Kedua gadis memakai baju dinas putih bercerita di meja cafetaria dengan ceria. Mereka cekikikan. Menceritakan beberapa hal yang penting dan juga hal tidak penting sama sekali. Makanan dan minuman yang mereka pesan sudah dilahap sampai tak bersisa.
Cafe yang tak jauh dari tempat kerja mereka menjadi tempat alternatif untuk makan siang selain rumah makan padang yang ada di sebelah kantor mereka. Cafe yang menyajikan menu masakan nusantara yang cocok dengan lidah mereka, membuat mereka betah dan sering berkunjung ke cafe tersebut.
Di saat jam makan siang seperti saat ini, pelanggan harus sabar menunggu pesanan mereka. Karena begitu banyak pelanggan yang antri di jam padat seperti siang ini.
Kedua gadis yang bercengkrama tidak memedulikan begitu banyaknya orang di cafe tersebut. Mereka tetap bercerita dan bercanda dengan alur mereka sendiri. Jika bertemu, tak akan habis bahan yang menjadi obrolan bagi kedua gadis itu, tapi mereka tak suka menceritakan aib orang lain. Mereka lebih memilih untuk bercanda mengenai situasi yang sudah mereka lalui atau hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan.
"Terkadang, aku membayangkan kehidupan rumah tangga yang sempurna. Suami yang ganteng, mapan, dapat mertua yang baik dan punya anak yang lucu-lucu. Ah... sangat indah, Tis."
Nadia bercerita dengan penuh semangat sambil memegang tangan teman yang ada di seberangnya.
"Pacar aja belum punya, udah mikirnya ke mana-mana," seru gadis yang di hadapan Nadia. Jarak mereka terhalang dengan meja yang terbuat dari kayu.
"Idih... nanti juga bakal ketemu kok, aku mah santai aja." Nadia sedikit mencibir manja.
"Yakin kamu dalam keadaan santai saat ini?" tanya perempuan berpakaian warna putih secara keseluruhan.
"Huhuhu... tidak Bu..., umurku sudah 25 dan aku belum menemukan jodohku."
Nadia berpura-pura menangis dan berpura-pura menghapus air mata yang tidak ada sama sekali. Dia membuat mimik wajah mewek seperti e-moticon di handphone.
Teman yang di depannya tertawa melihat kelakuan Nadia.
"Seorang Tisna dong ya, yang lagi naik daun sekarang ini, punya pacar pengacara dan beberapa bulan lagi akan menikah." Nadia berseru dan berusaha memuji temannya itu. Sembari mengetuk-ngetukkan jari jemari ke atas meja. Melakukan aksi penekanan pujian yang dilontarkannya.
Gadis yang disebut Nadia bernama Tisna, hanya tersenyum. Dia menyeruput gelas yang sudah kosong. Mungkin gadis itu salah tingkah karena ucapan Nadia. Gadis itu tersenyum kecil.
"Kamu, kenapa sih belum pacaran sampai sekarang?" tanya Tisna setelah menelan minuman yang masuk ke tenggorokannya.
"Apa ya? Pertama mungkin karena aku sibuk. Kedua belum ada pangeran yang hadir secara jantan mendatangi ayah dan ibuku untuk melamar." Nadia berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Tisna. Memasang wajah serius dengan kadar berlipat ganda.
"What?... apa ada zaman sekarang lelaki yang langsung mau ngelamar perempuan yang belum dia kenal? Imposible." Tisna membelalakkan kedua bola mata. Maskara di matanya seakan ingin berontak keluar. Mulutnya terhenti menyedot minuman. Bibirnya sedikit terbuka.
"Hmmm... gimana ya? Aku yakin sih itu bakal terjadi." Nadia mengatakan kalimat harapan sembari mengambil benda di dalam tas dan tangannya langsung membuka benda itu di depan wajah. Dia berkaca. Memeriksa gigi, apakah masih ada sisa makanan yang tertinggal. Kemudian memeriksa lipstik yang tertempel di bibirnya yang menawan.
