Lama mereka berada di sisi danau, Marvelo mulai mendapatkan ketenangannya kembali, Winter masih duduk di sisinya sejak tadi. Winter tidak beranjak pergi meski Marvelo sudah meminta. Winter tahu bagaimana perasaan Marvelo, pria itu membutuhkan seseorang yang berada di sampingnya, tidak perlu berbicara, tidak perlu menasihati, cukup saja dengan diam dan menjadi pendengar yang baik untuknya. Malam ini, untuk pertama kalinya Marvelo menceritakan semua yang telah terjadi kepadanya hingga membuat dia sering berpakaian wanita. Melihat kesedihan Marvelo, ada perasaan kuat di hatinya yang membuat dia merasa sangat peduli kepada Marvelo. Jiwa Kimberly tahu ini bukan perasaan miliknya, namun ini perasaan milik Winter Benjamin. “Kau pasti kesal saat aku memanfaatkan kelemahanmu waktu itu,” bisik Winter sedih. Marvelo tersenyum samar mendengarnya, dia memang pernah merasa cukup kesal dengan sikap Winter, namun di balik kejadian itu hubungan mereka menjadi kembali dekat. Sejak mereka saling s
“Aku harus segera pulang, sampai bertemu di sekolah” perlahan Winter membungkuk dan tanpa terduga dia mengecup kening Marvelo, dengan cepat Winter turun dari ranjang dan berlari keluar meninggalkan Marvelo seorang diri yang masih terbaring di ranjangnya. Suara hembusan napas kasar terdengar dari mulut Marvelo, semu merah malu menghiasi wajah tampannya, namun sorot mata Marvelo menyiratkan perasaan sedih. “Seharusnya kau tidak terlalu dekat dan besikap terlalu lembut dengaku jika kau hanya ingin kita menjadi teman saja Winter,” bisik Marvelo berbicara pada kesunyian di sekitarnya. Marvelo mengusap dadanya dan merasakan degup kencang jantung yang berdebar, ironis untuk Marvelo karena terus menerus terpengaruh oleh semua kebaikan dan kata-kata Winter yang sebenarnya hanya sekadar bercanda. “Bodoh” maki Marvelo pada dirinya sendiri karena dia sudah membodohi dirinya sendiri. Marvelo jatuh cinta kepada Winter sejak pertama mereka bertemu, Marvelo tidak pernah berpaling pada gadis lain
Winter terduduk di sebuah bangku taman sekolah, malam tadi dia mendengar kabar Paula masuk rumah sakit karena terlalu banyak meminum obat diet dan penenang, sepanjang malam Winter mendapatkan banyak panggilan dan pesan dari Paula. Paula sudah mengetahui rencana Winter, meski sudah ketahuan Winter tidak akan berhenti begitu saja dengan rencananya. Kini sudah saatnya Winter mengecoh kecurigaan Paula dan cuci tangan, namun tetap melanjutkan rencananya melalui orang lain. Winter tersenyum lebar melihat kedangan Lizza, teman satu kelas Paula, sekaligus teman nongkrong Paula. Lizza segera duduk di sisi Winter, gadis itu terlihat tidak begitu bersahabat begitu dia tahu Winter mengajaknya bertemu karena masalah Paula. Bibir Winter langsung menyunggingkan senyuman ramahnya, “Terima kasih sudah meluangkan waktumu.” Lizza tidak menjawab, gadis itu bersedekap dan cemberut kesal. Lizza datang karena terpaksa, pengawal Winter terus menerus mengejarnya dan meminta Lizza untuk mau bertemu dengan
“Velo” panggil Winter dengan senyuman lebar, menyapa Marvelo yang kini duduk di sampingnya tengah membaca buku. Marvelo tertunduk mengusap tengkuknya, wajahnya terlihat memerah karena teringat semalam dimana Wnter menghibur dirinya dan mereka menghabiskan waktu bersama sampai pagi. Marvelo kian tertunduk begitu dia teringat kecupan ringan yang Winter berikan kepadanya tadi pagi. Winter langsung menggeser kursinya hingga saling duduk berdempetan, masih dengan senyuman lebarnya Winter melihat Marvelo sambil menopang dagunya dalam kepalan tangan. “Kenapa diam saja?” tanya Winter. Marvelo masih terdiam. Tubuh Winter mencondong, Winter meniup telinga Marvelo yang kini terlihat sangat merah. Pria itu terperanjat kaget langsung menutup kedua telinganya, Marvelo mengalihkan perhatiannya dari buku yang dia baca, perlahan dia menengok dan melihat Winter yang terlalu dekat dengannya. Napas Marvelo tertatahan di dada, kegugupan langsung menyerang dirinya melihat sorot mata Winter yang be
