Jadi kasian sama Darreeennn .....
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya telah tiba. Tepatnya di Glovazi's Restauran, Hexa telah siap dengan penampilan super rapi, setelan jas abu-abu muda juga rambut yang disisir klimis. Semua itu Hexa lakukan demi melancarkan niat baiknya malam ini. Ya, tekad Hexa telah bulat. Dia memutuskan untuk melamar Ardhea setelah sekian lama penantian panjang. Pandangan Hexa tertuju pada kotak beludru yang tersimpan baik di genggaman tangannya. Sebuah cincin emas putih dengan aksen twinkle wave tampak begitu elegan. Persis seperti cerminan sosok Ardhea yang lembut dan pengertian. "Aku sudah berusaha memantapkan diri untuk sampai ke titik ini. Semoga saja, kamu tidak mengecewakanku, Ardhea," gumam Hexa sambil tersenyum simpul. Ditutupnya kembali kotak beludru itu dan sengaja Hexa simpan dalam saku jasnya. Untuk sekarang, Hexa akan sedikit bersabar karena mungkin Ardhea sedang dalam perjalanan menuju ke resto favoritnya ini. Sembari menunggu, sedikit banyak Hexa berlatih untuk tidak gugup. In
Bohong kalau cinta tidak berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Buktinya, Hexa yang biasanya mampu untuk menyapa dengan senyum kini terlihat datar dan tak bersemangat.Sekalipun bersitatap dengan orang yang dikenalnya, Hexa hanya tersenyum seadanya. Tidak menanyakan kabar sebagai basa-basi seperti keramahannya selama ini."Hei, Dokter!"Satu tepukan di bahu Hexa membuat laki-laki berjas putih ala dokter itu membalikkan badan. Sorot matanya seketika tertuju pada Arsen yang entah dari mana muncul."Apa?" Hexa merespon singkat.Arsen yang merasa aneh dengan sahutan temannya ini langsung mengerutkan kening. Dia bahkan sampai harus menaruh tangan ke dahi Hexa, memastikan temannya tidak sedang sakit."Kamu sehat kan? Tumben mukamu sangat kusut begitu."Hexa menepis tangan Arsen lalu berdecak pelan. "Tidak usah lebay! Aku baik-baik saja."Sudut mata Arsen menyipit curiga. "Terus kenapa wajahmu begitu? Seharunya berbahagia karena cincinnya pasti disukai oleh Dhea.""Kau bukan seperti dokter,
“Kenapa melamun?”Suara Darren cukup mengejutkan Dhea. Wanita itu menoleh ke belakang dan melihat kakaknya terlihat sudah rapi.Seperti yang mereka rencanakan. Darren akan pergi ke rumah Elmira untuk mendapatkan maaf juga meminta hak asuh atas bayi yang baru lahir.“Kak, bisa bicara sebentar?” tanya Dhea.Darren menaikkan satu alisnya. Dia melihat raut resah di wajah adiknya itu.“Ya, tentu.” Darren sudah nampak lebih baik sekarang. Penampilannya sudah lebih segar. Bulu halus di dagu telah hilang. Dia juga lebih tenang dan hangat sekarang.Pria itu duduk di depan Dhea, sofa single, samping memperhatikan Dhea.“Ada apa, Ardhea?” tanya Darren.Dhea menggigit bibir bawahnya. Dia sebenarnya ragu mengatakan ini karena takut Darren tersinggung.“Setelah kita berhasil membuatmu diterima oleh keluarga Elmira. Apa aku boleh kembali ke Indonesia?”***Beberapa hari setelah Hexa merasa mendapat penolakan dari Dhea, dia tidak lagi menghubungi perempuan itu.Meski rasanya masih mengganjal.Wajar k
Dhea masuk ke ruang pemeriksaan setelah perawat mengatakan jika Hexa sudah selesai di periksa.“Apa yang terjadi dengan Hexa?” tanya Dhea pada Allice yang sedang bertugas di IGD malam ini. Dia lalu beralih menatap Hexa yang sudah memakai baju pasien. Selang infus sudah terpasang sempurna di salah satu punggung tangannya. Serta pria itu nampak terpejam erat.“Dokter Hexa harus istirahat 100%. Dia terkena tifus. Jadi, paling cepat satu minggu ke depan dia masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kita akan terus meninjau suhu tubuhnya supaya tidak terjadi hal yang lebih buruk lagi,” ungkap Allice.Dhea menghela nafas beratnya. “Bagaimana bisa? Bukannya setiap harinya sepertinya dia baik-baik saja, tidak pernah mengeluh sakit dan sebagainya?” dahi Dhea berkerut, dia benar-benar khawatir melihat kondisi Hexa.“Aku rasa Hexa terlalu sibuk beberapa hari ini hingga dia tidak merasakan perubahan kesehatan dalam tubuhnya. Jam kerja yang tinggi ditambah lagi pola makan yang tidak seimba
