Sepertinya sudah cukup basa-basi dan memulai pendekatan. Layla tidak mau mengulur banyak waktu terbuang, begitu juga dengan Bara sepertinya. Dari sikap, cara Bara bicara dan gerak-geriknya sepertinya sudah memenuhi persyaratan. Toh, ini semua hanya pura-pura. Tidak usah berlama-lama ke inti permasalahan.
“Oke, Bara, kamu bener juga. Gimana kalau kita langsung ke kesimpulan aja?”
Layla yang tidak suka banyak basa-basi dan tidak sabaran. Dia selalu langsung ke poin inti permasalahan, supaya lebih cepat ke tujuan utama.
Bara mengangguk. “Oke.” Tangan cowok itu bersidakep di atas meja, seluruh atensinya terpusat pada Layla. Ditatapnya netra coklat yang dilapisi soflens hitam itu dengan sorot mata teduh.
Perhatian Layla berkelana, melirik tangan Bara. Oh so sexy! Oke, tunggu-tunggu! Mungkin ini terkesan ‘Gila’ untuk seorang perempuan mengagumi tangan laki-laki. Masalahnya di sini, Layla sangat menyukai tangan cowok dengan urat yang menonjol kebiruan. Layla menyebutnya dengan tangan seksi. Bara juga punya rahang yang tegas dan ... ya, terlihat tajam. Juga punya alis yang tebal dan sorot mata tajam sekaligus dalam.
Oke, bisa disimpulkan, bukan? Pengalaman Layla menjabat sebagai seorang HRD pasti cenderung menilai seseorang dari fisik. Itu hal yang mutlak!
Layla berusaha mengembalikan konsentrasinya. “Iya ... mungkin Yunda udah bilang sama kamu soal aku?”
“Soal kamu?” Bara mengernyit, tampak bingung. “Nggak, Yunda nggak bilang apa-apa. Dia cuma bilang ada temennya yang mau diajak kenalan.”
Layla tersenyum kecut. Dia kesal juga pada Yunda kenapa tidak langsung bilang saja tujuan utama mereka dipertemukan. Kalau seperti ini, Layla harus menjelaskan kembali pada Bara soal keinginannya untuk menjadi suami pura-pura.
“Oke, jadi gini, Bara ...,” Layla menjelaskan mengapa dia mau dikenalkan dengan Bara karena kepepet soal dia terlanjur bilang ke Mamanya kalau Layla punya pacar. Lalu Layla juga bilang masalah rencana dijodohkan kalau Layla tidak berhasil membawa laki-laki ke hadapan sang Mama. Layla juga bercerita alasan dia tidak mau menikah karena trauma dan tidak percaya lagi kepada laki-laki dan selamanya akan berpegang teguh pada prinsip itu.
Awalnya Bara mengernyit heran dan tersirat ketidakpercayaan dari raut wajahnya. Lalu dia terlihat terkejut saat Layla menjelaskan soal tidak mau menikah, tapi lama-kelamaan cowok itu mengangguk paham.
“Terus Yunda bilang, kamu juga pengen buktiin ke mantan pacar kamu, kan, kalau kamu bisa bahagia tanpa dia? Dan kamu juga minta ke Yunda buat dikenalin sama cewek, kan? Dan kebetulan nasib kisah percintaan kita sama.” Layla mengucapkan itu diikuti seringai senyuman di bibir berlapis lipstik merah merona yang terlihat seksi.
“Apa keuntungan buat saya kalau saya setuju sama ajakan kamu?” tanya Bara.
Layla dibuat kebingungan dengan tembakan pertanyaan Bara. Masalahnya ini di luar dugaan dia. Layla pikir, cowok seperti Bara akan langsung setuju-setuju saja, apalagi saat melihat pesona kecantikan Layla jauh di atas rata-rata. Mempunyai postur wajah nyaris menyerupai aktris Korea dan postur tubuh proporsional yang diimpi-impikan kebanyakan wanita. Nyatanya, dugaan Layla salah besar!
Bara tak segampang itu untuk termakan fisik seorang Layla Nadhira, incaran para pria.
“Oke, gini deh ... jujur aja, aku nggak ada persiapan apa pun soal pertanyaan kamu itu. Aku kira kamu bakalan setuju-setuju aja, karena kamu juga lagi di ujung tanduk—” Layla berdecak, matanya terpejam sekejap. Dia segera meralat. “Sorry ... maksudnya kamu juga lagi dibakar api cemburu karena ditinggal nikah.”
