Bayu akhirnya mengalah, memberikan kamarnya untukku. Namun, barang-barangku sementara masih tetap di kamar depan, karena kamar Bayu masih penuh dengan barang-barangnya yang harus diturunkan dulu jika kami mau seterusnya bertukar kamar. Aku harap sih begitu, sebab aku sama sekali tidak kepikiran akan berbaring di ranjang yang sama dengan yang dulu ditempati ibu Bayu saat dijemput oleh malaikat Izrafil. Mungkin beberapa hari lagi kalau rasa lelah pasca pesta pernikahan sudah hilang, aku akan membujuk Bayu supaya mau membereskan barang-barangnya.
“Haaaahh ….” Mulutku mengeluarkan suara desahan panjang saat membuang napas lelah. Pandanganku terlempar ke arah jendela kamar Bayu yang langsung berhadapan dengan jendela kamarku sendiri di rumah sebelah. Ada perasaan aneh yang merayap, perpaduan antara rindu, tak percaya, dan kehilangan. Puluhan tahun aku menghabiskan waktu di balik jendela seberang itu dan melihat ke arah sini, tetapi sekarang yang terjadi justru sebaliBerhadapan dengan Bayu setelah pernikahan memang menguras tenaga. Tetapi (lagi-lagi) aku tidak punya pilihan karena sekarang kehidupanku sudah terperangkap dengannya. Hidupku yang dulu tenang di rumah sebelah kini berubah jadi penuh drama. Drama yang sebagian besar berasal dari pria satu ini.Tak lama setelah Bayu pergi, aku segera menyusulnya keluar kamar. Dalam perjalanan ke ruang tengah, langkahku sempat tertahan sejenak. Aku melihat tumpukan kardus di sudut ruangan yang entah isinya apa. Mungkin barang-barang lama Bayu. Dalam hati aku berpikir, seberapa banyak barang peninggalan di rumah ini yang nanti harus kutata ulang. Ketika aku sampai di ruang tengah, mataku langsung tertuju pada Bayu yang sedang berdiri di depan pintu kamar ibunya. Dia tampak sibuk memasang jam tangan. Bajunya sudah rapi, kaus polo biru dengan celana jeans hitam, dan sepatu sneakers yang terlihat baru.“Mau ke mana?” tanyaku spontan.Bayu menoleh, lalu menjawab tanpa me
Setelah Bayu berangkat, otomatis aku sendirian di rumahnya. Daripada bosan, aku pun mengambil sapu dan pengki untuk membersihkan rumah. Tidak ketinggalan juga ember, lap, dan pel-pelan. Biasanya di rumahku sendiri pun aku rajin membantu Ibu bersih-bersih. Aku memulai pekerjaanku dengan teras dan ruang tamu. Setelah memastikan lantai ruang tamu mengilap dan tidak ada debu yang tersisa, aku melangkah ke ruang tengah dengan sapu di tangan. Ruangan itu terasa sedikit lebih redup karena tidak memiliki jendela sebesar ruang tamu. Di salah satu sudut ruangan, ada rak berisi buku-buku tua yang tampaknya jarang tersentuh. Sekilas aku melirik salah satu buku di sana dan merasa tergoda untuk membaca isinya. Tapi, aku sadar bahwa sekarang bukan waktunya bersantai. "Lagian kalau aku baca buku sambil bersih-bersih, bisa-bisa pekerjaan nggak selesai sampai Bayu pulang," gumamku sambil menggelengkan kepala. Aku menyelesaikan ruang tengah dengan cukup cepat, lalu beralih ke kamar Bayu. Kamar ini me
“Hahaha! Neniii, Neni! Mana ada cewek habis nikah yang nggak bisa masak, terus pulang ke rumah ibunya! Kamu ini ada-ada aja!”Aku memanyunkan bibir mendengar ledekan Ibu, tetapi tidak bisa membalas dengan kalimat apa pun. Karena hampir setengah jam tadi aku hanya berdiri bengong di dapur, akhirnya aku memutuskan pulang ke rumah Ibu untuk meminta diajari memasak.“Coba kalau kamu dapat suami yang rumahnya jauh dari siapa-siapa!” ledek Ibu lagi.Kali ini aku menyengir. “Untungnya aku dapat suami yang rumahnya pas di sebelah kan, Bu?”Senyum di bibir Ibu terkembang teduh. “Alhamdulillaah. Memang rencana Allah itu yang terbaik dan seringnya tak terduga-duga. Ya, kan?”Mendengar Ibu berkata begitu, aku jadi ingat kalau sebelumnya menikah dengan Bayu sama sekali tidak ada dalam rencanaku. Justru seharusnya kalau jadi menikah dengan Anggara, aku akan diboyong ke kampung halamannya di Sumatera yang tentu jauh dari rumah orang tuaku. Pastinya adegan pulang untuk meminta diajari Ibu memasak sep
