Lizzie berkendara ke rumah Levin dan Marie, sedikit merutuk dengan kondisi jalanan yang agak licin dan udara yang dingin. Jika saja bukan karena kecerobohan dan ujian di esok hari, Lizzie akan memastikan dia tidak akan mau keluar di situasi macam ini. Bila dia tidak berusaha paling tidak berpura-pura untuk belajar, kemungkinan besar dia akan gagal dan Lizzie sangat malas untuk mengulang.Tiba di tempat yang dia tuju, gadis itu memarkirkan motor kesayangannya dan melihat kesekeliling. Segalanya masih tampak sama, dan Lizzie merasa seperti agak bernostalgia. Mobil Levin ada di depan tetapi dia tidak melihat ada tanda-tanda keberadaan Marie. Sepertinya dia sedang sibuk di suatu tempat, tapi ada atau tidaknya dia itu bukan hal yang perlu Lizzie gelisahkan. Lizzie memasukan tangannya ke dalam saku mantel yang dia kenakan, mulai meniti ke arah anak tangga dan berjalan menuju pintu kayu. Mengetuk benda itu beberapa kali, sampai jarinya terasa sakit karena anehnya dia tidak mendengar jawaban
Marie manarik napas dalam-dalam, bibirnya mengerucut dan alisnya terangkat menunjukan rasa jijik yang jelas. Ekspresi yang baru kali ini Lizzie lihat sebagai sahabatnya. “Jangan pikirkan aku, aku kemari hanya mau mengambil beberapa barang yang ketinggalan. Aku tidak akan menyela kalian berdua.”“Marie, tidak! ini tidak seperti yang kau pikirkan!” ungkap Levin yang langsung melompat mendekat padanya dari sofa untuk mengejar gadis itu. “Aku bersumpah atas nama Tuhan, sayang, ini tidak—”“Aku tidak mau mendengar apa pun dari mulutmu, Levin! Setidaknya apa yang aku lihat dari situasi ini adalah soal kau yang tidak sabar memasukan milikmu lagi ke dalam lubang gadis itu. Jangan pedulikan aku dan bersumpah atas nama Tuhan di depan mukaku!”Lizzie bangkit dari posisinya, mencoba untuk menganalisa situasi. Terus terang dia sangat gugup sekarang. Dia tidak tahu harus bagaimana menanggapi ini. Mestinya dia mendekat pada mereka atau keluar dari rumah ini, tapi nyatanya kedua kakinya membeku dan d
Tepat setelah kelas berakhir, hal pertama yang Lizzie lakukan adalah mengemas barang-barangnya untuk dia bawa berakhir pekan. Ketiganya sudah sepakat kemana mereka akan menghabiskan waktu. Lizzie akan tinggal di rumah Daxon, Mina akan berada di rumah Smith, dan Armant tentu saja akan menjadi penjaga apartment. Ini adalah sebuah solusi yang adil dan masuk akal untuk kebutuhan privasi mereka bertiga.Mina sudah menjadi orang pertama yang pergi, bisa dilihat dari kekosongan yang ada di kamarnya. Lizzie sendiri masih sibuk memilah apa saja yang perlu dia bawa pergi ke dalam tasnya. Terutama pakaian baru, sebab akhir-akhir ini dia punya kebiasaan buruk meninggalkan barangnya di kediaman pria itu secara sembarangan dan Daxon juga kerap mengeluhkan kecerobohannya.Dia mengambil barang terakhir, sebelum kemudian Lizzie mendengar pintu kamarnya di buka. Ada Armant disana masuk sambil melipat kedua tangan di depan dada.“Oh, sepertinya aku menangkapmu sebelum kau pergi,” katanya, yang tak lama