Bara terkekeh kecil, menjentikkan jarinya. “Betul!”
“Nah, setahun aja gimana? Perjanjian menikah kita cuma setahun. Setelah itu kita kembali ke kehidupan masing-masing. Saya terbebas dari perjodohan, dan kamu juga berhasil membuat mantan kamu percaya kalau kamu bisa lupain dia. Gimana?”
Perhatian Bara tertuju pada Layla. Melihat cara gadis itu bicara, terlihat sekali keras kepala. Dari caranya tidak mau dipotong saat mengobrol.
“Kamu selalu to-the-point gini, ya?” Bara menarik salah satu ujung bibirnya. Pandangannya tidak lepas menatap Layla.
“Lebih tepatnya nggak suka basa-basi dan nggak suka mengulur banyak waktu. Karena saya penganut time is precious. Jadi, bukan time is money lagi.”
Bara terkekeh dan mengangguk-angguk paham. “Oke. Ada perjanjian khusus untuk ini?”
“Ada.”
“Apa?”
“Drama. Banyakin drama di depan keluarga, apalagi keluarga saya.”
“Maksudnya?” Bara mengernyit heran.
“Jadi begini, di depan keluarga, kita harus mesra dan terlihat seperti pasangan suami istri pada umumnya. Nggak ada canggung atau ... ya, terpaksa karena pura-pura. Pokoknya harus bener-bener harmonis.”
“Di depan keluarga doang?”
“Iyalah. Kalau udah berdua, kembali ke urusan masing-masing dan nggak boleh ada yang menyentuh apalagi minta ... minta kewajiban yang biasanya suami-istri lakuin. Itu no, ya! Konteks kita Cuma pura-pura, oke?”
“Terus, keuntungan buat saya apa?”
Layla menghela napas. “Oke, lebih jelasnya nanti deh saya bikin surat perjanjian buat nikah bohongan kita. Kamu bakalan dapat keuntungan juga. Gimana?”
Bara mencebikkan bibir, dia mengangguk-angguk. “Oke.”
***
“SUMPAH! LO GILA, LAYLA!” Yunda terkejut bukan main saat mendengar pertemuan pertama, Layla justru sudah mengajak Bara menikah. Jelas kalau itu membuat Yunda tidak percaya kalau Layla bisa sebrutal itu. “Udah kayak ngajak nongkrong bareng aja lo. Eh, La, awal-awal itu seharusnya pendekatan dulu. Bukan malah langsung ngajak nikah. Sinting lo! Kayak kucing aja, malah lebih dari kucing, nggak tahu apaan.”
Sekarang Yunda sudah berada di ruangan Layla, duduk di hadapan meja sahabatnya itu yang sedang sibuk. Karena Yunda penasaran juga dengan pertemuan pertama Layla dan Bara. Tapi justru yang ada malah dapat kabar mengejutkan.
Layla menghela napas. Atensinya terpusat pada layar monitor, jari-jemari lentiknya menari di atas keyboard. Bahkan Layla tidak punya waktu untuk beradu debat dengan Yunda dan justru dia tidak mengindahkan Yunda yang sedari tadi mencerocos.
“Eh, kucing aja kalau mau kawin itu pendekatan dulu, lha ini? Baru awal ketemu malah langsung ngajak kawin. Emang dasar cewek sarap!”
“Ya elah, Yun, gue nggak punya banyak waktu. Sedangkan lusa gue harus tepati janji gue kalau gue bakalan bawa cowok ke hadapan nyokap.”
“Ya ... tapi kalau soal itu, lo bawa aja dulu Bara. Dia nggak bakalan keberatan kalau cuma kenalan sama orang tua lo. Kalau soal nikah, mending kalian kenalan lebih deket dulu deh.”
Layla menghela napas jengah. Pandangannya terpusat menatap Yunda dengan sorot mata tajam bagai Elang. “Apaan sih lo ribet banget? Harus buru-buru, karena gue pun kepepet. Kalau soal saling mengenal satu sama lain, seiring berjalannya waktu juga bakalan kenal.”
“Iya gue paham itu. Tapi gue kasih tahu deh sama lo, Bara itu cowok polos banget, dia itu orangnya nggak bisa nolak, dia itu kebiasaan iya-iya mulu. Flat person banget. Aduh ... gue jadi merasa bersalah udah comblangin lo sama dia. Please, lo jangan apa-apain dia, ya, La?” Layla langsung melempar pena tepat terkena dahi Yunda. “Ih, kok malah gue yang dilempar, sih?”