Gara-gara pertanyaan Ibu dan nyinyiran Bu Tari, aku jadi kepikiran untuk mencari pekerjaan di luar. Sepulangnya dari rumah orang tuaku sambil membawa tiga kotak makanan hasil belajar memasak tadi, aku pun membuka laptop dan mulai berselancar di internet, mencari-cari lowongan pekerjaan yang berada di sekitar dan sesuai dengan keahlianku.Barangkali memang sudah rencana Allah, kebetulan sekali dinas perpustakaan dan kearsipan setempat sedang membuka lowongan untuk tenaga bantu. Wajah kusutku seketika berubah semringah. Yang perlu aku lakukan sekarang hanyalah menyampaikan rencanaku pada Bayu.Aku menunggu Bayu pulang sambil mondar-mandir tak sabar di ruang tamu. Hidangan untuk makan malam sudah aku siapkan di meja. Lengkap dengan satu teko teh manis hangat sebagai sandingan nanti. Ketika kudengar deru mesin motor yang masuk ke halaman depan, ayunan kakiku segera berhenti dan putar haluan merapat ke pintu yang masih tertutup.“Assalaamu'alaikum,” ucap Bayu sambil membuka pintu. Dia tamp
Tiga hari. Aku sudah memasukkan lamaranku lewat surat elektronik sejak genap tiga hari yang lalu. Namun, sampai detik ini tidak ada jawaban atau panggilan apa pun untuk lanjut ke tahap berikutnya. Jempolku terus menggulir layar ponsel, mengecek kotak masuk berkali-kali dengan harapan akan ada email balasan yang masuk. Nihil. Tidak ada apa-apa. Aku memandangi layar ponsel dengan perasaan campur aduk. Kira-kira apa yang kurang? Jangan-jangan aku tidak diterima gara-gara umurku yang sudah menginjak kepala tiga. Meski begitu, aku yakin sekali bahwa di ketentuan jelas tertulis batas maksimal usia pelamar adalah 35 tahun. Jadi, apa yang salah? Lamunanku terhenti ketika aroma hangus menyengat hidungku. Aku tersentak, menoleh ke arah dapur, dan mataku langsung membelalak. “Astaghfirullah hal ‘adzim, Nenii!”Seruan itu tidak berasal dari diriku sendiri, melainkan dari Bayu yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangku dengan wajah panik. Di depan mataku, wajan di atas kompor mulai mem
Tidak ada alasan bagiku menolak ajakan Bayu. Jadi, setelah sarapan nasi goreng minimalis pagi itu, aku segera bersiap untuk pergi bersama Bayu ke tempat peternakan bebek dan pengasinan telur di rumah temannya, di kecamatan sebelah, naik motornya. Bayu bercerita bahwa sejak awal merintis usaha telur asin tersebut dia memang membangun bersama sang teman. Mereka patungan modal, mencari koneksi untuk membeli bebek petelur yang bagus dan menaruh dagangan, juga mengurus hal-hal lain.“Kamu nggak malu punya suami penjual telur asin keliling?” tanya Bayu ketika kami sudah di atas motor dalam perjalanan menuju tempat rekannya.Mendengar pertanyaan yang hampir terkalahkan oleh suara deru mesin kendaraan dan angin itu, aku jadi kembali teringat oleh ucapan nyelekit Bu Tari tempo hari. Rasanya emosiku jadi ikut tersulut lagi.“Nggak, lah! Ngapain malu?” jawabku sambil setengah berteriak, tanpa ragu. “Malu itu kalau punya suami koruptor atau pencuri! Jual telur asin keliling kan halal.”Sayangnya
