Menerima telepon dari Ibu Mertua yang memberi kabar jika sang istri sedang dibawa ke Rumah Sakit, setelah mengakhiri telepon Ellio segera melangkah pergi dari sana. Ellio merasa harus menemani Riehla. Saat Zena kan Ellio tidak ada di samping Riehla.Mengendarai dengan sedikit cepat membuat Ellio sampai tepat waktu di Rumah Sakit. Saat Riehla baru pembukaan pertama. Ellio berada di samping Riehla.Ellio perhatikan Riehla yang sedang berjuang melahirkan buah hati mereka terlahir ke dunia ini. Ellio yang menggenggam salah satu tangan Riehla, kasihan melihatnya. Betapa besarnya perjuangan Riehla.Riehla terus berjuang hingga suara tangis bayi memenuhi seisi ruangan. Semua yang berada di dalam nampak bernafas lega, begitu pun yang menunggu di luar.Riehla dan Ellio saling bertatapan dengan senyum yang terlukis di bibir keduanya. Ellio bahagia dan terharu dengan apa yang ia saksikan hari ini. Tangan Riehla yang masih digenggamnya, Ellio kecup punggung tangan Riehla."Terima kasih, sayang."
Di bawah foto terdapat kalimat "bukankah sudah aku katakan untuk tidak terlalu bahagia" yang baru saja masuk.Apa maksud foto itu dan si pengirim? Mendadak Ellio tidak bisa berpikir. Diletakannya handphone di atas meja dengan masih memperlihatkan foto Riehla bersama pria bule."Sepertinya pengirim itu berencana memecah belah antara aku dan Riehla dengan mengirim foto seolah-olah Riehla selingkuh. Haruskah aku percaya? Bagaimana jika foto itu editan?" Ellio terus berpikir.Tentu saja ia tidak bisa langsung menyimpulkan. Ini juga menyangkut perasaan Riehla. Bagaimana jika Ellio melukai Riehla?Beberapa jam kemudian...Bukannya sedang bekerja, Ellio yang duduk di kursi kerja tengah memikirkan foto Riehla dan pria bule. Pas sekali dengan kedatangan Randy, Ellio meminta tolong Randy untuk menganalisis apakah foto itu palsu atau asli."Kalau mau mendapatkan hasil yang lebih jelas sebaiknya Bapak hubungi Sekretaris Riehla. Bapak bisa bertanya di mana mereka menginap.""Kamu benar. Sebaiknya
Saat Randy membuka pintu setelah mengetuk seperti biasa, Randy terkejut dan langsung berjalan cepat menghampiri Ellio yang tiduran di sofa dengan telapak tangan yang mengeluarkan darah lumayan banyak. Darah yang sudah berceceran di lantai.Randy cemas melihat kondisi Ellio yang bahkan wajahnya pucat. Randy pun menelepon seseorang untuk membawakan kotak p3k.Ellio yang tidak tidur sama sekali, mendudukkan diri. Randy duduk di samping Ellio. "Apa yang terjadi? Kenapa Bapak bisa melukai tangan Bapak?""Apa ini akhirnya yang sesungguhnya?" Tanpa menatap Randy."Maksud Bapak apa?""Saya gak ingin percaya ...."Seorang office boy masuk, memberikan kotak pada Randy. Randy segera obati luka Ellio yang tidak peduli jika luka-nya sesakit itu dan jika darah yang keluar sebanyak itu.Ketika Riehla sedang duduk di teras depan Rumah, menjempur Eden, Riehla lihat Ellio yang sudah pulang. Riehla perhatikan Ellio sampai keluar dari dalam mobil yang sudah terparkir di pelataran Rumah."El," sapa Riehla
