"Ini sih hormonnya berantakan Mbak, Mbak stress, ya? Jangan stres-stres ya Mbak. Kasian tubuhnya."
"Bagaimana saya gak stres Dok, Bos saya nyebelin."
"Kalau nyebelin, nikahin aja Mbak, biar gak stress."
Terngiang terus ucapan Bu Dokter kandungan yang kutemui kemarin. Dokter muda berparas cantik itu bilang kalau penyebab aku tidak lancar haid selama tiga bulan itu karena hormonku yang berantakan dan stress, jadi daripada stress sambil bercanda Bu Dokter bilang nikah saja sama Bosnya.
Eh? Emang semudah itu? Ah, ada-ada saja.
Apakah aku kaget? Biasa saja. Aku sudah mengira hal ini akan terjadi karena sejujurnya aku memang sedang merasa tertekan sekarang.
Iya, aku stress karena himpitan ekonomi yang di luar kendali. Kosan yang belum bayar, uang kiriman ke kampung dan biaya sekolah Puja semuanya menumpuk di otak.
Udah itu, di kantor pun aku hanyalah dipandang sebagai gadis fotocopy. Di mana, aku dianggap ketika rekan kerjaku sedang membutuhkan bantuanku untuk memfotocopy sesuatu atau mengerjakan apa pun.
Seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini.
"Fey, tolong bikinin kopi dong!"
"Fey, tolong fotocopy sebanyak lima rim jangan lupa."
"Fey, aku enggak sempet rapat kamu wakili, ya?"
Dan masih banyak lagi yang mereka perintahkan padaku, sehingga aku merasa sangat kelimpungan.
Bagaimana aku tidak stress coba?
Apalagi semenjak kedatangan Pak Althaf Bosku yang baru yang kejam dan disiplinnya mirip penjaga Azkaban yang pikirannya susah ditembus oleh pandangan lahir.
Semuanya mengenai Pak Althaf pokoknya menyeramkan. Saking disiplinnya, pegawai cowok kalau telat lima menit push up-nya 100 kali dan kalau perempuan langsung dikasih SP-1. Untung ganteng, coba kalau enggak, mungkin kami semua sudah mengadakan pemrontakan masal.
Setelah kedatangannya, harus kuakui hidup seorang pegawai magang sepertiku mungkin tak akan lama bertahan karena konon katanya dia akan mengadakan PHK besar-besaran. Si Bos kejam itu membuat semuanya menjadi sangat sulit.
Namun, aku masih berharap itu tak terjadi karena sejujurnya aku sangat membutuhkan pekerjaan ini. Terutama untuk biaya adikku sekolah, maka saat Pak Ridwan manajerku tiba-tiba saja memanggilku sore ini ke ruangannya, firasatku langsung saja tak enak.
"Fey, ini ada surat dari bagian HRD. Maaf, kamu dipecat!" tegas Pak Ridwan tanpa pendahuluan.
Aku yang sedang menundukkan kepala refleks mengangkat kepala.
"Apa? Dipecat, Pak? Asli Fey teh dipecat?" tanyaku dengan logat sunda yang kental. Aku ini gadis desa, kalau aku dipecat nanti gimana kabar keluarga di kampung? Hanya aku harapan mereka.
"Iya, Fey, ini sudah keputusan Pak Althaf Fey, dia bilang kita harus menekan angka pengeluaran. Maaf ya Fey, mulai besok gak usah kerja lagi," jawab Pak Ridwan dengan nada sinis.
Aku menggigit bibir sambil menundukkan kepala, ingin rasanya menangis karena bingung. Kabar yang aku terima tak ubahnya seperti halilintar yang menyambar.
Setetes buliran air mataku jatuh, aku sedih. Akan tetapi, aku tak mau menyerah. Aku lebih memilih memutar otak, pokoknya pasti ada cara biar aku enggak dipecat.
"Pak, tapi, apa mungkin keputusan Pak Althaf bisa dirubah? Saya teh lagi butuh banget Pak, emang salah saya teh apa, Pak?" bujukku mencoba mempengaruhi Pak Ridwan.
Pria berkaca-mata itu menggelengkan kepalanya cepat. "Enggak ada, kamu gak salah, tapi ini sudah keputusan. Tapi kayaknya semua bisa berubah, kecuali ...." Dia menggantungkan kalimatnya.
"Kecuali apa, Pak?" Aku memekik semangat.
"Kamu jadi istri simpanan saya, maka saya akan membujuk Pak Al buat nerima kamu," ujar Pak Ridwan menyebalkan dan membuatku langsung berdiri tegak.