"Serah lu dah." Tisna mengambil tisu dan menempelkan ke hidung yang berkeringat, setelah merasa puas dengan minuman yang telah habis.
"Aku yakin kok bakal mendapatkan pria yang aku idamkan. Mapan, cakep, kehidupan rumah tangga yang sempurna," harap Nadia. Gadis itu tersenyum kecil. Kaca kecil menjadi saksi senyum menawan yang dipasangnya.
"Seperti drama korea?" ketus Tisna.
"Mungkin tidak persis seperti itu tapi... mendekati."
"Ho-oh." Tisna seakan mengejek pendapat Nadia.
"Kenapa?"
"Nad, kata ibuku, kehidupan berumah tangga tidak seindah yang kita bayangkan. Banyak cobaan di lima tahun pertama dari pengenalan masing-masing karakter pasangan, setelah itu, lima tahun berikutnya akan banyak cobaan dari keluarga di sekeliling kita." Kini Tisna yang berkaca dengan benda kepunyaan Nadia, setelah mengutarakan pendapatnya. Gadis itu merebut benda berwarna coklat muda dari tangan kanan temannya beberapa detik lalu.
"Terus... ngapain kita berumah tangga kalau dikasi cobaan melulu?" tanya Nadia dengan wajah serius.
"Tau' dah gua," jawab Tisna cuek. Melihat ke arah kaca kecil yang diambil dari tangan Nadia tadi.
"Tapi kata dosen reproduksiku, kawin itu cuma lima persen yang enak."
Tisna terpaku. Mulutnya sedikit terbuka menghadap ke cermin kecil berbentuk lingkaran di depannya. "Lah... sembilan puluh lima persen enggak ada enaknya?” Kedua matanya yang kecil berusaha dibesarkan. Melotot ke arah Nadia. Penasaran, apakah pernyataannya benar atau tidak.
"Sembilan puluh persen lagi... enaaaak... tenan." Nadia tertawa cekikikan, setelah mengutarakan kalimat itu.
"Hadeh... sangat tidak lucu." Tapi Tisna tertawa setelah mengucapkan kalimat itu, sembari menutup cermin kecil di tangan kanan.
Nadia dan Tisna sudah lama berteman semenjak mereka kerja di Rumah Sakit dr. Moewardi, sekitar dua tahun yang lalu. Walaupun mereka berbeda profesi, Tisna sebagai perawat sedangkan Nadia sebagai dokter umum, pertemanan mereka tidak terhalang oleh hal itu. Nadia sangat menyukai Tisna karena perawat ini sering membuatnya terhibur dan memiliki sifat apa adanya. Berteman dengan tulus. Nadia tahu akan hal itu.
Mereka sering menghabiskan waktu berdua di jam makan siang, seperti sekarang ini. Curhat mengenai masalah pribadi atau hanya sekedar bercerita kecil masalah pekerjaan dan bercanda ria.
Tisna akan menikah beberapa bulan lagi. Dia siap untuk dipinang oleh seorang pengacara berasal dari Jakarta.
Sedangkan Nadia, sampai sekarang jodohnya pun belum jelas, jangankan untuk dipinang, lelaki yang dekat dengannya juga belum ada. Sepertinya harapan itu terlalu jauh.
Setelah hampir satu jam mereka berada di cafe, Nadia dan Tisna beranjak dari tempat langganan untuk mengisi perut mereka. Tisna melontarkan beberapa guyonan yang membuat Nadia tertawa. Walaupun mereka telah selesai melakukan kegiatan pengisian perut untuk jiwa raga mereka. Malah Tisna semakin semangat bercanda ketika merasa kenyang. Nadia hanya terkekeh dan sedikit menutup mulutnya dengan tingkah laku Tisna yang kocak. Banyak hal yang ditanggapi Tisna dengan candaan, tapi ketika dia serius, maka akan lebih serius daripada Nadia untuk mengungkapkan pendapatnya. Itulah karakter Tisna yang menjadi asisten Nadia di ruangan kerjanya.
Mereka menyebrang jalan untuk menuju ke kawasan Rumah Sakit Dr. Moewardi. Bergandengan tangan, seakan tak ingin melepaskan momen-momen indah di masa muda sebelum mereka membangun rumah tangga yang penuh dengan misteri, konflik dan permasalahan. Mereka mendapatkan cerita-cerita rumah tangga dari orang tua, keluarga atau teman mereka yang sudah berumah tangga. Tapi, walaupun demikian, kehidupan rumah tangga sangat ingin mereka rasakan, terutama Nadia.
Cuaca sore hari yang cerah di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Surakarta sangat tenang. Gedung dan lorong-lorong rumah sakit masih disibukkan oleh beberapa orang yang berlalu lalang, baik sebagai pasien ataupun sebagai staf dan pekerja di Rumah Sakit dr. Moewardi. Bau obat yang khas seperti Rumah Sakit pada umumnya, tercium sangat menyengat. Aura Rumah Sakit dengan dipenuhi oleh orang-orang yang berobat jalan ataupun sebagai pasien bermalam, terlihat jelas dari kondisi manusia yang lebih banyak pasien dibandingkan tenaga medis. Para pengunjung sebagai keluarga yang mengantar atau menjenguk pasien juga membuat Rumah Sakit Umum Daerah itu semakin ramai.Di keramik putih yang berlorong panjang, memiliki tiang-tiang penyanggah untuk atap yang menutupi lorong itu, Nadia berjalan pelan. Dia melewati lorong yang bertiang di kiri kanannya yang berjarak sekitar 1 meter setiap tiang. Tiang-tiang itu dicat berwarna abu-abu. Gadis yang memiliki kulit putih dan bertubuh ra
Mobil hitam Avanza menyusuri jalan komplek perumahan yang masih berbatu, belum beraspal hitam. Mobil itu berjalan dengan perlahan melalui barisan rumah-rumah kecil yang dilihat dari luar dapat dipastikan bahwa rumah itu adalah rumah tipe sederhana.Di sore hari ini, Nadia baru saja pulang dari Rumah Sakit Umum Daerah tempat dia bekerja. Rutinitas yang dilakukannya di hari kerja atau week day. Dengan santai Nadia menyetir menyusuri jalan tak beraspal. Beberapa kali dia melihat kaca spion di kanan untuk mengecek apakah ada kendaraan di belakang yang mengikuti atau akan menyalipnya. Dia waspada karena akan berbelok ke kanan, menuju jalan di depan rumahnya.Merasa aman, Nadia membanting stir ke kanan secara perlahan, kemudian mengendarai mobil hitam, melewati beberapa rumah dari pangkal jalan untuk menuju rumahnya. Rumahnya tepat berada di kanan jalan. Setelah melewati empat rumah setipe dengan rumahnya, Nadia berhenti di depan rumahnya. Turun dari mobil dan membuka pintu
"Iya, Mas. Saya baru saja pulang."Nadia berbicara di balik telepon. Dia sedang duduk bersandar di punggung tempat tidur. Dia berada di dalam kamar tidurnya. Menselonjorkan kakinya, rata dengan tempat tidur. Memanjakan dirinya dengan sikap santai di kamar yang tak terlalu lebar."Mas, sudah pulang kerja?" tanya gadis itu, tentu saja masih di jalur komunikasi elektronik. Ada sedikit nada manja terdengar dari suara Nadia."Oh. Iya... iya, Mas. Enak dong, siang sudah pulang, kan jadinya tidak diatur-atur orang lain karena punya usaha sendiri,” jelasnya lagi. Nadia berusaha mengungkapkan pendapatnya.Gadis berambut panjang itu mengambil bantal dan meletakkan di atas pahanya. Tangan kirinya tanpa sadar memutar-mutar ujung sarung bantal yang berada di paha, berwarna merah muda. Sesekali dia menekukkan batang lehernya bertingkah sedikit aneh, terlihat dari gerakannya. Wajahnya terlihat sumringah."Enggak boleh gitu, Mas. Pamalih, Mas Am sudah dikasi