“Sebaik apa sih dia? Nggak ada cowok baik di dunia ini. Sekalipun itu bokap gue! Apalagi cowok modelan kayak dia.” Ucapan itu terdengar sinis. Dalam kehidupan Layla, cowok baik hanya ada dalam dunia fiksi.
“Pokoknya gue minta sama lo, lo jangan apa-apain dia. Dia itu cowok polos banget, La.”
“Emang gue cewek apaan?”
Yunda menatap tajam kedua netra coklat Layla, mencondongkan tubuhnya lebih dekat. “Lo cewek jahat yang suka memanipulasi.”
Layla terbahak-bahak, sampai bahunya berguncang. Dia tidak memungkiri itu, bahkan Yunda juga sudah tahu kalau sahabatnya satu ini, meski punya wajah polos tapi otaknya jahat dan setiap ucapannya bagai magic yang mampu membuat orang percaya.
“Pokoknya, keputusan gue sama dia jadi apa nggak, nanti lusa. Lusa gue sama dia mau ketemu lagi dengan surat perjanjian yang udah gue buat. So ... gue nggak bisa jamin kalau saudara jauh lo itu bakalan nolak ajakan gue buat menikah.”
“Ah, shit!” Yunda mendongak, menjambak rambutnya frustrasi. “Salah sasaran gue!”
BERSAMBUNG...
Sesuai janji. Pertemuan Bara dan Layla berlanjut ke pertemuan kedua. Dan untuk kali ini Layla membebaskan Bara untuk memilih tempat, karena awal mereka bertemu yang menentukan tempat Layla dan sekarang gantian. Alhasil, Bara mengajak Layla melipir ke warung tendaan di pinggir jalan. Tenda pecel lele menjadi pilihan Bara karena Layla bilang, dia belum pernah makan langsung pecel lele di tempat. Jadi, Bara membawa Layla ke sana. Awalnya Layla fine-fine saja, tapi setelah melihat ramainya orang di sana dan juga banyak pengamen, Layla sedikit ragu. Pasalnya, ada hal penting yang akan dibahas dan tentunya butuh keheningan untuk saling memahami dan berkonsentrasi. Namun, Bara meyakinkan Layla mau di tempat mana pun itu, kalau kita memusatkan atensi kita pada sebuah permasalahan yang di bahas, pasti bisa memahami dan menemukan titik terang. Alhasil, Layla mengalah. Di tengah-tengah percakapan, tahu-tahu ada seorang pengamen datang menginterupsi mereka dengan genjrengan gitarnya tepat d
Setelah berhasil meyakinkan Ibu, akhirnya Bara menghubungi Layla untuk mengatur jadwal pertemuan dengan kedua belah pihak keluarga.Bahkan mereka berdua bersekongkol merancang sebuah kebohongan soal pertemuan pertama hingga lamanya berpacaran sembunyi-sembunyi. Supaya tidak menimbulkan curiga dari keluarga masing-masing.Akhirnya, sore ini, selepas Layla pulang bekerja, Bara mengunjungi kantor Bellerica untuk menjemput Layla. Meski, Layla bawa mobil dan Bara pakai motor. Tapi Bara memilih menyimpan motornya di kantor Layla dan dia sudah izin ke Yunda. Alhasil, mereka berdua menggunakan mobil milik Layla untuk ke rumah gadis itu dan bertemu keluarganya sesuai agenda.Ayah Layla keturunan konglomerat pengusaha kelapa sawit terbesar di Kalimantan dan pengusaha Batubara, itu pun yang menyebabkan harta Ayahnya sepertinya tidak akan habis tujuh-turunan. Dari luar, orang-orang melihat rumah Layla bagai istana mewah dengan orang-orang yang riang gembira di dalamnya dan penuh keberuntungan. Ba
Agenda selanjutnya adalah mempertemukan Layla dengan keluarga Bara. Setelah sebelumnya Bara sudah berhasil meyakinkan kedua orang tua Layla, sekarang giliran Layla yang akan meyakinkan kedua orang tua Bara. Bara berasal dari keluarga sederhana, Ayahnya bekerja serabutan dan Ibunya ibu rumah tangga. Tapi Bara bersyukur punya orang tua seperti Ayah dan Ibunya, karena berhasil membiayai Bara sekolah sampai di jenjang bangku perkuliahan dan sukses menjadi Manajer seperti sekarang. Hari ini Bara memilih menjemput Layla di rumahnya, tanpa janjian seperti sebelumnya. Supaya lebih meyakinkan. “Hei, Bar, gimana penampilan saya hari ini?” Bara terkesima sesaat setelah melihat penampilan Layla yang begitu terlihat cantik. Rambutnya dibuat bergelombang, tubuh langsingnya dibalut dress berwarna peach terlihat begitu sempurna. Lelaki itu sejenak terpaku memandangi Layla. “Hellowww!!” Layla melambaikan tangannya di depan wajah Bara, membuat Bara mengembalikan konsentrasi. “Malah ngelamun. Giman
