Cat abu-abu dan biru tercecer diatas kanvas. Kali ini Lizzie sedang mencoba menciptakan pemandangan di bawah laut. Itu memang sedikit tidak biasanya, tapi entah kenapa Lizzie jatuh hati pada sebuah film documenter yang sempat dia tonton tentang kehidupan laut saat dia berada di kediaman Daxon. Dari semua mahluk, dia menganggap ubur-ubur adalah yang paling menarik.Untuk sekarang Lizzie telah berhasil membuat background di kanvasnya, sedikit banyak sesuai dengan ingatannya dan beberapa ornament sesuai imajinasi dan mulai sedikit demi sedikit membuat sketsa ubur-ubur yang akan dia timpa dengan warna lagi. Saat itulah Mina memperhatikan dari sofa, buku-bukunya terlempar ke samping dan catatannya berserakan di lantai. Hujan rintik sedang terjadi, makanya Lizzie berada dirumahnya alih-alih melukis di luar dan merasakan hembusan angin dan terik matahari.Ketika bentuk ubur-ubur telah mulai terbentuk. Gadis itu bersandar, dan menilai bahwa semuanya sudah cukup baik. Dia memberikan jeda wakt
Levin sudah berada dibelakang, bergegas untuk mengisi ruang kosong di sebelahnya. Lizzie hanya bisa memutar mata, berjalan menuju ke salah satu permainan tembak menembak yang kebetulan paling dekat dengan posisinya. Dia mengeluarkan kartu dan menggesekan benda itu pada mesin. Levin juga melakukan hal yang sama, sehingga kini mereka berdua berdiri sejajar disana.“Jangan jadi brengsek, dan tahu dirilah,” kata Lizzie sementara Levin hanya terkekeh. Permainan dimulai dan mereka berdua sama-sama melewatkan adegan pembuka dan langsung masuk ke misi. Keduanya mulai membidik dan bekerja. “Aku menyelamatkan hidupmu bangsat, kau hanya menghalangi permainan.”Levin mengerang saat dia mengisi ulang dan terus menembak tak tentu pada setiap zombie yang muncul di monitor. “Terserahlah, tapi serius. Bisa kau beritahu aku siapa yang mengantarmu waktu itu?”“Bukan urusanmu. Dia temanku, oh shit—fuck you zombie!” ujar Lizzie ketika zombie yang harus dia hadapi makin banyak.“Friends with benefit?” Levi
“Aku tidak akan melakukan tindakan abusive padamu.” Daxon mencibir tatkala mengatakan idenya pada Lizzie. Hanya saja gadis itu tidak habis pikir dengan gagasan si pria yang menurutnya jauh daripada ekspektasi yang dia bayangkan. Padahal Lizzie menunggu-nunggu sekali pertemuan mereka. Tapi yang dia lihat dan dapatkan justru berbanding terbalik. “Pet play bukan tentang hal abusive. Tapi lebih kepada kepercayaan terhadap patner. Memberikan kendali penuh kepada pasangan, mendapatkan pujian. Kau tidak mempermasalahkan hal ini sebelumnya, jadi aku pikir ini saat yang tepat untuk memperkenalkan ide ini kepadamu.” Lizzie langsung memerah. Bagaimana mungkin pria itu tiba-tiba saja membahasa soal ini di muka umum? “Fine! Tapi aku tidak mau menggunakan aksesoris ekor di pantatku.” Seorang pramusaji yang kebetulan lewat sempat tersentak dan menatap mereka berdua dengan pandangan terkejut, mukanya memerah. Untungnya baik Lizzie maupun Daxon tidak terlalu memperhatikan sekitar sehingga dia tidak
