âKamu sudah tumbang sebelum berjuang.â Ucapan itu terdengar samar-samar di telingaku, kendati demikian aku tetap diam sambil mengumpulkan nyawa setelah melalui perjalanan sunyi yang menyebalkan. âKita sudah sampai, buka matamu!â Aku tidak menjawab, tapi membuka mata. Memandanginya dengan malas di bawah langit sore yang agak mendung. âKamu sudah kekenyangan, sudah tidur siang, enak sekali hidupmu! Santai terus.â cibirnya sambil melepaskan sabuk pengamanku, senyumnya kemudian terlihat tambah menyebalkan. Joe tambah manis dan tampan di hadapan wajahku yang kuyu ini. âKamu baru mempersiapkan diri untuk bulan madu kita?â Joe berdehem, aroma permen mint tercium di hidungku. Aku mengulum bibir, nyaris melontarkan ocehan penting, tetapi masih ingat dengan peringatannya sebelum berangkat. Aku diminta diam, menurut. Bahkan selama perjalanan sunyi ke suatu daerah yang lumayan berbeda dari riuh kota Jakarta, dia sibuk memaki-maki seseorang lewat telepon. âKamu kenapa diam saja
Aku menyunggingkan senyum sambil membantunya melepas jas kerja dan kancing kemejanya ditengah gangguan tangannya yang meraba ke seluruh tubuhku. Dan kesuksesan untuk membuatnya terlihat sempurna, seksi dan bisa dimiliki seutuhnya untukku sendiri nyatanya malah membuat sore hari yang sejuk ini kurang nyaman. Joe memandangi adik kecilnya yang lucu dengan tidak percaya diri. Sambil menggerutu karena ciumanku kurang pandai, sentuhanku kurang liar, Joe menyeretku ke ranjang. Dia duduk di tepi ranjang, âKamu harus menjadi wanita penghibur, Rania. Jangan hanya pandai melukis!â Aku merasa tersinggung, sialan. Aku tidak ahli menjadi wanita penghibur yang mirip di kelab malamnya, yang geol-geol dengan busana minimalis, yang menampilkan wajah erotis menggoda dan merendahkan diri untuk bisa di bawa ke kamar penikmatnya. Aku Rania. Apa Joe lupa siapa aku? Melihatku murung, Joe jelas-jelas ingin melontarkan sesuatu yang bernada sinis, dan sebelum itu terjadi aku mengomelinya. âAku
Hanya lima menit saja aku bisa merasakan sensasi menakjubkan dari melepaskan ketegangan otot dan gairah yang tidak terbendung. Hanya lima menit Joe bisa menjadikan aku kanvas yang berkeringat dan bergetar hebat.Tetapi mengapa setelah aku melakukan hal yang sama kepadanya sampai bibirku lelah dan memarahinya, Joe tidak kunjung mencapai puncak kejayaan? Ada yang salah, harusnya dia ejakulasi dini! Bukankah dia memiliki trauma dan impoten? Harusnya puncak itu datang kurang dari lima menit. Atau bahkan tidak sama sekali.âKatanya tuan impoten?â ucapku sambil menggerakkan tangan di bagian tubuhnya yang menjulang tegang. Bibirku yang mengerucut dicium olehnya, dan dilumat sesuka hati, sementara satu jarinya asyik memasuki tubuhku yang bermandikan gairah. Keadaan yang tak kunjung selesai ini sungguh melelahkan, tapi mengapa staminanya tidak kunjung selesai? Joe berkali-kali membuatku mendesah nikmat hanya dengan jari dan bibirnya saja. Sementara tak cukup baginya jari dan bibirku yang me
âKenapa kamu percaya aku impoten dan gay, Rania?â ucap Joe sambil menarik resleting celana dan mengancingkannya.Usai sudah ronde kedua kami yang sangat lama, sampai-sampai aku tidak kuat berdiri. Kakiku masih lemas, napasku masih berantakan dan Joe tetap tampil prima. Aku curiga dia sudah minum susu, telur dan madu sebelum pergi ke villa. âKenapa kamu begitu polos?â Sambil cengengesan, dia menangkup kedua pipiku. âKamu mudah di tipu?â Sialan, aku tidak mudah di tipu, aku hanya kurang bergaul dengan orang-orang sepertimu, dan orang-orang penipu sepertimu jarang aku temui kemarin-kemarin di kotaku, tuan!Aku menghela napas, ocehan itu hanya bisa aku ucapkan dalam hati karena tidak mudah bagiku sekarang memarahinya atau mengutuk ucapannya yang mencubit isi hatiku itu.âTuan memang sejak awal berniat menipuku!â Aku menguncupkan bibir. âDari mulai aku harus menjadi pembantu dan membayarhutang-hutang Ibuku, tuan sudah menyiapkan skenarionya!â âJadi, kamu bisa menarik kesimpulannya sen
Siapa yang memelihara ayam jantan di perumahan mewah sebagus ini? Perasaan tidak mungkin tetangga Joe yang memiliki Lamborghini itu memelihara ayam jantan. Tapi kenapa berisik sekali suaranya? Apa jangan-jangan Bapak beli ayam untuk hiburan waktu di sini? Kapan belinya? Aku menutup telingaku, tidak nyaman. Akan tetapi, dugaan-dugaan tentang ayam jantan yang berkokok terus-menerus seperti suara alarm itu bukan sekedar mimpi. Tanganku dipegang oleh seseorang yang memiliki tangan halus dan ditariknya menjauh dari telinga. âIni sudah siang! Buka matamu.â Seketika aku membuka mataku lebar-lebar dan semakin terkaget-kaget melihat wajah Rebbecca yang menaungi wajahku. âGila.â katanya. Aku tertegun beberapa menit seraya berusaha bangkit dari tidurku yang terasa sangat melelahkan. âMaaf, nyonya.â ucapku serak, tenggorokanku terasa kering sekali. Terlebih-lebih matahari yang sudah terang benderang di luar rumah, membuatku yakin aku bangun sangat kesiangan. Rebbecca ber
Rumah baru yang diperuntukkan bagi keluargaku rupanya ikut menginjak-injak kesabaranku setelah koleksi foto perempuan yang Joe simpan.Bagaimana mungkin Joe dan keluarganya memilih rumah yang sangat jauh dari pusat kota, dan di kawasan rawan bencana banjir. Aku dan keluargaku seolah diasingkan dari orang-orang yang bisa mengendus identitas asli kami.Aku sungguh-sungguh terkesan dan dongkol, karena itu aku langsung memberondong pertanyaan ke sopir pribadiku. Namanya Pak Ahmad. Usianya sekitar lima puluh tahun, meski sudah berumur, dia tampil necis dan sangar. âApa Pak Joe akan ke sini, Pak?â tanyaku jengkel. Sudah beberapa kali aku mengirim pesan ke Joe, tapi tak kunjung datang balasan yang menyenangkan. Pesan dariku hanya centang satu.Tidak mungkin Joe mengurus Bapak sebab pertandingannya akan dijadikan ajang judi yang di urus pihak kelab. Ronald Sky menjanjikan itu bukan sekedar pertandingan harga diri, melainkan bisnis. Kemenangan Bapak atau kekalahannya tetap akan menghasilkan
Pagi hari yang mendung. Secangkir susu vanila dan roti tawar bakar yang diberi lelehan madu dan alpukat kocok disajikan pelayan rumah di balkon kamarku. âNona harus menghabiskannya, dan berfoto sesudah dan sebelum sarapan. Tuan Joe akan senang melihatnya!âAku mengangguk dan tidak peduli dengan sikap memaksa para antek-antek Joe tersebut, mereka akan tetap begitu sekalipun aku protes.âTerima kasih. Ibu bagaimana, sudah makan?â âSudah, Nona.â sahutnya pendek. âIbu Minah akan melakukan cek kesehatan jam delapan di rumah sakit, Nona sebaiknya segera mandi dan berdandan!âAku mengangguk dan memfoto diriku sendiri sambil menunjukkan sarapan pagiku. âAku sendiri atau Mbak yang kirim foto ke tuan Joe?â âKirimkan ke Pak Ahmad, seluruh koneksi ke atasan hanya beliau yang diizinkan!âOh, jadi semua orang yang ada di rumah ini harus tunduk pada Pak Ahmad. Kalau dia dikurung dikamarnya saja bagaimana? Atau sarapannya diberi racun? âAku akan melakukannya. Mbak juga sarapan dulu sana.ââSaya