"Jangan harap, Pak! Permisi! Saya akan mengurusnya sendiri ke HRD," ujarku kesal sambil berdiri lalu menuju pintu.
"Silahkan," seringainya mengiringi kepergianku.
Aku tahu sejak dulu, dia memang menyukaiku, tapi aku tidak mau. Menjadi istri simpanan pria kejam ini? Tidak mungkin. Itu mustahil.
Dia kan Kakak ipar Pak Al, menerima penawaran bodoh itu sama saja aku mencoreng harga diri.
(***)
Brak! Kubanting pintu toilet dengan sekuat tenaga lalu menangis dengan kuat di salah satu biliknya.
Hancur.
Harapanku untuk sukses telah gagal dan terpuruk. Hari ini aku merasa telah menjadi gelandangan seutuhnya.
Ternyata aku benar-benar dipecat. Tadi aku pergi ke ruang HRD dan akhirnya aku tahu, semua ini diakibatkan oleh Pak Ridwan yang memfitnahku dengan mengatakan kalau aku suka kesiangan dan mengambil uang perusahaan pada Pak Al.
Bodohnya, si Bos sepertinya percaya dan menyetujui semuanya tanpa konfirmasi dulu.
Sialan.
Aku tidak menyangka Pak Ridwan setega itu mengadukanku hanya karena aku menolak untuk menjadi selingkuhannya. Dasar biadab!
Dia hanya memikirkan dirinya saja, tanpa memikirkan aku yang mungkin kelaparan dan bingung membayar kontrakan.
"Huwaaa!"
Entah sudah berapa lama aku menangis di dalam toilet ini, yang kutahu sejak tadi aku hanya bisa menangis seraya memegangi perut bagian bawahku yang terasa sakit. Mungkin ini karena efek obat terapi hormon dan kelelahan karena naik turun tangga.
Aku ingat kata Bu Dokter, kesakitan yang kurasa bisa disebabkan efek obat itu karena tanggal sekarang adalah termasuk periode haidku. Mungkin tubuhku sedang persiapan mengeluarkan darah kotor.
Namun, bagaimana aku tidak lelah jika harus seperti ini terus?
"Ah! Semua karena Bos jahat itu, kudoakan dia akan mendapat balasannya!" Lagi-lagi teriakanku terdengar seperti lolongan serigala di petang hari.
Aku mengambil tissu untuk kesekian kali, biarkan kuhabiskan semua tissue di toilet lobby ini karena besok mungkin aku tak di sini.
Saakiiiit. Napasku mendadak sangat sesak.
Tok. Tok. Tok.
"Ada orang?" Suara wanita yang tak dikenal tiba-tiba saja menggangguku yang sedang meratapi nasib.
"Iya ada, sebentar," jawabku bergegas merapikan diri. Kulirik arloji di tangan, pantas saja sudah mendekati jam setengah enam sore, lebih baik aku pulang dan meneruskan acara menangis di kosan.
Sabar. Kuat. Semangat. Aku pasti menemukan jalan keluar.
Setelah siap menghadapi dunia, aku pun membuka pintu dan kulihat ada seorang wanita berdandan fancy di depanku.
"Mbak kenapa? Kok kayak teriak-teriak gitu?" tanya si Ibu dengan wajah khawatir.
"Nggak, nggak apa-apa, cuman sakit bagian perut bawah saja Bu, saya sudah tidak haid tiga bulan," jelasku jujur seraya menuju wastafel. Entah kenapa mulutku ini bicara begitu lancar pada orang yang tak dikenal. Mungkin aku sudah hilang akal.
Ingin rasanya menangis lagi, tapi aku malu.
"Yakin? Mbak gak apa-apa? Kok pucat?"
Aku menganggukkan kepala, terus berusaha mengatur napas.
"Oh ya udah, Mbak, tahu kantor Al, Altaf namanya?" tanya si Ibu lagi seraya berdiri di sampingku yang sedang merapikan muka sembab dengan sedikit bedak tabur.
"Pak Altaf? Ibu mau ke sana? Ibu siapanya?" Mendengar nama Bosku itu, entah kenapa rasa sakitku semakin menjadi dan mataku kembali memanas seakan membawa kembali kesan buruk akan Bos itu.
"Iya. Saya kenalannya. Apa Mbak tahu di mana ruangannya?"
Aku menganggukkan kepala lagi, tapi bulir-bulir air mata ini tak mau bekerja sama. Tanpa aku sadar, tangisanku pecah sudah, sampai-sampai napasku tersenggal persis bengek.
"Eh, eh, kenapa kok nangis? Kalau enggak tahu, enggak apa-apa." Si Ibu berwajah ramah itu tampak panik.