Lizzie berusaha sekuat tenaga menahan dirinya sendiri untuk tidak memohon kepada Daxon untuk menyentuhnya lebih intim. Namun dengkuran halus dari Lizzie dan deru napasnya yang memberat sudah cukup menjadi petunjuk bagi si pria dewasa untuk berbuat lebih. Dia menyentuhkan jarinya dengan lembut untuk membelai celah dari bagian dirinya yang menimbulkan erangan panjang dari si gadis yang telah cukup gemetaran dibawah kendalinya. “Oh, lihat dirimu my kitty. Kau sangat membutuhkan sentuhanku ya?” ujar Daxon lembut ujung jemarinya masih memainkan bagian yang mulai basah tersebut. Lizzie mencoba menahan desahannya karena sentuhan ringan namun intens tersebut dibagin dirinya yang paling sensitif. Lizzie hanya dapat memberikan respon dengan anggukan atas ujaran Daxon kepadanya beberapa saat lalu. Nyaris tidak mampu membentuk kata-kata dengan benar karena isi kepalanya kosong melompong. Daxon mulai semakin berani, memasukan jemarinya ke dalam dengan pergerakan yang pelan tapi intens. Lizzie h
Tangan Daxon yang kuat mendarat pada pinggul Lizzie yang bulat, dengan hati-hati memijat ototnya. Lizzie merengek, tekanan yang dia dapatkan dari tangan Daxon membuat bagian dari benda kecil di dalam dirinya menggesek ia. Kemudian dia mulai merasakan adanya tarikan, secara perlahan sebelum merasakan benda itu keluar sepenuhnya dari sana. Lizzie menghela napas lega, lantaran terbebas dari benda itu. Secara tidak sadar menyandarkan kepalanya di lengan Daxon. Lizzie sedikit merintih dalam pelukannya tatkala Daxon mengusap kulitnya yang mulus. “Fuck, Lizzie. Kau harusnya lihat bagaimana dirimu sendiri sekarang,” gumam Daxon. “Bagian dirimu sudah mengemis minta dimasuki. Sangat seksi.” Daxon merobek bungkusan kondom dengan giginya mengeluarkan bagian tubuhnya yang telah mengeras dalam satu gerakan. Lizzie memperhatikan segala upaya persiapan yang pria itu sedang lakukan, sementara tubuhnya sendiri masih gemetaran. Daxon mengusap bagian dirinya yang telah basah, seolah memastikan bahwa Li
Permainan panas yang berepetisi membuat Lizzie jatuh lemas di atas kasur. Dia terlalu lelah untuk menanggapi permainan Daxon, seluruh tubuhnya sudah tidak berdaya dan terlalu lemah. Rasa pegal mulai terasa di seluruh tubuh, terutama dibagian pinggang ke bawah. Untungnya Daxon membiarkan dia meringkuk, membenamkan wajahnya pada bantal sementara si Om sendiri meninggalkan dirinya dan memilih pergi ke kamar mandi.Hanya perlu kurang lebih dari dua puluh menit, Daxon sudah berdiri di dekat pintu kamar mandi mengenakan piyama tidur dengan senyuman yang segar di wajahnya. Dia menjauh dari kusen pintu dan kembali menuju kearah Lizzie yang terbaring ditempat tidur. Tidak mampu sedikit pun untuk menahan diri agar dia tidak menyentuh Lizzie sama sekali. Jemarinya yang gatal menyapukan rambut Lizzie yang basah oleh keringat. Senyuman mengembang dari bibir gadis itu.Dia menarik selimut ke atas bahu Lizzie dan menyelimutinya dengan penuh kasih sayang. Menatap gadis itu lekat-lekat, betapa senangn
Ucapan syukur datang lebih cepat daripada perkiraan dan diantara tugas akhir dari mata kuliahnya sekarang seluruh jadwal sudah sedikit longgar. Lizzie tahu bahwa dia harus pulang ke rumahnya, alasan merindukan masakan ibu adalah alasannya. Tapi pulang ke rumah itu juga berarti dia harus berhadapan dengan ayahnya. Itu membuatnya memikirkan ulang keputusannya.Sebab menghadapi ayahnya sama dengan dia harus kembali diingatkan bahwa dia bukanlah anak ideal yang didambakan oleh sang ayah. Membuat dia harus berkali-kali menghadapi cela bahwa dia adalah seorang anak yang mengecewakan dan gagal.Sejujurnya jika disuruh memilih tentu saja dia akan lebih suka datang ke rumah Daxon untuk liburannya, demi menghindari sang ayah. Tapi dia perlu beralasan dengan cara yang bagus kepada kedua orangtuanya yang akan bertanya-tanya bila dia tidak pulang saat liburan tengah semester tiba.“Oh photografi?”Hasilnya dia pulang ke rumah pada akhir pekan dan membicarakan soal rencana jangka panjangnya.Lizzie