Sendirian di meja makan membuat Riehla nampak seperti akan menangis. Padahal ia sudah membuatkan sandwich untuk Ellio tetapi Ellio pergi seperti itu saja ke Kantor. Riehla semakin merasa bahwa sepertinya ia punya salah.Ini kali pertama mereka seperti ini lagi setelah kembali bersama. Muncul Zena yang sudah berpakaian rapi siap ke Sekolah. Riehla tarik kursi untuk Zena, Zena mendudukkan diri."Mama kenapa? Aku perhatikan melamun. Sudah gitu terlihat sedih." Sembari menatap Riehla dari samping."Mama gakpapa." Lalu, tersenyum."Mama sama Papa lagi bertengkar ya? Kalian saling diam gak seperti biasanya."Walau tak sepenuhnya mengerti tentang keadaan, namun Zena terlalu peka jika ada yang beda antara Mama dan Papa-nya. Tentu Zena sebagai seorang anak tidak menginginkan perselisihan antara kedua orang tua-nya."Nggak kok. Mama sama Papa baik-baik saja. Sebaiknya Zena segera makan."Zena tahu bahwa Mama-nya sedang berbohong. Zena makan sandwich itu dengan sesekali menoleh ke arah Riehla ya
Tidak seperti biasanya di mana Riehla terlihat di Ruang Tamu atau tidak ada bau masakan dari arah Dapur, malam ini Rumah itu sunyi. Layaknya Rumah kosong. Ellio langsung melangkah menuju Kamar dan ia lihat sang istri yang sudah tidur dengan posisi miring.Ellio taruh jas di atas nakas, menoleh ke arah Riehla dengan sorot mata sedih. Sudah berapa hari ini tidak ada percakapan menyenangkan antara keduanya. Tentu keadaan seperti itu tidak baik.Belum berganti pakaian Ellio keluar Kamar. Saat di depan meja makan, lelaki itu mematung. Ellio tahu Riehla pasti sedih dan kecewa dengan sikap Ellio belakangan ini, tetapi Riehla masih peduli pada Ellio dengan menyiapkan makan malam.Mendudukkan diri, menyentuh mangkuk berisi sup ayam yang sudah tidak hangat. Tiba-tiba Ellio meneteskan air mata. Hatinya semakin hancur dengan keadaan yang ia sendiri tidak tahu harus seperti apa. Ingin melupakan tetapi melihat wajah Riehla mengingatkan pada sebuah 'pengkhianatan'.Air mata itu terus menetes. Dapat
"Zena kenapa?" tanya si Bibi yang berjalan di samping Zena."Apa karena aku ya Mama sama Papa bertengkar? Aku takut kalau nanti gak punya Papa lagi." Sembari menatap lurus ke depan dengan wajah sendu."Bibi yakin kalau Mama sama Papa pasti baikan. Mereka kan saling cinta."Zena menoleh ke arah si Bibi. "Benar kan, Bi? Mama sama Papa gak perlu pisah?""Iya." Seraya tersenyum.Rasa sedih dan frustasi yang sudah memuncak membuat Riehla memilih melarikan diri sejenak. Riehla memang pergi dengan pakaian seperti akan bekerja, namun perempuan itu sedang mengendarai mobil ke daerah Pantai.Riehla merasa perlu menenangkan diri. Sudah memarkirkan mobil, Riehla berjalan ke arah Pantai. Pantai pun mengingatkannya pada Ellio. Riehla bisa saja hanya fokus pada anak-anak, tetapi ia tidak bisa tinggal dengan suami yang sikapnya seolah Riehla tidak ada.Apa mungkin keputusan Riehla menikah dengan Ellio itu salah? Riehla pikir jika ia menolak ajakan menikah itu semua tidak akan seperti ini. Tidak perlu
Riehla tidak melarikan diri, ia kembali pada keluarga-nya. Namun, ada yang beda dengan perempuan itu. Bukannya memilih diam karena tidak mengerti dengan sikap Ellio yang tidak juga memberi alasan mengenai sikapnya yang berubah. Riehla terlihat benar-benar mengabaikan Ellio.Seperti saat ini di mana mereka berkumpul di Ruang Tamu, Ellio yang duduk di sofa single, terus memperhatikan anak dan istrinya yang bermain, dan menyadari jika Riehla sejak pulang tidak menaruh perhatian sama sekali padanya.Tidak ada yang Riehla katakan bahkan sekali pun tidak menatap Ellio. Riehla hanya sibuk dengan Zena dan Eden.Ellio merasa bahwa mungkin sikapnya telah merubah Riehla menjadi tidak peduli. Melihat hal itu pun Ellio semakin takut jika Rumah Tangga-nya benar hancur. Ellio tidak ingin hal itu terjadi. Apa pun yang terjadi ia akan mempertahankannya.Beberapa saat kemudian...Riehla masuk ke dalam Kamar untuk meletakkan Eden di tempat tidurnya yang sudah tidur. Ellio yang terduduk di kasur dengan b
Betapa terlihat menyedihkannya lelaki satu itu yang duduk sendirian di meja makan. Menikmati sandwich sebagai menu breakfast yang sejak beberapa saat lalu hanya digigitnya sedikit. Ia rindu hari-hari bersama istri dan anak-anaknya. Kini, ia sendiri dan itu semua karena kesalahannya.Rasa sesal pun memenuhi diri Ellio yang merasa jika semua telah berakhir. Mungkin sebelumnya Ellio bisa menggenggam kembali tangan Riehla, tetapi kali ini rasanya terlalu tidak mungkin untuk Riehla kembali padanya."Kamu benar, Rie. Gimana mungkin aku gak percaya sama kamu. Gimana bisa aku langsung percaya saja," gumam Ellio dengan wajah sendu.Sementara di kediaman Ani, mereka sedang menikmati sarapan nasi uduk di meja makan. Riehla yang sembari menggendong Eden, memperhatikan Zena berbicara dengan Ani.Zena masih terlihat seperti biasanya walau Riehla yakin Zena tidak mungkin sepenuhnya baik-baik saja. Hanya saja Zena tidak mengungkapkan apa yang ada di hati dan kepala-nya. Riehla tahu pasti ada kesediha
Ada yang kebakar tapi bukan dengan api. Sudah 3 hari ini Kenzo tak ada kabar sama sekali. Terlebih Zena melihat postingan Kenzo seperti bersenang-senang dengan orang-orang asing itu. Tak satu pun yang wajahnya Zena kenal.Zena pikir selama kepergian lelaki itu Kenzo akan rajin memberi kabar. Nyatanya..."Kamu bisa membuatnya jatuh cinta kepada-mu meski dia tak cinta." Yura yang duduk di samping Zena di sofa panjang, bernyanyi menggoda Zena."Kayaknya memang gak cinta," ujar Zena sembari menatap handphone di mana layar penuh wajah Kenzo. Zena sedang melihat-lihat foto pada sosial media Kenzo."Cinta, Na. Kalau gak ada rasa gak mungkin kelihatan ngedeketin gitu." Masih dengan menatap Zena.Zena menoleh ke arah Yura. Menatap Yura dengan wajah serius. "Gak bisa, Yura."Yura membalas dengan wajah tak kalah serius. "Kelihatan banget kalau kamu gak mau kehilangan Kenzo. Masih mau menolak keberadaannya?"Diam itulah yang sedang Zena lakukan. Zena masih bingung dengan dirinya sendiri. Di satu
Sejak dari tempat permainan hingga kini berada di salah satu Restaurant yang dilakukan Kenzo hanya diam dengan terus mengawasi anak-anak itu. Sungguh seperti seorang pengasuh.Kenzo yang duduk tepat di hadapan Zena melihat betapa perhatiannya Adit pada Zena. Pemuda yang duduk di samping Kenzo itu benar-benar memperlihatkan ketertarikannya pada gadis cantik dan lembut inceran Kenzo."Habis ini kamu langsung pulang atau mau ikut jenguk Resti?" tanya Dania pada Zena."Ikut.""Aku ikut," ujar Adit.Kenzo yang mendengar itu rasanya ingin ikut juga tetapi nanti terlihat aneh. Adit sih sah-sah saja jika ikut, Adit kan sahabatnya Resti juga."Besok saya melakukan penerbangan ke Singapore dan akan berada di sana selama satu minggu, Na." Sembari menatap Zena.Zena yang jelas mendengar ucapan Kenzo, memilih diam. Kenzo yang melihat itu tentu sedikit sedih karena tidak mendapat respon dari gadis yang ia suka.Beberapa saat kemudian...Zena sudah berada di dalam taxi yang melaju bersama Dania dudu