"Bukan begitu Bu, tapi ... tapi ... dia itu sudah berbuat gak adil Bu, dia pecat aku ... huwaaaa!" Lagi-lagi aku berteriak dan menangis sampai ingusku keluar sempurna.
"Kenapa dipecat Mbak? Mbak melakukan kesalahan? Atau ada yang lain?" Si Ibu menatapku heran.
"Aku gak ngelakuin kesalahan Bu, tapi Bu karena dia juga aku jadi begini, padahal aku ini gak punya kerjaan lagi Bu ... ah, sakit lagi kan Bu! Semua karena Pak Al nih Bu, saya stress." Aku memegang perutku lagi. Entah kenapa semakin kugerakkan kaki dan membicarakan Pak Al, sakitnya semakin terasa.
"Hah? Kenapa kok bisa sakit perut? Kamu kenapa? Jangan-jangan kamu dipecat karena ...."
"Karena apa, Bu?" Aku memandangnya enggak mengerti.
"Kamu tadi bilang perut bawah kamu sakit, kan? Terus kamu tidak haid selama tiga bulan?" tanya si Ibu memberondong. Mata lentiknya bergerak panik.
"Iya Bu. Aku stress enggak menyangka Pak Al melakukan ini, kukira dia cukup bijak menyelesaikan semua. Ternyata sama saja dengan lelaki lainnya," cicitku lagi. Sengaja kukeluarkan semua uneg-uneg yang ada di dada, aku memang tak menyangka dia percaya begitu saja obrolan Pak Ridwan.
"Al yang melakukannya?"
Si Ibu memandangku dengan tatapan sangat terkejut tapi kemudian dia memegang pundakku kuat. Wajahnya yang tegang berangsur tenang.
"Mbak, ibu mau nanya lagi. Kamu merasa mual-mual gak akhir-akhir ini?"
Aku mengerutkan kening, berpikir. Memang akhir-akhir ini aku sering mual-mual dan pusing, karena penyakit magh-ku yang memang kronis.
"Mual-mual? Iya Bu, akhir-akhir ini saya memang sering mual dan pusing, tapi itu ...."
"Baik, saya mengerti. Kamu tenang saja. Kalau begitu, biar saya yang beri dia pelajaran! Siapa namamu? Dan bagian apa kamu di sini?" putus si Ibu lagi dengan emosi.
"Eh, namaku?"
"Iya."
"Aku Fey Bu, bagian keuangan di bawah Pak Ridwan."
"Oke, Fey, biar saya urus masalah ini, kamu tenang saja, besok kamu harus tetap bekerja," jawab si Ibu sambil memelukku, sedang aku masih tak mengerti apa maksudnya.
(***)
Esok harinya, seolah mimpi aku kembali dipanggil ke kantor. Kabar ini aku tahu dari sahabatku, Arin. Tentu saja, aku langsung bahagia dan bahkan haid-ku langsung lancar, keluar dengan baik.
Alhamdullilah. Aku tersenyum sepanjang lorong seraya menerka-nerka alasan aku dipanggil lagi.
Apa mungkin karena mereka kasian? Atau mungkin karena mereka merasa bersalah? Dan akhirnya tahu, aku dikeluarkan karena fitnah Pak Ridwan? Ah, apa pun itu pasti hal yang baik.
Namun, ada yang lain hari ini semua mata memandangku curiga. Bahkan Arin, sahabatku langsung memelukku begitu aku tiba di meja.
"Sabar ya, Fey! Tapi gue gak nyangka elo kayak gini!" ujarnya dengan nada menyesalkan.
"Eh, kenapa?" tanyaku bingung. Arin melepaskan pelukannya lalu memegang pipiku sok drama.
"Elo ditunggu di ruangan Pak Al, sekarang." Begitu katanya dengan wajah kecewa lalu berlalu.
Ah, apakah mereka tahu kalau aku belum membayar kontrakan? Dan aku dipecat?
Ya Allah! Sampai segitunya.
Sesuai info Arin, aku pun berjalan menuju ruangan Pak Al yang berada di ujung lantai dan ruangannya paling luas. Aneh, baru kali ini aku dipanggil ke ruangan tertutup yang di dalamnya ada si killer.
Sangat mengejutkan.
Tok. Tok. Tok.
Aku mengetuk pintu perlahan, lalu membukanya pelan ketika dipersilahkan. Akan tetapi, baru saja aku menyembulkan kepala seseorang menarik gagang pintunya dari dalam.
Sepersekian detik kami bertatapan. Dia menelan ludah, aku juga. Baru kusadari Pak Al selain kejam juga sangat tampan.
"Pak Al? Sa-sa-ya mau ...."
