Nadia menyetir mobilnya secara perlahan, berbelok ke kanan menuju pintu masuk utama rumah sakit. Mobil diberhentikan pas di bawah gapura utama bertuliskan RUMAH SAKIT Dr. OEN SOLO BARU dan dibawah ada tulisan berukuran kecil dibandingkan dengan tulisan di atas tadi yaitu SUKOHARJO.
Mesin otomatis untuk parkir juga pas berada di bawah gapura itu. Nadia menghentikan mobil untuk mengambil kertas parkir. Gadis itu membuka kaca jendela dan menekan tombol warna hijau di mesin parkir otomatis, kemudian dia mengambil kertas parkir yang menyembul keluar dari satu bibir di mesin itu.
Nadia kemudian kembali menutup kaca jendela mobil dengan menekan satu tombol sekali, menjalankan kendaraan itu dan mengambil ke kanan, mengarah ke lapangan parkir.
"Besar rumah sakitnya ya, Dek?"
Seorang perempuan yang duduk di kursi tengah untuk penumpang tiba - tiba berkata. Dia sedang memeluk seorang anak laki - laki yang duduk disebelahnya.
"Iya, Kak. Dokter spesial anak yang aku bilang kemarin, hari ini, jadwal prakteknya ada di rumah sakit ini."
Nadia masih sibuk mencari lapangan parkir. Kepalanya sudah beberapa kali melongok ke sana kemari.
"Mudah-mudahan cocok Si Rafi ini dengan dokter itu. Aku sudah bingung Nad."
Perempuan yang bertubuh bongsor itu mengelus kepala anak laki-laki yang tertidur dipangkuannya.
"Mudah-mudahan, Kak. Kita kan usaha terlebih dahulu," balas Nadia.
Sepertinya dia sudah menemukan lapangan parkir dan juga menemukan tempat yang cocok untuk memarkirkan mobil hitam itu. Dia memilih tempat tak jauh dari gedung rumah sakit. Perlahan dia mengepaskan badan mobil di garis kuning yang tertoreh di icon blok yang menjadi alas lapangan parkir. Gadis itu mematikan mesin setelah merasa mobilnya pas sesuai dengan prosedur memarkirkan mobil.
"Ayo, Kak."
Gadis itu bergegas turun dan disusul oleh perempuan yang merupakan kakak kandungnya.
Rumah sakit yang memiliki fasilitas layaknya hotel itu, sangat bersih, nyaman dan menawan dari desain yang terlihat. Nadia telah duduk di ruang tunggu yang seperti lobi hotel. Kakak dan ponakannya juga berada di situ bersama Nadia.
"Sepertinya mahal bayaran di rumah sakit ini." Perempuan di samping Nadia berbisik. Anaknya menempel di pangkuannya.
"Ah... sudahlah, kak. Sekarang ini yang harus kita pikirkan adalah kesehatan Rafi. Uang bisa dicari, kak."
Nadia menjelaskan kepada perempuan yang berumur sekitar 30 tahun. Dia tak melanjutkan kalimat berikutnya.
"Muhammad Rafi!"
Seorang perawat perempuan berteriak.
"Ya."
Nadia menjawab dengan spontan.
"Ayo, Kak." Gadis itu bergegas mengajak kakaknya untuk segera mendekati perawat yang memanggil mereka.
Perawat perempuan itu telah berada di depan ruangan khusus dokter spesialis anak. Tertulis di samping pintu tulisan "dr. Arkan Wibowo."
Perawat perempuan yang berdiri di pintu masuk ruangan, mempersilakan ketiga orang yang di depannya untuk masuk ke dalam ruangan.
Nadia masuk terlebih dahulu. Kakaknya menyusul dengan menggendong anak laki-lakinya.
Perawat perempuan yang masuk belakangan, mempersilakan mereka duduk di kursi di depan meja praktek.
"Dok, pasien yang bernama Muhammad Rafi sudah masuk," nyata perawat perempuan itu. Dia terlihat masih muda.
Seseorang yang dipanggil dengan kata dokter, masih membelakangi keluarga pasien yang menunggu, dia berdiri sekitar 5 langkah dari meja pasien. Dokter itu seorang laki-laki. Dari belakang terlihat dadanya yang bidang.
Sang dokter berbalik. Matanya melihat ke arah 3 orang yang ada di depan meja prakteknya. Dengan wajah tanpa senyum dia duduk di meja kursi berwarna biru, menghadap ke pasien.
