“Wanita sialan, ke nerakan saja kau!” teriak Sean. Winter terdiam, melihat sosok Sean yang murka kesetanan, kemarahan Sean yang tertuju kepadanya membuat Winter terbayang-bayang masa lalunya dulu ketika Sean marah dan main tangan memukulinya. Kimberly diam seperti orang dungu karena Sean memiliki kekuasaan yang begitu kuat dan mendapatkan perlindungan dan Levon, Kimberly diam harus menyembunyikan lukanya dari Marius agar pria itu tidak terluka dan tidak berurusan begitu jauh dengan keluarganya yang beracun. Kini Kimberly mendapatkan tubuh Winter Benjamin, dia tidak perlu lagi diam dan menerima semua tindasan karena kini dia memiliki banyak uang dan perlidungan dari Benjamin meski kini jiwa Kimberly sangat membenci Benjamin. Kemarahan Sean menggebu membuat sisi rasionalnya menghilang, satu tujuan pria saat ini adalah menghabisi Winter, sama seperi Winter menghabisi ibunya. Dalam langkah lebarnya Sean berjalan mendekati Winter, emosi yang menyelimuti pikiran dan hati Sean membuat pr
Winter duduk di atas atap gedung dengan tubuh yang basah usai membersihkan diri, gadis itu menggenggam segelas kopi yang membuat telapak tangannya yang terluka itu menghangat. Wajah Winter tertutup banyak perban, beberapa luka di bagian tubuhnya yang lain sudah di tangani berkat kebaikan Mante Hemilton yang memanggil dokter pribadinya. Tubuh Winter menyisakan rasa sakit luar biasa karena memiliki banyak luka, namun ada sebongkah kelegaan setelah sekian lama menjejal hatinya. Winter merasa lega karena orang yang dulu menghancurkan dirinya, kini mereka sudah mendapatkan balasannya. Winter menatap lembut matahari yang sebentar lagi akan muncul. Rasa sesak di hatinya terasa hilang entah ke mana, kemarahan dan dendamnya tidak lagi menguasai jiwanya. Balas dendamnya telah usai, semua orang yang menghancurkan hidupnya dan Marius telah dia balas dengan setimpal. Kepulan asap di lantai sembilan samar terlihat, Jach telah selesai membakar mayat Sean dan Shanom, kini dia tengah membersihkan
Sudah tiga hari terbaring tidak sadarkan diri, kini akhirnya Marius membuka matanya lagi, ada banyak teriakan yang dia keluarkan karena seluruh tubuhnya terasa sakit di akibatkan kerusakan sumsum tulang belakang. Hati Levon dan Jenita begitu hancur melihat kondisi Marius yang menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Rencana operasi yang akan di lakukan harus di batalkan karena kondisi Marius yang tidak memungkikan. Sementara Winter yang tidak pernah pergi jauh dari sekitar Marius, kini gadis itu di landa kekhawatiran dan kesedihan yang bergelayut di hatinya. Sepanjang hari Winter hanya diam mengurung diri di apartement Marius, melihat setiap detail kenangan yang pernah dia lewatkan bersama Marius di masa lalu. Di malam hari Winter akan datang ke rumah sakit dan berusaha mengambil celah melihat keadaan Marius meski hanya dengan melihatnya di balik kaca. Dalam langkah putus asanya kini Winter berjalan, gadis itu tertunduk menekan-nekan bel beberapa kali. Winter tidak memiliki tempat yang
“Ke mana sebenarnya perginya Winter?” Vincent bersedekap kesal duduk di hadapan Benjamin. Dia sudah kembali sejak satu hari yang lalu, namun kedatangannya tidak di sambut siapapun karena Winter memberi kabar bahwa dia pergi untuk liburan. Winter sama sekali tidak memberitahu dia pergi liburan ke mana, dia meninggalkan handponenya dan hanya membawa Nai sebagai pengawalnya. Sialnya Nai juga sama sekali tidak bisa di hubungi. “Aku juga tidak tahu” jawab Benjamin sambil fokus melihat layar komputer di hadapannya, Benjamin mengulang-ulang rekaman cctv yang memperlihatkan Winter masuk ke ruangan kerjanya mengambil uang dan bereaksi histeris menangis ketika melihat isi amplop rahasia miliknya. Selama ini Benjamin sering menjauhkan Winter dari hal-hal yang bersangkutan dengan Kimberly, namun Winter tidak pernah mau berhenti, terkadang dia merelakan untuk diam-diam menemui Kimberly. Benjamin melarang Winter tanpa memberikan alasan yang pasti kepada puterinya, namun satu hal yang pasti, in