“Aku sepenuhnya mengerti,” kata Lizzie sambil menganggukan kepalanya dengan penuh keyakinan. “Aku akan menghormati keinginanmu, Marie. Lagipula itu sangat masuk akal, kedepannya jika ada hal lain yang kurang berkenan atau hal yang ingin aku lakukan untukmu, tolong beritahu aku.”Marie mengangguk seraya menghela napas, tampak sangat lega dengan jawaban yang baru saja diberikan olehnya. “Lizzie, terima kasih banyak. Terima kasih sudah berpikiran terbuka untuk hal sesepele ini.”“Menurutku ini tidak sebanding dengan hal buruk yang telah aku lakukan di masa lalu. Jadi biarkan aku menebus dosaku dengan menjadi teman yang suportif untuk hubungan kalian berdua. Terima kasih masih mau menganggapku teman, Marie. Aku—”Belum sempat Lizzie menyelesaikan ucapannya, terdengar bunyi dengungan yang cukup keras. Marie mengernyitkan dahi dan mengeluarkan ponsel dari saku mantelnya, mengacungkan jari menyuruh Lizzie menunggu sebentar.“Ya, betul,” ujar Marie menjawab panggilan tersebut.Lizzie tidak me
Daxon mengangkat Lizzie sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya sendiri, meletakan gadis itu pada meja dekat wastafel yang dingin. Lizzie menggigil karena hawa dingin yang tiba-tiba menerpa kulitnya, tetapi tidak selang lama sebab kemudian Daxon mendorong kedua kakinya agar terbuka lebar. Dia menyingkap roknya dan menundukan kepalanya sekali lagi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lizzie tersentak karena dia merasakan adanya hawa panas yang menyelimuti miliknya. Kali ini Daxon tidak lagi menahan apa pun. Pria itu meraupnya, melahapnya seperti sesuatu yang lezat. Membuat Lizzie tidak mampu melakukan apa-apa selain merintih. Kepalanya bersandar pada dinding, tubuhnya menggeliat mencoba melarikan diri sebelum dirinya menjadi lebih gila. Namun kedua tangan Daxon yang berstagnasi di kedua kakinya, menahan dengan kuat menjaga kedua kakinya agar tetap terbuka. Bahkan ketika Lizzie mencoba untuk menutupnya karena kenikmatan yang dia dapatkan, cengkraman Daxon tidak bergeming sama sekali.
Akhir pekan berlalu lebih cepat dari yang diinginkan oleh setiap orang. Terlalu dini untuk kembali belajar di kampus, dan yang paling Lizzie tidak suka adalah Daxon akan kembali sibuk dengan pekerjaan dan dunianya. Itu sudah pasti, dan tidak bisa terelakan lagi. Nasibnya bahkan jauh lebih buruk dari pada pasangan yang seumur, yakni kurangnya support di saat weekday, dan tidak ada jam pertemuan sebelum masuk kelas ujian. Ini benar-benar menyebalkan buat Lizzie.Kali ini dia sedang makan malam bersama dengan Mina dan Armant, setelah siangnya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Armnat tiba-tiba berdehem dan itu cukup untuk menarik perhatian Lizzie dan Mina.“Ada apa?” Lizzie menjadi yang pertama peka dan bertanya, dia mengalihkan pandangannya dari piring yang berisi makanan menggugah selera buatan Mina. Berkat ujaran yang dikatakan oleh Lizzie, sepupunya Mina juga ikut mengalihkan perhatian kepada Armant.Ketika pemuda itu mendapatkan perhatian dari dua gadis dihadapannya, barulah kini
Satu pekan berlalu begitu saja, lebih cepat dari pada yang diinginkan oleh Lizzie. Dia menjadi semakin gugup dan khawatir tatkala dekat dengan akhir pekan dimana hari ulang tahunnya berada. Dia tidak siap mendapati kenyataan bahwa Daxon akan bertemu dengan orangtuanya. Dia takut dengan apa yang akan dikatakan oleh ayahnya, mengingat ayahnya kemungkinan besar pasti akan berada disana. Dia sama sekali tidak takut ayahnya membenci Daxon, karena Lizzie sudah tidak peduli lagi soal itu. Dia hanya takut bila ayahnya membuat keributan di depan Daxon dan membuatnya malu. Itu masih belum seberapa dibandingkan dengan ibunya yang memang sudah super kepo sejak awal.Karena jika ibunya membenci Daxon, maka itu berarti akhir dari segalanya. Tidak ada jalan kembali, pendapat wanita itu adalah yang paling penting bagi Lizzie. Lebih daripada pendapat Mina dan Armant, sebab wanita itu yang paling tahu segala hal tentangnya. Dia juga tidak akan lagi meragukan naluri dan insting seorang ibu kepada pasang
