Dengan pikiran yang penuh tanda tanya, aku masih bersabar menunggu mbak Ambar di ruang tengah. Aku tidak ingin mencampuri urusan mbak Ambar dengan pria yang tengah bersamanya saat ini. " Kok kamu kesini gak bilang dulu dek?" Sapa mbak Ambar menghampiri aku. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi panjang di sebelahku." Suntuk di rumah mbak. Farah keluar sama Rinda. Ibuk sama bapak sedang tidur siang. Makanya aku kesini. " Jawabku datar."Tadi itu pacar aku dek. Namanya Ryan. Aku kenal dia saat aku mengantarkan makanan untuk pasien yang di karantina karena covid. Setahun yang lalu. Dia duda tanpa anak. Awalnya sih berteman biasa. Tapi empat bulan terakhir ini, kami memutuskan untuk menjalin hubungan lebih serius lagi. " Mbk Ambar menceritakan hubungannya tanpa Aku pinta. Aku mendengar dengan seksama." Usia Ryan lebih muda enam tahun dari aku. Tapi sikap dia sangat dewasa. Makanya mbak makin sayang sama Ryan." Lanjutnya." Kalau sudah serius ke jenjang pernikahan, kenapa tidak mbak kenalk
"Apaan sih... Ngaco deh... Dah ah aku lapar, mau makan. Mbak masak apa sekarang?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan. Tidak habis pikir dengan mbak Ambar. Bisa-bisanya dia yang dulunya pendiam, bahkan sangat tabu membahas urusan ranjang secara terang-terangan, sekarang bisa bar - bar begitu. Apa karena si Ryan pacar barunya itu yang membawa dampak buruk.. ah biarlah. Itu urusan mbak Ambar. "Huh,, orang pingin tahu juga Segede apa pistolnya. Pelit amat kamu dek." Sungutnya sambil melempar bantal kecil ke arahku. Aku membalas dengan menjulurkan lidah. " Mbak, sampean ini kesambet setan mana, kok Sekarang gaya bicaranya bar-bar gitu? Serius tanya aku!" Sambil mencomot perkedel singkong aku kembali bertanya tentang perubahan mbak Ambar. " Semua orang itu ada fasenya dek. Dulu saat aku sama papanya Rinda, masih sangat malu dan riskan membahas urusan ranjang secara blak-blakan. Permainan ranjang kami juga monoton. Dan hal itulah yang membuat papanya Rinda mencari pelampiasan di luar. Aku
Setelah dua Minggu tanpa melakukan pekerjaan rumah, pagi ini aku kembali ke aktivitas sebelumnya. Beberes rumah yang mulai banyak debu bersarang di beberapa tempat. Mungkin Farhan atau Kelvin menyapu bagian pentingnya saja. Sampai kolong meja sudah tebal oleh gumpalan debu. Aku mengerjakan pekerjaan rumah dengan cekatan dan cepat. Sehingga saat anak-anak berangkat sekolah, semua sudah kelar. " Mi, aku mau ngomong sama mami. Ada hal penting yang harus kita bahas. Mumpung anak-anak sudah berangkat." Kelvin memulai obrolan disaat aku tengah merapikan etalase kecil yang menyimpan berbagai skincare jualanku. Tanganku terhenti dan menoleh heran. Ada gurat gelisah di wajah Kelvin saat aku tatap." Mau ngomong apa pi? Ngomong saja. Sepenting apa sih yang mau dibahas? Kok mukanya tegang gitu." Jawabku sengaja menyindir. Kelvin tengah mengelap keringatnya dengan lengannya. "Emh begini, mami masih ingat ruko yang di jual oleh pak Jordan itu? Ternyata suami Renata tidak mau dengan ruko yang ak
Siang ini aku kedatangan Renata di rumah. Kami mengobrol lama sambil uprek di dapur membuat cemilan. Aku dan Renata memang sudah dari remaja hobi masak. Jadi kegiatan di dapur sangat menyenangkan tersendiri bagi aku dan Renata." Re, hubungan gelap kamu sama Ahmad gimana? Masih lanjut?" Tanyaku saat ingat bahwa Renata juga tidak jauh beda kelakuannya dengan aku. Bedanya, dulu saat Renata curhat tentang perselingkuhannya, aku selalu menasehati Renata. Tapi sekarang justru aku yang mengikuti jejak Renata yang keliru." Entahlah fio, aku sekarang sedang berada di titik jenuh dengan Ahmad maupun suamiku. Sepertinya menjadi janda itu lebih menyenangkan ya fio?" Jawabnya ambigu. " Lha kok kamu ngomongnya begitu? Tidak baik bilang mau jadi janda. Ntar di aminkan malaikat nangis kejer kamu." Omelku menasehati Renata. Ia hanya tersenyum kecut mendengar ocehan aku. Aku dan Renata kembali berkutat membuat cemilan tahu walik. Renata sibuk menggoreng. Dan aku sudah menyelesaikan membuat saos sam
Aku, Renata, dan Laras sebenarnya memiliki masalah yang sama. Kami sama-sama sedang bermain api dalam rumah tangga kami. Entah sampai kapan permainan ini akan berakhir. Dan entah api ini akan padam dengan sendirinya, atau apa justru akan membakar diri kami sendiri. Kami tidak tahu. Biarlah ini berjalan dengan seiring berjalannya waktu. Kami tahu ini salah. Tapi kami terlanjur masuk dalam kubangan dan sulit untuk bangkit. " Kita tidak akan menjadi buaya betina seperti ini kalau suami kita tidak egois dengan dirinya sendiri. Kita akan menjadi ratu di kerajaan rumah tangga kita, jika kita berada dalam genggaman lelaki yang tepat." Ucapan Laras tadi siang masih terngiang di telingaku. Apa betul selama ini aku berada dalam genggaman lelaki yang salah? Tanpa sadar, aku sudah menghabiskan waktu satu jam lamanya di dalam kamar mandi tanpa melakukan apa-apa. Jika tidak karena Farhan yang menggedor pintu kamar mandi, mungkin aku masih tetap bertapa didalam. " Mami tumbenan lama banget di dal
POV JORDANSetelah kejadian di puncak, aku semakin mencintai Fiona. Bukan hanya karena nafsu, tapi memang aku benar-benar mencintai dia. Karena kepribadian Fiona yang sangat menyenangkan. Bersama Fiona, aku merasa menjadi diri sendiri. Fiona yang humoris bisa mengimbangi sifat aku yang sebenarnya suka bercanda. Tapi sayangnya aku hidup dengan istri yang selalu serius dalam hidup. Susah diajak bercanda. Yang ada omelan yang kerap aku dapatkan. Tapi aku adalah seorang suami yang tidak suka mencari keributan, jadi jika istriku Almira suka uring-uringan, aku tidak pernah menanggapi. Memilih keluar rumah mencari ketenangan dengan kumpul bersama para pecinta burung.Sore ini Dira memaksa makan di gacoan. Almira juga merengek mengajak jalan-jalan. Kebetulan aku sedang tidak dinas, jadi aku menyanggupi ajakan Almira dan Dira. Kami menikmati makan dengan santai. Sesekali Dira bertingkah berlarian kecil. Aku hanya memantau saja. Wajar menurut aku,anak sekecil Dira bertingkah seperti itu. Tapi s
Aku membantu Almira menyiapkan perlengkapan Dira sekolah. Pagi-pagi aku sudah antri membeli sarapan untuk kami bertiga. Almira memang bisa di hitung kalau mau masak. Tidak seperti istri muda aku. Sesibuk apapun, selalu menyempatkan waktunya untuk menyiapkan makan untuk keluarganya. Ups,,, istri muda aku. Kedengarannya sangat menggelitik telinga. " Pa, habis antar Dira, langsung pulang! Jangan mampir kemana-mana dulu." Seru Almira saat aku tengah memanaskan mesin motor. " Iya. Kamu jangan balik tidur lagi. Mandi kek, atau beberes rumah gitu." Balasku dengan mengingatkan Almira akan tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga." Ogah." Cibirnya sambil masuk ke dalam rumah. Istri macam apa yang telah aku nikahi ini. Andai tidak memiliki ke tiga anak, sudah aku kembalikan ke orang tuanya. Hampir semua kerjaan rumah aku yang handle. Kalau aku suami pengangguran mungkin aku tidak akan mengeluh, tapi disini aku sudah menjadi suami yang tidak melalaikan tanggung jawab aku untuk mencukupi kelu
POV Fiona " Mamiii,,," seru Farah lemah ketika melihatku di pintu UGD. Aku menghambur memeluk Farah yang baru sadar. Putri manjaku menangis dalam pelukanku. " Adek apanya yang sakit sayang?" Tanyaku setelah mengurai pelukannya. Aku meneliti setiap inci tubuh anak gadisku. Tangan dan kakinya terdapat luka lecet-lecet. " Tidak apa-apa mi, hanya luka ringan." Jawabnya sambil meringis. Aku mengelus rambut anakku. Mataku menoleh ke ranjang di depan Farah. Ada Farhan yang masih di jahit pelipisnya oleh pihak puskesmas. Aku mendekati Farhan dengan hati yang miris. " Maaf ya mam, Farhan belum bisa jaga adek dengan baik. " Ujarnya setelah selesai ia di jahit. Aku mencium keningnya sesaat. " Tidak ada yang perlu di maafkan kak. Ini musibah. Jangan merasa bersalah begitu. " Jawabku lembut dengan mengelus rambutnya. " Farhan, motor kamu mengalami kerusakan. Papi mau bawa ke bengkel motor langganan kamu. Oh ya, apa kalian sudah hubungin pihak sekolah kalau hari ini tidak bisa masuk?" Kelvin b