"Aku punya dua pilihan untukmu, dan aku harap kamu mau memilih salah satunya.""Apa itu?" tanya Bunga penasaran."Sebenarnya mudah kalau kamu paham."Bunga mengernyit heran. Ucapan Gama agak sulit untuk dicerna, apa pria itu akan memberikan pilihan yang sulit?"Bisa diperjelas maksudnya apa?" tanya Bunga tak sabaran."Kita akan menikah."Mulut Bunga menganga lebar, syok, pandangannya beralih ke sana-sini lalu pipinya ditepuk-tepuk berkali-kali. Takut kalau dia sedang halusinasi, kenyataannya tidak."Aku nggak salah dengar, kan?" Bunga terus menggeleng, dia berasumsi kalau sedang bermimpi."Menurutmu?""Atas dasar apa mengajakku menikah? Bukannya aku ini statusnya kerja yang digaji dapat uang? Kenapa--""Intinya kamu mau apa tidak?"Bunga menggeleng cepat. "Nggak!" katanya tegas."Alasannya?" Gama menaikkan dagu, sifat songongnya pun muncul, merasa tertantang karena baru saja ditolak secara mentah-mentah."Banyak. Banyak banget. Kamu itu suami orang, kamu itu orang kaya, kamu itu orang
Bunga frustrasi, semakin ke sini Gama tampak terang-terangan menunjukkan gelagat di depan Sofia.Dan Sialnya sepertinya Sofia sudah mulai curiga pada mereka, setidaknya itulah yang Bunga pikirkan."Jangan terang-terangan kayak gini," tegur Bunga, karena Gama tampak mendekat dan menepuk bokongnya."Kenapa? Takut?" tanya Gama remeh. Pria itu mengambil air minum di kulkas lalu menandasnya sampai air sisa setengah.'Pake ditanya lagi, jelas aja iya,' gerutu Bunga dalam hati. Sayangnya dia tidak berani berucap dengan lantang, karena takut akan menyinggung Gama."Bukannya aku udah memberimu dua pilihan? Dan sayangnya kamu malah memilih opsi yang kedua, yaitu terima konsekuensinya. Jadi, hari ini aku akan memutuskan untuk memberitahu Sofia tentang masalah kita." Gama mengedipkan sebelah mata."Jangan gila!" Tiba-tiba suara Bunga meninggi."No! Siapa yang gila? Kamulah yang memilihnya."'Arggghhh! Gama sialan! Gama berengsek!' umpat Bunga dalam hati."Beri aku waktu untuk menjawab ulang, tapi
Bunga menggeleng cepat. "Sa--saya tidak tahu orang itu, Bu," katanya gugup."Kamu yakin?" Mata Sofia memicing. "Tapi ... Mas Gama sendiri loh yang ngomong kalau kamu tahu orangnya seperti apa, bahkan kalian sempat ngobrol, malah kata suamiku kalian akrab banget. Kamu nggak menusukku dari belakang, kan, Bunga?""Saya beneran nggak tahu, Bu. Saya malah bingung kenapa Pak Gama bicara seperti itu, padahal pernah bertemu sama orang itu aja tidak pernah," sangkalnya.Sofia diam, dia mengamati gerak-gerik Bunga yang terlihat tenang. Sialnya dia tidak bisa membaca pikiran orang lain.'Jadi siapa yang benar? Mas Gama atau Bunga? Kenapa diantara mereka berdua seperti berbicara dengan sungguh-sungguh? Dan yang bohong sebenarnya siapa?' Sofia bertanya-tanya dalam hati."Saya juga tidak menusuk Ibu dari belakang." Bunga menelan salivanya dengan susah payah. Lidah ini benar-benar sudah lihai untuk berdusta."Terus kenapa sampai saat ini kamu belum membuktikan kalau Mas Gama ada main belakang sama p
"Jadi gimana? Apa kamu sudah mengambil keputusan? Kira-kira kamu pilih yang mana?""Emangnya harus banget ya kita nikah?" Bukannya menjawab, Bunga malah balik bertanya. "Nikah itu kan janji suci, bukan untuk main-main. Sementara kamu dan Bu Sofia masih suami-istri. Kalau Bu--""Aku cuma minta kamu pilih yang mana, bukan ngurusin yang lain. Kamu nggak perlu ikut campur rumah tanggaku dengan Sofia, paham?!" bentak Gama.Bunga mengangguk, dia ketakutan."Sekarang aku butuh jawabanmu.""Aku--""Dan aku nggak mau dengar kata tidak," sela Gama cepat.Bunga mengatupkan bibirnya dengan rapat. Sepertinya Gama membaca isi pikiran Bunga."Jadi gimana?"'Apa aku masih berhak menjawab? Bukannya tadi dia bilang aku nggak boleh jawab tidak? Dasar manusia sombong!' decih Bunga dalam hati."Aku--""Kita akan menikah secepatnya. Ya, itu lebih cepat lebih baik. Baiklah, kamu tunggu kabar baik dariku, kamu cukup duduk manis dan patuhi perintahku, paham?"Bunga menghela napas berat, dia hanya bisa memand
"Aku nggak dikasih keluar sama Bu Sofia."Kedua alis Gama mengkerut. "Kok bisa?""Aku juga nggak ngerti. Aku bilang mau ngundurin diri, tapi dia bilang cuma dia yang berhak," keluh wanita itu."Kamu cari alasan apa gitu yang masuk akal, masa cuma ngurusin kayak gini nggak mampu?"Bunga menatap Gama sebal. "Aku juga udah usaha, aku udah kasih alasan yang masuk akal, tapi namanya Bu Sofia tetap nggak mau ya gimana?""Oke, nanti biar aku yang ngomong sama dia."Bunga menggeleng. "Nggak bisa, nanti kalau dia curiga gimana?""Kenapa itu terus yang kamu takutkan? Masalah itu biar aku yang atur, kamu cukup patuhi aturanku saja. Kalau kamu mau denger, maka selalu selamat hidupmu, tapi kalau tidak, maka hidupmu akan hancur dalam sekejap, ngerti?"Bunga menghela napas secara perlahan, kemudian mengangguk mengerti."Bagus, aku suka dengan wanita penurut. Jika kamu sudah menikah denganku, jadilah istri yang penurut."Bunga diam, dia hanya memperhatikan Gama pergi meninggalkannya."Sepertinya aku
"Aku nggak tahu kamu ngadu apa ke Mas Gama, Bunga."Bunga mendongak, dia tercenung beberapa saat."Maksud Anda apa ya, Bu?" tanya Bunga tak paham."Nggak usah pura-pura polos deh sekarang. Aku yakin kamu kan yang ngerayu Mas Gama supaya aku mau nurut sama dia?"Kening Bunga semakin mengkerut, semakin tak paham."Kamu kemarin bilang mau berhenti kerja, nggak kukasih izin bukannya nurut malah ngadu yang nggak-nggak ke suamiku."Barulah Bunga paham.'Hah? Secepat itu. Memangnya dia ngomong apa sih, kok Bu Sofia sampai semarah ini?'"Saya tidak mengadu apa-apa ke beliau, Bu. Tapi saya memang meminta bantuan ke Pak Gama, karena saya memang harus berhenti bekerja, orang tua saya--""Lama-lama kok aku yakin ya kalau kamu sekarang pintar cari alasan?" sinis Sofia.Bunga menggeleng, tangannya gemetar. Jelas saja dia ketakutan karena apa yang diucapkan Sofia memang benar."Saya memang ingin berhenti, Bu. Tolong jangan tahan saya," lirih Bunga."Beruntung sekali ya hidupmu. Cari pembelaan sana-s
Seminggu kemudian.Kali ini status Bunga sudah bukan pembantu lagi, tetapi istri simpanan Gama. Kendati demikian, meskipun dia menjadi istri dari seorang konglomerat, nyatanya Bunga tak sebebas seperti dulu. Pernikahan mereka dirahasiakan karena perintah Gama.Lantas Bunga bisa apa? Bahkan ingin keluar rumah pun dia selalu dibatasi.Bunga menatap sekeliling rumah itu dengan hampa. Saat ini dia memang serba cukup, tapi entah mengapa Bunga merasa ada yang hilang.Dia sangat merindukan kebebasannya dulu. Wanita itu selalu berandai-andai, kalau saja dia tidak pernah memutuskan untuk datang ke kota, pasti nasibnya tidak akan seperti ini."Huft." Bunga menghela napas berat. Mengambil ponsel yang dia taruh di meja.Dia terus menggulir media sosialnya sampai bosan, sungguh tidak ada yang menarik.[Jalan yuk.]Melihat notifikasi chat, Bunga langsung mengkliknya, ternyata pesan itu dari Ayu.[Nggak bisa ya? Kayaknya sih iya, kamu kan sibuk sama kerjaan.]Bunga menggigit kukunya, dia ingin sekal
"Sudah kukatakan, kalau tidak ada izin dariku jangan pernah keluar rumah!" Gama berkacak pinggang."Aku udah minta izin sama kamu, aku ... Udah coba chat dan juga nelpon kamu, tapi kamu nggak angkat dan nggak balas pesanku," ujar Bunga membela diri."Itu artinya apa, huh? Pasti kamu Udah paham maksudku, kan? Kalau aku sampai tidak membalas, itu artinya aku nggak kasih izin.""Aku sama sekali nggak tahu," jujur Bunga. "Aku nggak bisa memahami isi hati orang, dan aku nggak bisa baca pikiran.""Sekali lagi aku tekankan, jangan pernah keluar rumah tanpa seizinku!""Aku bosan di rumah! Memangnya kenapa kalau aku pergi? Aku juga nggak bakal terang-terangan mengatakan kalau aku istri simpanan mu, kenapa kamu setakut itu?""Bagaimana kalau Sofia tahu?"Bunga mengernyit heran, mengapa tiba-tiba membahas mantan majikannya?"Kenapa dengan dia?" tanya Bunga penasaran."Bagaimana kalau nanti dia curiga?" Ucapan Gama sungguh ambigu."Kamu takut kalau pernikahan ini ketahuan sama Bu Sofia?" tanya B
"Apa yang Papa lakukan?""Melakukan yang memang pantas kulakukan," jawab Gunadi enteng.Gama mengepalkan tangannya. Dia tak menyangka kalau situasinya akan menjadi seperti ini."Bukannya kamu setuju pisah sama dia? Kenapa masih dipertanyakan lagi?" Gunadi menatap putranya dengan sorot mata tajam."Aku emang setuju, tapi kenapa Papa masih ikut campur? Lama-lama aku muak sama kelakuan Papa. Dengar, aku ini bukan anak kecil yang selalu diatur-atur harus seperti ini, harus seperti itu. Nggak, Pa. Aku nggak habis pikir punya keluarga macam Papa." Gama menggeleng kecewa."Percuma kamu meratapi nasib, orang itu sekarang udah pergi jauh. Dia nggak bakal ganggu kamu lagi, sekarang mulai semuanya dari awal. Cari wanita yang setara, supaya tidak malu-maluin keluarga kita jika diajak pergi ke pesta."Gama tersenyum sinis. Segampang itu? Seandainya orang yang ada di hadapannya ini bukan papanya, mungkin sudah dia bunuh, karena sudah berani-beraninya mengacaukan seluruh hidupnya, ikut campur pribad
Apa yang dikatakan Ayu memang benar, Gunadi adalah orang yang sangat berbahaya.Bunga sangat menyesal karena telah berurusan dengan pria itu. Nyatanya uang 5 milyar yang dijanjikan pria itu tidak dikasih, yang ada Bunga diancam kalau tidak menuruti perintah pria itu.Bahkan Ayu yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah mereka pun ikut terseret."Yu, aku minta maaf. Ini belum terlambat, lebih baik kamu pergi aja sebelum semuanya--""Udah, nggak apa-apa, Bunga," sela Ayu cepat.Sebelum orang suruhan Gunadi benar-benar pergi, berkali-kali Bunga menyuruh Ayu untuk membuntuti mereka, sayangnya Ayu tidak mau. Dia malah memilih untuk bersama Bunga. Dia tidak tega meninggalkan Bunga seorang diri di tempat sepi seperti ini.Bunga tahu kalau Ayu juga syok dengan kekacauan yang terjadi. Bunga berkali-kali menyesali keputusannya, berkali-kali juga meminta maaf pada Ayu.Awalnya Bunga meminta uang 5 milyar hanya ingin basa-basi saja, atau ... bisa dikatakan sekadar iseng, untuk memastikan ucap
"Aku nggak nyangka kalau dia bakalan buang aku, Yu. Padahal selama ini aku udah ngotot pertahanin dia. Kenapa dia ... jahat banget sama aku, Yu."Ayu menatap Bunga prihatin, Bunga sedari tadi menangis sesenggukan dan beberapa kali juga memaki Gama.Sedari tadi mulut Ayu terasa begitu gatal, hanya saja dia terus menahannya. Tunggu benar-benar Bunga membaik, barulah Ayu akan mengeluarkan sumpah serapahnya itu."Yu, kok kamu dari tadi diam aja sih, biasanya juga ngomel-ngomel. Kamu nggak lagi di pihak aku ya?" omel Bunga di sela-sela tangisnya.Ayu menghela napas berat. "Kamu ini ngomong apa sih, justru aku kasih kamu kesempatan buat nenangin diri.""Dia tiba-tiba bilang kalau lebih baik aku sama dia pisah aja. Tiba-tiba banget loh, Yu, nggak ada angin nggak ada hujan, kamu bayangin aja gimana syoknya jadi aku.""Kan dari awal aku juga udah bilang, jangan pernah berurusan sama laki-laki kaya, apalagi sampai jatuh cinta. Nih lihat sendiri kan akibatnya, dan lagi saat ini kamu lagi bunting
"Kamu tahu kalau istri kamu itu hamil?"Gama tersenyum menyeringai, mencengkram ponsel itu dengan erat. Saat ini dia sedang berbicara dengan Gunadi melalui telepon.Entah mengapa tiba-tiba Gunadi berbicara seperti itu, dan apa alasan Sofia mengatakan hal itu pada Gunadi? Apa karena tidak terima karena dirinya meminta cerai?"Papa yakin kalau itu anakku?""Kamu tanya sama Papa? Yakin? Kan kamu sendiri yang nanam benih," cibir Gunadi dari ujung sana.Gama mengacak rambutnya frustrasi. "Pa, aku udah bilang, aku nggak pernah sentuh Sofia. Mana mungkin itu anak aku, keputusanku udah bulat ya, mulai sekarang Papa nggak usah ikut campur lagi sama aku dan Sofia. Aku sama Sofia udah selesai, Pa.""Sofia?" Gunadi tertawa terbahak-bahak. "Emangnya Papa ada bahas dia?"Gama terdiam beberapa saat, mencerna apa yang barusan dia dengar. Apa maksud Gunadi?Lalu pandangan Gama beralih pada pintu kamar yang saat ini ditempati oleh Bunga istirahat.Apa mungkin yang dimaksud Gunadi adalah Bunga? Sial! Ba
"Bunga, kamu ... maaf aku baru bisa ngabarin kamu sekarang, semalam aku pulang ke rumah, mamaku sakit dan entah kenapa dia tiba-tiba manja banget sama aku, dia nggak mau aku tinggalin, alhasil aku nginep di sana, ponselku kehabisan daya. Aku minta maaf, aku dengar dari satpam kalau kamu habis kelahi sama Sofia, iya?"Bunga tersenyum kecut. Apa tadi kata pria itu? Mamaku ya? Sudah sangat jelas bukan kalau Bunga sama sekali tidak diharapkan dalam pernikahan ini?Bahkan selama mereka menikah pun Bunga sama sekali tidak pernah dikenalkan oleh keluarga Gama. Entah, Bunga juga bingung kenapa dia harus mempermasalahkan ini sekarang, padahal sudah jelas-jelas pernikahan mereka didasari karena terpaksa.Argghh! Bunga benci dengan situasi ini, dia heran kenapa berubah menjadi serakah?"Aku nggak papa," sahutnya ketus."Aku tahu kamu marah, aku minta maaf atas perlakuan Sofia. Kamu habis dari mana, kok baru pulang?"Bunga tak menjawab, dia hanya bisa geleng-geleng kepala. Stok kesabarannya kali
Hingga pagi menjelang, Bunga masih berharap jika Gama akan menjemputnya. Kenyataannya? Menghubungi dirinya saja tidak, boro-boro untuk menghampiri dirinya ke sini.Sebenarnya Gama pergi ke mana? Kenapa menjadi tanda tanya besar laki-laki itu tiba-tiba menghilang?Bunga hanya bisa menghela napas berat, dilihatnya sudah jam delapan pagi, kondisinya juga sudah lumayan membaik, dan dia juga sudah diizinkan pulang karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.Dokter hanya berpesan jika dia harus menjaga kandungannya sebaik mungkin, untuk biaya rumah sakit pun Bunga juga sudah membayarnya sendiri, untungnya waktu itu dia masih mengingat dompetnya, jaga-jaga untuk keperluan mendadak, dan ternyata benar. Bunga berjalan menuju koridor rumah sakit, sesekali mengecek ponselnya, berharap Gama menghubunginya, sayangnya nihil."Apa sebegitu nggak penting aku bagimu, Mas? Sampai-sampai aku nggak ada di rumah pun kamu sama sekali nggak peduli," gumam wanita itu tersenyum miris.Sesampainya Bunga d