"Saudari Fey, jawab! Gosip apa yang kamu sebarkan! Kalau memang kamu hamil sama saya, ayo kita menikah! Tapi tolong buktikan!" tegas Pak Al membuatku seketika serasa tersambar petir di siang bolong. Aku kira kedatanganku ke sini akan mendapat kabar bahagia ternyata malah dituduh hamil.
"Eh, siapa yang hamil Pak? Saya enggak hamil," dalihku langsung. Aku menggerak-gerakkan tangan dengan menyilang tanda itu tak benar, sungguh terhinanya jika aku hamil di luar nikah.
"Kalau begitu kenapa Ibu saya minta saya nikahin kamu? Pokoknya saya enggak mau tahu, kamu harus jelasin ke Ibu saya."
"Loh, emang kapan saya ketemu ibunya Pak Al, perasaan saya enggak pernah," jawabku bingung.
"Kamu yakin?"
"Iya, betul Pak."
Pak Al menyeringai, lalu wajahnya bergerak ke samping. "Lihat ke sana!"
Aku mengikuti gerakan wajah Pak Al dan alangkah terkejutnya ketika aku melihat seorang Ibu yang kemarin aku temui di toilet sedang berdiri melambaikan tangan.
"Fey, Kamu sudah datang? Siang ini kita ke Dokter kandungan ya, mau kan? Tenang kamu gak akan dipecat, kan ada Ibu. Ibu sudah bilang semua pada Al, dia akan bertanggung jawab atas perbuatannya," ujar si Ibu itu lantang, sedang aku hanya bisa melongo bego.
Jadi, kemarin itu ibunya Pak Al? Astaghfirullah! Pantas saja dia begitu terkejut ketika aku membicarakan anaknya.
Akhirnya, aku tahu alasan aku dipanggil lagi ke kantor bukan karena mereka kasihan tapi akibat disangka hamil. Dan sepertinya, ibunya Pak Al salah paham.
"Jadi Fey, kamu bisa menjelaskan ke saya? Apa yang kamu bicarakan dengan ibu saya?" tanya Pak Al, tajam dan mematikan.
Ah, gawat. Mending enggak usah dipanggil kalau ini alasannya. Gara-gara disangka hamil.
Hal yang paling gila di hidupku ternyata bukan naik roller coaster atau menunggak biaya kosan selama empat bulan. Hal yang paling gila itu adalah ketika aku disangka hamil oleh ibunya Bosku dan itu menyebabkan aku disidang selama sejam secara eksklusif di dalam ruangan Pak Al, Bosku yang paling aneh sejagat.Selama aku disidang, tolong jangan berpikir layaknya drama India bahwa masalah akan terselesaikan begitu saja, setelah menari-nari di pohon tinggi dan dalam rinaian hujan.Tidak! Sama sekali tidak. Wajah Pak Al itu terlalu kejam untuk disamakan dengan Shahrukh Khan mau pun Amir Khan. Buktinya, walau sudah menjelaskan pada Bu Ana bahwa kemarin aku sakit perut karena pengaruh obat dan juga kemarin adalah haid pertamaku setelah tiga bulan enggak haid, Pak Al tetap saja memasang wajah beku berbeda dengan ibunya yang mau mendengarkan penjelasanku dengan wajah yang cukup perhatian."Jadi kamu enggak hamil?" ulang Bu Ana menegaskan.Saat ini dia sedang duduk di sofa yang ada di depanku s
Dulu aku sempat berkhayal ingin memiliki calon suami itu yang tampannya seperti Song Jong Ki, lembutnya seperti Nick Jones, dan kekarnya seperti The Rock. Sekarang, akhirnya Tuhan datangkan Pak Al yang mungkin memiliki 80% kriteria yang disebutkan dan 20% hal yang tidak inginkan.Kenapa? Karena Pak Al itu berbeda. Dia tidak lembut mau pun perhatian karena yang kutahu Pak Al itu diam-diam menghanyutkan, bisa dibilang cenderung licik.Buktinya, setelah tiga hari kemarin dia menyatakan mau menikah denganku hari ini Pak Al kembali ke bentuk aslinya yaitu lelaki yang over disiplin ketika mendapatiku tidak memakai name tag perusahaan. Tanpa basa-basi dia langsung memanggil namaku lewat pengeras suara."Pengumuman! Bagi yang bernama Fey, bagian finance ditunggu sekarang di ruangan saya, karena Anda telah melanggar peraturan dengan tidak menggunakan name tag, jadi dalam hitungan ke-10 saya mau Anda ada di sini! Satu ... dua ...."Begitu pengumuman dadakan itu disampaikan sungguh rasanya mau t