"Apa keluhannya?"
Dia bertanya tapi tak menatap ke pasien. Dia sibuk mencari pulpen yang tak tahu di mana keberadaannya.
Kening Nadia sedikit berkerut. Dia berusaha mengingat sesuatu. Dia menatap lekat ke wajah dokter laki-laki yang ada di hadapannya.
"Anak saya demam, Dok. Sudah berobat berulang kali tapi sembuh sebentar setelah itu kembali lagi. Berulang-ulang seperti itu."
Perempuan di samping Nadia yang merupakan kakaknya menjelaskan hal itu secara gamblang. Terdengar sedikit ada kesedihan dari nada bicaranya.
"Saya periksa dulu ya, Bu?"
Dokter laki - laki itu berdiri dengan cepat. "Silakan... anaknya dibaringkan di sini."
"Silakan bu."
Perawat yang masih muda itu menyarankan kembali kepada perempuan yang merupakan ibu dari pasien, mengikuti perintah lembut dari dokter laki-laki itu.
Kakak Nadia bangkit dari tempat duduknya. Dia membawa anak laki-laki yang digendongnya menuju tempat tidur yang dibalut sprai berwarna biru muda.
Sedangkan Nadia, masih duduk di tempat awal dan memikirkan sesuatu. Sangat jelas terlihat dari wajahnya yang putih, jika dia sedang memikirkan sesuatu. Gadis itu masih tetap mengawasi gerak-gerik dokter laki-laki yang akan memeriksa keponakannya.
"Ada keluhan lain, Bu?"
Dokter spesialis anak itu bertanya dengan nada rendah dan sopan.
"Susah makan, Dok. Sudah hampir 3 bulan ini."
Perempuan yang bertubuh bongsor itu meletakkan anaknya di kasur, lepas dari gendongan. Perlahan dia menidurkan anak laki-lakinya.
Perawat perempuan membantu ibu pasien membetulkan posisi anaknya di tempat tidur.
Dokter laki-laki yang memiliki tinggi sekitar 178 cm memeriksa anak laki-laki yang sedang berbaring di tempat tidur. Dia memasang eartips stestoskop di kedua telinga, menempelkan diaphragm yang mendatar di dada anak laki-laki yang terlihat kurus.
"Vira, coba cek suhu tubuhnya!" perintah dokter laki-laki itu.
Perawat perempuan yang bernama Vira mengangguk dan segera mengambil sesuatu ke lemari yang berada di belakang. Tak berapa lama dia kembali dan memasukkan termometer ke mulut anak laki-laki tersebut.
Dokter yang memiliki kulit berwarna kuning langsat itu terdiam, mendengarkan detak jantung yang diperiksanya lewat stetoskop. Gerakan berikutnya, dia melepaskan eartips dari kedua telinga dan melingkarkan stetoskop ke leher. Ruas jari telunjuk dan jempol dari tangan kanan memegang dagu. Sedangkan tangan kiri mendatar di dada, menahan siku dari tangan kanan. Dia memikirkan sesuatu dengan serius.
"Sejak kapan dia mulai demam?"
Dokter itu menoleh ke arah ibu pasien. Posisi tangannya masih tetap sama.
"Mulai panas seperti ini dari 3 bulan yang lalu, Dok. Setelah dibawa ke dokter umum sebelumnya, panas turun kemudian naik lagi. Sudah 5 kali seperti ini."
Dokter yang memiliki alis mata yang lebar itu mengangguk. Dia menatap perawat yang ada di sampingnya.
"39 derajat, Dok," nyata perawat itu. Tanpa ditanya dia tahu maksud dari dokter yang satu ruangan dengannya.
"Oke."
Dokter laki-laki itu berjalan menuju kursi yang berada di depan meja prakteknya. Dia mengucapkan kata itu untuk perawat dan ibu pasien.
"Sudah, Dok?" tanya kakak Nadia.
"Ya, sudah."
Dokter itu duduk kembali di kursi.
Kakak Nadia kembali menggendong anaknya dan kembali ke posisi semula di samping Nadia yang sedari tadi terdiam dan melihat gerak-gerik dokter spesialis itu tanpa berkata sedikitpun.
Tiba-tiba... Pintu kaca ruangan itu terbuka. Masuk seorang perawat laki-laki yang berwajah tampan berkulit putih dengan tinggi yang tak kalah dengan dokter spesial yang ada di dalam ruangan itu.
