"Kita ambil sampel darah Dek Rafi ya, Mba?" Arkan menoleh ke arah Ibu pasien setelah memeriksa tubuh anak laki-laki yang berumur sembilan tahun. Berdiri menghadap ke Ibu Pasien.
"Tidak ada hal yang serius kan, Mas Dokter?"
Ibu pasien yang ternyata adalah Kakak Nadia menimpali pernyataan dr. Arkan dengan cemas.
"Mudah-mudahan tidak, saya hanya memastikan saja. Karena sudah seminggu dari pemeriksaan pertama, suhu tubuhnya kembali naik." Dokter Arkan memberi kode kepada perawat laki-laki yang berada di sebelahnya. Kode agar mengurus anak laki-laki yang sudah diperiksa olehnya.
Perawat yang bertubuh tinggi dan ramping, langsung merapikan pakaian anak laki-laki yang sedang berbaring dalam keadaan sadar. Perawat laki-laki yang memiliki rambut lurus dipotong pendek, membantu Sang Pasien duduk di atas tempat tidur yang dibalut dengan kain berwarna biru muda, pada gerakan selanjutnya.
Ibu pasien, berusaha mengangkat, kemudian memapah anak laki-laki yang kurus, setelah dia melihat dokter spesialis anak yang memakai baju kemeja berwarna otak udang itu duduk kembali di balik meja praktek. Kakak Nadia tersenyum tipis kepada perawat yang berdiri tegak di samping tempat tidur. Kemudian berjalan dengan memapah anaknya menuju kursi pasien di hadapan Sang Dokter.
Nadia terdiam di kursi tunggu, di depan meja praktek. Di sebelah kakaknya. Dia tak ingin banyak bicara. Menunggu kakaknya dengan sabar. Dia sudah berjanji dari rumah tak ingin terlalu banyak bicara ketika bertemu dengan dokter spesialis anak bernama Arkan yang menurutnya mempunyai sifat dingin dan sedikit angkuh.
Setelah pulang dari tempat praktek dokter spesialis ini -seminggu yang lalu- sebenarnya Nadia tak ingin kembali lagi membawa keponakannya berobat kepada dokter yang dilihatnya tiga hari yang lalu di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi. Alasannya karena kejadian seminggu lalu membuat kesan pertama yang tak baik ketika pertama kali berbicara dengan dokter muda ini.
Tapi... Nadin -Kakak Nadia- memaksanya untuk kembali ke praktek dokter spesialis anak yang ada di hadapannya sekarang. Nadin sepertinya sangat tersentuh dengan pelayanan yang diberikan oleh dokter muda itu. Selain itu, tampangnya sangat tampan, indah untuk dipandang, 'sekalian cuci mata,' kata Nadin.
"Percuma tampan tapi perawakannya dingin seperti es," cibir Nadia pada saat kakaknya mengatakan hal itu.
Karena Nadin terus meminta tolong kepada Nadia, akhirnya tubuhnya berakhir di kursi tunggu ruang praktek dokter spesialis anak yang memiliki rambut berbelah pinggir kanan tapi sedikit ikal, hari ini.
Sudah 30 menit Nadia berada di ruangan itu dan dia hanya diam membisu. Yang dilakukan hanya melihat gerak-gerik dokter dan perawat laki-laki sebagai asistennya, bekerja. Perawat laki-laki yang berada di ruangan itu adalah orang yang sudah sering dilihatnya bersama dr. Arkan.
Kali ini tak ada perawat perempuan di dalam ruang praktek. Selama Nadia melihat dan menganalisa gerak-gerik mereka berdua yaitu dokter spesialis anak dan perawat laki-laki yang berbadan kurus dan tinggi, Nadia kagum dengan cara kerja mereka berdua. Nadia melihat mereka sangat profesional dan mereka tidak berbicara masalah yang lain selain berhubungan dengan pekerjaan yang mereka lakukan pada saat itu. Padahal Nadia sudah melihat keakraban mereka berdua ketika di lapangan parkir dan ketika di lobi utama dr. Moewardi tiga hari yang lalu. Dari kejadian itu, Nadia bisa menyimpulkan jika mereka berteman dekat.
Nadia terkadang membandingkan cara kerja dirinya dan Tisna. Mereka terkadang sedikit keluar dari jalur ketika bekerja dan menghadapi pasien. Seperti, tak sengaja membicarakan hal-hal yang tak berhubungan dengan pekerjaan pada saat menghadapi pasien.
Kedua mata Nadia tetap menyorot ke arah dr. Arkan yang sekarang sudah duduk di balik meja praktek. Dia duduk di seberang dokter muda itu, dipisahkan oleh meja praktek, tepat di sebelah kakaknya yang sedang memangku anaknya. Kakaknya, Nadin sudah kembali duduk di kursi, pas berhadapan dengan dr. Arkan, memangku Rafi. Saat ini, pandangan Nadia tertuju kepada perawat laki-laki yang sedang melakukan pekerjaannya, membelakangi mereka bertiga. Dia sangat serius dan tidak ingin mencampuri urusan dokter dan pasien.
"Setelah dari sini, silakan ke Ruangan Sampling ya, Mba. Nanti darah Rafi akan diambil di ruangan itu?"
"Lamakah, Mas Dokter? Hasilnya langsung keluar?" Nadin sengaja memanggil dr. Arkan dengan sebutan mas dokter agar lebih akrab. Ada nada cemas dari pertanyaan yang dilontarkan.
Waktu di awal berbicara, -30 menit yang lalu- ketika bertemu dengan dokter berpenampilan rapi itu, Nadia mendelikkan matanya yang kecil, mendengar kakaknya memanggil dr. Arkan dengan sebutan Mas dokter. Tapi... belum selesai sampai di situ reaksi matanya, karena indra penglihatan itu semakin membesar ketika dokter spesialis anak, menimpali panggilan kakaknya dengan menyebutkan kata Mba.
Sekarang Nadia sudah mendengar kata itu, hampir lima belas kali selama 30 menit terakhir dan dia menanggapi ucapan kakaknya biasa saja, walaupun masih ada rasa geli di hati.
"Tergantung antrian, Mba. Kalau hasil, besok baru bisa diambil." Arkan menyerahkan kertas yang ditulisnya sedari tadi. Wajahnya serius. Tak ada senyum sama sekali.
"Besok?" Nadin terkaget ketika mengambil kertas yang diberikan Arkan. Melongok ke arah dr. Arkan.
Pemuda yang berkulit putih dan memiliki hidung mancung itu hanya mengangguk. Menatap ke arah Ibu Pasien. Lagi-lagi tak ada senyum di wajah. Dia juga tidak menanggapi rasa terkejut lawanbicaranya dengan ekspresi biasa saja. Tidak bertanya dan tidak menanggapi reaksi itu.
"Hanya mengambil saja kan, Mas Dokter? Tidak membawa Rafi lagi?" tanya Nadin dengan segera mengharapkan jawaban positif sesuai harapannya.
"Tidak perlu. Hanya mengambil hasil tes darah dan mengantarnya ke sini,” tukas dr. Arkan.
"Kamu aja Nad yang mengambil hasil tes darah. Kakak enggak mungkin menutup toko lagi besok," nyata Nadin, langsung menoleh ke arah Nadia.
"Apa? Dan besok aku harus bertemu lagi dengan dokter yang dingin ini?"
Nadia memandangi kakaknya seakan mau menunjukkan ekspresi wajah tak setuju.
"Ya. Dan mudah-mudahan tidak bosen bertemu dengan saya...!" celetuk dr. Arkan, memasang senyum yang sangat mempesona dan memperlihatkan senyum itu ke arah Nadia. Senyum pertama kali sedari tadi meladeni pasien yang dihadapannya.
Deg.
Wew...
Pria yang dianggapnya seorang dokter spesialis berkarakter dingin dan sedikit angkuh, ternyata mempunyai senyum yang sangat mempesona.
"Mudah-mudahan, besok, aku melihat senyum itu lagi."
Hati Nadia seperti melayang ketika melihat bibir yang tersenyum di wajah dokter muda yang menatapnya.
"Apa-apaan ini? Sadar kamu Nadia!"
Hati yang melayang itu seketika ambruk dan bertarung dengan sisi hati yang lain.
Hati Nadia terkalahkan karena senyum itu, akhirnya dia setuju atas permintaan kakaknya untuk mengambil hasil tes darah ponakannya. Tentu saja bukan karena permintaan kakaknya. Tapi karena senyum dokter spesialis anak. Namun, dia malu untuk mengakui hal itu. Disimpannya rasa yang baru saja menyisip di dalam hati.
"dr. Arkan sedang istirahat, Mba.""Tapi... sekarang sudah hampir jam 2 siang....""Biasanya setelah makan siang, dr. Arkan langsung Sholat Zhuhur, dia memang selesai istirahat jam 2 siang, baru kembali masuk ke ruang praktek."Perawat perempuan yang berkacamata menjelaskan dengan lembut kepada Nadia.Nadia manyun. Dia hanya bisa keluar dari tempat kerjanya pas istirahat juga. Itu pun... tadi dia izin keluar dari jam 11 siang agar bisa kembali dengan cepat. Ternyata jalanan macet, seharusnya perjalanan dari Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi ke Rumah Sakit dr. Oen Solo Baru,bisa ditempuh dalam waktu setengah jam, akhirnya menjadi satu jam perjalanan.Nadia kembali ke Rumah Sakit Swasta yang berlokasi di Sukoharjo untuk mengambil hasil tes darah keponakannya. Sampai di Ruang Sampling, dia harus menunggu 1 jam lagi. Dan akhirnya hasil tes sudah keluar dan akan diserahkan
"Hai...."Arkan menyembulkan kepalanya dari dalam mobil melalui kaca jendela, keluar. Tersenyum manis. Wajah tampannya terpapar sinar matahari sore. Mobil berhenti di samping gadis yang ditegur.Nadia terkejut. Langkahnya terhenti. Menoleh ke arah asal suara."Bu dokter mau ke mana?"Arkan melihat ke arah gadis yang di tegur, sedang berjalan di lapangan parkir. Kedua mata Arkan yang indah dengan alis mata yang tebal, menatap dengan tatapan yang ramah."Eh... Pak Dokter. Saya mau pulang," tukas Nadia dengan cepat setelah menyadari siapa yang menegurnya dari dalam mobil. Gadis yang berprofesi sebagai dokter umum sedikit menunduk ketika melihat lelaki di dalam mobil."Panggil saja dengan nama Arkan. Ditambah kata Mas juga boleh."Arkan masih tetap berbicara dari balik jendela mobil yang terbuka lebar. Kedua matanya dengan alis mata yang tersusun rapi, seperti menggoda gadis ya
Nadia dengann cepat mengangkat handphone yang berbunyi di meja ruang tamu. Tertera satu nama di layar handphone. Nama yang tertera adalah nama seseorang yang menelepon dia dua malam yang lalu."Halo...."Gelagatnya sekarang sedang mempersiapkan hati yang sudah berdebar-debar."Selamat sore, Bu Dokter....""Ya. Sore juga, Pak Dokter."Nadia berusaha menjawab dengan santai."Saya sedang berada di Jalan Veteran sekarang ini. Rumah Bu dokter di bagian mana?""What?" batinnya menjerit.Nadia terdiam. Di sore Minggu yang tak ada angin atau hujan, dia seakan disambar petir di siang bolong."Halllllloooo...." Suara di ujung telepon bernada mendayu."Ehem... ya... halo...." Nadia gelagapan. Santai sorenya tidak seperti biasa. Sore ini dia sedang menikmati novel koleksinya."Saya sedang di Jala
Di ruangan kerja yang lumayan besar, hanya terdengar satu suara. Suara hiruk pikuk rumah sakit di luar ruangan sudah tidak terdengar lagi.Terdengar suara beberapa ketukan dari laptop di depan meja praktek. Laptop itu seakan tersiksa dengan ketukan jari yang cepat dan terlalu kasar. Jari-jari tangan yang bergerak dengan lincah mengetik sesuatu di laptop dan... terakhir menekan tombol enter dengan mengangkat tangan perlahan tapi jari telunjuk menekan tombol itu dengan ketukan keras pada akhirnya.Tuk.Nadia tampak kesal di balik meja kerja di ruangannya. Sudah tiga hari dokter spesialis itu tidak menghubunginya. Itu yang membuatnya kesal. Pertama kali, dokter muda itu datang ke rumah-Minggu sore-Nadia tak terlalu banyak berbicara karena Ibunya yang menguasai waktu pada saat itu. Dari pertama datang sampai dokter spesialis bernama Arkan itu pulang, selama 2 jam Ibunya ikut nimbrung ke dalam pembicaraan mereka. Nadia tak bi
Tok... tok... tok..."Ya. Masuk...."Nadia masih menundukkan kepala, menulis beberapa kalimat di atas selembar kertas yang ada di meja. Matanya fokus ke tulisan ketika mengatakan kalimat mempersilakan tadi.Terdengar suara pintu terbuka."Pasien selanjutnya ya, Bu Tisna?"Dokter umum yang masih fokus dengan kerjaannya, tidak mengangkat kepala sedikit pun. Pandangannya tetap ke kertas dan terus menulis di benda putih di atas meja praktek. Dia melontarkan kalimat pertanyaan tanpa melihat ke perawat yang tak lain adalah Tisna. Dia tahu pasti kalau yang mengetuk tadi adalah perawatnya. Dia hapal ketukan itu."Ada tamu, Bu dokter. Tapi bukan pasien...."Tisna berbicara sedikit pelan. Dia menyunggingkan senyum kecil. Kedua pundak sedikit naik ketika mengucapkan kalimat terakhir."Lantas...." Tangan Nadia masih sibuk menggoreskan pena ke kertas putih. Kepala belum j
Arkan duduk di depan teras rumah yang sederhana dengan tenang. Dia menyilangkan kakinya. Kaki kiri menjadi tumpuan. Pria yang memakai baju kaos dan celana jeans, sedang memegang handphone-nya saat ini. Mengetik sesuatu di chat room."Sudah lama datang, Nak Arkan."Arkan terkejut. Handphone yang dipegang hampir lepas dari tangan. Kepalanya langsung ditolehkan ke samping.Tiba-tiba wanita setengah baya keluar dari ruangan membawakan minuman dan sedikit makanan ringan. Tersenyum melihat tingkah tamu putrinya sembari meletakkan baki yang tertata beberapa benda di atasnya."Oh, Tante. Baru saja, Tan."Pria yang memiliki dada bidang, langsung berdiri dan menyalami wanita setengah baya. Dia berusaha untuk menetralisir rasa kaget yang mendera."Ayo, silakan duduk. Nadia di mana ya?"Wanita yang merupakan Ibu Nadia bertanya ke arah Arkan, sembari duduk di kursi plast
"Kenapa aku harus dibawa-bawa sih?" ujar Tisna sambil berjalan mengimbangi langkah Nadia."Sudah... ikut saja.""Tapi... aku tidak mau menjadi orang yang ketiga, Nad."Tisna berbicara dengan nada yang serius seolah-olah dia emang pantas untuk menjadi idola. Gadis yang berprofesi sebagai perawat mengikuti Nadia dari belakang."Itu mereka!"Nadia tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh temannya barusan. Tapi, dia malah menunjuk ke restoran ternama yang ada di salah satu mall terbesar di Kota Solo dengan bibirnya."Mereka...?"Tisna memandang ke arah yang dimaksud oleh Nadia.Duduk 2 orang lelaki yang memiliki tinggi hampir sama. Dua orang yang terlihat menawan. Sepertinya kedua lelaki ini sangat ekstra menjaga penampilan tubuh mereka.Satu sosok dengan rambut hitam yang sedikit ikal, tertawa ke arah lelaki satunya lagi. Di sa
"Nad.""Ya, Mas....""Malam minggu ini aku jemput kamu di rumah ya?""Mau kemana, Mas?""Ke rumahku.""Ke rumah, Mas Arkan? Ngapain?""Mau memperkenalkan kamu dengan Mamaku.""Astaghfirullah....""Haloooo... Nadia....""Ouh... iya mas. Ya sudah....""Oke ya. Aku masih ada kerjaan."Arkan menutup telepon.Nadia pucat. Dia terbengong.***Baru beberapa kali Nadia bertemu dengan Arkan. Belum bisa dihitung dengan jari yang ada di kedua tangannya. Tapi kali ini, dokter spesialis yang masih muda mengajaknya untuk bertemu dengan ibunya.Ibu Arkan adalah seorang janda yang Sudah 26 tahun ditinggal suaminya. Ayah Arkan meninggal ketika dia berumur 3 tahun. Ibunya yang ditin
"Aku akan menikahimu, Nad... tapi aku ingin kita tunangan terlebih dahulu, setelah beberapa bulan dan saling mengenal, baru kita menikah...."Arkan mengucapkan kalimat itu dengan jelas dan lugas. Lelaki yang sedang memakai baju kemeja berwarna salem, duduk dengan menegakkan punggung dan menatap lurus ke arah gadis yang di hadapannya. Dia sangat berwibawa dan sopan."Ya... Tuhaaaan...! Apakah ini mimpi...!" jerit Nadia di dalam hati. Hatinya seakan berhenti berdetak sesaat. Kedua matanya menatap ke arah lelaki yang duduk di hadapannya tanpa berkedip.Akhirnya, cerita dongeng yang diharapkan menjadi kenyataan. Seseorang pangeran yang muncul tiba-tiba --dikenal tanpa sengaja-- datang ke rumahnya tanpa janji palsu dan akhirnya akan melamar dia di depan kedua orang tua secara jantan. Nyata. Drama yang sangat diinginkan berlaku di dalam kehidupannya, bukan sebuah skenario yang dibuat oleh manusia.