Suasana tegang masih menyelimuti Layla. Perasaannya gundah-gulana dan merasa sangat terintimidasi oleh Ibunya Bara yang seolah seperti tidak menyukai Layla. Rasanya Layla ingin berteriak, kalau ini hanya pura-pura, tapi apa daya? Tidak mungkin pernikahan menjadi ajang permainan dimata keluarga.Layla memandangi Bara yang masih berusaha melindungi Layla dengan segala upaya dan caranya meyakinkan sang Ibu untuk percaya dengan pilihannya kali ini.Bahkan Layla masih belum memiliki jawaban untuk membantu Bara. Alhasil, dia hanya diam.“Menikah itu susah, lho, kamu juga harus betul-betul yakin, Bara. Pernikahan itu terjadi sekali seumur hidup!” Suara Ibu meninggi. Bahkan dengan raut wajah menahan marah karena Bara dengan senang hati mengambil keputusan.“Iya Bara tahu, Bu. Apa salahnya sih Bara mau menikah dengan Layla? Jangan karena Layla nggak bisa masak, Ibu jadi tiba-tiba nggak setuju gini.”Situasi semakin menegang. Bahkan dugaan Layla salah, kalau kedua orang tua Bara akan setuju-set
Secangkir kopi espresso panas menemani cuaca sore yang cerah hari ini, di tengah-tengah hiruk-pikuk dunia yang bikin pusing kepala. Layla menyeruput cangkir itu perlahan, menikmati setiap komponen kopi melebur di dalam mulutnya. Suasana kafe coffee Almost sore ini tidak begitu ramai pengunjung, Yunda mengajak Layla untuk ke sana karena sudah lama juga mereka berdua tidak menghabiskan waktu bersama. Sibuknya bekerja membuat mereka hanya bertemu di kantor saja. “Ciut juga nyali lo ketemu Camer,” Yunda terkikik geli. Biasanya, Layla selalu open joy dan tidak pernah merasa dirinya berada di sebuah keadaan yang mengintimidasi, Layla selalu bisa mengendalikan suasana.Tapi ketika bertemu dengan orang tua Bara, semua kemampuannya mendadak lenyap ditelan udara. Layla menghela napas, menyimpan cangkir kopinya dia atas meja. Tatapannya terpusat pada Yunda yang duduk di hadapannya. “Nggak tahu deh, gue nggak bisa bantah. Lagian gue lihat-lihat, nyokapnya nggak percaya gitu sama gue.”“Mungkin
Bara sedang berada di depan halte dekat kantornya, berdiri di sana dengan pandangan menengadah sekitar melihat hilir-mudik kendaraan yang berlalu lalang di depan halte. Laki-laki itu menggerakkan jemarinya, menerima panggilan telepon masuk di ponselnya.“Halo, La. Di mana?”[Sebentar lagi sampai, tungguin. Kamu itu di halte, kan?]“Iya.”[Oke.]Panggilan terputus. Bara menghela napas. Sesuai permintaan Layla kemarin malam, bahwa hari ini Bara harus menemaninya ke butik untuk melihat-lihat gaun yang akan dipakai untuk acara pernikahan mereka nanti. Meski sebetulnya Bara sudah menolak dan memberi pengertian pada Layla kalau masalah ini bisa dibicarakan lagi nanti.Namun, Layla yang keras kepala, justru dia tak peduli dan teguh pendirian. Alhasil, mau tidak mau Bara menurut.Mobil mewah milik Layla berhenti tepat di depan halte dengan Bara berdiri di sana. Gadis itu turun dari mobil. Aneh, seharusnya Layla tidak usah turun dan menunggu Bara naik saja ke kursi penumpang.“Kamu yang bawa,”
Jalanan kota Jakarta di malam hari adalah musuh terbesar bagi para pekerja yang baru pulang dari kantor dan harus dihadapkan dengan rentetan kendaraan dengan suara klakson tiada henti silih berganti, memekakkan telinga dan menguji kesabaran.Bara sudah berkali-kali berdecak kesal, di saat dirinya mau menyalip kendaraan, ada saja halangan dan membuatnya harus bersabar demi segera sampai di tempat tujuan.Lima belas menit Bara menunggu kemacetan itu, akhirnya ada peluang untuk masuk ke sisi kendaraan dan menyalip. Beginilah enaknya pakai kendaraan roda dua di tengah-tengah kemacetan, bisa mencuri jalan orang lain untuk mendahului. Memang tidak dianjurkan karena bisa berakibat fatal. Tapi, sepertinya hampir semua pengendara motor melakukan itu, bukan?Motor Bara berhenti tepat di sebuah pelataran kafe. Cowok itu membuka helm dan turun dari motor. Masih mengenakan pakaian kerja, Bara sengaja mampir ke kafe itu karena sudah ada janji dengan Yunda. Dia ingin membahas terkait Layla.“Lama nu
Bara menelan ludah saat melihat tatapan dari pihak keluarga besar Layla terpusat padanya, dengan berbagai macam ekspresi dan tentunya menyelidik. Bara menghela napas, berusaha menguatkan diri untuk mendapatkan serentetan pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang ekstra hati-hati. “Selamat siang.” Bara menyapa, memecahkan suasana hening di aula sana. “Layla? Kamu nggak salah ngomong, kan?” pertanyaan itu meluncur dari bibir seorang perempuan tua. Dia Neneknya Layla, ibu dari Papa Layla. Tentu saja pertanyaan sarkastis itu berhasil membuat Bara ciut. Pasalnya, tatapan tajam dan sinis Neneknya itu tidak hentinya meneliti penampilan Bara. “Nggak dong, Nek. Ini Bara. Fernanda Bara. Calon suami Layla.” Layla dengan bangga memperkenalkan Bara. Namun justru respons tidak baik Bara dapatkan dari pasang mata yang menatap. Rasanya Bara kikuk, dia mengelus tengkuknya. Berada di situasi macam begini sungguh membuat Bara bingung harus melakukan apa, berkata apa, selain hanya diam dan melirik La
Semalaman Layla tidak bisa tidur. Insomnianya kambuh, dengan berbagai masalah yang beruntun dalam hidupnya membuat dia bertanya-tanya, dosa apa yang telah dia lakukan dalam kehidupan sebelumnya? Kenapa dia bereinkarnasi menjadi sosok Layla yang tak henti-hentinya mendapat masalah. Alhasil, yang Layla lakukan hanya mengurung diri di dalam kamar. Pagi ini dia memutuskan untuk tidak masuk kerja dan izin pada Yunda dengan alasan sakit tak enak badan. Yunda sempat cemas, namun Layla meyakinkan sahabatnya itu kalau dia baik-baik saja. Ketika semua orang tidak ada di rumah. Mama pergi bertemu dengan teman-teman arisannya, Papa bekerja dan Kevin sekolah. Alhasil, yang Layla lakukan adalah dia ingin menemui Bara. Layla berencana pergi ke kantor Bara. Dia betul-betul nekat untuk pergi ke sana, karena dirasa tidak ada cara lain lagi selain menemui laki-laki itu tanpa ke rumahnya. Gadis itu mengenakan dress di bawah lutut berwarna krim yang memperlihatkan tubuh rampingnya dan sepasang kaki jen
Layla merasa tubuhnya lelah luar biasa. Selama seharian dia bahkan nyaris belum istirahat. Dia harus menyelesaikan banyak kerjaan di kantor, apalagi banyak berkas-berkas yang harus dia tanda tangan. Belum lagi beberapa karyawan ada yang mengajukan cuti.Layla baru tiba di rumahnya di pukul enam sore tepat. Lapar dan harus berjibaku dengan kemacetan kota Jakarta adalah perpaduan yang harus dihindari. Kepala Layla kini terasa kunang-kunang, bahkan dia sangat lemas saat turun dari mobil.Layla melihat ada beberapa mobil mewah terparkir di pelataran rumahnya. Dia mengernyit heran dan bertanya-tanya, tamu siapa yang datang?Layla berusaha tidak peduli, dia melangkah masuk ke dalam rumah. Pikirannya hanya terpusat pada ranjang kamarnya yang melambai-lambai menunggu sang pemilik datang. Hingga langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu utama yang terbuka. Kedua manik matanya menangkap ada tamu yang datang. Keluarga. Terlihat betul-betul asing dan tak Layla kenali.Gadis itu secepat kilat