Paula membuang napasnya dengan lega karena akhirnya Lana mengirimkan pengacara untuknya, ternyata selama ini Lana berusaha mencari pengacara untuknya. “Ingin berdiskusi apa?” Kevan menggeleng dengan berat. “Saya tidak datang untuk berdiskusi, namun membawa kabar untuk Anda,” jawabnya dengan berat dan penuh tekanan, mengisyaratkan jika pria itu membawa kabar yang benar-benar sangat penting. Kening Paula mengerut samar, gadis itu menatap Kevan dengan serius. “Kabar apa?” “Sejak satu minggu lalu saya tidak bertemu lagi dengan ibu Anda. Namun tiga hari yang lalu saya di hubungi oleh pihak kepolisian, mereka memberitahu bahwa nyonya Lana di temukan tewas karena bunuh diri, dia melompat menabrakan diri pada rel kereta,” jelas Kevan seraya mendorong Koran yang memuat berita kematian Lana. Genggaman Paula pada gagang telepon terlepas, gadis itu tecekat kaget dan napasnya tertahan di dada. Paula berkedip dengan cepat, wajahnya pucat pasi, dengan ragu Paula menurunkan pandangannya, melihat
Dua jam setelah kedatangan Vincent ke apartement, Winter memutuskan pulang bersama Nai, kedatangannya kembali ke rumah di sambut oleh beberapa orang dokter yang langsung ingin menangani lukanya, namun Winter menolak dan memilih akan kembali pergi jika Benjamin tidak memulangkan mereka. Winter tidak membutuhkan perawatan apapun, yang dia butuhkan sekarang adalah penjelasan langsung dari mulut Benjamin. Penjelasan Benjamin akan membuat Winter memutuskan apakah dia pergi meninggalkan keluarga Benjamin atau memaafkan mereka. Benjamin membawa Winter ke dalam ruangan kerjanya, Benjamin tidak bisa langsung berbicara begitu merasakan ada sesuatu yang berbeda pada diri Winter. Benjamin sangat gelisah, dia terlihat kacau hingga tidak tahu harus memulai perbincangan mereka dari mana. Pembicaraan ini adalah sesuatu yang paling tidak ingin Benjamin lakukan seumur hidupnya karena harus mengorek luka lama. Luka lama lama itu masih belum kering, masih sangat menyakitkan dan membutuhkan banyak pen
“Apa Winter menghubungimu?” tanya Benjamin. Vincent menggeleng, sejak pembicaraan serius keluarga mereka kemarin, Winter masih belum memberikan tanda-tanda bahwa dia akan kembali pulang. “Bagaimana dengan keadaannya?” tanya Benjamin lagi. “Dia mau menerima dokter yang kita kirimkan,” jawab Vincent dengan pelan. Vincent sedikit bisa bernapas dengan lega, meski Winter kecewa padanya dan Benjamin, setidaknya Winter mau menerima tawaran penyembuhan lukanya. “Ayah,” panggil Vincent dengan lembut. Benjamin menengok, menatap sendu Vincent. Rasa lelah dan sedih tergambar jelas di mata Benjamin, namun dia tidak bisa mengeluh karena dia seorang kepala keluarga. “Ada apa?” tanya Benjamin. Vincent menelan salivanya dengan kesulitan. “Maaf,” ungkap Vincent begitu dalam. “Aku minta maaf, karena kehadiranku, aku merenggut kebahagiaan Ayah.” Benjamin terdiam, bibirnya bergerak samar membentuk senyuman. Vincent yang begitu keras dan tidak pernah membicarakan masalah ini, kini akhirnya mau memb
Winter berjalan menyusuri lorong rumah sakit, gadis itu kembali berdiri di tempat biasanya, berdiri di belakang tembok melihat pintu ruangan tempat Marius berada yang selalu di jaga dengan ketat oleh keamanan. Winter tersenyum samar, betapa ingin dia pergi menemui Marius dan melihatnya sekarang, namun dia tidak ingin menimbulkan keributan karena kesembuhan Marius adalah yang paling penting dari keberadaanWinter di sisinya. Tidak ada yang akan mengganggu Marius lagi kedepannya karena Sean dan Shanom sudah hilang dari muka bumi ini. “Nona Winter.” Winter tersentak kaget karena seseorang memanggilnya dari belakang, Winter menengok dan melihat Jenita yang memanggilnya. Jenita tersenyum begitu senang melihat kehadiran Winter. Winter terpaku kaget, gadis itu melihat Jenita dengan kebingungan karena tiba-tiba Jenita menjadi baik kepadanya dan menyambutnya. Kening Jenita mengerut samar melihat wajah Winter yang memiliki luka lebam begitu pula dengan tangannya yang begitu dia raih, bu