Aku tidak bisa berhenti gugup sejak semalam. Bahkan, aku nyaris tidak bisa memejamkan mata. Setiap kali aku mencoba menutup mata, pikiranku dipenuhi oleh berbagai skenario wawancara besok—mulai dari pewawancara yang memasang ekspresi datar hingga pertanyaan sulit yang tidak bisa kujawab.Aku membolak-balikkan badan di atas kasur, mencoba mencari posisi tidur yang nyaman. Bantal kugulung, kutindih, kupeluk erat, tetapi tetap saja kepalaku terasa penuh. Aku mencoba memejamkan mata lebih lama, menghitung mundur dari seratus, berharap bisa tertidur secara alami. Tapi semakin aku berusaha, semakin pikiranku terasa bising.Aku mendesah panjang.Sial, kalau begini terus, aku bakal kurang tidur dan kelihatan kusut saat wawancara nanti!Ketika aku sedang berusaha keras untuk tidak berpikir berlebihan, ketukan pelan terdengar dari arah pintu kamarku. Aku mengerutkan kening, lalu menoleh ke arah jam di dinding. Sudah hampir pukul sebelas malam.Hanya ada dua orang di rumah ini, jadi aku bisa lan
Setelah sarapan, Bayu mengantarku ke tempat wawancara dengan motornya. Selama perjalanan, dia terus saja berbicara, memberikan wejangan yang menurutnya bisa membuatku lebih tenang.“Santai aja, Nen. Jawab semua pertanyaan dengan tenang. Mereka pasti suka sama kamu.”"Semoga," sahutku singkat. Aku benar-benar berharap bisa melakukan yang terbaik, tapi rasa gugup terus menggelayuti pikiranku.Jalanan pagi itu cukup lengang, angin sejuk menerpa wajahku saat Bayu memacu motornya dengan kecepatan sedang. Aku berusaha menikmati perjalanan, tapi kegelisahan terus mengusik pikiranku. Bayu sepertinya menyadari aku masih tegang, karena dia menurunkan sedikit kecepatannya dan mulai berbicara tentang hal-hal lain."Kamu tahu nggak? Katanya, wawancara kerja itu mirip kayak pertama kali ketemu calon mertua."Aku mengernyit. "Hah? Apa hubungannya?""Ya, sama-sama bikin gugup. Harus jaga sikap, ngomong yang baik, dan meyakinkan mereka kalau kamu orang yang tepat."Aku mendengus pelan. "Bedanya, kalau
Aku terdiam sejenak, masih mencerna kehadirannya yang tiba-tiba.“Eh, Ris... ini...” Aku menunjuk kotak bekal di mejaku. “Punya kamu?”"Iya. Aku bawain buat kamu," jawabnya ringan.Aku hampir tersedak udara. "Buat aku? Kok bisa?"Risma tertawa kecil. "Aku sering lihat kamu nggak pernah bawa bekal makan siang. Selalu beli di kantin, kan? Jadi aku pikir, nggak ada salahnya kalau aku bawain bekal. Lagian, aku masaknya banyak."Aku menatapnya dengan waspada. Ini aneh. Mantan istri suamiku tiba-tiba bawain aku bekal? Apa ini semacam misi terselubung? Mungkin Risma udah nonton terlalu banyak drama Korea dan sekarang mau berteman baik sama istri suaminya yang dulu?Atau... mungkin ini trik khas mantan yang masih punya agenda tersembunyi?Tapi kalau iya, kenapa harus dimulai dengan bekal? Apa dia berharap aku luluh dengan lauk ayam goreng dan sambal?"T-terima kasih ya..." Aku mencoba bersikap sopan. "Tapi nggak usah repot-repot gitu, Ris. Aku nggak enak.""Nggak apa-apa, aku senang kok." Ris
Malam itu, aku duduk di ruang tamu sambil melamun. Setelah berkunjung ke rumah Risma siang tadi, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku nggak bisa berhenti memikirkan suasana rumahnya yang terasa terlalu sepi.Di meja makan, Bayu sedang asyik mengetik sesuatu di laptopnya. Dari tadi dia nggak banyak bicara, hanya sesekali mendengus kesal saat mengetik. Entah apa yang dikerjakannya, tapi aku yakin itu bukan tugas kantor. Mungkin dia lagi ribut di forum jual beli telur asin atau debat online soal harga pakan bebek.Aku berdehem, mencoba menarik perhatiannya."Yu.""Hmm?" Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Aku menghela napas. "Kamu nggak merasa ada yang aneh tadi waktu kita di rumah Risma?"Bayu akhirnya mendongak sebentar. "Aneh kenapa? Karena kamu dibikinin siomai? Atau karena aku jadi tukang servis gratis?"Aku melotot. "Bukan itu, Bayu! Serius, deh!"Dia menutup laptopnya dan menyandarkan punggung ke kursi. "Terus, apanya yang aneh?""Rumahnya itu, loh. Sepi