Ada teori yang mengemukakan bahwa pada umumnya manusia memiliki banyak wajah. Pertama, wajah yang dia tampilkan di muka umum. Kedua, wajah yang dia tampilkan di depan sahabat. Ketiga, wajah yang ditampilkan di depan keluarga.Layla di depan orang-orang di muka umum bisa saja terlihat sebagai Layla yang banyak gaya, elegan, dingin, jutek, mengerikan sekaligus punya tatapan tajam, ditakuti banyak orang dan semena-mena. Berbeda kalau di hadapan keluarga, Layla yang selalu menurut dan kalah telak kalau sudah berurusan dengan Mamanya. Dia tidak bisa membantah apalagi melawan.Makanya Layla sering kali kesal kalau tiap kali ada orang yang bilang, “Sama orang lain aja kayak gitu sikapnya, gimana sama keluarga? Ngelawan aja kayaknya.” Tapi mereka tidak tahu apa yang dirasakan Layla bila sudah ditekan harus perfeksionis di hadapan keluarga.Kali ini, Layla sedang berada di ruang meeting bersama dengan beberapa rekan kerja dan tentunya Yunda. Beberapa karyawan menatapnya bingung, karena Layla s
Yunda memarkirkan mobilnya di pelataran toko kelontong persis sebelah sebuah gang kecil yang hanya muat satu motor. Sesuai permintaan Layla, Yunda memilih untuk ke rumah Bara sekaligus ingin bertanya persoalan yang menimpa mereka. Karena Yunda tidak ingin mendengar hanya sebelah pihak, dia butuh penjelasan dari Layla dan juga Bara.Gadis itu berjalan menelusuri gang yang mengantarnya menuju rumah Bara. Masih ramai orang di sana, ada sekelompok Ibu-ibu yang sedang mengobrol di warung. Ada anak-anak kecil yang berlarian ke sana kemari sembari teriak-teriak. Ada gerobak penjual nasi goreng keliling yang dikerumuni pembeli. Ada sekumpulan laki-laki sedang duduk di pos kamling.Suasana perkampungan di tengah kota Jakarta, jauh dari hiruk-pikuk kendaraan dan gedung-gedung pencakar langit. Suasana menyenangkan dan jiwa bersosialisasi yang sangat tinggi. Yunda tersenyum dan mengucapkan kata ‘Permisi' tiap kali melewati orang-orang di sana dan mereka menyambut serta menjawab dengan sopan dan r
Layla mengendap-endap keluar dari kamarnya. Bahkan dia seperti seekor cucak yang menempel di dinding untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang melihat dirinya keluar dari kamar sana.Sesuai janjinya pada Yunda kalau malam ini mereka akan bertemu dan Layla akan menjelaskan secara detail masalah yang sedang dia hadapi bersama Bara. Karena mau bagaimanapun juga, Yunda lah yang sudah memperkenalkan mereka berdua dan Layla tidak mau kalau sampai di cap sebagai teman yang tidak punya akhlak. Sudah diwanti-wanti jangan menyakiti Bara, justru malah membuatnya kembali merasakan trauma. Padahal nyatanya bukan kesalahan Layla.Gadis itu menuruni anak tangga satu per satu dengan sangat hati-hati dan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara yang dapat mengganggu. Meski, kemungkinan besar di jam delapan malam, kedua orang tua Layla belum tertidur dan bisa jadi mereka masih menonton televisi.Hingga langkah Layla berhenti tepat di anak tangga paling dasar. Kedua bola matanya menjelajah sekitar. Aman