Nadia menyetir mobilnya secara perlahan, berbelok ke kanan menuju pintu masuk utama rumah sakit. Mobil diberhentikan pas di bawah gapura utama bertuliskan RUMAH SAKIT Dr. OEN SOLO BARU dan dibawah ada tulisan berukuran kecil dibandingkan dengan tulisan di atas tadi yaitu SUKOHARJO.Mesin otomatis untuk parkir juga pas berada di bawah gapura itu. Nadia menghentikan mobil untuk mengambil kertas parkir. Gadis itu membuka kaca jendela dan menekan tombol warna hijau di mesin parkir otomatis, kemudian dia mengambil kertas parkir yang menyembul keluar dari satu bibir di mesin itu.Nadia kemudian kembali menutup kaca jendela mobil dengan menekan satu tombol sekali, menjalankan kendaraan itu dan mengambil ke kanan, mengarah ke lapangan parkir."Besar rumah sakitnya ya, Dek?"Seorang perempuan yang duduk di kursi tengah untuk penumpang tiba - tiba berkata. Dia sedang memeluk seorang anak laki - laki yang duduk
Lorong utama Rumah Sakit dr. Moewardi sangat ramai dikunjungi pasien setiap hari. Begitu juga dengan pagi ini. Berbagai macam manusia dengan tingkah, gaya dan bau beraneka ragam sudah berkumpul di lorong itu. Padahal matahari belum sampai sepenggalahan di hari ini. Tak tahu mengapa hari ini begitu banyak manusia yang berlalu lalang dan berdiri di lorong utama.Nadia berusaha berjalan di lorong utama menuju lobi dengan berhati-hati agar tidak berbenturan dengan orang lain. Sesekali dia menebarkan senyum kepada orang yang berselisih jalan dengannya, terutama dengan tenaga medis yang dikenalnya.Gadis yang memakai baju dinas berwarna putih, lebih menyerupai seperti jas, ingin menuju ke ruangan administrasi. Ada beberapa berkas yang ingin dilihat. Ketukan sepatunya terdengar cepat, dia berjalan seperti biasanya, lincah dan gesit. Kelincahan juga teruji dengan menghindari beberapa orang di lorong yang berjalan dengan seenaknya. Tak memedulikan or
"Kita ambil sampel darah Dek Rafi ya, Mba?" Arkan menoleh ke arah Ibu pasien setelah memeriksa tubuh anak laki-laki yang berumur sembilan tahun. Berdiri menghadap ke Ibu Pasien."Tidak ada hal yang serius kan, Mas Dokter?"Ibu pasien yang ternyata adalah Kakak Nadia menimpali pernyataan dr. Arkan dengan cemas."Mudah-mudahan tidak, saya hanya memastikan saja. Karena sudah seminggu dari pemeriksaan pertama, suhu tubuhnya kembali naik." Dokter Arkan memberi kode kepada perawat laki-laki yang berada di sebelahnya. Kode agar mengurus anak laki-laki yang sudah diperiksa olehnya.Perawat yang bertubuh tinggi dan ramping, langsung merapikan pakaian anak laki-laki yang sedang berbaring dalam keadaan sadar. Perawat laki-laki yang memiliki rambut lurus dipotong pendek, membantu Sang Pasien duduk di atas tempat tidur yang dibalut dengan kain berwarna biru muda, pada gerakan selanjutnya.Ibu pasien, berus