Nadia melihat ke arah pintu yang terbuka, lalu dengan spontan...
"Ah... Ternyata!"
Nadia mengucapkan kalimat itu tanpa sadar dan menjentikkan jarinya. Kedua jari yang dijentikkan terdengar lumayan keras. Semua orang yang berada di ruangan melihat ke arahnya.
Dokter laki-laki itu melirik ke arah gadis yang duduk di sebelah ibu pasien. Tatapan aneh terpasang di wajah.
"Maaf... saya mengigau."
Nadia terbata. Dia merasakan beberapa pasang mata melihat aneh ke arahnya, termasuk kakak kandungnya.
"Alasan apa itu? Mengigau?"
Akhirnya otak Nadia menemukan jawaban yang dicarinya selama beberapa menit. Awalnya dia seperti mengenal dokter laki-laki ini tapi tak tahu di mana pernah bertemu. Dia berusaha berpikir keras mengingat akan hal itu. Dan ketika perawat laki-laki masuk ke ruangan, dia baru menyadari pernah melihat mereka berdua di lapangan parkir rumah sakit tempat dia bekerja. Karena itulah secara spontan dia mengeluarkan kalimat itu. Otaknya telah menemukan yang dicari.
Dokter spesial anak yang berada di depan Nadia tidak lagi memedulikannya. Dia fokus menulis ke suatu kertas yang diberi oleh perawat perempuan pada saat Nadia menjentikkan jarinya. Sedangkan perawat laki-laki yang baru masuk langsung terdiam dan melihat ke arah Nadia ketika peristiwa aneh itu terjadi. Lalu perawat laki-laki yang memakai seragam putih secara keseluruhan menuju meja yang berada di sudut ruangan dan mengerjakan sesuatu.
"Baik. Saya beri obat terlebih dahulu. Jika masih berlanjut seperti ini, silakan hubungi saya. Ada dugaan yang belum berani saya nyatakan."
"Kenapa begitu, Dok? Dugaan apa?"
Nadia bertanya dengan rasa penasaran yang besar.
"Saya belum berani menyatakan dugaan itu, saya takut salah karena harus dikonfirmasi dulu dengan data yang lengkap."
Dokter itu menjelaskan kepada Nadia dengan perlahan.
"Saya dokter umum, Dok. Saya bekerja di Rumah Sakit Dr. Moewardi."
Nadia menjelaskan dengan gamblang.
"Kalau begitu, anda mengerti maksud saya mengapa saya tidak mengutarakan dugaan saya ini."
Dokter spesial yang memiliki rambut sedikit ikal menjelaskan dengan suara yang tegas.
Nadia menelan ludah. Dia menyunggingkan sedikit senyum yang terpaksa.
"Kamu kenapa sih, Nad? Tingkah kamu aneh?"
Perempuan yang bongsor itu mengejar Nadia yang keluar dari lift menuju lantai bawah. Dia sedikit berlari padahal sedang menggendong anak laki-lakinya.
"Tidak apa-apa, Kak."
Nadia berjalan cepat. Ada rasa sedikit kesal di hati.
"Sudah kamu simpan kan, kartu nama dokter itu?" Kakaknya bertanya lagi.
"Sudah."
"Seorang dokter punya sikap dingin seperti itu, siapa yang akan mengunjungimu kembali?"
Nadia berjalan menapaki lorong rumah sakit dengan langkah kaki yang cepat. Kakak kandungnya tertinggal di belakang dan berusaha untuk mengejar adiknya itu.
