Di salah satu kursi Taman, sudah terdapat Ellio dan Riehla. Mereka yang sedang saling diam dengan jarak duduk yang cukup jauh. "Kamu pasti masih berpikir kalau saya keterlaluan."Riehla menoleh ke arah Ellio yang menatap lurus ke depan. "Keterlaluan? Menurut saya nggak. Pak Ellio berhak mengutarakan apa yang Bapak pikirkan, termasuk merekomendasikan buat saya berhenti."Ellio menoleh ke arah Riehla yang sedang menatapnya. "Seharusnya kamu marah. Bahkan kamu bisa saja memaki saya.""Kehilangan kesempatan merekrut Penulis ternama itu bukan hal main-main. Saya tahu kesalahan saya.""Sudah dapat pekerjaan?""Belum mencari.""Bagaimana ka—"Drrrtt drrrttSegera Riehla keluarkan handphone dari dalam saku jaket. Nampak panggilan dari Ayah-nya. "Hallo, yah.""Bisa pulang sekarang? Ibu tiba-tiba pingsan.""Iya, Riehla pulang sekarang." Lalu, mematikkan panggilan."Ada apa?" tanya Ellio."Ada sedikit masalah di Rumah. Kalau gitu saya duluan, Pak." Riehla tinggalkan Ellio.Ellio terus memperhati
"Siapa pria yang tadi mengantar kamu?" tanya Ayah-nya yang juga duduk di sofa panjang dengan manik mata tertuju pada layar televisi.Riehla tatap sang Ayah dari samping. "Ayah percaya kalau Riehla bilang pria itu atasan Riehla?""Melihat dari gaya berpakaiannya, Ayah percaya. Tapi ...." Ayah-nya menoleh ke arah sang putri."Tapi, apa?""Putri Ayah ini cantik dan baik hati. Seorang laki-laki pasti akan menyukainya. Gak menutup kemungkinan kalau Riehla punya hubungan dengan pria tadi."Riehla tersenyum. "Mmm ... melihat reaksi Ayah, pasti Ayah belum siap kehilangan anak Ayah yang cantiknya luar biasa ini.""Sudah sedewasa apa pun seorang anak, pasti akan tetap dianggap seperti anak kecil oleh orang tua-nya," kata Ibu-nya Riehla sembari jalan ke arah kedua orang itu. Mendudukkan diri di samping Riehla, sehingga Riehla berada di tengah-tengah Ayah dan Ibu-nya."Sampai kapan pun, walau Riehla sudah punya anak pun, Riehla tetap gadis kecil Ayah sama Ibu." Lalu, menatap Ayah dan Ibu-nya berg
Duduk saling berhadapan, memperhatikan Pelayan laki-laki yang menaruh beberapa piring makanan di atas meja. "Silakan dimakan," ujar Ellio setelah Pelayan itu berlalu.Riehla coba pasta carbonara itu, lalu muncul seorang pria bertubuh tinggi dengan badan lebih berisi dari Ellio. Seorang lelaki berkulit lumayan cokelat yang terlihat menyeramkan. Bahkan memiliki sebuah tato di leher-nya. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya Ellio."Bisa kalian pergi dari sini?!""Pergi? Maksudnya? Kenapa kita harus pergi dari sini?!" ujar Riehla dengan wajah bingung dan tidak bisa menerima apa yang dikatakan pria dengan kumis tipis itu."Saya ingin makan di meja ini bersama istri saya! Istri saya suka duduk di dekat jendela."Riehla lihat semua meja yang ada di dekat jendela memang sudah penuh, tapi..."Anda mendatangi yang lain pun, mereka gak akan mau pindah. Jadi gak ada alasan buat kami pindah!" ucap Riehla dengan nada tegas dan sorot mata tajam. Ia sedang berusaha untuk tidak terbawa emosi.BrakTiba-t
Baru saja Ellio mendudukkan diri di kursi kerja, pintu terdengar diketuk. Masuk Luna yang berdiri sedikit jauh dari meja kerja. "Ada yang mau saya katakan pada Pak Ellio." Dengan wajah cukup serius."Ada masalah?""Semalam saya telepon Riehla, membujuknya buat kembali. Tapi, sepertinya kita tidak memiliki kesempatan.""Maksudnya?""Riehla bilang kalau hari ini dia ada wawancara kerja.""Sebaiknya kamu kembali ke meja kamu, biar masalah itu saya yang pikirkan." Luna undur diri dari sana.Ellio tidak menyangka bahwa secepat itu. Beberapa hari ini Ellio berusaha untuk meminta Riehla kembali, namun waktu tidak berpihak. Apa Ellio sudah tidak memiliki kesempatan? Apa Riehla benar-benar pergi?Diambilnya handphone yang ada di atas meja. Mencoba menelepon Riehla."Hallo, El.""El?" Sedikit terkejut."Bapak kan bukan lagi atasan saya, jadi gakpapa dong kalau saya panggil nama Bapak.""Walau kayak gitu saya ini beberapa tahun di atas kamu.""Cuma 3 juga. Jadi, ada apa telepon saya?""Kamu lagi