"Beneran nggak apa-apa?"Bunga mengangguk. "Iya, nggak papa kok."Ayu berdecak sebal. Tadi dia kembali datang ke rumah Gama karena ada barang yang menurutnya sangat penting tertinggal, tidak tahunya malah dia melihat adegan yang tampak sangat mengerikan.Beruntungnya Ayu langsung sigap menolong Bunga. Sofia? Wanita itu langsung kabur ketika Ayu berteriak ada perampok."Suami kamu mana? Kok dia nggak bantuin kamu waktu kamu diginiin sama istrinya?" tanya Ayu sewot."Dia ada kerjaan.""Kerjaan apa kerjaan? Dasar banyak alasan dia itu. Coba seandainya kalau aku nggak datang, nggak tahu apa yang bakal terjadi sama kamu, bahkan nyawa anakmu juga dipertaruhkan. Aku udah ingetin kamu dari dulu, jangan pernah berurusan sama orang kaya, lihat nih akibatnya. Ini belum seberapa loh, Bunga."Bunga tampak manggut-manggut. Iya, dia setuju dengan kalimat Ayu.Ini belum seberapa, dan ini baru Sofia yang melakukannya, belum lagi seorang Gunadi. Ya, memang itu resikonya ketika dia memutuskan bertahan d
"Ayo ke rumah sakit."Bunga menggeleng seraya tersenyum. "Aku udah mendingan, emangnya nggak lihat ya kalau aku udah baik-baik aja?"Gama menghela napas. Dia memang melihat wajah Bunga sudah tampak segar. Namun, tetap saja dia masih khawatir. Apalagi meskipun Bunga sudah bisa melakukan aktivitas seperti biasa, tak bisa dipungkiri kalau wajah wanita itu masih terlihat begitu pucat. Mana tega pria itu melihatnya."Kamu yakin udah baik-baik aja?" tanya Gama penuh keraguan.Bunga mengangguk. "Yakin, buktinya aku udah nggak ngeluh-ngeluh lagi, kan? Nggak yang kayak kemarin-kemarin. Mas tenang aja, aku udah nggak papa kok," ujar wanita itu meyakinkan.Bunga berusaha keras menolak, agar tak ketahuan oleh Gama bahwa saya ini dia sedang mengandung anak dari pria itu."Kalau ada apa-apa bilang aku ya, kita langsung ke rumah sakit.""Aku nggak apa-apa, Mas. Ya Tuhan."Gama memutar bola matanya. "Iya, iya. Terserah kamu aja deh. Dasar wanita keras kepala. Aku mau pergi dulu, agak lama. Kalau butu
"Nih, aku beliin dari yang murah sampai yang mehong. Tes aja semuanya kalau kamu ragu," ucap Ayu seraya memberikan kantung plastik berwarna hitam pada Bunga."Banyak banget, Yu.""Iya, kalau yang biasa takutnya nggak valid, makanya aku beli semua aja. Yakin deh itu, pasti di antara semua itu ada yang valid. Aku belum pernah pakai yang beginian, jadi kurang info. Intinya kalau garis dua ya tandanya hamil. Kamu coba aja deh sana.""Caranya gimana?" tanya Bunga bingung.Ayu berdecak malas. "Masa gini-gini harus dikasih tahu sih. Kamu itu udah bukan anak TK lagi, Bunga. Gimana sih kamu ini. Ambil sample taruh di cup kecil, nanti kamu cobain semua testpack ini, masukin satu-satu."Bunga manggut-manggut. "Oke, aku ke kamar mandi dulu kalau gitu. Kamu duduk-duduk aja dulu, kalau mau bikin minum bisa ke dapur sendiri ya, nggak apa-apa, kan?"Ayu mengernyit heran. "Hah? Nggak salah dengar? Ini rumah gede banget loh, Bunga. Masa kamu nggak punya pembantu?" tanya Ayu tak habis pikir."Pembantu a