"dr. Arkan sedang istirahat, Mba.""Tapi... sekarang sudah hampir jam 2 siang....""Biasanya setelah makan siang, dr. Arkan langsung Sholat Zhuhur, dia memang selesai istirahat jam 2 siang, baru kembali masuk ke ruang praktek."Perawat perempuan yang berkacamata menjelaskan dengan lembut kepada Nadia.Nadia manyun. Dia hanya bisa keluar dari tempat kerjanya pas istirahat juga. Itu pun... tadi dia izin keluar dari jam 11 siang agar bisa kembali dengan cepat. Ternyata jalanan macet, seharusnya perjalanan dari Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi ke Rumah Sakit dr. Oen Solo Baru,bisa ditempuh dalam waktu setengah jam, akhirnya menjadi satu jam perjalanan.Nadia kembali ke Rumah Sakit Swasta yang berlokasi di Sukoharjo untuk mengambil hasil tes darah keponakannya. Sampai di Ruang Sampling, dia harus menunggu 1 jam lagi. Dan akhirnya hasil tes sudah keluar dan akan diserahkan
"Hai...."Arkan menyembulkan kepalanya dari dalam mobil melalui kaca jendela, keluar. Tersenyum manis. Wajah tampannya terpapar sinar matahari sore. Mobil berhenti di samping gadis yang ditegur.Nadia terkejut. Langkahnya terhenti. Menoleh ke arah asal suara."Bu dokter mau ke mana?"Arkan melihat ke arah gadis yang di tegur, sedang berjalan di lapangan parkir. Kedua mata Arkan yang indah dengan alis mata yang tebal, menatap dengan tatapan yang ramah."Eh... Pak Dokter. Saya mau pulang," tukas Nadia dengan cepat setelah menyadari siapa yang menegurnya dari dalam mobil. Gadis yang berprofesi sebagai dokter umum sedikit menunduk ketika melihat lelaki di dalam mobil."Panggil saja dengan nama Arkan. Ditambah kata Mas juga boleh."Arkan masih tetap berbicara dari balik jendela mobil yang terbuka lebar. Kedua matanya dengan alis mata yang tersusun rapi, seperti menggoda gadis ya
"Aku akan menikahimu, Nad... tapi aku ingin kita tunangan terlebih dahulu, setelah beberapa bulan dan saling mengenal, baru kita menikah...."Arkan mengucapkan kalimat itu dengan jelas dan lugas. Lelaki yang sedang memakai baju kemeja berwarna salem, duduk dengan menegakkan punggung dan menatap lurus ke arah gadis yang di hadapannya. Dia sangat berwibawa dan sopan."Ya... Tuhaaaan...! Apakah ini mimpi...!" jerit Nadia di dalam hati. Hatinya seakan berhenti berdetak sesaat. Kedua matanya menatap ke arah lelaki yang duduk di hadapannya tanpa berkedip.Akhirnya, cerita dongeng yang diharapkan menjadi kenyataan. Seseorang pangeran yang muncul tiba-tiba --dikenal tanpa sengaja-- datang ke rumahnya tanpa janji palsu dan akhirnya akan melamar dia di depan kedua orang tua secara jantan. Nyata. Drama yang sangat diinginkan berlaku di dalam kehidupannya, bukan sebuah skenario yang dibuat oleh manusia.