Aku menjauh sambil menatapnya tak percaya. Sungguh. Apa semua detail aktivitasku dilaporkan tanpa dusta sedikit saja? Apa Pak Ahmad adalah mantan jurnalis yang merangkap sebagai penjaga? Kenapa mereka tidak bekerja layaknya orang pemakan gaji buta saja sih? Atau palingan bisa memberi sedikit dusta? âTuan ingin menghukumku?â ucapku tanpa rasa takut. Joe bersedekap sambil mengamatiku dengan seksama. âKamu sudah tahu kesalahanmu?â Nada suaranya yang dingin menyebabkan kesunyian di antara kami selama beberapa menit. Joe masih dengan baju tidur katun biru tua dan masih tampak mengantuk. Tanda bahwa begadang dan belum lama terjaga. Hal itu membuatku malas menjawab kesalahanku apa, sebab, setelah menemani Ibu cek kesehatan dan mengetahui fakta bahwa hasilnya kurang baik, aku kurang berselera membela diri. âTuan hukum saja aku!â Joe terkejut dengan dibuat-buat lalu tertawa renyah. âKamu benar-benar mau aku hukum? Keterlaluan kamu, Rania!â Sebelum berdiri untuk mengambil koleksi
Mungkin lukisan, mungkin puisi, mungkin... Mengapa kami harus menjadi masa lalu kalau kami bisa menjadi masa depan? âAku tidak suka dengan pertanyaan tuan.â âAku juga tidak terima kamu mengabadikan masa lalumu dalam bentuk apa pun!â Iuh... Aku sungguh-sungguh menatapnya, âKenapa tidak terima?â âKarena aku tidak ingin berada di nomer dua. Dan... Rania, hapus semua masa lalumu dalam bentuk apa pun!â âKalau aku tidak mau bagaimana?â sahutku, terus terang aku tidak tahu cara berpikirnya. Kadang-kadang Romeo, kadang-kadang Kurawa. Dan kalau Joe diam saja begitu, aku hanya perlu menunggu kejutan-kejutan lain darinya. Sungguh-sungguh menyebalkan. - âKau sudah siap, Rania?â Di depan dua videografer dan Rebbecca yang cantik dengan gaun musim panas hijau muda tanpa lengan. Aku mengangguk pasrah. âAku sudah tidak sabar, Mama. Seluruh dunia ini harus tahu akulah kekasih sejati Abang Joe.â Rebbecca memutar bola matanya setelah membuang wajah, barulah kemudian dia tersenyu
âKamu harus mengguyurnya berkali-kali, Rania. Aku tidak peduli keluhanmu. Foto-foto itu harus lenyap dari saluran air toilet kita!â âSiap tuan rumah!â Setelah mendengus jengkel, aku mengangkat ember hitam dan menuangkannya ke toilet. Ini sudah lima kali dan permintaannya itu sampai ember ke sepuluh. âBagaimana kalau kita pindah apartemen saja?â Aku menyarankan. âDaripada ribet begini, kurang kerjaan banget.â keluhku sambil menghidupkan kran air. âLagipula tuan, aku ini capek sekali lho. Badanku sudah pegal-pegal, tidak enak.â Joe melepas kaosnya, uh, aku dapat melihat bekas kecupanku semalam di dadanya. âHari ini kita pergi ke rumah Mama, Rania. Selesaikan tugasmu dan biarkan aku mandi!â Aku mengiyakan dan mempunyai keinginan untuk menjotosnya. Satu manusia ini adalah contoh keberagaman sikap yang tidak perlu dicontoh. Kelakuannya sungguh-sungguh memalukan. âTidak bisa nanti saja mandinya?â Aku memandangi Joe yang asyik mencuci rambutnya. âApa tuan benar-benar nak
