"Nona harus makan, kalau tidak nanti kami akan diamuk oleh Tuan Langit," bujuk pelayan yang bernama Rina.Leta menggeleng lemah, akhir-akhir ini memang nafsu makannya berkurang. Namun, untuk kali ini Leta malah sama sekali tak mau makan."Nanti kalau aku sudah lapar pasti aku akan makan. Tolong jangan paksa aku ya," mohon Leta."Tidak bisa, Nona. Ini adalah perintah dari Tuan Langit. Bekerja sama lah dengan kami, Nona. Kalau Nona tidak mau makan, bagaimana nasib kami? Pasti kami dipecat dari pekerjaan ini. Tolong kasihanilah saya, Nona," mohon pelayan itu.Leta menghela napas berat. "Baiklah, aku akan makan sekarang."Leta langsung menyuapkan nasi itu ke dalam mulutnya. Dia berusaha keras mengunyah makanan itu agar bisa segera menelannya.Sudah tiga suap Leta menyuapkan nasi, akhirnya dia tidak kuat. Wajahnya tampak tegang karena sepertinya dia merasakan sesuatu yang akan keluar dari kerongkongannya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah agar makanan yang tadi dia telan tidak keluar
Langit mengernyit heran ketika mendapat pesan dari Leta.Pria itu mengetuk-ngetuk jarinya di meja seraya berpikir lama. Bertanya-tanya untuk apa wanita itu meminta izin untuk pergi apotek."David," panggil Langit dengan tegas."Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Menurutmu seseorang ke apotek untuk membeli apa?" tanya pria itu dengan sorot mata tajam.David yang mulanya menundukkan kepalanya kini mendongak, memberanikan diri menatap wajah bosnya."Apotek itu tempat berbagai jenis obat, Pak. Jadi ya seseorang itu tidak jauh-jauh untuk membeli obat," jelas David.Langit mendengkus keras. "Kamu pikir aku nggak tahu apotek itu tempat apa, hah?! Aku cuma tanya kenapa seseorang itu tiba-tiba pergi ke apotek padahal selama ini kondisinya baik-baik aja! Bukankah itu terdengar aneh?"David menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.'Ya mana saya tahu, Pak. Memangnya saya ini peramal yang serba tahu isi hati seseorang?' gerutu David dalam hati."Yang pasti terjadi sesuatu dengan tubuhnya sehingga
"Kalau sampai kamu membohongiku, awas saja. Aku tidak akan memberikanmu ampun!" ancam Langit. Pria itu memegang stir mobil itu dengan sangat erat. Kentara sekali kalau sedang menahan emosi.Leta langsung membuang pandangannya ke sebelah jendela. Takut, itulah yang ia rasakan. Bukan karena takut karena dia beralasan sakit kepala, tapi dia takut kalau apa yang dia pikirkan benar terjadi.Tak berselang lama mereka pun tiba di rumah sakit. Leta menggigit bibir bawahnya, rasa gugupnya semakin menguat ketika melihat Langit melepas sabuk pengamannya."Turun!" kata pria itu dingin.Leta menghela napas pelan, mau tak mau dia pun ikut turun dari mobil itu.Leta memandang bangunan rumah sakit itu seraya menelan salivanya dengan susah payah. Tanpa sadar kedua tangannya meremas ujung bajunya.Langit tersenyum licik ketika melihat kegugupan Leta. Dia tahu kalau saat ini Leta tengah berbohong padanya."Kalau sampai benar kamu membohongiku, habis kamu, Aleta!" ancam Langit.Lagi dan lagi Langit mempe