"Bagaimana dengan, Fandi?" "Apa tuh yang bagaimana?" "Fandi sangat dekat dengan Mas Arkan. Apa dia tidak kangen dengan ayahnya?" Nadia mengambil potongan Sushi dengan garpu. Dia menyucuk ujung garpu ke satu sushi yang terlihat menggugah selera. "Dari kecil, Fandi sudah tinggal bersama kami. Abang iparku, Ayah Fandi... kerja melaut. Tempat dia bekerja di salah satu BUMN terbesar di Indonesia. Jadi kakakku dan Fandi sering ditinggal. Setahun sekali ayah Fandi baru pulang. Jadi... dia tidak terlalu dekat dengan ayahnya." Arkan menyeruput minuman Strawberry Shake yang ada dihadapannya. "Kasian dia ya, Mas. Masih kecil sudah ditinggal ibunya." Nadia berseru pelan. Memang terlihat kesedihan di wajah Nadia ketika mengatakan itu. "Ya. Aku berusaha untuk memberikan kasih sayang lebih kepada Fandi. Agar nanti... ketika besar... dia tidak minde
Arkan menjemput Nadia dari rumah sakit dr. Moewardi sore ini. Lelaki yang dikenal Nadia, genap 2 bulan ini, menelponnya tadi pagi. Arkan memberitahu ke Nadia bahwa sore akan dijemput dari tempat kerja dan pergi ke suatu tempat. Ada yang ingin dibicarakan oleh lelaki tampan itu. Karena itulah, tadi pagi Nadia menggunakan taksi online untuk pergi bekerja. Tidak membawa mobil.Saat ini, mereka berdua duduk di restoran yang menyediakan beberapa menu masakan Jepang. Sushi yang beraneka ragam sudah ada di meja mereka saat ini.Arkan yang mengenakan baju kemeja, mempermainkan sumpit di tangan kanan seolah-olah bingung akan memilih makanan yang mana. Sedangkan Nadia melihat menu di meja dengan kening sedikit berkerut."Kamu sudah ketemu dengan orang-orang yang dekat denganku... aku sengaja melakukan itu agar kamu mengerti keadaanku, Nad."Arkan mengambil sepotong sushi yang ber
"Arkan...? Arkan Wiguna...?""Iya, Mba. Kenapa, Mba?"Nadia bertanya penuh rasa penasaran kepada perempuan yang bertubuh gemuk di depannya.Perempuan yang memakai jilbab berpakaian baju PNS berwarna coklat, terdiam. Dia menyibukkan diri dengan makanan yang ada di hadapannya."Kenapa, Mba?" tanya Nadia. Dia semakin penasaran ketika melihat gelagat perempuan itu."Dia teman aku di SMA dulu. Kalian sudah pacaran?" tanya perempuan yang sekarang sedang menyeruput Jus Alpukat di hadapannya. Dia makan dan minum dengan lahap. Wajar saja badannya sangat berisi."Gimana ya? Dibilang pacaran sih, dia belum ada mengungkapkan perasaannya, tapi sikapnya sudah menganggap aku pacarnya. Dia sudah datang ke rumah beberapa kali dan mengajak aku keluar," jelas Nadia. Wajahnya masih sangat penasaran.Nadia tidak tahu kemana arah pembicaraan pere
Tugu... dengan desain patung di atasnya yang berwarna coklat keemasan terlihat di depan stadion bola. Di tugu terlihat 2 patung berdiri di atas cawan. Di depan terlihat patung perempuan berpakaian adat Jawa yang sedang merentangkan busur panah ke arah kiri dengan kepala yang berpaling ke kiri juga. Patung kedua, berada pas di belakang patung perempuan tadi, juga menggunakan pakaian adat Jawa, terlihat seorang pria yang sedang memalingkan kepala ke kiri, melihat sasaran panah yang akan dipanah oleh perempuan di depannya. Tugu ini adalah ciri khas dari Stadion Manahan di kota Solo. Tugu ini terletak di pintu halaman depan sebagai pelambang selamat datang bagi para pengunjung.Arkan memarkirkan mobil mercy hitam di depan Stadion Manahan. Dia memarkirkan mobil tepat di posisi sesuai garis putih. Mematikan mesin dan berusaha untuk membuka pintu mobil, digerakkan selanjutnya."Ayo."Arkan menarik handle pintu, membuk
Dengan canggung, Nadia masuk ke dalam rumah yang lumayan besar. Setelah melalui taman depan rumah yang lumayan luas, Nadia masuk ke ruang tamu dari pintu utama.Ruang tamu yang bercat dominan putih sangat rapi dan teratur. Ada dua set sofa di ruang tamu. Satu set sofa berwarna abu-abu dan yang satunya lagi berwarna putih bersih. Di sofa berwarna putih --di sebelah kanan ruang tamu-- telah duduk seorang wanita yang sudah berumur, sedang mengaji. Wanita yang berusia mendekati 70 tahun ini masih terlihat segar dan sehat. Wanita tua yang masih menggunakan mukena, tertunduk, membaca buku yang ada hadapannya.Jantung Nadia berdetak sangat hebat ketika melihat satu sosok yang entah mengapa sangat ditakutinya saat ini. Bukan takut karena seram, tapi takut jika dia berbuat salah dengan sikap dan perilakunya ketika berhadapan dengan wanita ini."Assalamu'alaikum, Umi."Arkan membuka kata setelah masuk ke dalam ruangan.
"Nad.""Ya, Mas....""Malam minggu ini aku jemput kamu di rumah ya?""Mau kemana, Mas?""Ke rumahku.""Ke rumah, Mas Arkan? Ngapain?""Mau memperkenalkan kamu dengan Mamaku.""Astaghfirullah....""Haloooo... Nadia....""Ouh... iya mas. Ya sudah....""Oke ya. Aku masih ada kerjaan."Arkan menutup telepon.Nadia pucat. Dia terbengong.***Baru beberapa kali Nadia bertemu dengan Arkan. Belum bisa dihitung dengan jari yang ada di kedua tangannya. Tapi kali ini, dokter spesialis yang masih muda mengajaknya untuk bertemu dengan ibunya.Ibu Arkan adalah seorang janda yang Sudah 26 tahun ditinggal suaminya. Ayah Arkan meninggal ketika dia berumur 3 tahun. Ibunya yang ditin
"Kenapa aku harus dibawa-bawa sih?" ujar Tisna sambil berjalan mengimbangi langkah Nadia."Sudah... ikut saja.""Tapi... aku tidak mau menjadi orang yang ketiga, Nad."Tisna berbicara dengan nada yang serius seolah-olah dia emang pantas untuk menjadi idola. Gadis yang berprofesi sebagai perawat mengikuti Nadia dari belakang."Itu mereka!"Nadia tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh temannya barusan. Tapi, dia malah menunjuk ke restoran ternama yang ada di salah satu mall terbesar di Kota Solo dengan bibirnya."Mereka...?"Tisna memandang ke arah yang dimaksud oleh Nadia.Duduk 2 orang lelaki yang memiliki tinggi hampir sama. Dua orang yang terlihat menawan. Sepertinya kedua lelaki ini sangat ekstra menjaga penampilan tubuh mereka.Satu sosok dengan rambut hitam yang sedikit ikal, tertawa ke arah lelaki satunya lagi. Di sa
Arkan duduk di depan teras rumah yang sederhana dengan tenang. Dia menyilangkan kakinya. Kaki kiri menjadi tumpuan. Pria yang memakai baju kaos dan celana jeans, sedang memegang handphone-nya saat ini. Mengetik sesuatu di chat room."Sudah lama datang, Nak Arkan."Arkan terkejut. Handphone yang dipegang hampir lepas dari tangan. Kepalanya langsung ditolehkan ke samping.Tiba-tiba wanita setengah baya keluar dari ruangan membawakan minuman dan sedikit makanan ringan. Tersenyum melihat tingkah tamu putrinya sembari meletakkan baki yang tertata beberapa benda di atasnya."Oh, Tante. Baru saja, Tan."Pria yang memiliki dada bidang, langsung berdiri dan menyalami wanita setengah baya. Dia berusaha untuk menetralisir rasa kaget yang mendera."Ayo, silakan duduk. Nadia di mana ya?"Wanita yang merupakan Ibu Nadia bertanya ke arah Arkan, sembari duduk di kursi plast