âKe mana saja kamu dengan Realino?â Berdasarkan hasil pengamatanku selama kurang lebih dari satu jam, Joe agaknya benar-benar menyesal telah menamparku. Dia memeriksa pipiku lalu mengecupnya sebelum memeriksa tanganku yang membersihkan pecahan gelas tadi. Joe bersyukur aku tidak kenapa-kenapa, tapi yang paling mengejutkan, dia membuatkan makan malam walau hanya pop mie dan es susu kocok stroberi. âKamu menyukai ini kan? Makanlah setelah menjawab pertanyaanku!âPertama-tama aku menjawab pertanyaannya dengan jujur. âTuan bisa memastikannya langsung kepada yang bersangkutan.ââKamu bersenang-senang dengannya?ââLumayan.â Aku menguncupkan bibir. âAda ilmu yang aku dapat, tapi juga pusing, ada revisi besar-besaran. Tuan, maafkan keinginanku itu.â Joe tidak mempermasalahkan keinginanku, baginya itu kecil dan gampang. âTerimalah permintaan maafku dulu, Rania. Makanlah dan bersenang-senang denganku lagi.â Bagaimana caranya tersenyum? Coba katakan? Aku sungguh-sungguh tidak paham
Dari sepersekian detik yang bergulir bagai anak siput yang baru lahir, kami bertatapan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Satu dua larik kata muncul dan tenggelam begitu saja hingga pada akhirnya aku malas untuk mulai berkata. Toh seperti sejak pertama berjumpa memang aku tidak boleh mendominasinya. Aku mengerti, meminta maaf sekarang tidak akan memperbaiki keadaan. Apalagi membahas Sabrinna lagi, astaga pria itu pasti akan semakin tenggelam pada kenangan! Aku berbalik dengan detak jantung yang tambah berdebar-debar. Entah mengapa aku takut, canggung dan grogi. Joe dan keadaan apartemennya yang berantakan bertolak belakang dengan isi pikiranku. Aku pikir dia enggan melihatku atau menungguku pulang. Dua gelas anggur merah yang pecah di lantai dan wadah bekas makanan seolah-olah dijadikan bukti bahwa dia tetap di sini selama aku pergi bersenang-senang. Aku meletakkan tas ranselku di meja, ada baiknya membersihkan tempat ini lalu mengurus diri sendiri. âApa kamu tidak berp
âSaya rasa kerja sama ini akan sepedas rujak es krim yang kalian bawa.â Pak Anto terkekeh-kekeh sambil mengulurkan tangan. âSenang bisa bergabung dengan kalian.â Meski tampak ramah, Pak Anto tampak tidak bisa menyembunyikan wajah seriusnya. Aku buru-buru menyambut tangannya dan mengangguk. âSaya sendiri berharap ide-ide menarik dari imajinasi saya tidak membingungkan Pak Anto dan Realino.â âSantai, Rania. Ini justru menarik dan seru!â sahut Realino yang berdiri di sampingku. âTapi ini udah kelewat batas, gue takut ada yang khawatir sama elo!â Aku paham ada bencana yang akan menimpaku nanti. Tetapi aku tidak bisa tidak tersenyum setelah berdiskusi panjang dengan mereka. Rasanya memang seru bertemu orang-orang hebat yang tidak menghakimi kepolosan dan kegilaan yang aku miliki. âSampai jumpa lagi, Pak. Jadwal kedua nanti semoga tidak bentrok dengan jadwal Bapak.â Pak Anto mengangguk dan mengantar kami berdua ke pelataran rumahnya yang asri. Banyak pohon anggrek yang sed
Perlu satu jam aku bersabar menghadapi antusiasme dalam diri, tapi si begundal berjambul pirang itu agaknya tidak memperbolehkan aku diam sejenak dan menikmati kebebasan. âElo belajar seni rupa kontemporer doang atau ada jurusan lain?â Realino menatapku dengan lancang seolah tidak percaya aku lulusan institut seni rupa. Aku menghela napas lalu membuatnya geregetan. âMenurutmu apa lucunya aku ini gara-gara aku anak seni?â âKalau dilihat-lihat sih enggak ya, elo lebih mirip anak akutansi, terlalu serius!â Realino cekakan. âMikirin Joe?â Bohong kalau aku tidak memikirkan Joe Abrizam Sky. Aku bertanya-tanya apakah dia menyesal sudah menamparku? Ataukah dia tidak peduli mengingat tamparan keras yang dialami di masa lalu lebih kejam dari yang dia lakukan padaku? âAku membuang koleksi foto perempuan bernama Sabrinna ke toilet, itu alasan Joe menamparku!â ucapku lalu meringis. âAku jamin kamu saksi perjalanan cinta mereka, Realino. Ceritakan padaku.â Realino bersandar di kursinya