Bara mengendarai motornya dengan gila-gilaan, bahkan dia tidak peduli dengan suara rentetan klakson kendaraan serta teriakan orang-orang bahwa kecepatan motor Bara bisa membahayakan sekitar. Perasaan cowok itu campur aduk tak karuan, bahkan dia tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini. Bara merasa gagal. Gagal membahagiakan orang tuanya. Gagal menjadi anak yang baik dan membanggakan. Perkataan keluarga Layla sungguh berhasil masuk ke dalam kepala Bara, hingga dia tidak bisa berkonsentrasi sampai hampir saja menabrakkan diri. Untung saja dia segera sadar, ketika jarak antara motor Bara dan bak sampah hanya lima meter. Napasnya seolah tercekat, detak jantungnya berdegup kencang dan keringat dingin mulai bercucuran. Bara bingung, dia bingung dengan dirinya sendiri, dia bingung mengapa harus begini. Mengapa kejadian pahit selalu dia rasakan berulang-ulang kali. Bahkan di saat harapannya ada di Layla untuk bisa mengubah seluruh hidupnya, justru semakin menanam luka itu bertubi-tubi tan
Dengan perasaan gusar, Bara bergegas naik ke atas motornya, memakai helm dan menyalakan mesin. Sewaktu dia hendak pergi, teriakan Layla menginterupsi dari kejauhan.“BARAAA!!”Dilihat gadis itu berlari kencang menghampiri Bara. Ada yang berbeda dari Layla. Dia menangis.“Bara saya mohon jangan pergi!” pinta Layla dengan suara lirih dan terisak menangis saat berdiri tepat di depan motor Bara. Menghalangi jalan laki-laki itu dengan cara merentangkan kedua tangannya ke samping.Bara menatap dingin Layla. Bahkan Bara bingung harus berkata dan bersikap bagaimana lagi pada Layla. Bara tahu ini hanya pernikahan kontrak, tapi Bara juga punya harga diri yang tidak bisa diinjak seperti itu apalagi oleh orang-orang yang tidak dia kenal.“Minggir, La!” Mungkin jika orang-orang mendengar intonasi suara Bara akan menilai biasa saja. Tapi untuk Layla berbeda. Seolah suara itu sangat mengerikan apalagi dengan penekanan.“Bar, saya mohon, Bar.” Suara Layla penuh permohonan terdengar sangat lirih.Bahk
Bara menelan ludah saat melihat tatapan dari pihak keluarga besar Layla terpusat padanya, dengan berbagai macam ekspresi dan tentunya menyelidik. Bara menghela napas, berusaha menguatkan diri untuk mendapatkan serentetan pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang ekstra hati-hati. “Selamat siang.” Bara menyapa, memecahkan suasana hening di aula sana. “Layla? Kamu nggak salah ngomong, kan?” pertanyaan itu meluncur dari bibir seorang perempuan tua. Dia Neneknya Layla, ibu dari Papa Layla. Tentu saja pertanyaan sarkastis itu berhasil membuat Bara ciut. Pasalnya, tatapan tajam dan sinis Neneknya itu tidak hentinya meneliti penampilan Bara. “Nggak dong, Nek. Ini Bara. Fernanda Bara. Calon suami Layla.” Layla dengan bangga memperkenalkan Bara. Namun justru respons tidak baik Bara dapatkan dari pasang mata yang menatap. Rasanya Bara kikuk, dia mengelus tengkuknya. Berada di situasi macam begini sungguh membuat Bara bingung harus melakukan apa, berkata apa, selain hanya diam dan melirik La
Jalanan kota Jakarta di malam hari adalah musuh terbesar bagi para pekerja yang baru pulang dari kantor dan harus dihadapkan dengan rentetan kendaraan dengan suara klakson tiada henti silih berganti, memekakkan telinga dan menguji kesabaran.Bara sudah berkali-kali berdecak kesal, di saat dirinya mau menyalip kendaraan, ada saja halangan dan membuatnya harus bersabar demi segera sampai di tempat tujuan.Lima belas menit Bara menunggu kemacetan itu, akhirnya ada peluang untuk masuk ke sisi kendaraan dan menyalip. Beginilah enaknya pakai kendaraan roda dua di tengah-tengah kemacetan, bisa mencuri jalan orang lain untuk mendahului. Memang tidak dianjurkan karena bisa berakibat fatal. Tapi, sepertinya hampir semua pengendara motor melakukan itu, bukan?Motor Bara berhenti tepat di sebuah pelataran kafe. Cowok itu membuka helm dan turun dari motor. Masih mengenakan pakaian kerja, Bara sengaja mampir ke kafe itu karena sudah ada janji dengan Yunda. Dia ingin membahas terkait Layla.“Lama nu