Sepertinya jika nanti aku jadi menikah dengan Pak Al, hidupku pasti akan lebih banyak pahala dan tahan banting. Karena, belum saja jadi istri aku sudah dibuat kesal setengah mati.Aku tidak tahu, sebelumnya Bu Ana ngidam apa sampai melahirkan anak selicik ini. Kalau aku jadi Bu Ana sudah kuborgol dia sejak masih kecil, agar nanti ketika sudah besar Pak Al tak memborgol orang seenaknya seperti yang aku alami.Kemarin sepulang dari butik, dia benar-benar membuatku frustasi. Kukira, dia benar-benar menghilangkan kunci borgolnya, tapi ternyata dia hanya membohongiku saja. Entah apa maksudnya tapi dia seolah sengaja mempermainkanku sampai aku pulang."Biar kamu merasakan bagaimana jadi makmum yang baik." Begitu katanya kala kutanya apa alasan dia membuatku bagaikan anak ayam mengekor induknya, selama kami terborgol.Alamak! Dasar Kabayan menyebalkan.Sayang, walau aku bersyukur tidak jadi dinikahkan kemarin malam, tingkah Pak Al tidak berhenti sampai di situ. Hari ini pun dia kembali berul
Baru hari pertama menyandang istri seorang Althaf Pramoedya, aku hampir saja mau beli sianida ke toko kimia karena saking kesalnya. Sempat kukira, menikah dengan Bos sendiri minimal ada manis-manisnya-lah kayak iklan air mineral eh, tapi ternyata sama sekali 'nol' besar.Jauh ... sangat jauh dari ekspektasi. Tak kuduga selain licik Pak Al juga pendendam. Baru saja waktu menunjukan jam tiga subuh, tiba-tiba dia sudah membangunkanku dari lena untuk siap-siap mandi dan packing karena kami akan pergi ke bandara.Katanya tepat jam lima, kami akan naik pesawat menuju Yogya demi menemui Neneknya yang tak bisa menghadiri pernikahan karena sakit.Anehnya, Pak Al bilang kami akan menyusul datang pada Bu Ana yang sudah lebih dulu berangkat tadi malam. Lagi, lelaki itu memutuskan tanpa diskusi denganku sama sekali.Aku jadi curiga sepertinya lelaki itu sengaja tak memberi-tahuku karena mungkin masih kesal akibat perutnya aku tendang.Dasar Kabayan! Selalu saja bikin kesal."Sudah manyunnya? Haru
Baru hari pertama menyandang istri seorang Althaf Pramoedya, aku hampir saja mau beli sianida ke toko kimia karena saking kesalnya. Sempat kukira, menikah dengan Bos sendiri minimal ada manis-manisnya-lah kayak iklan air mineral eh, tapi ternyata sama sekali 'nol' besar.Jauh ... sangat jauh dari ekspektasi. Tak kuduga selain licik Pak Al juga pendendam. Baru saja waktu menunjukan jam tiga subuh, tiba-tiba dia sudah membangunkanku dari lena untuk siap-siap mandi dan packing karena kami akan pergi ke bandara.Katanya tepat jam lima, kami akan naik pesawat menuju Yogya demi menemui Neneknya yang tak bisa menghadiri pernikahan karena sakit.Anehnya, Pak Al bilang kami akan menyusul datang pada Bu Ana yang sudah lebih dulu berangkat tadi malam. Lagi, lelaki itu memutuskan tanpa diskusi denganku sama sekali.Aku jadi curiga sepertinya lelaki itu sengaja tak memberi-tahuku karena mungkin masih kesal akibat perutnya aku tendang.Dasar Kabayan! Selalu saja bikin kesal."Sudah manyunnya? Haru
Tidak ada yang lebih memalukan untukku sekarang, selain menyadari kalau aku sudah membuat tanda iler yang tampak jelas di kemeja Pak Al. Bentuknya bulat dan berwarna putih. Jorok sekali.Semakin sering aku melihat tanda itu, rasanya aku ingin pulang saja ke kampung dan mendadak hilang ingatan. Coba bayangkan, seharusnya aku berterima-kasih pada Pak Al karena sudah membiarkanku tertidur di dadanya, tapi apa yang terjadi? Aku malah mengacaukan peristiwa yang seharusnya romantis itu.Dasar bodoh!Mau diletakkan di mana mukaku sekarang? Bahkan dijual saja belum tentu ada yang beli.Entah berapa ratus kali aku merutuki diri, tetap saja bulatan nista itu masih tetap di sana.Aku sudah menawarkan diri untuk mencucikannya nanti dan menyarankan lelaki tampan itu berganti baju, tapi Pak Al tetap tidak mau dan memilih menutupnya dengan jas. Pak Al berkilah, dibandingkan mengurus ilerku tadi dia berkata lebih baik segera menemui klien-nya agar bisa langsung pulang tanpa berlama-lama di hotel.Alh