"Langit," panggil Leta pelan."Hemm." Pria itu menjawab dengan gumaman saja, sepertinya enggan berbicara dengan Leta."Kamu ini kenapa sih? Kok terkesan menjauh gitu dari aku, aku mau ngomong loh sama kamu, Langit. Ini penting!" desak Leta."Nggak ada, besok aja ngomongnya. Aku capek. Emangnya nggak ada waktu buat besok ya?" sinis pria itu.Ada, tentu saja ada. Masih ada hari esok, esoknya lagi dan juga seterusnya. Pertanyaannya apakah Langit sengaja membiarkan hubungan ini semakin berlarut-larut? Tidak, Leta sama sekali tak menginginkannya.Sudah tiga hari ini, sepulang dari rumah sakit dan ketika Leta dinyatakan hamil, sikap Langit jauh sangat berubah. Kalau kemarin-kemarin pria itu bersikap dingin, kasar, dan selalu bertindak sesukanya, saat ini pria itu seolah-olah tengah menghindar darinya. Leta tak tahu juga penyebabnya apa.Harusnya dia senang dengan hal itu, otomatis pasti Langit juga akan segera pergi meninggalkannya, kan? Namun, sayangnya sampai detik ini pria itu masih belu
"Aku tidak setega itu membunuh orang yang aku cintai." Langit terlihat mengepalkan tangannya ketika mengucapkan hal itu."Lalu kenapa sampai sekarang Leta belum pulang. Ibuku khawatir dengan keadaannya," ungkap Satria."Apa ibumu tidak memberitahumu tentang Leta?" tanya Langit seraya mengambil rokok dari bungkusnya.Gerakan Langit yang seperti itu jelas membuat dahi Satria mengernyit."Sejak kapan kamu merokok?" tanya pria itu tak percaya."Sejak sekarang.""Aku serius bertanya. Selama ini Leta selalu membanding-bandingkan aku dengan kamu. Katanya aku ini beda banget sama kamu yang nggak suka ngerokok, kok sekarang kamu--""Apa pedulimu? Lagian aku jarang juga melakukannya. Btw ini rokok kok rasanya nggak enak? CK! Pantas saja rokok murahan gini," decak pria itu.Satria memutar bola matanya malas, dia merebut bungkus rokok yang ada di tangan Langit."Kalau nggak enak nggak usah minta. Namanya juga orang miskin, otomatis rokoknya murah," balas Satria sengit.Langit tak menyahut, dia as
"Ada apa, Bang?""Kamu di mana?" tanya Satria di ujung sana."Aku lagi di ... lagi di rumah teman," jawab Leta dengan suara gugup."Kamu nggak usah bohong! Kamu lagi di rumah Langit, kan? Apa selama ini dia menyiksa kamu? Cepat kasih tahu alamatnya biar aku jemput sekarang!" tegas Satria.Leta menggigit bibir bawahnya, harusnya dia kasih tahu saja, kan, apa yang sebenarnya terjadi? Lantas mengapa saat ini dia dilema?"Abang udah tahu?" Bukannya menjawab, Leta malah balik bertanya."Ya, Abang udah tahu semuanya. Termasuk kehamilan kamu itu. Sekarang kamu di mana? Pulang! Biar Abang yang jemput!" desak Satria."Berarti Abang juga udah tahu kalau aku ini udah ni--""Aleta, hentikan!" bentak Langit.Leta segera memutar tubuhnya, dia melihat Langit tengah berdiri di ambang pintu. Tunggu! Kenapa wajah pria itu terlihat marah?"Let! Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Satria, tampak begitu khawatir, karena dia juga mendengar suara Langit."Bang, udah dulu ya. Nanti aku telpon lagi.""Leta! Janga
"Ibu nggak apa-apa kalau Leta nggak pulang-pulang?"Satria yang baru saja masuk ke dalam rumah ibunya langsung menanyakan hal itu, dia ikut duduk di samping ibunya yang saat ini sedang menonton televisi."Kamu ini datang-datang bukannya ngucapin salam malah nanya kayak gitu, anak siapa sih kamu, kok nggak ada sopan-sopannya, apa orang tuamu nggak ada ngajarin kamu sopan santun?" dengkus Tika.Satria meringis. "Assalamualaikum Ibu, gimana kabarnya," ucapnya seraya menyalami tangan Tika."Gitu dong, ini baru anak Ibu.""Salamnya kok belum dijawab, Bu?" protes Satria."Waalaikumussalam.""Kabarnya gimana, Bu?" tanya Satria lagi."Masih ingat Ibu kamu?" sindir Tika."Ya ampun, Bu, kok nyahutnya gitu amat, ketus banget sama anak sendiri.""Lah, harusnya kamu nyadar dong, kenapa baru sekarang datang nyariin Ibu, kemarin-kemarin ke mana aja?""Astaga, Bu, kemarin aku lagi sibuk banget sama kerjaan. Ini aja lagi senggang makanya aku sempat-sempatin ketemu Ibu.""Oh, jadi kalau lagi senggang a