Ingatan Kimberly yang telah kembali sepenuhnya membuat Winter bersikap berbeda, rasa cinta yang hilang hingga asing kini kembali meledak memenuhi hatinya, memenuhi jiwa Kimberly. Winter mulai menemui Marius dan mencarinya lebih dulu. Tiga hari terakhir ini Winter menemui Marius dan mengajaknya berbicara meski terkadang hanya saling menatap saja, Winter tetap menyempatkan diri untuk bertemu Marius di setiap harinya. Tidak ada yang mereka lakukan, berpegangan tanganpun mereka tidak pernah, namun perasaan yang kuat di dalam diri Marius dan juga Winter semakin kuat saling mengikat. Kini, Winter lebih banyak menahan ucapan kasarnya dalam beberapa kesempatan. Beberapa hari setelah ingatannya kembali lalu menghabiskan banyak waktu bersama Marius membuat Winter merasakan perasaan yang tidak menentu, ada rasa sakit, bahagia, penyesalan dan kasihan. Winter merasa kasihan karena kehidupan Marius terlihat sangat kacau setelah kepergian Kimberly. Ada perasaan bahagia di rasakan Winter, karen
“Winter,” panggil Benjamin yang kini duduk di hadapannya. “Ada apa Ayah?” “Vincent sudah memberimu kabar?” Sendok di tangan Winter di letakan di atas piring, gadis itu menggeleng. Sudah beberapa hari ini Vincent tidak memberinya kabar, Winter tidak mengganggunya karena dia tahu bahwa Vincent tengah mempersiapkan diri dalam kelulusannya yang tinggal menghitung hari. “Sepertinya dia lupa” gumam Benjamin dengan senyuman, wajah lelah Benjamin terlihat sedikit berseri menunjukan perasaan senang. “Memangnya ada apa?” “Tadi Vincent memberi kabar bahwa dia sudah lulus dan menyelesaikan S2-nya, dua minggu lagi dia akan segera kembali setelah melakukan wisuda dan mengurus banyak hal di sana. Kau pasti sibuk melakukan ujian sekolah di sini, karena itu ayah akan pergi ke Manchester sendirian. Apa kau tidak apa-apa?” Winter tersenyum, gadis itu menggeleng “Tidak apa-apa Ayah. Aku sangat senang kak Vincent menyelesaikan semuanya dengan cepat.” “Ayah sangat senang atas prestasi yang dia buat
Hari pertama ujian sudah berjalan dengan lancar, semuanya tidak seberat apa yang Winter pikirkan, meski begitu dia berusaha melakukan yang terbaik dan tidak lengah agar mendapatkan nilai yang sempurna. Winter melihat telapak tangannya yang kini kapalan, seminggu terakhir ini dia belajar keras dan mengerjakan beberapa pelajaran yang dulu sempat di lewatkan dan mendapatkan nilai merah karena Winter Benjamin yang asli tidak bisa. Berkat bantuan Cleo, dia sangat membantu Winter menyampaikan banyak tugas yang Winter kerjakan untuk memperbaiki nilai-nilai yang tertinggal. Winter merenggangkan tubuhnya melepaskan rasa pegal, gadis itu melihat ke belakang, menunggu Marvelo yang sejak tadi belum keluar karena berbicara dengan Charlie. “Nona Winter.” Winter langsung menengok dan melihat madam Valleria yang sudah memanggilnya. Sejak audisi pertama di hari itu, mereka tidak pernah bertemu lagi, namun eksistensi madam Valleria yang baik dan berpengaruh sedikit terguncang hingga di pertanyakan
“Winter, aku butuh uang,” pinta Paula tanpa basa-basi lagi, kebutuhan Paula yang mendesak membuat dia tidak bisa lagi berpura-pura bersikap baik di hadapan Winter, apalagi kini sudah tahu jika Winter benar-benar berubah, tidak ada gunanya jika Paula berpura-pura. Paula membutuhkan banyak uang Winter sebelum Winter benar-benar berubah sepenuhnya dan tidak bisa lagi dia kendalikan. “Kenapa kau mengatakannya padaku?” “Karena kau yang selama ini memberikan bantuan kepadaku Winter, aku sangat kesulitan menjalani hidup setelah kak Vincent menekanku dan keluargamu berhenti memberikan bantuan kepadaku. Keluargamu benar-benar membuat hidupku dan ibuku sangat menderita, jadi bisakah kau paham bagaimana sulitnya posisiku sekarang?” Tanya Paula dengan nada mendesak, gadis itu mulai lagi berbicara dengan memojokan. Setelah hampir dua minggu tidak bertemu, Winter pikir Paula akan sedikit berubah, ternyata gadis itu masih sama. Tidak berintropeksi diri dan tidak berkaca dengan apa yang dia lakuk