"Bagaimana dengan, Fandi?" "Apa tuh yang bagaimana?" "Fandi sangat dekat dengan Mas Arkan. Apa dia tidak kangen dengan ayahnya?" Nadia mengambil potongan Sushi dengan garpu. Dia menyucuk ujung garpu ke satu sushi yang terlihat menggugah selera. "Dari kecil, Fandi sudah tinggal bersama kami. Abang iparku, Ayah Fandi... kerja melaut. Tempat dia bekerja di salah satu BUMN terbesar di Indonesia. Jadi kakakku dan Fandi sering ditinggal. Setahun sekali ayah Fandi baru pulang. Jadi... dia tidak terlalu dekat dengan ayahnya." Arkan menyeruput minuman Strawberry Shake yang ada dihadapannya. "Kasian dia ya, Mas. Masih kecil sudah ditinggal ibunya." Nadia berseru pelan. Memang terlihat kesedihan di wajah Nadia ketika mengatakan itu. "Ya. Aku berusaha untuk memberikan kasih sayang lebih kepada Fandi. Agar nanti... ketika besar... dia tidak minde
Arkan menjemput Nadia dari rumah sakit dr. Moewardi sore ini. Lelaki yang dikenal Nadia, genap 2 bulan ini, menelponnya tadi pagi. Arkan memberitahu ke Nadia bahwa sore akan dijemput dari tempat kerja dan pergi ke suatu tempat. Ada yang ingin dibicarakan oleh lelaki tampan itu. Karena itulah, tadi pagi Nadia menggunakan taksi online untuk pergi bekerja. Tidak membawa mobil.Saat ini, mereka berdua duduk di restoran yang menyediakan beberapa menu masakan Jepang. Sushi yang beraneka ragam sudah ada di meja mereka saat ini.Arkan yang mengenakan baju kemeja, mempermainkan sumpit di tangan kanan seolah-olah bingung akan memilih makanan yang mana. Sedangkan Nadia melihat menu di meja dengan kening sedikit berkerut."Kamu sudah ketemu dengan orang-orang yang dekat denganku... aku sengaja melakukan itu agar kamu mengerti keadaanku, Nad."Arkan mengambil sepotong sushi yang ber
"Arkan...? Arkan Wiguna...?""Iya, Mba. Kenapa, Mba?"Nadia bertanya penuh rasa penasaran kepada perempuan yang bertubuh gemuk di depannya.Perempuan yang memakai jilbab berpakaian baju PNS berwarna coklat, terdiam. Dia menyibukkan diri dengan makanan yang ada di hadapannya."Kenapa, Mba?" tanya Nadia. Dia semakin penasaran ketika melihat gelagat perempuan itu."Dia teman aku di SMA dulu. Kalian sudah pacaran?" tanya perempuan yang sekarang sedang menyeruput Jus Alpukat di hadapannya. Dia makan dan minum dengan lahap. Wajar saja badannya sangat berisi."Gimana ya? Dibilang pacaran sih, dia belum ada mengungkapkan perasaannya, tapi sikapnya sudah menganggap aku pacarnya. Dia sudah datang ke rumah beberapa kali dan mengajak aku keluar," jelas Nadia. Wajahnya masih sangat penasaran.Nadia tidak tahu kemana arah pembicaraan pere
Tugu... dengan desain patung di atasnya yang berwarna coklat keemasan terlihat di depan stadion bola. Di tugu terlihat 2 patung berdiri di atas cawan. Di depan terlihat patung perempuan berpakaian adat Jawa yang sedang merentangkan busur panah ke arah kiri dengan kepala yang berpaling ke kiri juga. Patung kedua, berada pas di belakang patung perempuan tadi, juga menggunakan pakaian adat Jawa, terlihat seorang pria yang sedang memalingkan kepala ke kiri, melihat sasaran panah yang akan dipanah oleh perempuan di depannya. Tugu ini adalah ciri khas dari Stadion Manahan di kota Solo. Tugu ini terletak di pintu halaman depan sebagai pelambang selamat datang bagi para pengunjung.Arkan memarkirkan mobil mercy hitam di depan Stadion Manahan. Dia memarkirkan mobil tepat di posisi sesuai garis putih. Mematikan mesin dan berusaha untuk membuka pintu mobil, digerakkan selanjutnya."Ayo."Arkan menarik handle pintu, membuk
Dengan canggung, Nadia masuk ke dalam rumah yang lumayan besar. Setelah melalui taman depan rumah yang lumayan luas, Nadia masuk ke ruang tamu dari pintu utama.Ruang tamu yang bercat dominan putih sangat rapi dan teratur. Ada dua set sofa di ruang tamu. Satu set sofa berwarna abu-abu dan yang satunya lagi berwarna putih bersih. Di sofa berwarna putih --di sebelah kanan ruang tamu-- telah duduk seorang wanita yang sudah berumur, sedang mengaji. Wanita yang berusia mendekati 70 tahun ini masih terlihat segar dan sehat. Wanita tua yang masih menggunakan mukena, tertunduk, membaca buku yang ada hadapannya.Jantung Nadia berdetak sangat hebat ketika melihat satu sosok yang entah mengapa sangat ditakutinya saat ini. Bukan takut karena seram, tapi takut jika dia berbuat salah dengan sikap dan perilakunya ketika berhadapan dengan wanita ini."Assalamu'alaikum, Umi."Arkan membuka kata setelah masuk ke dalam ruangan.
"Nad.""Ya, Mas....""Malam minggu ini aku jemput kamu di rumah ya?""Mau kemana, Mas?""Ke rumahku.""Ke rumah, Mas Arkan? Ngapain?""Mau memperkenalkan kamu dengan Mamaku.""Astaghfirullah....""Haloooo... Nadia....""Ouh... iya mas. Ya sudah....""Oke ya. Aku masih ada kerjaan."Arkan menutup telepon.Nadia pucat. Dia terbengong.***Baru beberapa kali Nadia bertemu dengan Arkan. Belum bisa dihitung dengan jari yang ada di kedua tangannya. Tapi kali ini, dokter spesialis yang masih muda mengajaknya untuk bertemu dengan ibunya.Ibu Arkan adalah seorang janda yang Sudah 26 tahun ditinggal suaminya. Ayah Arkan meninggal ketika dia berumur 3 tahun. Ibunya yang ditin
"Kenapa aku harus dibawa-bawa sih?" ujar Tisna sambil berjalan mengimbangi langkah Nadia."Sudah... ikut saja.""Tapi... aku tidak mau menjadi orang yang ketiga, Nad."Tisna berbicara dengan nada yang serius seolah-olah dia emang pantas untuk menjadi idola. Gadis yang berprofesi sebagai perawat mengikuti Nadia dari belakang."Itu mereka!"Nadia tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh temannya barusan. Tapi, dia malah menunjuk ke restoran ternama yang ada di salah satu mall terbesar di Kota Solo dengan bibirnya."Mereka...?"Tisna memandang ke arah yang dimaksud oleh Nadia.Duduk 2 orang lelaki yang memiliki tinggi hampir sama. Dua orang yang terlihat menawan. Sepertinya kedua lelaki ini sangat ekstra menjaga penampilan tubuh mereka.Satu sosok dengan rambut hitam yang sedikit ikal, tertawa ke arah lelaki satunya lagi. Di sa
Arkan duduk di depan teras rumah yang sederhana dengan tenang. Dia menyilangkan kakinya. Kaki kiri menjadi tumpuan. Pria yang memakai baju kaos dan celana jeans, sedang memegang handphone-nya saat ini. Mengetik sesuatu di chat room."Sudah lama datang, Nak Arkan."Arkan terkejut. Handphone yang dipegang hampir lepas dari tangan. Kepalanya langsung ditolehkan ke samping.Tiba-tiba wanita setengah baya keluar dari ruangan membawakan minuman dan sedikit makanan ringan. Tersenyum melihat tingkah tamu putrinya sembari meletakkan baki yang tertata beberapa benda di atasnya."Oh, Tante. Baru saja, Tan."Pria yang memiliki dada bidang, langsung berdiri dan menyalami wanita setengah baya. Dia berusaha untuk menetralisir rasa kaget yang mendera."Ayo, silakan duduk. Nadia di mana ya?"Wanita yang merupakan Ibu Nadia bertanya ke arah Arkan, sembari duduk di kursi plast