"Huek!"Langit menatap wanita itu datar, dia membiarkan Leta menumpahkan semua isi perutnya di wastafel.Sudah beberapa menit pria itu berdiri di sana, sepertinya tak ada tanda-tanda pria itu akan pergi."Huek!"Lagi-lagi Langit berdecak, sepertinya jengah mendengar suara Leta."Kamu bisa mati kalau kayak gini terus, Aleta," geram Langit.Badan Leta tampak gemetar, karena dia tidak ingin muntah lagi, dia membasuh wajahnya dan mulutnya dengan perlahan.Melihat Leta tampak ingin pergi, Langit segera menuntun wanita itu untuk segera keluar dari kamar mandi."Pasti obat itu nggak pernah kamu minum, kan?" decak Langit. "Lihat, baru muntah beberapa hari saja badan kamu udah tampak kurusan, selain tidak pernah minum obat, sepertinya kamu juga jarang makan," alibi pria itu."Aku makan, tapi makanannya aku muntah lagi," bantah Leta."Makanya obat anti mualnya diminum.""Udah juga kok.""Kalau udah ngapain kamu masih muntah?" tanya Langit sengit."Ya mana aku tahu," balas Leta tak kalah sengit.
"Apa yang kamu lakukan?!"Langit menatap David berang, lalu pandangannya beralih ke arah Mahendra dan Leta.Dia bernapas lega karena melihat Leta tampak baik-baik saja, meskipun menggigil ketakutan. Dengan cepat Langit mendekati Leta, mendekap tubuh wanita itu dengan erat serta menghujani beberapa kecupan, lalu tali yang mengikat tangan wanita itu dilepas serta benda yang ada di mulut juga dilepas."Kamu nggak apa-apa?" tanya Langit khawatir.Leta menggeleng. Kenyataannya keadaannya memang tidak baik-baik saja. Langit pun menuntun Leta ke sofa untuk duduk."Astaga! Dia sudah mati. Kenapa kamu melakukan hal sekeji ini?!" pekik Axel. Dia yang lebih dulu menghampiri Mahendra usai tumbang.Pekikan Axel jelas saja membuat Langit dan Leta tersentak, kecuali David.Ya, ternyata sebelum Mahendra berniat menembak Leta, David yang lebih dulu memulainya. Entah dari mana pria itu datang, yang pasti salah satu dari mereka tidak ada yang menyadari kedatangan David."Orang seperti itu memang harus d
"Saya akan segera menyusul Anda, saat ini saya sedang dalam perjalanan," ujar David yang panggilannya langsung diangkat oleh Langit."Sebenarnya apa yang sedang kamu rencanakan, David? Apa yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Langit to the poin."Saya tidak menyembunyikan apapun dari Anda, Pak. Saya berani bersumpah. Kalau perlakuan saya tadi membuat Anda curiga, saya mohon maaf. Tadi sebenarnya saya ingin menghubungi pihak polisi, saya menyuruh Anda pergi duluan agar mereka terkecoh, Pak. Maaf kalau sudah membuat salah paham," jelas David panjang lebar."Kau sedang tidak membohongiku, kan?""Tidak, Pak. Saya berani bersumpah. Bahkan saya selalu mengingat kata-kata saya untuk Anda, saya akan selalu mengabdikan seluruh kehidupan saya pada Anda."Langit mendengkus keras. "Aku tidak suka omong kosong. Nggak usah bicara seperti itu, kamu berhak menentukan hidupmu sendiri. Aku sudah sampai, aku akhiri dulu panggilannya.""Pak, tunggu. Saya harap Anda harus hati-hati, mereka itu licik. Saya