Zena tahu jika semua orang mendukung Zena memiliki hubungan dengan Kenzo. Berjam-jam bersama Kenzo pun membuat Zena menyadari jika ia mulai menyukai Kenzo. Tetapi seragam putih abu-abu itu seperti pembatas bagi Zena.Di hadapannya sudah terdapat dua box pizza beda topping yang terletak di meja kerja. Ya, mereka berada di Ruang Kerja sang Direktur yang tak lain adalah Kenzo."Dimakan, Na." Yang duduk di kursi kerja-nya.Zena ambil sepotong pizza yang digigit kecil. "Habis ini mau pulang apa masih mau di sini?""Pulang saja, Kak.""Ya sudah, nanti saya antar.""Gak usah. Aku bisa naik ojek online." Lalu, menggigit pizza."Lebih baik saya yang antar.""Gak, Kak!" tegas Zena.Jika sudah seperti itu Kenzo hanya bisa diam yang berarti mengiyakan maunya Zena. Belum apa-apa Kenzo sudah belajar mengalah.Bahkan ketika Zena menyuruh Kenzo ikut makan pria matang itu menurut. Seolah Kenzo tidak ingin memulai perdebatan dengan gadis kecil itu.Sama seperti Ellio yang menganggap Zena gadis kecil wa
Buku yang ingin Zena ambil nyatanya terlalu jauh untuk digapainya hingga gadis itu berjinjit dan buku melayang jatuh ke lantai. Untung tidak mengenai kepala Zena. Saat Zena hendak mengambil buku fisika itu terlihat tangan yang lebih besar dan kekar dari tangannya menyentuh buku juga.Tanpa menyingkirkan tangan dari buku Zena yang posisi jongkok, mengangkat kepala dan manik matanya bertemu dengan manik mata Adit. Mendadak entah mengapa momen itu mengingatkan Zena pada buku yang jatuh di Toko buku.Zena berdiri dari jongkok dengan membiarkan Adit yang mengambil buku itu. Adit berikan buku pada Zena yang mengucapkan terima kasih lalu berlalu dari sana mencari tempat duduk masih di Perpustakaan.Buku sudah dibuka tetapi pikirannya malah berada di tempat lain. Mata memang mengarah ke deretan huruf dan angka, tetapi otaknya penuh dengan wajah Kenzo. Niat ke Perpus untuk fokus belajar tetapi...Adit mengambil posisi duduk di sebelah Zena dengan buku yang sama diletakkan di meja. Menatap Zena
Setelah mengantri membeli tiket Kenzo mengajak Zena membeli popcorn. Memberikan popcorn lumayan banyak itu pada Zena. Berjalan ke arah studio tempat film yang akan mereka tonton.Mereka langsung masuk lantaran orang-orang yang menonton di jam sebelumnya telah meninggalkan ruangan. Kenzo yang memegang potongan tiket memimpin jalan mencari tempat duduk mereka.Duduk di bagian bangku yang ada 4 buah. Zena kebetulan berada di dekat dinding. Menaruh cup popcorn di tempat yang tersedia untuk menaruh popcorn atau botol.Sebelum film diputar, handphone yang berada di tas selempang kecil bergetar. Zena segera mengambilnya dan terdapat panggilan video dari Eden."Bisa-bisanya Kak Zena pergi tanpa aku!" keluh Eden. Bibir anak kecil itu pun nampak maju."Lain kali.""Kapan?""Sudah ya, Den. Filmnya mau mulai."Sebelum Eden membuka mulut dengan cepat Zena mengakhiri panggilan video itu. Memasukkan kembali handphone ke dalam tas tak lupa memasang mode diam."Minggu besok kita bisa nonton film lagi
"Kamu suka Zena?" tanya Ellio tiba-tiba dan itu berhasil membuat Zena sedikit tersedak makanan hingga batuk-batuk."Papa apa-apaan sih!" ucap Zena tegas setelah meminum seteguk air bening."Saya gak suka kalau ada yang mau main-main sama putri saya!" Dengan nada tegas dan wajah serius.Zena semakin dibuat tak percaya oleh pria paruh baya itu. Menoleh ke arah Kenzo dengan raut wajah tidak enak. Bagaimana bisa Ellio menanyakan hal seperti itu pada lelaki yang baru 3 kali Zena temui. Itu pun hanya pertemuan singkat."Kalau suka sama Kak Zena gerak cepat deh soalnya yang suka sama Kak Zena bukan cuma Kakak," ujar Eden yang akhirnya ikut bicara. Lalu, memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut."Kalian kenapa sih?!" ucap Zena dengan wajah mulai frustasi dengan kelakuan Papa dan Adik-nya itu."Zena cantik dan kelihatan baik. Siapa yang gak suka sama dia," ucap Kenzo setelah lama terdiam."Kak Kenzo gak perlu merespon perkataan gak jelas Papa sama Eden." Sembari menatap Kenzo."Apa yang saya