Duduk tegang di bawah tatapan menyelidik Nenek dan Bu Ana yang melihat kami secara bergantian, tentu saja tidak termasuk dalam agendaku. Aku ke sini hanya untuk memperkenalkan diri, bukan untuk mengalami masa 'horor' karena terciduk melakukan hal yang tidak-tidak macam tadi.Mau diletakkan di mana mukaku? First impression sebagai menantu bukannya menunjukan itikad baik, ini malah kepergok lagi ... ah, menyebalkan!Aku melirik gemas pada Pak Al yang duduk di sampingku dan sedang memasang wajah datar. Tampaknya lelaki itu sama sekali tak merasa bersalah, padahal semua ini karena dia. Suruh siapa dia berpura-pura mau menciumku, jika pada akhirnya hanya pemberi harapan palsu dan menyentil dahi.Nonsense."Eheuum! Jadi, kamu staf Althaf di kantor?" Suara Nenek membuat perhatianku teralih menatap Nenek."Ehm, iya, Nek," jawabku gugup. Tanganku tanpa sadar meremas rok.Jujur, suasana di ruang tamu ini sangat menegangkan, apalagi Nenek duduk tepat persis di depanku sedang Pak Al di seberang B
Kata Emak, perasaan wanita itu bagaikan kentut. Tidak tampak secara fisik tapi bisa dirasakan efek pengeluaran emosinya. Coba, siapa yang pernah lihat bentuk kentut? Enggak ada kan. Tapi, kalau baunya bisa kita cium meski tak meminta.Kukira, analogi ini cocok untukku sekarang. Harus kuakui, kalau aku mulai merasakan hal aneh setiap ada perempuan yang mendekati Pak Al.Entah apa alasannya, dari mulai Sumi sampai Wini De Pooh, bawaan hatiku ini seperti tidak senang jika melihat mereka menyapa atau berdekatan dengan Pak Al.Padahal, apa coba hak seorang Fey? Masih untung, dinikahi juga iya, kan? Dibandingkan jadi istri kedua Pak Ridwan dan dililit hutang bank emok.Ah, jangan terlalu banyak berharap Fey!Entah ke berapa kali, aku mengingatkan hati mengenai kondisiku yang terlampau terbawa perasaan sampai aku tidak bisa tidur malam ini.Sepulang belanja tadi, aku benar-benar menghindari Pak Al dan memutuskan tidur lebih dulu sedang dia bekerja di lantai satu. Namun, ternyata mataku tetap
Part 29. Menua Bersama.Hardworker. Mungkin itu satu kata yang pantas aku layangkan pada Mas Al, semenjak dia melepaskan banyak usaha milik Ayahnya dan memisahkan diri dari Bu Ana, sekarang dia makin sibuk walau acara bulan madu di kamar sendiri masih berjalan baik.Tidak perlu aku jelaskan, kan, bagaimana bulan madu ala kami? Yang jelas, icikiwir ehem-ehem.Nah, oleh karena alasan sibuk juga, aku yang biasanya menunggu dia di apartemen kini memutuskan ikut Mas Al sekalian jalan-jalan. Karena katanya, Mas Al akan mengajakku hangout setelah menemui klien dan pekerjaannya selesai.Ajaib, bukan? Bosque Mamas akhirnya mau berbaik hati mengajakku keluar.Serasa mendapat angin surga, tanpa berpikir panjang lagi aku pun menyanggupinya. Lagi pula, sekarang aku tak perlu masuk kantor karena setelah resign, aku memutuskan berjualan desain bajuku secara online dan hasilnya alhamdullilah bisa buat beli panci dan daster buat Emak.Coba, kalau aku enggak resign mungkin hari ini aku akan merelakan M
Jam 3.30 dini hari ini, aku terbangun dengan hati bahagia karena akhirnya aku menjadi istri seutuhnya. Jika mengingat adegan semalam yang hot-marihot tiba-tiba aku merasa tak mampu untuk menjelaskannya khawatir yang baca ada yang jomblo.Kan, aku takut dosa dikira sudah memprovokasi. Namun, yang bisa aku jelaskan adalah semalam itu Mas Al sangat terlihat jantan.Dari mulai sentuhannya, bibirnya dan semua tentangnya membuatku melayang. Dia juga yang menjadi saksi bagaimana aku menahan perih karena ini pengalaman pertama kami melakukan 'ibadah terindah'.Ah, jadi ingin nyanyi.'Malam pertama kan, kuserahkan segala cintaku yang ... hanyalah untukmu.'"Loh, kamu udah bangun?" Suara yang sangat kukenal menyapaku yang masih bergelung di dalam selimut. Dengan gerakan cepat aku pun duduk dan memandang ke arah suamiku. Tak lupa kutarik selimut untuk menutup badan agar tidak terjadi hal-hal 'nganu' yang ingin diulang."Oh, wow!" pekikku spontan. Enggak nyangka, belum juga subuh sudah mendapat