"Hai, Langit."Langit tersentak ketika mendengar suara laki-laki. Dia kembali melihat ke layar ponselnya untuk memastikan jika tadi dia tidak salah melihat. Setahunya nomor Leta yang menghubunginya."Siapa kau? Kenapa bisa ponsel istriku ada di kamu? Jangan macam-macam!""Hahaha, bagaimana kalau satu macam? Istrimu sangat cantik, rugi rasanya kalau tidak macam-macam.""Berengsek! Siapa kau sebenarnya?!" umpat Langit. "Berikan ponselnya pada istriku, cepat!""Hahaha, kenapa kamu tampak begitu ketakutan, Langit? Di mana sifat angkuhmu seperti biasanya itu?""Jangan main-main denganku kalau kamu nggak mau terjadi sesuatu di kehidupanmu, sialan! Cepat berikan ponselnya pada istriku!""Nggak! Aku mau nunggu kamu sengsara dulu baru aku bakal balikin, bahkan istrimu juga bakal aku balikin sekalian ke kamu. Tapi tunggu aku puas dulu ya, hahaha. Sampai jumpa, Langit. Ingat, jangan macam-macam kalau ingin istri kamu selamat!" ancam pria itu, tak lama kemudian panggilan itu terputus."Sialan! Ap
"Jadi di sini tempat tinggal Langit sekarang?""Rumahnya banyak. Tapi aku yakin dia bakal tinggal di sini, karena ini adalah rumah utamanya."Axel manggut-manggut ketika mendengar penjelasan Mahendra."Dengar-dengar dia udah nikah. Nggak tahu sama wanita yang kamu maksud atau bukan," ucap Axel seraya mengembuskan asap rokok dari bibirnya."Oh ya?" Mahendra tersenyum sinis. "Jelas saja dengan wanita yang sama, karena dia sangat cinta mati dengan wanita itu."Axel tak menyahut, dia hanya mengedikkan bahunya acuh."Aku beritahu kamu sesuatu, sebenarnya wanita yang saat ini menjadi istrinya Langit pernah menjadi istriku."Mulut Axel menganga lebar. "Maksudnya dia jatuh cinta dengan mama tirinya begitu? Wah, ini benar-benar skandal luar biasa."Axel berdecak berkali-kali, sungguh heran dengan sebuah fakta yang baru dia ketahui."Bukan. Mereka sebenarnya sudah saling jatuh cinta dari dulu. Mereka dulu sepasang kekasih namun secara paksa aku renggut kebahagiaan mereka dengan menikahi wanita
"Bagaimana bisa?" Sentak Langit."Saya juga tidak tahu, Pak. Saya yakin ini ada campur tangan orang-orang yang tidak menyukai Anda."Langit menghela napas gusar. Mendengar kabar bahwa Mahendra sudah keluar dari penjara satu bulan lalu jelas membuatnya terkejut. Masalahnya yang jadi pertanyaan siapa yang menjamin pria itu? "Sudah kamu telusuri?"Langit yakin sebelum David menceritakan semuanya pasti pria itu akan menelusuri sampai ke akar-akarnya."Ini baru dugaan, ada pria bernama Axel yang membantunya. Setahu saya Axel ini pernah menawarkan Anda kerjasama, akan tetapi Anda menolaknya karena menurut Anda kurang menguntungkan, meskipun Anda waktu itu menolaknya secara halus tetap saja mungkin dia merasa tersinggung."Langit kembali menghela napas. "Axel? Kamu tahu sendiri kenapa alasan aku menolak tawaran pria itu. Dia kerja asal saja, tidak mementingkan keselamatan konsumen, itu yang membuatku menolaknya. Kalau memang dia yang menyelamatkan tua bangka itu biarkan saja. Aku ingin lih
"Jaga Leta ya, Langit."Langit mengangguk. "Ibu tenang saja, pasti aku akan selalu jaga Leta. Saat ini dia adalah prioritas utamaku.""Cuma saat ini aja?" tanya Satria dengan pandangan menyipit. "Atau sampai Leta melahirkan baru kamu kembali mengacuhkannya?""Selamanya." Langit melirik pria itu dengan sinis, ada saja tingkahnya yang membuatnya jengkel."Oh, siapa tahu, kan? Bisa aja--""Bang!" tegur Leta. "Apaan sih, nggak usah sinis gitu kenapa sama suami aku. Nanti kalau Abang punya istri, aku sinisin balik emangnya Abang terima?" Satria tersenyum kecut. "Bercanda aja kok, gitu aja--""Bercanda boleh aja, tapi lihat kondisi juga. Nggak mungkin, kan, Abang nggak bisa bedain yang mana waktunya serius sama yang mana waktunya bercanda?" Leta kembali menyela ucapan Satria."Iya, iya." Satria pasrah saja.Pria itu harus bisa menjaga perasaan adiknya karena selama Leta hamil, dia itu gampang sensitif."Udah, udah. Kalian ini kenapa sih ribut terus, nggak enak kalau didengar sama tetangga,