Untuk beberapa alasan Lizzie berpikir bahwa barangkali ayahnya tidak akan pulang karena ibunya bilang dia selalu sibuk di satu minggu terakhir. Jadi Lizzie rasa malam ini kemungkinan dia bisa makan malam bersama ibunya saja. Meski sayangnya anggapan itu terbukti salah lantaran sang ayah tetap pulang meski sedikit terlambat dan bergabung di meja makan bersama mereka.Elliza dengan ceria menceritakan semua hal yang Lizzie katakan padanya seharian ini kepada suaminya, dia juga bahkan memperlihatkan jadwal kelas Lizzie di kampus kepada pria dengan watak dingin tersebut. Melihat pria itu menyipitkan matanya pada kertas yang ada ditangan, saat itu pula Lizzie sadar bahwa badai perdebatan akan segera terjadi cepat atau lambat.Badai? Ah, mungkin dia perlu meralatnya. Lizzie rasa mungkin akan lebih cocok dianalogikan sebagai ranjau darat daripada badai bila berhubungan soal sang ayah bermulut pedas yang kerap kali mendorong mentalnya hingga jatuh ke dasar.“Bagaimana seluruh kelasmu saat ini?
Lizzie mengangguk sambil menarik kemeja Daxon. Pria itu menggigit puncak dadanya, seraya menanggalkan pakaiannya sendiri begitu pula Lizzie yang melakukan hal serupa. Daxon meraih gadis itu dan menciumnya dalam-dalam, membuat mulutnya terasa panas. Daxon kembali meraih sela-sela kaki Lizzie, kali ini melepaskan mainan yang menyumbatnya menciptakan bunyi yang lucu dan basah disana. Lizzie bergidik karena Daxon memeluk erat dirinya ketika sensasi tersebut menyapu dirinya. Sambil melingkarkan lengannya di pinggang Lizzie, Daxon membantu gadis itu untuk duduk dipangkuannya. Lizzie membuka lebar kedua kakinya, seraya memegang bahu Daxon dengan jarinya yang gemetaran. Dengan hati-hati Lizzie memposisikan dirinya di pangkuan Daxon, menemukan bagian diri dari Daxon yang menggodanya ketika dia mencoba memposisikan dirinya disana. Secara perlahan Lizzie meraihnya, menyelipkan bagian itu ke dalam dirinya. Dengan pelan, dengan sangat hati-hati setiap inchi dari bend aitu mulai melesak masuk pada
Tiga tahun kemudian …Lizzie bersenandung seraya meletakan paletnya, mundur selangkah dari posisi untuk mengagumi lukisan baru hasil buah tangannya selama berjam-jam. Bunga-bunga berwarna biru dengan gradasi ungu yang disusun sedemikian rupa di sebuah lapangan yang hijau, sangatlah kontras dengan lukisan yang sebelumnya dia selesaikan dan bertemakan soal medan perang terpencil yang hanya memuat tiga bunga yang tercecer darah dari prajurit. Jika disuruh memilih jelas, Lizzie lebih suka lukisan terbarunya. Tentang ladang bunga yang sedang mekar dan memberikan nuansa penuh kedamaian dan ketenangan di bandingkan lukisan perang. Tentu ada perbedaan signifikan, mulai dari hasil akhirnya sampai pada bagaimana cara dia menyapukan kuasnya dan pemilihan warna juga. Tetapi karena perasaan yang ditimbulkan setelah dia menyelesaikan luksian itu, dia entah kenapa merasakan seperti sebuah kenangan disana. Padahal jelas-jelas Lizzie tidak hidup pada zaman itu. Tetapi lukisan ini adalah representasi a