Part 27. Malam Pertama. Yakin?Setelah kejadian yang menguras emosi di rumah Yura. Sepanjang jalan Mas Al lebih banyak diam, lelaki itu tampak masih emosi hingga dadanya terlihat turun naik tak beraturan.Aku yang melihat ekspresi Mas Al dari kursi penumpang, tentu saja memilih untuk diam. Lagi pula dia memang butuh waktu untuk mengendalikan dirinya setelah meluapkan apa yang selama ini terpendam.Setelah tiga puluh menit berkendara dalam suasana hening, akhirnya kami sampai juga di apartemen. Dalam diam, kami berjalan beriringan menuju lift."Fey!" panggilnya lembut. Akhirnya dia bersuara juga. Diam-diam aku bersyukur, dia sudah kembali normal. Kan, bahaya kalau selamanya diam."Iya, Mas?" sahutku, memandangnya sekilas sambil berjalan."Kamu kok, gak bertanya kenapa sekarang saya kayak menentang Bu Ana?" tanyanya penasaran."Fey, bukannya gak mau nanya, tapi Fey takut kalau Mas gak nyaman Fey tanya. Jadi Fey, milih nunggu aja sampai Mas bilang sendiri," jawabku.Dia tersenyum tipis,
Sudah kusadari kalau orang licik itu enggak boleh berteman dengan orang polos. Karena hasilnya, orang licik pasti akan menang dan sementara orang polosnya masih saja enggak sadar lagi dijebak. Terus saja begitu, sampai Marimar berubah jadi Marimas dan ladang gandum dihujani cokelat.Ah, kenapa sih, aku selalu kalah darinya?Dulu, aku kalah juga gara-gara uang dua juta. Sekarang, aku kalah juga dari menahan diri, buruknya yang sekarang lebih parah. Coba bayangkan! Aku malah terjebak salam perangkap liciknya, padahal sudah berusah-payah ber-acting kalau aku tak mencintai Mas Al.Astaga Naga Bonar! Kok bisa sih dia pintar mencari celah kelemahanku? Kapan aku bisa menang? Kapan? Ini enggak adil! Harusnya aku tahu, dia melakukan itu untuk membuktikan perasaanku. Eh, ini alih-alih menghindar, aku malah menikmati dan meminta lebih.Mau diletakkan di mana mukaku? Segala pertahanan ini hancur sudah, Mas Al emang paling enggak bisa ditebak."Kenapa kamu cemberut? Udah, jangan mikirin yang tadi
Memang ada kalanya, kita berlaga kuat seolah hati kita terbuat dari baja. Namun, saat sendiri, kita mulai merasa bahwa diri ini ternyata sangat rapuh dan buruknya kita mulai menyalahkan diri sendiri.Kenapa aku terlalu emosi?Kenapa aku berkata demikian?Kok, aku jadi gini, sih? Ah, hancur! Benar-benar hancur!Nahasnya, aku-lah yang membawa kehancuran itu. Akibatnya, aku juga yang menangis tanpa henti sampai-sampai mata ini tak bisa membuka mata karena perih sekali.Ternyata, begini ya, rasanya meninggalkan di saat sedang sayang-sayangnya? Sakit ... banget."Lo udah bangun, Fey?" tanya suara cewek menepukku yang sedang tidur membelakanginya.Dia Gea. Semalam aku memang tidur di kosan Gea, tidak pulang ke apartemen karena mana berani aku berhadapan dengan Mas Al setelah menyakitinya."Fey, lo masih idup,'kan?" tanyanya lagi karena aku hanya diam."Heum ....""Alhamdullilah lo gak mikir bunuh diri," kata Gea seraya duduk di atas ranjang.Pagi ini berbeda dari pagi biasanya, aku sangat