Sebenarnya aku sudah curiga sejak kami di jalan tadi.Begitu telepon dari Risma selesai, Bayu langsung menyuruh aku ikut. Tanpa basa-basi, dia nyalain motor dan melambaikan tangan ke arahku.“Cepetan, Nen. Risma bilang masalahnya urgent banget!”Aku tidak langsung naik. “Kamu tahu rumahnya?” tanyaku, memicingkan mata.“Dia shareloc,” jawabnya sambil menunjuk layar ponselnya yang terpampang di dashboard motor.“Oh,” kataku pendek. Tapi dalam hati aku nggak bisa berhenti mikir: kok dia kayak terlalu santai, ya? Seolah-olah ini hal biasa.Aku bahkan bisa melihat betapa tenangnya Bayu, seperti sudah pernah berkali-kali melakukan hal serupa. Sesuatu dalam diriku mulai merasakan ada yang janggal. Kenapa dia terlihat seperti tahu apa yang sedang terjadi? Atau lebih tepatnya, kenapa dia tidak terlihat khawatir sedikit pun?Dan sekarang, di depan pintu kamar Risma, aku merasa dugaan itu ada benarnya. Bayu sudah berdiri di depan pintu kamar yang sedikit terbuka, memegang senter dari ponselnya.
Pemandangan di depan rumah Risma sudah cukup bikin aku menelan ludah. Risma berdiri di sana dengan wajah yang… gimana ya? Kagok? Syok? Kayak dia nggak nyangka bakal lihat aku ikut nimbrung.Kerudung segiempat dengan kedua ujung tersampir di pundak menutup kepalanya, dan dia pakai piyama dengan gambar kelinci yang terlalu imut buat seorang perempuan dewasa. Aku menahan tawa melihatnya. Kayak bukan Risma yang biasa aku lihat di kantor. Atau mungkin ini sekadar triknya untuk terlihat imut? Bukankah kaum Adam suka dengan cewek-cewek kawaii macam di Anime?Aku, yang masih duduk di belakang Bayu di atas motor, memiringkan kepala. Kaget, Ris? Kirain cuma mau ngobrol sama Bayu aja?“Oh, Neni ikut juga?” tanya Risma dengan senyum kecil yang—menurutku—agak dipaksakan.“Ya dong, kami ke mana-mana bareng. Paket hemat,” jawabku dengan nada santai, meskipun dalam hati aku merasa agak puas.Risma tertawa kecil, tapi aku bisa melihat matanya sekilas melirik ke arah Bayu, seolah sedang menilai reaksin
Setelah istirahat beberapa saat, Bayu memaksaku untuk naik sepeda tandem lagi. Meski sebenarnya enggan, aku akhirnya menyerah karena dia mulai merengek seperti anak kecil. Dia pun mulai mengayuh dengan semangat, sementara aku berusaha menjaga keseimbangan di belakang.“Yu, pelan-pelan!” teriakku ketika dia mulai melaju lebih cepat.“Ayo, Nen! Ini asyik banget!”Aku berteriak histeris setiap kali kami melewati tikungan, sementara Bayu tertawa seperti orang gila. Beberapa orang di taman memandang kami dengan tatapan aneh, tapi Bayu sepertinya tidak peduli.“Yu, pelan-pelaaan!" teriakku di sela deru angin yang menampar-nampar.“Tenang aja, Nen! Aku udah pro!" sahutnya sambil tertawa kencang yang terdengar menyebalkan di telingaku. Dia lalu menambahkan dengan suara lantang, "Kamu aman di belakangku. Aku nggak bakal ninggalin kamu kok!”Aku mendengus kesal. “Gombal banget. Udah, pelan dikit, Bayu! Aku serius!”Bayu akhirnya mengurangi kecepatan sedikit, tapi masih dengan ekspresi puas di w