Menikah dengan Langit entah mengapa banyak keraguan yang menyusup di hati Leta.Wanita itu juga bingung dengan hatinya. Mungkin karena meragukan perasaan pria itu, atau dia kecewa karena mengetahui sebuah fakta bahwa suaminya terjerat kasus tabrak lari yang menimpa Mahendra, meskipun sebenarnya dia bersyukur karena ulah Langit, Mahendra belum sempat melakukan apapun padanya. Namun, di sisi lain dia merasa kurang suka dengan tindakan Langit. Intinya saat ini hati Leta benar-benar begitu bingung.Menurut Leta, Langit adalah pria yang sangat baik, lebih malahan. Selama menjadi istri pria itu, Langit tak pernah berbicara kasar, tidak memperlakukannya dengan tindakan semena-mena, yang ada malah Langit sangat tulus padanya. Lalu, mengapa Leta masih meragukan pria itu?Wanita itu menghela napas berat."Astaga! Apa yang aku pikirkan," gumam wanita itu seraya menggeleng pelan. Tak lama setelah itu ponsel Leta berdering, dia langsung mengambil ponselnya yang tak jauh darinya.Tanpa sadar bibir
"Kamu beneran ingin niat serius dengan adikku?" tanya Satria memastikan."Menurutmu? Apa mengajak seorang wanita menikah adalah sesuatu lelucon?" tanya Langit balik."Aku serius bertanya padamu!" geram Satria."Aku pun demikian. Meskipun kamu menentang kami, aku tidak akan menyerah. Selama ini aku membiarkanmu membawa Leta ke mana pun kamu pergi, tapi sayangnya kamu menyia-nyiakan kesempatan itu. Kamu selalu bilang kalau Leta tidak butuh aku, dan anak yang dikandung Leta tidak membutuhkan peran ayahnya. Nyatanya apa, bahkan kamu sendiri pun tidak mampu untuk membiayainya." Langit tersenyum sinis.Sedangkan Satria, pria itu tak terima dengan ucapan Langit. Dia mengepalkan tangannya."Atas dasar apa kamu bicara seperti itu, huh?!""Kenapa? Nggak terima? Memang kenyataannya seperti itu, kan? Apa selama ini kamu peduli dengan Leta? Kalau aku nggak ada di tempat yang sama dengan Leta waktu itu, aku pun nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dia. Asal kamu tahu, beberapa kali bidan men
"Semua sudah saya telusuri, tapi memang tidak ada tanda bukti-bukti jejak kejahatan mereka, Tuan."Mahendra mendesah berat. Kecewa karena sampai detik ini Putra belum juga mendapatkan bukti bahwa Langitlah yang membuatnya kecelakaan."Kamu yakin?" tanya pria itu memastikan."Iya, Tuan. Cctv pun sudah saya cek, tapi memang tidak ada yang mencurigakan. Saya rasa kecelakaan Tuan itu memang murni kecelakaan, bukan campur tangan orang lain."Mahendra menggeleng tegas, jelas saja dia tidak terima dengan ucapan Putra."Nggak! Aku yakin banget kalau dia dalang dari semua ini!" sentaknya."Kalau memang Tuan Langit pelakunya, pasti akan meninggalkan jejak, Tuan. Tapi bukankah malah sebenarnya Tuan sendiri yang ingin menghabisi nyawa Tuan Langit? Atau mungkin itu karma untuk Tuan karena ... sudah berniat--""Tutup mulutmu, sialan! Aku nggak butuh ucapanmu yang nggak bermutu itu!" Suara Mahendra tampak menggelegar."Saya minta maaf, Tuan.""Kalau begitu kamu kembali cari-cari bukti bahwa Langit m