âOi, Rania...â seru Realino. Buru-buru aku mempercepat langkahku di lorong apartemen. Aku tidak ingin menjadi bahan pembicaraan batin dan isi kepala Realino, terlebih-lebih kejahatan Joe akan menjadi bumerang baginya sendiri. Aku tidak ingin laki-laki itu merasa malu. Meski dalam hati aku berharap sebuah balasan menimpanya. Sebab, akan jauh lebih menyenangkan bila rasanya satu sama. Dan ketika aku berpikir keras untuk memutuskan sesuatu yang merepotkan dan menyakitkan, langkah Realino semakin terasa dekat. âElo nggak apa-apa?â Realino menyentuh bahuku dan menahannya. âRania... Oi... Elo nggak mau ketemu gue? Apa jangan-jangan elo lupa? Gue Realino, teman Joe!â Aku tidak lupa, dan aku jelas-jelas ingin bertemu dengan Realino. Tapi kawannya yang tidak menyenangkan itu akan menjadi pengganggu dan akan menjadi orang yang aku hindari hari ini. âBoleh bawa aku pergi secepatnya dari sini?â ucapku terbata-bata sambil menatap Realino dengan ragu-ragu. âSebelum tuan... eh, Pak Ahm
Aku menjauh sambil menatapnya tak percaya. Sungguh. Apa semua detail aktivitasku dilaporkan tanpa dusta sedikit saja? Apa Pak Ahmad adalah mantan jurnalis yang merangkap sebagai penjaga? Kenapa mereka tidak bekerja layaknya orang pemakan gaji buta saja sih? Atau palingan bisa memberi sedikit dusta? âTuan ingin menghukumku?â ucapku tanpa rasa takut. Joe bersedekap sambil mengamatiku dengan seksama. âKamu sudah tahu kesalahanmu?â Nada suaranya yang dingin menyebabkan kesunyian di antara kami selama beberapa menit. Joe masih dengan baju tidur katun biru tua dan masih tampak mengantuk. Tanda bahwa begadang dan belum lama terjaga. Hal itu membuatku malas menjawab kesalahanku apa, sebab, setelah menemani Ibu cek kesehatan dan mengetahui fakta bahwa hasilnya kurang baik, aku kurang berselera membela diri. âTuan hukum saja aku!â Joe terkejut dengan dibuat-buat lalu tertawa renyah. âKamu benar-benar mau aku hukum? Keterlaluan kamu, Rania!â Sebelum berdiri untuk mengambil koleksi
Pagi hari yang mendung. Secangkir susu vanila dan roti tawar bakar yang diberi lelehan madu dan alpukat kocok disajikan pelayan rumah di balkon kamarku. âNona harus menghabiskannya, dan berfoto sesudah dan sebelum sarapan. Tuan Joe akan senang melihatnya!âAku mengangguk dan tidak peduli dengan sikap memaksa para antek-antek Joe tersebut, mereka akan tetap begitu sekalipun aku protes.âTerima kasih. Ibu bagaimana, sudah makan?â âSudah, Nona.â sahutnya pendek. âIbu Minah akan melakukan cek kesehatan jam delapan di rumah sakit, Nona sebaiknya segera mandi dan berdandan!âAku mengangguk dan memfoto diriku sendiri sambil menunjukkan sarapan pagiku. âAku sendiri atau Mbak yang kirim foto ke tuan Joe?â âKirimkan ke Pak Ahmad, seluruh koneksi ke atasan hanya beliau yang diizinkan!âOh, jadi semua orang yang ada di rumah ini harus tunduk pada Pak Ahmad. Kalau dia dikurung dikamarnya saja bagaimana? Atau sarapannya diberi racun? âAku akan melakukannya. Mbak juga sarapan dulu sana.ââSaya