Lorong utama Rumah Sakit dr. Moewardi sangat ramai dikunjungi pasien setiap hari. Begitu juga dengan pagi ini. Berbagai macam manusia dengan tingkah, gaya dan bau beraneka ragam sudah berkumpul di lorong itu. Padahal matahari belum sampai sepenggalahan di hari ini. Tak tahu mengapa hari ini begitu banyak manusia yang berlalu lalang dan berdiri di lorong utama.Nadia berusaha berjalan di lorong utama menuju lobi dengan berhati-hati agar tidak berbenturan dengan orang lain. Sesekali dia menebarkan senyum kepada orang yang berselisih jalan dengannya, terutama dengan tenaga medis yang dikenalnya.Gadis yang memakai baju dinas berwarna putih, lebih menyerupai seperti jas, ingin menuju ke ruangan administrasi. Ada beberapa berkas yang ingin dilihat. Ketukan sepatunya terdengar cepat, dia berjalan seperti biasanya, lincah dan gesit. Kelincahan juga teruji dengan menghindari beberapa orang di lorong yang berjalan dengan seenaknya. Tak memedulikan or
"Kita ambil sampel darah Dek Rafi ya, Mba?" Arkan menoleh ke arah Ibu pasien setelah memeriksa tubuh anak laki-laki yang berumur sembilan tahun. Berdiri menghadap ke Ibu Pasien."Tidak ada hal yang serius kan, Mas Dokter?"Ibu pasien yang ternyata adalah Kakak Nadia menimpali pernyataan dr. Arkan dengan cemas."Mudah-mudahan tidak, saya hanya memastikan saja. Karena sudah seminggu dari pemeriksaan pertama, suhu tubuhnya kembali naik." Dokter Arkan memberi kode kepada perawat laki-laki yang berada di sebelahnya. Kode agar mengurus anak laki-laki yang sudah diperiksa olehnya.Perawat yang bertubuh tinggi dan ramping, langsung merapikan pakaian anak laki-laki yang sedang berbaring dalam keadaan sadar. Perawat laki-laki yang memiliki rambut lurus dipotong pendek, membantu Sang Pasien duduk di atas tempat tidur yang dibalut dengan kain berwarna biru muda, pada gerakan selanjutnya.Ibu pasien, berus
"dr. Arkan sedang istirahat, Mba.""Tapi... sekarang sudah hampir jam 2 siang....""Biasanya setelah makan siang, dr. Arkan langsung Sholat Zhuhur, dia memang selesai istirahat jam 2 siang, baru kembali masuk ke ruang praktek."Perawat perempuan yang berkacamata menjelaskan dengan lembut kepada Nadia.Nadia manyun. Dia hanya bisa keluar dari tempat kerjanya pas istirahat juga. Itu pun... tadi dia izin keluar dari jam 11 siang agar bisa kembali dengan cepat. Ternyata jalanan macet, seharusnya perjalanan dari Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi ke Rumah Sakit dr. Oen Solo Baru,bisa ditempuh dalam waktu setengah jam, akhirnya menjadi satu jam perjalanan.Nadia kembali ke Rumah Sakit Swasta yang berlokasi di Sukoharjo untuk mengambil hasil tes darah keponakannya. Sampai di Ruang Sampling, dia harus menunggu 1 jam lagi. Dan akhirnya hasil tes sudah keluar dan akan diserahkan
"Hai...."Arkan menyembulkan kepalanya dari dalam mobil melalui kaca jendela, keluar. Tersenyum manis. Wajah tampannya terpapar sinar matahari sore. Mobil berhenti di samping gadis yang ditegur.Nadia terkejut. Langkahnya terhenti. Menoleh ke arah asal suara."Bu dokter mau ke mana?"Arkan melihat ke arah gadis yang di tegur, sedang berjalan di lapangan parkir. Kedua mata Arkan yang indah dengan alis mata yang tebal, menatap dengan tatapan yang ramah."Eh... Pak Dokter. Saya mau pulang," tukas Nadia dengan cepat setelah menyadari siapa yang menegurnya dari dalam mobil. Gadis yang berprofesi sebagai dokter umum sedikit menunduk ketika melihat lelaki di dalam mobil."Panggil saja dengan nama Arkan. Ditambah kata Mas juga boleh."Arkan masih tetap berbicara dari balik jendela mobil yang terbuka lebar. Kedua matanya dengan alis mata yang tersusun rapi, seperti menggoda gadis ya