"Zena?"Sontak Zura menoleh ke sumber suara di mana seorang lelaki yang ia kenal berjalan ke arahnya. Lelaki yang hari itu terus menatapnya seolah tertarik dengan Zen."Kak Kenzo," ucap Zena sembari duduk.Kenzo mendudukkan diri di samping Zena. "Sendiri?""Lagi nunggu teman.""Saya kira sendiri. Hampir saja saya mengajak kamu makan sama saya."Zena yang mendengar itu dibuat sedikit tak percaya. Kenzo sedang menggodanya atau apa?"Kalau aku sendiri Kak Kenzo mau ajak aku makan?""Iya. Kenapa? Kamu gak mau?""Mau kok asalkan Kak Kenzo yang bayar makanannya.""Tentu saja."Asal ada suara yang terdengar memanggil Zena, bukan hanya Zena yang menoleh Kenzo juga ikut menoleh. Nampak Rasti dan Adit."Loh, kok kamu ikut? Bukannya ada latihan?" tanya Zena yang sudah berdiri. Sembari menatap Adit."Latihannya diganti sore.""Ini siapa, Zen?" tanya Rasti sembari menatap Kenzo yang juga sudah berdiri."Seseorang yang aku kenal.""Maksudnya?" Rasti nampak bingung."Sebaiknya kita segera pergi nant
12 tahun kemudian...Nampak seorang gadis berseragam putih abu-abu yang terduduk di salah satu kursi makan. Menatap nasi goreng dengan telor mata sapi di hadapannya tanpa menyentuhnya sedikit pun. Gadis itu terlihat sudah tergiur oleh nasi goreng di hadapannya. Seperti ingin segera mencicipi, tetapi..."Mari kita makan," kata pria berusia 40'an yang sudah ada beberapa rambut putih yang tumbuh.Dengan cepat gadis itu membaca doa dan menyantap nasi goreng yang terlihat dari wajah gadis itu bahwa ia menyukai nasi goreng tersebut."Gak menghormati yang masak! Masa aku ditinggal makan," protes pemuda berseragam putih-merah. Duduk di samping gadis yang tak lain adalah Kakak-nya."Papa kan belum makan, Eden."Eden tersenyum pada Papa-nya yang bernama Ellio itu. "Selamat makan, Pa.""Selamat makan juga, sayang.""Selamat makan," timpal Zena sembari sedikit mengunyah."Makan tuh gak boleh ngomong." Sembari menatap Zena yang asik dengan nasi goreng-nya. Pemuda berusia 12 tahun itu pun hanya m
"Tiba-tiba mengalami henti jantung dan sekarang sedang Dokter sedang melakukan yang terbaik." Lalu, melangkah pergi dari sana dengan langkah cepat.Ellio termenung. Kakinya mulai terasa lemas dengan perasaan takut kian nyata. Bukan saat-saat manis yang mereka lewati bersama yang mulai bermunculan memenuhi kepala Ellio, melainkan momen ketika Ellio mengabaikan Riehla karena rasa tidak percayanya.Bagaimana jika semua ini terjadi karenanya? Ellio rasa ia telah benar-benar gagal menjadi suami. Bukannya seratus persen membahagiakan Riehla justru Ellio menyakitinya.Digenggamnya kedua tangan untuk menghilangkan rasa gugup yang sedikit pun tidak hilang. Melihat Dokter laki-laki keluar dari dalam sana, rasa dingin yang sedang ia rasakan karena cemas pun semakin menjadi.Tatapan Dokter itu Ellio tidak ingin melihatnya. Ellio tidak ingin Dokter itu mengatakan hal yang tidak bisa Ellio terima."Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan berkata lain. Saudari Riehla telah tiada."DegKalimat sa