Lizzie mengambil kesempatan itu untuk menyelinap dari pembicaraan. Dia duduk bersama Armant dan Mina di bar. Gadis itu menghela napas sambil tersenyum ke arah mereka berdua. Segalanya tampak berjalan lancar dan maksimal di titik ini. Daxon dan ibunya mengobrol dengan cara yang baik dan ibunya juga menanggapi dengan sangat ramah, mengobrol tentang hal-hal khusus. Lizzie memainkan tangannya di atas meja, mengamati kebersamaan mereka berdua dengan gugup. Armant menepuk lututnya dan memberi gadis itu sebuah senyuman lembut.“Tidak apa-apa,” ujarnya. “Aku rasa mereka cukup cocok.”“Mereka terlihat selaras dan itu sepertinya angin segar untukmu, sepupu,” timpal Mina pula.Dari sudut pandangnya, Daxon dan ibunya tiba-tiba tertawa dan itu cukup menarik perhatian semua orang. Daxon sedang membuka botol wine yang dibawanya sebagai buah tangan dan mendengar semua hal yang ibunya katakan dengan baik. Dia juga mengeluarkan kertas di meja dan mencatat beberapa poin yang disampaikan oleh wanita itu.
Lizzie mengangguk sambil menarik kemeja Daxon. Pria itu menggigit puncak dadanya, seraya menanggalkan pakaiannya sendiri begitu pula Lizzie yang melakukan hal serupa. Daxon meraih gadis itu dan menciumnya dalam-dalam, membuat mulutnya terasa panas. Daxon kembali meraih sela-sela kaki Lizzie, kali ini melepaskan mainan yang menyumbatnya menciptakan bunyi yang lucu dan basah disana. Lizzie bergidik karena Daxon memeluk erat dirinya ketika sensasi tersebut menyapu dirinya. Sambil melingkarkan lengannya di pinggang Lizzie, Daxon membantu gadis itu untuk duduk dipangkuannya. Lizzie membuka lebar kedua kakinya, seraya memegang bahu Daxon dengan jarinya yang gemetaran. Dengan hati-hati Lizzie memposisikan dirinya di pangkuan Daxon, menemukan bagian diri dari Daxon yang menggodanya ketika dia mencoba memposisikan dirinya disana. Secara perlahan Lizzie meraihnya, menyelipkan bagian itu ke dalam dirinya. Dengan pelan, dengan sangat hati-hati setiap inchi dari bend aitu mulai melesak masuk pada
Tiga tahun kemudian …Lizzie bersenandung seraya meletakan paletnya, mundur selangkah dari posisi untuk mengagumi lukisan baru hasil buah tangannya selama berjam-jam. Bunga-bunga berwarna biru dengan gradasi ungu yang disusun sedemikian rupa di sebuah lapangan yang hijau, sangatlah kontras dengan lukisan yang sebelumnya dia selesaikan dan bertemakan soal medan perang terpencil yang hanya memuat tiga bunga yang tercecer darah dari prajurit. Jika disuruh memilih jelas, Lizzie lebih suka lukisan terbarunya. Tentang ladang bunga yang sedang mekar dan memberikan nuansa penuh kedamaian dan ketenangan di bandingkan lukisan perang. Tentu ada perbedaan signifikan, mulai dari hasil akhirnya sampai pada bagaimana cara dia menyapukan kuasnya dan pemilihan warna juga. Tetapi karena perasaan yang ditimbulkan setelah dia menyelesaikan luksian itu, dia entah kenapa merasakan seperti sebuah kenangan disana. Padahal jelas-jelas Lizzie tidak hidup pada zaman itu. Tetapi lukisan ini adalah representasi a