Sesuai yang pernah diajarkan guru agamaku. Aku yakin dalam kondisi terberat bagaimana pun Tuhan akan mengirimkan hiburan di sela-sela kepedihan. Agar apa? Agar manusia tidak terlalu larut jatuh dalam keluhan dan percaya bahwa harapan itu pasti akan selalu ada sebagai penenang bagi jiwa-jiwa yang hampir putus asa. Maka, tak heran sering kali kita melihat orang-orang masih bisa tertawa walau dalam kondisi serba sulit.Mungkin itulah yang sedang aku rasakan sekarang. Di tengah perjuanganku untuk mempertahankan pernikahan ini, kejadian prank Mas Al tadi pagi berhasil mengobati sedikit rasa sedih akibat permintaan Bu Ana.Namun, tetap saja untuk meraih kebahagaiaan yang sempurna itu tak mudah. Aku sadar, bisa jadi moment jahil Mas Al seperti tadilah yang membuatku akan semakin terpuruk jika nanti hal itu hanya bisa kukenang.Dan ketika nanti masanya tiba, aku ragu. Apakah aku sanggup ketika harus kehilangan Mas Al?Ah, sepertinya itu sulit.Aku mendesah pelan seraya memutar pena. Hari ini
Aku kembali ke apartemen pada saat waktu hampir menunjukan tengah malam. Tadinya, aku berencana untuk tidur di kosan Gea dan mencoba menghindar sementara waktu dari Mas Al karena pikiranku teramat kacau. Namun, mengingat baju-bajuku dan kerjaan, aku pun memutuskan kembali setelah berjalan dengan gontai tanpa arah.Salah. Jika pembicaraan dengan Bu Ana tak mempengaruhiku sama sekali, karena sampai sekarang hatiku masih sakit.Bagaimana bisa Bu Ana memintaku meninggalkan Mas Al saat kurasa dia membutuhkanku sekarang? Bagaimana bisa dia menyangka perasaan kami hanya kekhilafan? Sepicik itukah pemikirannya?Ah, miris.Aku meletakkan tas di atas meja pantry. Suasana apartemen sudah sunyi, kulihat kamar Mas Al pun sudah padam. Mungkinkah dia sudah tidur?Entah kenapa, aku tiba-tiba merasa rindu dengan lelaki itu. Seharian ini, kami bahkan tidak bertemu dan aku pun tak dapat menghubunginya karena ponselku mati total setelah pulang dari rumah sakit.Setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan u
Sudah dua hari Bu Ana dirawat di rumah sakit dan sudah dua hari berlalu setelah pengungkapan keseriusan Mas Al. Namun, seperti biasanya lelaki itu selalu penuh pengertian. Dia sama sekali tak mengungkitnya semua berjalan normal.Mas Al tetaplah lelaki yang jahil, humoris dan cukup tahu apa yang harus dilakukan sehingga dia seperti sengaja memberiku waktu, sampai aku siap.Tak dapat kubohongi, hal itu membuatku mengalami gangguan hati dan insomnia. Sampai rasanya, mau makan pun tak berselera karena memikirkan bisa saja perasaanku pada Mas Al harus kusembunyikan, karena aku pun gamang.Ya, seandainya Mas Al tahu, diam-diam aku pun merasa cemas karena Bu Ana pasti akan marah. Dia pasti akan menentang hubungan kami dan bisa jadi epilepsinya takkan sembuh cepat.Setahuku, riwayat penyakit orang kaya memang macam-macam. Kata Dokter, biasanya itu terjadi ketika seseorang mengalami trauma dan gangguan kecemasan sehingga saraf bermasalah. Mungkinkah itu yang terjadi pada Bu Ana?"Agh, ada-ada
Apakah ini rasanya ditembak seseorang? Kok, rasanya ada manis-manisnya gitu. Eh, tapi ini bukan hanya imajinasiku, 'kan?Ah, tentu saja tidak. Ini nyata dan sangat terasa bahwa kalimatnya untuk memintaku tetap bersama, bukan untuk menggodaku seperti biasa.Dia serius dan terlihat tulus, kala meminta kami untuk mencoba lebih dari sekedar pasangan karena perjanjian.Sejujurnya, ingin aku meng-iyakan apa pun yang dia minta padaku di detik dan menit itu juga. Namun, aku tak punya nyali mengkhianati sebuah kepercayaan dan kesepakatan walau harus menyakiti diri sendiri."Kurang apa dia, Fey? Dia udah bantu keluarga lo? Tanpa perlu lo minta, coba pikirkan! Apa susahnya sih, bilang 'iya'?""Susah Gea, susah! Lo gak bakal ngerti begitu juga laki gue.""Iya, kalau gue gak ngerti, jelasin dong!"Masih teringat jelas di benakku, saat aku bertanya tentang pendapat Gea mengenai Mas Al via suara. Aku bilang Mas ingin memperdalam ikatan hubungan ini, tapi aku masih bingung dan membutuhkan waktu.Maka