasnya, Diego terbaring tak sadarkan diri.Kepalanya dibalut perban, wajahnya tampak pucat dengan beberapa memar yang masih terlihat jelas di pipi dan sudut bibirnya.Ariana langsung berdiri, tanpa sadar menutup mulutnya dengan tangan. Matanya kembali menggenang, dadanya terasa sesak melihat pria yang dicintainya dalam kondisi seperti itu.Langkahnya maju dengan sendirinya, mendekat ke sisi tempat tidur Diego. Andrew menyusul dari belakang, meskipun ekspresinya tetap tenang, tapi jelas ada kekhawatiran di sorot matanya.Air mata Ariana akhirnya jatuh ketika dia melihat wajah Diego dari dekat. Tangannya bergetar saat menyentuh jemari Diego yang terasa dingin.Beberapa saat kemudian, dokter yang tadi menangani