Nadia dengann cepat mengangkat handphone yang berbunyi di meja ruang tamu. Tertera satu nama di layar handphone. Nama yang tertera adalah nama seseorang yang menelepon dia dua malam yang lalu."Halo...."Gelagatnya sekarang sedang mempersiapkan hati yang sudah berdebar-debar."Selamat sore, Bu Dokter....""Ya. Sore juga, Pak Dokter."Nadia berusaha menjawab dengan santai."Saya sedang berada di Jalan Veteran sekarang ini. Rumah Bu dokter di bagian mana?""What?" batinnya menjerit.Nadia terdiam. Di sore Minggu yang tak ada angin atau hujan, dia seakan disambar petir di siang bolong."Halllllloooo...." Suara di ujung telepon bernada mendayu."Ehem... ya... halo...." Nadia gelagapan. Santai sorenya tidak seperti biasa. Sore ini dia sedang menikmati novel koleksinya."Saya sedang di Jala
Di ruangan kerja yang lumayan besar, hanya terdengar satu suara. Suara hiruk pikuk rumah sakit di luar ruangan sudah tidak terdengar lagi.Terdengar suara beberapa ketukan dari laptop di depan meja praktek. Laptop itu seakan tersiksa dengan ketukan jari yang cepat dan terlalu kasar. Jari-jari tangan yang bergerak dengan lincah mengetik sesuatu di laptop dan... terakhir menekan tombol enter dengan mengangkat tangan perlahan tapi jari telunjuk menekan tombol itu dengan ketukan keras pada akhirnya.Tuk.Nadia tampak kesal di balik meja kerja di ruangannya. Sudah tiga hari dokter spesialis itu tidak menghubunginya. Itu yang membuatnya kesal. Pertama kali, dokter muda itu datang ke rumah-Minggu sore-Nadia tak terlalu banyak berbicara karena Ibunya yang menguasai waktu pada saat itu. Dari pertama datang sampai dokter spesialis bernama Arkan itu pulang, selama 2 jam Ibunya ikut nimbrung ke dalam pembicaraan mereka. Nadia tak bi
Tok... tok... tok..."Ya. Masuk...."Nadia masih menundukkan kepala, menulis beberapa kalimat di atas selembar kertas yang ada di meja. Matanya fokus ke tulisan ketika mengatakan kalimat mempersilakan tadi.Terdengar suara pintu terbuka."Pasien selanjutnya ya, Bu Tisna?"Dokter umum yang masih fokus dengan kerjaannya, tidak mengangkat kepala sedikit pun. Pandangannya tetap ke kertas dan terus menulis di benda putih di atas meja praktek. Dia melontarkan kalimat pertanyaan tanpa melihat ke perawat yang tak lain adalah Tisna. Dia tahu pasti kalau yang mengetuk tadi adalah perawatnya. Dia hapal ketukan itu."Ada tamu, Bu dokter. Tapi bukan pasien...."Tisna berbicara sedikit pelan. Dia menyunggingkan senyum kecil. Kedua pundak sedikit naik ketika mengucapkan kalimat terakhir."Lantas...." Tangan Nadia masih sibuk menggoreskan pena ke kertas putih. Kepala belum j
Arkan duduk di depan teras rumah yang sederhana dengan tenang. Dia menyilangkan kakinya. Kaki kiri menjadi tumpuan. Pria yang memakai baju kaos dan celana jeans, sedang memegang handphone-nya saat ini. Mengetik sesuatu di chat room."Sudah lama datang, Nak Arkan."Arkan terkejut. Handphone yang dipegang hampir lepas dari tangan. Kepalanya langsung ditolehkan ke samping.Tiba-tiba wanita setengah baya keluar dari ruangan membawakan minuman dan sedikit makanan ringan. Tersenyum melihat tingkah tamu putrinya sembari meletakkan baki yang tertata beberapa benda di atasnya."Oh, Tante. Baru saja, Tan."Pria yang memiliki dada bidang, langsung berdiri dan menyalami wanita setengah baya. Dia berusaha untuk menetralisir rasa kaget yang mendera."Ayo, silakan duduk. Nadia di mana ya?"Wanita yang merupakan Ibu Nadia bertanya ke arah Arkan, sembari duduk di kursi plast
"Aku akan menikahimu, Nad... tapi aku ingin kita tunangan terlebih dahulu, setelah beberapa bulan dan saling mengenal, baru kita menikah...."Arkan mengucapkan kalimat itu dengan jelas dan lugas. Lelaki yang sedang memakai baju kemeja berwarna salem, duduk dengan menegakkan punggung dan menatap lurus ke arah gadis yang di hadapannya. Dia sangat berwibawa dan sopan."Ya... Tuhaaaan...! Apakah ini mimpi...!" jerit Nadia di dalam hati. Hatinya seakan berhenti berdetak sesaat. Kedua matanya menatap ke arah lelaki yang duduk di hadapannya tanpa berkedip.Akhirnya, cerita dongeng yang diharapkan menjadi kenyataan. Seseorang pangeran yang muncul tiba-tiba --dikenal tanpa sengaja-- datang ke rumahnya tanpa janji palsu dan akhirnya akan melamar dia di depan kedua orang tua secara jantan. Nyata. Drama yang sangat diinginkan berlaku di dalam kehidupannya, bukan sebuah skenario yang dibuat oleh manusia.
"Bagaimana dengan, Fandi?" "Apa tuh yang bagaimana?" "Fandi sangat dekat dengan Mas Arkan. Apa dia tidak kangen dengan ayahnya?" Nadia mengambil potongan Sushi dengan garpu. Dia menyucuk ujung garpu ke satu sushi yang terlihat menggugah selera. "Dari kecil, Fandi sudah tinggal bersama kami. Abang iparku, Ayah Fandi... kerja melaut. Tempat dia bekerja di salah satu BUMN terbesar di Indonesia. Jadi kakakku dan Fandi sering ditinggal. Setahun sekali ayah Fandi baru pulang. Jadi... dia tidak terlalu dekat dengan ayahnya." Arkan menyeruput minuman Strawberry Shake yang ada dihadapannya. "Kasian dia ya, Mas. Masih kecil sudah ditinggal ibunya." Nadia berseru pelan. Memang terlihat kesedihan di wajah Nadia ketika mengatakan itu. "Ya. Aku berusaha untuk memberikan kasih sayang lebih kepada Fandi. Agar nanti... ketika besar... dia tidak minde
Arkan menjemput Nadia dari rumah sakit dr. Moewardi sore ini. Lelaki yang dikenal Nadia, genap 2 bulan ini, menelponnya tadi pagi. Arkan memberitahu ke Nadia bahwa sore akan dijemput dari tempat kerja dan pergi ke suatu tempat. Ada yang ingin dibicarakan oleh lelaki tampan itu. Karena itulah, tadi pagi Nadia menggunakan taksi online untuk pergi bekerja. Tidak membawa mobil.Saat ini, mereka berdua duduk di restoran yang menyediakan beberapa menu masakan Jepang. Sushi yang beraneka ragam sudah ada di meja mereka saat ini.Arkan yang mengenakan baju kemeja, mempermainkan sumpit di tangan kanan seolah-olah bingung akan memilih makanan yang mana. Sedangkan Nadia melihat menu di meja dengan kening sedikit berkerut."Kamu sudah ketemu dengan orang-orang yang dekat denganku... aku sengaja melakukan itu agar kamu mengerti keadaanku, Nad."Arkan mengambil sepotong sushi yang ber
"Arkan...? Arkan Wiguna...?""Iya, Mba. Kenapa, Mba?"Nadia bertanya penuh rasa penasaran kepada perempuan yang bertubuh gemuk di depannya.Perempuan yang memakai jilbab berpakaian baju PNS berwarna coklat, terdiam. Dia menyibukkan diri dengan makanan yang ada di hadapannya."Kenapa, Mba?" tanya Nadia. Dia semakin penasaran ketika melihat gelagat perempuan itu."Dia teman aku di SMA dulu. Kalian sudah pacaran?" tanya perempuan yang sekarang sedang menyeruput Jus Alpukat di hadapannya. Dia makan dan minum dengan lahap. Wajar saja badannya sangat berisi."Gimana ya? Dibilang pacaran sih, dia belum ada mengungkapkan perasaannya, tapi sikapnya sudah menganggap aku pacarnya. Dia sudah datang ke rumah beberapa kali dan mengajak aku keluar," jelas Nadia. Wajahnya masih sangat penasaran.Nadia tidak tahu kemana arah pembicaraan pere
Tugu... dengan desain patung di atasnya yang berwarna coklat keemasan terlihat di depan stadion bola. Di tugu terlihat 2 patung berdiri di atas cawan. Di depan terlihat patung perempuan berpakaian adat Jawa yang sedang merentangkan busur panah ke arah kiri dengan kepala yang berpaling ke kiri juga. Patung kedua, berada pas di belakang patung perempuan tadi, juga menggunakan pakaian adat Jawa, terlihat seorang pria yang sedang memalingkan kepala ke kiri, melihat sasaran panah yang akan dipanah oleh perempuan di depannya. Tugu ini adalah ciri khas dari Stadion Manahan di kota Solo. Tugu ini terletak di pintu halaman depan sebagai pelambang selamat datang bagi para pengunjung.Arkan memarkirkan mobil mercy hitam di depan Stadion Manahan. Dia memarkirkan mobil tepat di posisi sesuai garis putih. Mematikan mesin dan berusaha untuk membuka pintu mobil, digerakkan selanjutnya."Ayo."Arkan menarik handle pintu, membuk