Ketika itu cukup pagi, Lizzie dan ibunya telah berada di bandara. Armant yang bertugas mengantarkan mereka sampai ke sana, karena Dion harus bekerja, tetapi faktanya Lizzie memang punya niatan untuk pergi pagi-pagi sekali supaya tidak perlu berpamitan dengan pria itu. Sungguh, meski hubungan mereka sudah jauh lebih baik tetapi dia masih saja merasa canggung kepada pria itu. Terlepas dari hal-hal gila yang terjadi diantara mereka berdua yang dipicu oleh Lizzie yang memutuskan keluar dari jalur yang digariskan ayahnya dan memilih menjadi seorang seniman alih-alih menjadi dokter idaman. Tetapi setidaknya hubungan mereka berada sekarang sudah terbilang sedikit lebih sehat dibandingkan sebelum-sebelumnya. Bisa dibilang insiden yang tercipta dari perpisahannya dengan Daxon dua tahun lalu, memberikan sebuah hikmah tersendiri. Lizzie mendapatkan kembali hubungan baik dengan ayahnya. Ya, itu patut disyukuri.Lizzie memeluk mereka berdua sebelum benar-benar pergi. “Kamu tidak merasa terlalu pay
“Aku mencintaimu, Om,” bisik Lizzie, matanya terpejam rapat. “Aku mencintaimu dan aku akan selalu begitu.”Kata-kata itu sesungguhnya kata yang manis, tetapi sekarang saat dia mendengarnya itu jadi begitu menyakitkan. Meskipun memang dia bersungguh-sungguh mengatakannya tetapi setelah dia melakukan sabotase seperti ini. Sudah jelas tidak mungkin pria itu masih ada di balik pintu dan menunggunya, atau mendobrak pintu dan menyangkal penolakan Lizzie terhadapnya. Namun dia tahu, jauh dilubuk hatinya, Lizzie telah menghancurkan segala kemungkinan hal itu terjadi.Dua tahun adalah waktu yang telah dia lewati dalam kesengsaraan, apakah aneh baginya untuk menerima begitu saja kesempatan yang Daxon tawarkan kepadanya? Dan untuk apa semua itu? kesempatan untuk memperbaiki karena saat itu dia belum cukup dewasa? Tapi kesalahan akan terus membayangi dan Lizzie tahu bahwa dia sesungguhnya harus bedamai dengan dirinya dahulu.Meskipun cara memotong ikatannya sangatlah egois, tetapi itu yang terbai
Daxon mengetuk pintu dan kemudian dia mundur selangkah. Dia kembali menatap ponselnya sendiri, tidak untuk menghubungi Lizzie tetapi justru nama Armant yang terdapat disana. Dia membaca ulang seluruh teks yang dikirimkan pemuda itu terhadapnya. Izin telah diberikan…Pintu dibukan dan dia langsung disambut oleh sepasang mata cantik yang telah lama tidak pernah dia lihat. Ada kantung mata yang tercipta dan matanya sedikit membengkak. Sepertinya dia kurang tidur dan sedang putus asa. Kini kedua mata itu dipaksa untuk membelalak lebih lebar.“Daxon …,” bisik Lizzie dengan napas yang terengah-engah.Daxon hanya bisa tersenyum mendengar namanya disebut oleh suara yang teramat dia rindukan. Begitu pula pergerakan bibir itu ketika melafalkannya. Dua tahun tidak banyak mengubah orang rupanya.Dia menatap bibir itu, bibir yang menjadi miliknya dan beberapa kali telah dia cium, diklaim, dan dia gigit ketika tiba pada titik dimana gairah luar biasa menyapu dirinya. Ya, setidaknya hal itu berlaku
Smith menyerbu ke arahnya dan mencoba menghentikan Daxon. Pria itu memandangnya dengan amarah yang menggebu, disertai ekspresi wajah yang tertekan luar biasa.“T-Tidak!” Daxon berteriak ketika Smith menyeretnya untuk masuk kembali ke dalam ruangan. “Smith berhenti! Lepaskan aku sialan!”Smith mendorong Daxon ke lantai seperti pria itu adalah boneka kain. Terlepas dari ukuran dan massa otot Daxon, Smith masih jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu Smith dengan mudah berada diatasnya. Berkuasa atas Daxon dan mengendalikannya seperti seorang ayah yang mencoba menenangkan anak laki-lakinya yang sedang mengamuk dan histeris. Daxon membuka mulutnya untuk terus berteriak tetapi Daxon pada akhirnya menampar pipi pria itu sebelum dia bisa melakukannya.Daxon terkejut.“Ada apa denganmu, Daxon?” bentak Smith. “Demi Tuhan, apa yang ada di kepalamu saat ini? kau sedang bekerja. Ada banyak orang disini, tapi kau sudah kehilangan akal. Ini benar-benar sangat tidak professional.”Daxon menarik nap