Hari Sabtu. Harusnya ini jadi hari buat istirahat, tapi kenyataannya aku malah tergeletak di sofa ruang tamu seperti ikan asin dijemur. Energi rasanya terkuras habis, bukan cuma buat kerjaan di perpustakaan, tapi juga buat berhadapan sama Risma setiap hari.Mungkin aku harus menulis surat pengunduran diri sebagai manusia normal dan resmi jadi karpet saja.“Bangun, Nen.”Suara Bayu memaksaku membuka mata. Dia berdiri di depan sofa dengan kaus oblong dan celana pendek, membawa kantong plastik yang sepertinya penuh dengan camilan. Aku sempat berpikir kalau dia baru saja merampok minimarket.“Ngapain sih bawa-bawa plastik kayak mau dagang keliling?” tanyaku lemas.“Ini buat nyemil kalau kamu mau merenung di sini sepanjang hari,” jawabnya santai sambil menjatuhkan dirinya ke sofa sebelahku. “Tapi aku lebih suka kalau kamu bangun dan kita jalan-jalan.”Aku mendesah panjang, menutup wajah dengan bantal. “Nggak ah, aku capek. Lagian mau jalan ke mana?”Dia menepuk lututku dengan plastik camil
Sore itu, aku merasa harus meluruskan semuanya ke Bayu. Setelah kerja, aku langsung pulang dan menemukan dia sedang duduk santai di ruang tamu dengan kaus lusuh favoritnya. Aku berdiri di ambang pintu, mengamati pemandangan di depanku. Bayu tampak begitu santai, kakinya selonjor di atas meja kecil, satu tangan menopang kepala, sementara tangan satunya lagi mengetik di laptop dengan ekspresi serius. Aku diam sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya melangkah mendekat. “Yu,” panggilku, berdiri di depannya dengan tangan bersedekap. Bayu hanya menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke layar laptopnya. “Hmm?” Aku menatapnya tajam, tapi dia tetap tak terpengaruh. Aku berdehem, memastikan suaraku lebih tegas. “Risma tadi bilang kalau kita kelihatan kompak. Menurut kamu, itu artinya apa?” Bayu akhirnya mengalihkan perhatiannya dariku dan menatapku dengan ekspresi bingung. “Itu artinya, kamu terlalu overthinking.” Aku mengembuskan napas panjang, berusaha tetap tenang. “Bayu!” Ak
Minggu pertama kerja di perpustakaan. Harusnya ini menyenangkan, ya? Dikelilingi rak-rak tinggi berisi buku, suasana hening yang menenangkan, dan aroma kertas yang khas. Tapi kenyataannya, sejak aku melihat wajah Risma pagi ini, rasanya perutku seperti diaduk-aduk.Bukannya apa-apa, dia terlihat terlalu... ramah. Ramah yang, hmm, gimana ya? Kayak lagi ngasih kode tanpa ngomong langsung.“Neni, kamu kelihatan serius banget.”Aku mendongak dari buku katalog yang sedang kubaca. Ternyata Risma sudah berdiri di sebelah meja, membawa dua cangkir kopi. Bibirnya melengkung dalam senyuman manis yang terlihat terlalu sempurna.“Aku bawain latte. Kamu suka, kan?”“Oh, iya. Makasih.” Aku mengambil cangkir itu dengan senyum yang sedikit dipaksakan.Risma duduk di kursi sebelahku, meletakkan kopinya dengan gerakan anggun sebelum menyandarkan tubuhnya di kursi. Tatapannya terfokus padaku, seolah ingin menginterogasiku dengan cara halus.“Jadi, gimana? Udah mulai betah?”Aku mengangguk sambil menyeru
Ketika akhirnya jam pulang, Bayu menepati ucapannya dengan menungguku di luar. Aku melihatnya bersandar di motor, mengenakan jaket hitam favoritnya, sambil sesekali melihat ke layar ponselnya. Rasanya lega melihatnya di sana, tetapi sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, Risma yang sejak tadi terus menempel kepadaku tentu saja ikut menyadari kehadiran Bayu.“Bayu! Udah di sini aja?” katanya sambil melambai ceria, seolah-olah mereka sudah lama tidak bertemu dan sangat akrab.Bayu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Iya, tadi langsung ke sini pas Neni kirim WhatsApp. Gimana, Nen? Udah selesai?”Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya masih ada beberapa hal yang mengganjal pikiranku. “Udah. Kayaknya aku bisa lanjut sendiri sekarang.”Risma terkekeh kecil, melirikku sekilas sebelum kembali menatap Bayu. “Wah, Bayu. Kamu bisa tenang sekarang. Neni kan anak mandiri. Tapi jangan lupa mampir-mampir lagi ke sini, ya.”Nada suaranya santai, tetapi entah kenapa terdengar seperti pesan tersembunyi. Ak