Meninggalkan pekerjaan karena pria lansia yang ada di hadapannya itu lebih penting. Ellio hanya memiliki Kakek-nya yang selama ini sudah cukup baik padanya. Disentuhnya salah satu tangan sang Kakek, lalu salah satu jari nampak bergerak. Wajah Ellio sedikit lebih baik dari sebelumnya. Menunggu Kakek-nya membuka mata. Perlahan mata itu terbuka. Kakek-nya menoleh ke arah Ellio yang memperlihatkan lengkungan manis yang menghiasi bibirnya. Senyum penuh kasih sayang. "Kakek kira manusia yang gila kerja ini, gak akan ada di sini." Dengan nada suara lemah."Mana mungkin saya biarkan Kakek melewati ini sendiri.""Kata siapa sendiri? Kan ada anak perempuan Kakek.""Tante Ana lebih sibuk dari saya.""Mendadak Kakek ingin bertemu Riehla. Bisa suruh kekasih-mu itu ke sini?""Ada banyak kerjaan di Kantor."Kakek-nya menoleh malas ke arah lain, lalu menatap kembali Ellio. "Kakek yakin kalau dia tahu Kakek masuk Rumah Sakit, dia pasti akan ke sini. Riehla itu anak yang baik."Ellio bisa saja menyuruh
Langkah kaki Riehla terhenti. Menoleh ke arah Ellio yang tengah menatapnya. "Sebaiknya kita fokus dengan kehidupan masing-masing. Saya bersyukur gak harus berpura-pura lagi. Saya gak mau terus membohongi Kakek dengan pura-pura kalau kita sedekat itu." Lalu, Riehla melangkah pergi dari hadapan Ellio yang hanya berdiam diri di tempat dengan terus memperhatikan Riehla.***Seorang bernama Lani yang berperan sebagai manager di perusahaan tempat kerja baru Riehla, melangkah masuk dengan seorang wanita cantik berambut hitam lurus sedada yang saat itu diurai dengan pakaian yang membuatnya tampak elegan dan berkarisma. "Riehla," panggil Lani. Lalu, menghentikan langkah kaki di dekat Riehla.Riehla menoleh dan langsung berdiri dari duduk. Tersenyum ramah pada Lani dan wanita yang berada di samping Lani. "Saya mau memperkenalkan kamu dengan pemilik asli tempat ini." Lalu, menoleh ke arah wanita di sampingnya.Wanita itu mengulurkan salah satu tangan. "Iliana." Lalu, tersenyum.Riehla jabat yang
Ellio lepas pelukan Riehla dengan sedikit canggung. Itu semua karena rasa rindu yang ada. Namun, Ellio tidak mengutuk rasa yang sedang ia rasakan itu. "Pak Ellio gakpapa?" tanya Riehla dengan wajah heran. Perempuan itu nampak tidak marah sama sekali."Bukannya di situasi seperti ini kamu seharusnya marah?"Riehla melipat kedua tangan di depan dada. "Saya tahu Pak Ellio, Pak Ellio gak akan bertindak seperti merendahkan orang lain. Jadi, saya pikir mungkin Pak Ellio lagi ada masalah. Butuh tempat untuk bersandar."Tidak mungkin ia mengutarakan perihal rasa rindu itu. "Kalau saya lagi butuh tempat bersandar, apa boleh saya datang ke kamu?"Walau Riehla malam itu di Rumah Sakit mengatakan untuk mereka fokus dengan kehidupan masing-masing, bukan berarti Riehla menjadi orang yang berbeda. Riehla tidak akan pernah lupa apa yang sudah pernah Ellio lakukan. Tanpa berkata sebelumnya, Riehla bawa Ellio ke dalam dekapan. Dielusnya lembut punggung belakang yang cukup kekar itu.Ellio bersyukur ata
Dengan mengeluarkan seluruh tenaga yang dimiliki, Riehla mencoba membuat Ellio yang sudah setengah sadar itu, berdiri. Mengambil jas hitam yang ada di sofa, lalu melangkahkan kaki dengan perlahan. Ellio sungguh berat. "Lain kali kalau mau sampai mabuk kayak gini, minta temanin Pak Randy!" ucap Riehla. Entah Ellio mendengarnya atau tidak. Esok pagi juga pasti tidak ingat.Menghentikan langkah kaki di depan Klub. Tidak mungkin pergi menggunakan mobil Ellio. Siapa yang mengemudi? Naik motor? Dalam keadaan Ellio mabuk? Yang ada Ellio bisa-bisa jatuh di tengah jalan kalau tiba-tiba tidak sadarkan diri.Riehla keluarkan handphone dari dalam tas selempang kecil. Mencoba memesan taksi online. "Mobilnya akan datang dalam 15 menit jadi tahan! Jangan tidur dulu," ujar Riehla sembari menatap Ellio.Tiba-tiba Ellio jongkok, dan Riehla mengikutinya. "Mau muntah?" tanya Riehla.Ellio menggelengkan kepala. "Kepala saya pusing.""Siapa suruh minum sebanyak itu."Menoleh ke arah Riehla. "Kalau bukan ka