Daxon sejujurnya agak malas pergi ke kantor. Tetapi dia harus mengirimkan pakaiannya ke binatu dan semenetara itu dia mulai membersihkan rumahnya yang kacau balau. Melakukan pembersihan sebagai bagian dari pada menjernihkan pikirannya lebih dari sekadar memakan ice cream yang manis. Tetapi ice cream sejujurnya menjadi pendamping yang bagus untuk pesta menonton film horror (Daxon berterima kasih kepada Smith yang meminjamkannya kaset flm horror terbaru) anehnya itu cukup untuk dia jadikan sebagai penghiburan.Daxon menatap arloji di tangan kirinya dan mulai berjalan memasuki kantor dengan bahu yang terasa jauh lebih berat dari pada biasanya. Dia datang satu jam setelah kantor dibuka dan dia melihat sekeliling. Ada mike dan asistennya, Smith yang berada diruangannya. Daxon melirik ke arah seseorang pekerja baru di kantornya. Levin. Pemuda yang disarankan oleh Lizzie kepadanya dan memintanya untuk memberikan orang itu kesempatan. Sesuai dengan perkataan gadis itu, kinerja Levin memang te
Perjalanan pulang benar-benar sunyi. Bahkan suara gemuruh kendaraan roda empat dan dua diluar sana tidak cukup memecahkan keheningan di dalam. Suara deru mesin mobil yang mereka naiki juga tidak banyak membantu membuat suara. Tidak ada kata-kata yang dipertukarkan. Tidak ada yang dikatakan, bahkan saat Lizzie keluar dari mobil Daxon. Keheningan sekali lagi tercipta begitu Daxon pergi dari hadapannya.Lizzie menyeka air matanya dan mengetuk pintu rumah sebelum mencari-cari kunci cadangan yang ibunya berikan. Saat dia mendapatkannya, pintu sudah keburu dibuka dan sayangnya bukan sambutan hangat yang dia dapatkan, melainkan sorot mata dingin dari sang ayah.“Hai Ayah ….”Dion tidak banyak beraksi, dia melangkah ke samping membiarkan Lizzie masuk ke dalam. Gadis itu mencoba mengendalikan dirinya di hadapan sang ayah, tetapi dia merasa tekadnya mulai hilang isi kepalanya carut marut sekarang.“Apakah uh … apa Ibu ada dirumah?”Dion menggelengkan kepalanya. “Dia sedang keluar.”Lizzie menga
“Senang bertemu denganmu, Nak,” kata si lelaki tua itu sambil memperlihatkan cengiran malasnya kepada Daxon. “Kupikir kau tidak akan datang dan mengabaikanku.”“Aku memang tergoda sekali,” kata Daxon. “Kenny, ini Lizzie. Lizzie, tua bangka ini adalah ayahku.”Lizzie menarik napas dan memasang ekspresi wajah yang paling tebal yang pernah dia bisa buat. Dia tersenyum sopan dan menganggukan kepala. “Senang berkenalan dengan Anda.”“Senang—” Kenny memulai, dia memiringkan kepalanya seolah dia mengetahui sesuatu. Lizzie merasa tercekik, tetapi dia menolak untuk terlihat seperti itu di depan ayahnya Daxon. “—bertemu denganmu?”Daxon menaikan sebelah alis, merasakan adanya keanehan diantara ayahnya dan Lizzie. Dia menghela napas. “Aku sadar, dia memang jauh lebih muda dariku.”“Ya, memang. Aku tidak tahu kau penikmat daun muda, bocah,” kata Kenny dengan nada yang jelas sinis. Daxon memandang ke arah Lizzie dan gadis itu hanya angkat bahu. Daxon menyipitkan matanya.“Kalian berdua pernah ber