Dengan canggung, Nadia masuk ke dalam rumah yang lumayan besar. Setelah melalui taman depan rumah yang lumayan luas, Nadia masuk ke ruang tamu dari pintu utama.Ruang tamu yang bercat dominan putih sangat rapi dan teratur. Ada dua set sofa di ruang tamu. Satu set sofa berwarna abu-abu dan yang satunya lagi berwarna putih bersih. Di sofa berwarna putih --di sebelah kanan ruang tamu-- telah duduk seorang wanita yang sudah berumur, sedang mengaji. Wanita yang berusia mendekati 70 tahun ini masih terlihat segar dan sehat. Wanita tua yang masih menggunakan mukena, tertunduk, membaca buku yang ada hadapannya.Jantung Nadia berdetak sangat hebat ketika melihat satu sosok yang entah mengapa sangat ditakutinya saat ini. Bukan takut karena seram, tapi takut jika dia berbuat salah dengan sikap dan perilakunya ketika berhadapan dengan wanita ini."Assalamu'alaikum, Umi."Arkan membuka kata setelah masuk ke dalam ruangan.
"Nad.""Ya, Mas....""Malam minggu ini aku jemput kamu di rumah ya?""Mau kemana, Mas?""Ke rumahku.""Ke rumah, Mas Arkan? Ngapain?""Mau memperkenalkan kamu dengan Mamaku.""Astaghfirullah....""Haloooo... Nadia....""Ouh... iya mas. Ya sudah....""Oke ya. Aku masih ada kerjaan."Arkan menutup telepon.Nadia pucat. Dia terbengong.***Baru beberapa kali Nadia bertemu dengan Arkan. Belum bisa dihitung dengan jari yang ada di kedua tangannya. Tapi kali ini, dokter spesialis yang masih muda mengajaknya untuk bertemu dengan ibunya.Ibu Arkan adalah seorang janda yang Sudah 26 tahun ditinggal suaminya. Ayah Arkan meninggal ketika dia berumur 3 tahun. Ibunya yang ditin
"Kenapa aku harus dibawa-bawa sih?" ujar Tisna sambil berjalan mengimbangi langkah Nadia."Sudah... ikut saja.""Tapi... aku tidak mau menjadi orang yang ketiga, Nad."Tisna berbicara dengan nada yang serius seolah-olah dia emang pantas untuk menjadi idola. Gadis yang berprofesi sebagai perawat mengikuti Nadia dari belakang."Itu mereka!"Nadia tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh temannya barusan. Tapi, dia malah menunjuk ke restoran ternama yang ada di salah satu mall terbesar di Kota Solo dengan bibirnya."Mereka...?"Tisna memandang ke arah yang dimaksud oleh Nadia.Duduk 2 orang lelaki yang memiliki tinggi hampir sama. Dua orang yang terlihat menawan. Sepertinya kedua lelaki ini sangat ekstra menjaga penampilan tubuh mereka.Satu sosok dengan rambut hitam yang sedikit ikal, tertawa ke arah lelaki satunya lagi. Di sa
Arkan duduk di depan teras rumah yang sederhana dengan tenang. Dia menyilangkan kakinya. Kaki kiri menjadi tumpuan. Pria yang memakai baju kaos dan celana jeans, sedang memegang handphone-nya saat ini. Mengetik sesuatu di chat room."Sudah lama datang, Nak Arkan."Arkan terkejut. Handphone yang dipegang hampir lepas dari tangan. Kepalanya langsung ditolehkan ke samping.Tiba-tiba wanita setengah baya keluar dari ruangan membawakan minuman dan sedikit makanan ringan. Tersenyum melihat tingkah tamu putrinya sembari meletakkan baki yang tertata beberapa benda di atasnya."Oh, Tante. Baru saja, Tan."Pria yang memiliki dada bidang, langsung berdiri dan menyalami wanita setengah baya. Dia berusaha untuk menetralisir rasa kaget yang mendera."Ayo, silakan duduk. Nadia di mana ya?"Wanita yang merupakan Ibu Nadia bertanya ke arah Arkan, sembari duduk di kursi plast