Ketika itu cukup pagi, Lizzie dan ibunya telah berada di bandara. Armant yang bertugas mengantarkan mereka sampai ke sana, karena Dion harus bekerja, tetapi faktanya Lizzie memang punya niatan untuk pergi pagi-pagi sekali supaya tidak perlu berpamitan dengan pria itu. Sungguh, meski hubungan mereka sudah jauh lebih baik tetapi dia masih saja merasa canggung kepada pria itu. Terlepas dari hal-hal gila yang terjadi diantara mereka berdua yang dipicu oleh Lizzie yang memutuskan keluar dari jalur yang digariskan ayahnya dan memilih menjadi seorang seniman alih-alih menjadi dokter idaman. Tetapi setidaknya hubungan mereka berada sekarang sudah terbilang sedikit lebih sehat dibandingkan sebelum-sebelumnya. Bisa dibilang insiden yang tercipta dari perpisahannya dengan Daxon dua tahun lalu, memberikan sebuah hikmah tersendiri. Lizzie mendapatkan kembali hubungan baik dengan ayahnya. Ya, itu patut disyukuri.Lizzie memeluk mereka berdua sebelum benar-benar pergi. “Kamu tidak merasa terlalu pay
“Aku mencintaimu, Om,” bisik Lizzie, matanya terpejam rapat. “Aku mencintaimu dan aku akan selalu begitu.”Kata-kata itu sesungguhnya kata yang manis, tetapi sekarang saat dia mendengarnya itu jadi begitu menyakitkan. Meskipun memang dia bersungguh-sungguh mengatakannya tetapi setelah dia melakukan sabotase seperti ini. Sudah jelas tidak mungkin pria itu masih ada di balik pintu dan menunggunya, atau mendobrak pintu dan menyangkal penolakan Lizzie terhadapnya. Namun dia tahu, jauh dilubuk hatinya, Lizzie telah menghancurkan segala kemungkinan hal itu terjadi.Dua tahun adalah waktu yang telah dia lewati dalam kesengsaraan, apakah aneh baginya untuk menerima begitu saja kesempatan yang Daxon tawarkan kepadanya? Dan untuk apa semua itu? kesempatan untuk memperbaiki karena saat itu dia belum cukup dewasa? Tapi kesalahan akan terus membayangi dan Lizzie tahu bahwa dia sesungguhnya harus bedamai dengan dirinya dahulu.Meskipun cara memotong ikatannya sangatlah egois, tetapi itu yang terbai
Daxon mengetuk pintu dan kemudian dia mundur selangkah. Dia kembali menatap ponselnya sendiri, tidak untuk menghubungi Lizzie tetapi justru nama Armant yang terdapat disana. Dia membaca ulang seluruh teks yang dikirimkan pemuda itu terhadapnya. Izin telah diberikan…Pintu dibukan dan dia langsung disambut oleh sepasang mata cantik yang telah lama tidak pernah dia lihat. Ada kantung mata yang tercipta dan matanya sedikit membengkak. Sepertinya dia kurang tidur dan sedang putus asa. Kini kedua mata itu dipaksa untuk membelalak lebih lebar.“Daxon …,” bisik Lizzie dengan napas yang terengah-engah.Daxon hanya bisa tersenyum mendengar namanya disebut oleh suara yang teramat dia rindukan. Begitu pula pergerakan bibir itu ketika melafalkannya. Dua tahun tidak banyak mengubah orang rupanya.Dia menatap bibir itu, bibir yang menjadi miliknya dan beberapa kali telah dia cium, diklaim, dan dia gigit ketika tiba pada titik dimana gairah luar biasa menyapu dirinya. Ya, setidaknya hal itu berlaku
Smith menyerbu ke arahnya dan mencoba menghentikan Daxon. Pria itu memandangnya dengan amarah yang menggebu, disertai ekspresi wajah yang tertekan luar biasa.“T-Tidak!” Daxon berteriak ketika Smith menyeretnya untuk masuk kembali ke dalam ruangan. “Smith berhenti! Lepaskan aku sialan!”Smith mendorong Daxon ke lantai seperti pria itu adalah boneka kain. Terlepas dari ukuran dan massa otot Daxon, Smith masih jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu Smith dengan mudah berada diatasnya. Berkuasa atas Daxon dan mengendalikannya seperti seorang ayah yang mencoba menenangkan anak laki-lakinya yang sedang mengamuk dan histeris. Daxon membuka mulutnya untuk terus berteriak tetapi Daxon pada akhirnya menampar pipi pria itu sebelum dia bisa melakukannya.Daxon terkejut.“Ada apa denganmu, Daxon?” bentak Smith. “Demi Tuhan, apa yang ada di kepalamu saat ini? kau sedang bekerja. Ada banyak orang disini, tapi kau sudah kehilangan akal. Ini benar-benar sangat tidak professional.”Daxon menarik nap
Daxon sejujurnya agak malas pergi ke kantor. Tetapi dia harus mengirimkan pakaiannya ke binatu dan semenetara itu dia mulai membersihkan rumahnya yang kacau balau. Melakukan pembersihan sebagai bagian dari pada menjernihkan pikirannya lebih dari sekadar memakan ice cream yang manis. Tetapi ice cream sejujurnya menjadi pendamping yang bagus untuk pesta menonton film horror (Daxon berterima kasih kepada Smith yang meminjamkannya kaset flm horror terbaru) anehnya itu cukup untuk dia jadikan sebagai penghiburan.Daxon menatap arloji di tangan kirinya dan mulai berjalan memasuki kantor dengan bahu yang terasa jauh lebih berat dari pada biasanya. Dia datang satu jam setelah kantor dibuka dan dia melihat sekeliling. Ada mike dan asistennya, Smith yang berada diruangannya. Daxon melirik ke arah seseorang pekerja baru di kantornya. Levin. Pemuda yang disarankan oleh Lizzie kepadanya dan memintanya untuk memberikan orang itu kesempatan. Sesuai dengan perkataan gadis itu, kinerja Levin memang te
Perjalanan pulang benar-benar sunyi. Bahkan suara gemuruh kendaraan roda empat dan dua diluar sana tidak cukup memecahkan keheningan di dalam. Suara deru mesin mobil yang mereka naiki juga tidak banyak membantu membuat suara. Tidak ada kata-kata yang dipertukarkan. Tidak ada yang dikatakan, bahkan saat Lizzie keluar dari mobil Daxon. Keheningan sekali lagi tercipta begitu Daxon pergi dari hadapannya.Lizzie menyeka air matanya dan mengetuk pintu rumah sebelum mencari-cari kunci cadangan yang ibunya berikan. Saat dia mendapatkannya, pintu sudah keburu dibuka dan sayangnya bukan sambutan hangat yang dia dapatkan, melainkan sorot mata dingin dari sang ayah.“Hai Ayah ….”Dion tidak banyak beraksi, dia melangkah ke samping membiarkan Lizzie masuk ke dalam. Gadis itu mencoba mengendalikan dirinya di hadapan sang ayah, tetapi dia merasa tekadnya mulai hilang isi kepalanya carut marut sekarang.“Apakah uh … apa Ibu ada dirumah?”Dion menggelengkan kepalanya. “Dia sedang keluar.”Lizzie menga
“Senang bertemu denganmu, Nak,” kata si lelaki tua itu sambil memperlihatkan cengiran malasnya kepada Daxon. “Kupikir kau tidak akan datang dan mengabaikanku.”“Aku memang tergoda sekali,” kata Daxon. “Kenny, ini Lizzie. Lizzie, tua bangka ini adalah ayahku.”Lizzie menarik napas dan memasang ekspresi wajah yang paling tebal yang pernah dia bisa buat. Dia tersenyum sopan dan menganggukan kepala. “Senang berkenalan dengan Anda.”“Senang—” Kenny memulai, dia memiringkan kepalanya seolah dia mengetahui sesuatu. Lizzie merasa tercekik, tetapi dia menolak untuk terlihat seperti itu di depan ayahnya Daxon. “—bertemu denganmu?”Daxon menaikan sebelah alis, merasakan adanya keanehan diantara ayahnya dan Lizzie. Dia menghela napas. “Aku sadar, dia memang jauh lebih muda dariku.”“Ya, memang. Aku tidak tahu kau penikmat daun muda, bocah,” kata Kenny dengan nada yang jelas sinis. Daxon memandang ke arah Lizzie dan gadis itu hanya angkat bahu. Daxon menyipitkan matanya.“Kalian berdua pernah ber