Di sebuah ballroom gedung bertingkat yang dihias semegah istana negeri dongeng dengan sentuhan sky blue yang memanjakan mata, sepasang suami istri melangkah mesra menuju panggung utama. Allice Lovania, wanita cantik bergaun indah warna putih gading yang kini menjadi pusat atensi setiap mata yang memandang, tersenyum haru saat rengkuhan di pinggangnya terasa begitu nyaman. Dan siapa lagi kalau bukan dari tangan kekar milik suaminya, Arsenio Mahardika yang tampil gagah dengan tuxedo senada. Ah, rasanya Allice benar-benar kewalahan syukur. Mendapatkan cinta yang begitu besar dari seorang Arsen. Pun dengan sikapnya yang semakin hari membuatnya kian jatuh hati. "Kamu sangat cantik hari ini, Sayangku," bisik Arsen dengan tatapan terpukau ketika bola mata mereka saling bertemu. Rona merah di pipi Allice seketika muncul. Hati ini rasanya kian berbunga-bunga. Tak dipungkiri, walau sudah 7 tahun usia pernikahannya dengan Arsen, tapi setiap pujian yang meluncur dari bibir suaminya itu mampu
“Tenang Arsen, dia sudah jinak,” ucap Hexa kemudian dia beralih pada Darren. "Terima kasih sudah mengantar Dhea ke sini,” sambungnya. "Jangan khawatir. Biar bagaimanpun, aku tetap kakaknya Dhea." Darren tertawa kecil. Ini memang kali pertama Hexa bertemu lagi dengan Darren. Tapi Dhea sudah menceritakan kalau Darren akan hadir di acara Wedding Anniversary Allice untuk meminta maaf. Kini, pandangan Darren tertuju pada Arsen dan Allice. "Selamat untuk anniversary pernikahan kalian ya. Aku turut bahagia. Dan ya, aku ingin meminta maaf atas semua kesalahanku selama ini. Aku sadar, aku terlalu egois." Darren memberikan tangannya pada Arsen ingin menjabat sebagai ucapan selamat. Tapi Arsen disana masih diam mengamati. Dia hampir tidak lagi memiliki kepercayaan pada pria itu. Hingga Darren mengangkat kedua tangannya dan pasrah. “Kamu bisa meminta anak buahmu untuk memeriksaku.” “Emh, Tuan Arsen. Maaf, aku tidak berniat membawa Kak Darren. Dia sendiri yang minta ikut dan sengaja datang
Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Yang semula Dhea pikir hanya perawatan biasa, kini semua asumsinya melenceng sempurna.Dhea menatap pantulan dirinya di sebuah cermin full body. Dengan gaun berwarna peach juga make up natural yang flawless, harus Dhea akui dirinya begitu berbeda.Kening Dhea mengerut bingung. "Sebenarnya, Hexa bakal ajak aku ke mana sih sampai rempong make over aku kayak gini?""Masa cuma beli choco lava cake harus se-perfect ini?" gumamnya penasaran.Saat begitu, ponsel Dhea berbunyi. Benda pipih yang sejak tadi tergeletak di meja kaca di depannya pun segera dia tarik.Dokter Hexa, nama itu tertera disana dan langsung Dhea angkat."Halo? Kamu di mana? Aku sudah selesai, Hexa. Aku benar-benar seperti sedang diculik di sebuah kerajaan. Dipaksa memakai make up dan pakaian indah tanpa tau apa yang harus aku lakukan setelahnya.” Dhea panjang lebar menjelaskan isi hatinya yang kesal sekaligus bingung.Namun hal pertama yang Dhea dengar adalah helaan nafas kekasihny
Allice tidak mengerti, kenapa Arsen seperti ini sejak tiga hari lalu dia ijin ke Singapura. Pria itu terlihat begitu manja.Sama seperti pagi kemarin, Allice terbangun dan sulit untuk beranjak. Sebab Arsen memeluknya terlalu erat. Bahkan enggan untuk melepas.“Sayang .... Aku mau masak.” Allice melihat wajah suaminya yang masih tidur. Tapi kaki dan tangan sudah memiliiki tenaga untuk menahan Allice di ranjang.“Arsen, Sayang ....”“Aku maunya begini saja.”Arsen justru kini menarik kepala Allice untuk menempel di dadanya.Allice menghela nafasnya. Dia tersenyum dan membalas pelukan suaminya.“Aku harus berangkat siang ini, Arsen. Jadi pagi ini aku ingin memastikan kebutuhan sekolah anak-anak aman selama beberapa hari ke depan. Aku juga mau cek ulang barang bawaanmu,” ucap Allice dengan lembut.Arsen menggeleng.“Kali ini aku boleh egois? Aku berat kamu pergi, Allice.”Allice memundurkan kepalanya hingga dia bisa melihat mata suaminya yang sudah terbuka. Ekspresi yang Arsen tunjukkan m
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady