“Aruna?” Arga langsung menghampiri sang gadis yang masih berdiri di depan mandi. Keningnya berkerut melihat keadaan sepupunya yang jelas tidak baik-baik saja. “Kamu sakit?”Aruna hanya diam, enggan menjawab. Tubuhnya masih terasa lemas setelah muntah tadi, dan kepalanya masih berdenyut ringan. Ia memilih berjalan kembali ke taman belakang untuk menghirup udara segar.“Hanya mual sedikit,” jawab Aruna singkat.Saat keduanya sampai di taman belakang, Oma menimpali. “Dia hanya mual-mual, Arga. Wajar saja, namanya juga sedang hamil.”Namun tatapan Arga semakin keheranan. Ia melihat ke arah Aruna, mempelajari gerak-gerik tubuh sang gadis. Tatapan Arga yang penuh curiga itu tentu membuat Aruna tidak nyaman.“Kamu kenapa ada di sini?” tanya Oma pada Arga.Arga memberikan bingkisan pada Oma. “Mama meminta aku mengantar ini untuk Oma. Dia baru pulang dari Jepang.”Oma menerima bingkisan itu lalu berjalan ke dalam rumah untuk menaruhnya. Setelah kepergian Oma, Arga kembali menatap Aruna dengan
Sepanjang pagi, Aruna merasakan perutnya kram dan tubuhnya terasa pegal. Ia tahu ini mungkin efek dari kehamilannya, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. Tidak ada gunanya mengeluh, terutama di hadapan Baskara.Dengan langkah pelan, Aruna menyiapkan sarapan seperti biasa. Tangannya sedikit gemetar saat menuangkan kopi ke dalam cangkir Baskara, tetapi ia tetap berusaha terlihat normal. Ia tidak ingin menarik perhatian pria itu.Baskara duduk di meja makan, membuka ponselnya dengan ekspresi serius. Tanpa mengangkat kepala, ia berkata dengan nada tegas, “Nanti malam, kamu ikut denganku ke acara pesta peresmian gedung baru rekanan bisnis.”Aruna yang tengah meletakkan piring di atas meja, seketika menghentikan gerakannya. Ia ingin menolak. Tubuhnya sedang tidak enak badan, pikirannya pun masih kacau dengan kehamilan yang baru ia sadari. Namun, menatap Baskara yang tetap sibuk dengan ponselnya, ia tahu bahwa menolak hanya akan memperburuk keadaan.Sesaat, Aruna menggigit bibirnya, menco
Pesta makan malam yang mewah dan dipenuhi orang-orang penting terasa begitu menyesakkan bagi Aruna. Lampu kristal yang berkilauan, suara gelak tawa, dan dentingan gelas anggur hanya menambah pusing di kepalanya. Namun, ia tetap memasang senyum di wajahnya, berpura-pura baik-baik saja.Setiap langkah yang Aruna ambil terasa berat. Perutnya terasa kram, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, dan pandangannya sedikit kabur. Tapi ia tahu ia tidak bisa menunjukkan kelemahannya di depan Baskara. Pria itu bahkan nyaris tidak memperhatikannya sejak mereka datang.Aruna berusaha menahan sakit yang menyerang tubuhnya sejak awal acara. Ia duduk di meja bersama Baskara, memasang ekspresi tenang meski tubuhnya terasa begitu lelah. Aruna tidak bisa menunjukkan kelemahan di depan semua orang.Sementara itu, Baskara tampak sibuk berbincang dengan rekan bisnisnya, seolah keberadaan Aruna di sisinya hanya sekadar formalitas. Aruna melirik jam tangan, berharap waktu berjalan lebih cepat agar ia b
Aruna perlahan membuka matanya. Pandangan di sekelilingnya buram dan berbayang, tapi ia bisa merasakan aroma khas rumah sakit yang langsung menusuk hidungnya. Ada dengungan lembut dari mesin medis di sampingnya, diselingi suara detak pelan yang konsisten. Tubuhnya terasa lemah luar biasa, seperti tidak memiliki tenaga sedikit pun.Ia mencoba menggerakkan tangannya, tapi bahkan itu pun terasa berat. Napasnya pendek-pendek, dan ketika ia berusaha sedikit bergeser, rasa nyeri menusuk langsung menyerang perutnya. Refleks, Aruna menyentuh perutnya dengan tangan gemetar.Perutnya...Ingatan tentang apa yang terjadi mulai kembali, meski samar dan terpecah-pecah. Tania. Tangga. Dorongan kasar. Jatuh. Dan darah... begitu banyak darah.Panik menjalar dalam benaknya. Ia merasakan jantungnya mulai berdegup kencang meski tubuhnya masih terlalu lemah untuk bergerak lebih banyak.“Bayiku,” bisiknya parau, hampir tanpa suara. “Bagaimana bayiku?”Sebelum ia sempat merespons lebih jauh, pintu kamar rum
Kondisi Aruna yang masih lemah membuatnya harus mendapatkan perawatan intensif lebih lama. Ia pasrah saja saat dokter berkata dirinya harus berada di rumah sakit untuk beberapa hari ke depan.Aruna menghabiskan waktu dengan terbaring di tempat tidur rumah sakit, wajahnya pucat dan matanya sembab akibat terlalu banyak menangis. Tubuhnya lemah, tapi lebih dari itu, jiwanya terasa kosong.Sementara itu, Baskara duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Pria itu selalu mendampingi Aruna, nyaris tidak pernah meninggalkan kamar kecuali saat benar-benar diperlukan. Namun, sikapnya tetap kaku. Meski Baskara ada dekat Aruna, pria itu jarang berbicara. Tidak ada kata-kata hiburan, tidak ada pertanyaan tentang bagaimana perasaan Aruna. Baskara hanya diam, duduk di dekatnya, seolah menjaga dari jauh.Tidak lama, waktu makan tiba. Seorang perawat masuk ke kamar, membawa nampan berisi semangkuk sup hangat, sepotong roti, dan segelas jus jeruk. Aruna yang masih terbaring lemah hanya melirik sekilas, lal
Esok paginya, Aruna terbangun dari tidurnya dengan kepala yang berat. Tubuhnya terasa lemas, tetapi setidaknya rasa nyeri di perutnya sedikit mereda. Namun, begitu kesadaran kembali sepenuhnya, seketika saja rasa sakit di hatinya kembali menyeruak. Pikirannya kembali penuh dengan kehilangan dan kesedihan.Baskara tidak ada di ruangan. Aruna menduga pria itu mungkin keluar untuk mengurus sesuatu. Ia menarik napas dalam-dalam dan mencoba bangkit dari tempat tidur ketika pintu kamar perlahan terbuka.Riadi dan Kumala, orangtua Baskara, masuk dengan langkah pasti dan mengintimidasi seperti biasanya. Wajah mereka datar, tidak menunjukkan ekspresi simpati yang Aruna harapkan. Ia langsung tahu kedatangan dua orang itu bukan untuk menjenguk dan memberikannya semangat. Tiba-tiba saja perut Aruna terasa diremas kuat. Rasa gugup menyerangnya.“Oh, kamu sudah bangun,” ujar Kumala sambil mendekati tempat tidur Aruna. Namun, suaranya terdengar dingin, seperti seseorang yang sedang berbasa-basi, buk
Di bawah langit pagi yang mulai merona dan matahari yang tidak bersinar terlalu terik, Baskara mendorong kursi roda Aruna perlahan menuju taman rumah sakit. Udara pagi terasa sejuk, diselingi suara gemericik air mancur kecil yang terletak di tengah taman. Aroma bunga mawar dan melati menyeruak dari hamparan tanaman yang berjajar di sepanjang jalur pejalan kaki.Aruna duduk diam di kursi rodanya, memandang ke depan tanpa banyak ekspresi. Tubuhnya terasa lemah, dan pikirannya penuh dengan banyak pertanyaan yang berputar-putar tanpa henti. Sejak kejadian di kamar tadi, ia masih belum bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi. Perasaan antara terkejut, bingung, dan tak percaya masih mendominasi hatinya.Baskara menghentikan dorongannya tepat di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Mereka berada di sudut taman yang cukup sepi, jauh dari keramaian pasien lain. Baskara lalu berjongkok di samping Aruna, sejajar dengan pandangannya, sambil memperhatikan wajah pucat istrinya yang tampak lelah
Baskara menyodorkan lagi sendok berisi bubur ke arah Aruna, namun gadis itu sudah tidak sanggup lagi untuk makan. Aruna mengangkat tangannya, memberi tanda ia sudah kenyang. “Satu kali lagi,” ujar Baskara memaksa, namun suaranya lembut. Aruna menggeleng. Helai rambut mengenai wajahnya. Ia menyingkirkan helaian rambutnya yang mulai lepek dan berminyak itu dari wajahnya. Tiba-tiba saja Baskara membantu Aruna dengan mengaitkan rambut sang gadis ke belakang telinga. Tatapan mereka bertemu, membuat Aruna seketika menahan napas dan menelan ludah. “Sejak kamu di sini, kamu belum membersihkan rambutmu. Pasti rasanya tidak nyaman, ya?” tanya Baskara pelan. Aruna mengangguk kecil. Baskara benar. Rambutnya yang panjang dan hitam itu kini terasa lepek, membuat kepalanya terasa tidak nyaman. Sudah beberapa hari ia belum sempat mencuci rambutnya, dan perasaan itu semakin membuatnya tidak betah dengan dirinya sendiri. “Mau aku bantu membersihkan rambutmu?” tanya Baskara singkat. Aruna terkejut
Oma memanggil semua anggota keluarga untuk berkumpul di ruang tengah vila. Aruna buru-buru merapikan dirinya dan mengikuti Baskara yang sudah lebih dulu melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, suasana terlihat cukup hangat. Semua anggota keluarga telah duduk, beberapa membawa cangkir teh, yang lain hanya berbicara pelan sambil menunggu."Besok kita akan mulai lebih sore. Sepertinya pemandangannya akan lebih bagus jika kita pergi sore hari saat matahari mulai tenggelam," ucap Oma sambil menatap anggota keluarganya satu per satu. "Kita akan berdoa bersama, lalu menaburkan bunga seperti biasa."Semua mengangguk, hingga Baskara tiba-tiba berujar dengan nada tidak sepenuhnya setuju, "Kenapa tiba-tiba mengubah jadwal? Biasanya kita melakukannya di pagi hari? Aku sengaja memundurkan pekerjaanku ke sore hari karena acara ini biasa berlangsung sejak pagi."Aruna yang duduk bersisian dengan Baskara, langsung menoleh, ekspresinya berubah. Namun gadis itu tidak mengatakan apa pun.Ternyata apa y
Langit Lombok sore berwarna biru dengan semburat jingga yang mulai menjalar perlahan menyambut kedatangan keluarga Adiwireja ke vila mereka, termasuk Aruna di dalamnya. Angin pantai membawa aroma laut yang asin dan segar, menyapu wajah Aruna saat ia berdiri di ambang pintu vila keluarga Baskara.Vila itu berdiri tenang di tepi pantai, menghadap langsung ke laut lepas. Bangunannya berarsitektur klasik tropis dengan jendela lebar berbingkai kayu, dan balkon luas yang menghadap ombak. Suasana di dalam vila hening, hanya suara debur ombak dan desir angin yang mendominasi.Baskara meletakkan koper di sudut kamar, lalu menghampiri Aruna yang masih berdiri terpaku memandangi pemandangan luar dari balik tirai tipis yang melambai.“Ada apa?” tanya Baskara lembut, memeluk tubuh istrinya dari belakang.Aruna hanya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku cuma... ini terlalu indah. Juga sangat nyaman.”Baskara tersenyum, mengecup pelan pelipis Aruna. “Aku tidak pernah menyadari keindahan tempat ini
Menjelang malam, Aruna akhirnya kembali ke apartemen. Begitu pintu dibuka, aroma khas apartemen yang familiar menyambutnya. Di ruang tengah, Baskara sedang duduk di sofa dengan laptop terbuka di pangkuannya, tapi langsung menoleh saat mendengar pintu terbuka.“Aku pulang,” ucap Aruna pelan, senyumnya tipis.Baskara mengangkat wajah. Mata pria itu berbinar begitu melihat Aruna masuk. Ia kemudian bangkit dan mendekat, menyambut Aruna dengan pelukan singkat. “Kamu kelihatan capek.”“Sedikit.” Aruna mengangguk. “Tadi habis dari rumah sekalian antar Anin pulang.”Mereka berdua lalu duduk di sofa, keheningan sejenak mengisi ruang.“Kamu sudah makan malam?” tanya Aruna.Baskara mengangguk. “Ya, aku makan lebih dulu karena kamu sudah makan dengan Anin. Tidak apa-apa?”“Ya, tidak apa-apa, Mas. Aku malah akan khawatir kalau kamu belum makan. Nanti kalau kamu sakit aku juga yang repot merawatmu,” ujar Aruna dengan senyum geli.Alis Baskara naik. “Maksudnya kamu tidak ikhlas merawatku kalau aku s
Aruna berdiri di depan rumah orang tuanya—rumah yang sudah lama sekali rasanya tidak ia kunjungi meski sebenarnya baru beberapa bulan saja. Banyaknya rentetan kejadian belakangan ini membuat kepergiannya dari rumah itu terasa sudah lama berlalu. Kini, Anindya yang tinggal di sana. Adiknya itu menolak untuk tinggal bersama Aruna dan memilih untuk tinggal sendirian di rumah orang tua mereka.Rumah itu menyimpan begitu banyak kenangan yang melekat dalam setiap dinding dan sudutnya. Udara senja terasa lebih berat ketika Aruna menatap pintu yang kini terbuka oleh Anindya.“Masuk aja, Kak. Mau istirahat dulu?” tanya Anindya sambil melepaskan sepatunya.Aruna mengangguk pelan dan mengikuti adiknya masuk. Saat melangkah melewati ruang tamu yang masih dipenuhi perabot lama, ada desir hangat sekaligus perih yang menghampiri dadanya. Ia merasa seperti kembali ke masa-masa kecil, masa saat semuanya masih utuh.Hidup keluarganya mungkin tidak bergelimang harta. Namun Aruna bisa ingat saat orang tu
Sambungan terputus begitu saja, menyisakan hening yang menekan telinga Aruna lebih keras dari suara apa pun. Ia masih mematung di kursinya, jari-jarinya menggenggam ponsel dengan kaku. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya, meski udara di restoran tidak panas.Tidak lama denting singkat terdengar. Satu notifikasi masuk.Aruna menunduk dengan detak jantung tidak karuan. Layar ponselnya kembali menyala. Kali ini bukan panggilan, melainkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal.Tidak ada teks. Hanya satu file video.Dengan tangan gemetar, Aruna memutar video itu. Butuh waktu beberapa detik hingga gambar mulai bergerak. Seketika saja dunia Aruna seperti jungkir balik.Di layar, tampak seorang pria tua terbaring di atas ranjang besi, dalam sebuah ruangan yang tampak seperti fasilitas medis atau rumah sakit. Dindingnya kusam, pencahayaannya redup. Tidak ada tanda-tanda modernitas atau perawatan profesional. Hanya ranjang sederhana, alat infus menggantung yang tidak terpasang, dan tabung
Aruna baru saja selesai menyiapkan sarapan saat Baskara keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk dan wajah yang masih terlihat was-was.Pagi ini gerak-gerik Baskara lebih sigap dan waspada, Aruna bisa merasakannya. Sejak Aruna membuka mata, ke mana pun matanya tertuju, pasti ada Baskara di sana. Seakan suaminya itu tidak mau jauh-jauh dari Aruna, ingin memastikan bahwa dirinya bisa terlihat dan terlindungi dalam jangkauan Baskara."Aku bisa kerja dari rumah hari ini," ujar Baskara akhirnya setelah kembali muncul dengan pakaian kerjanya. Sambil berjalan ke arah Aruna dan bergabung di meja makan, ia berkata lagi, "Atau lebih baik aku tidak pergi ke kantor saja dan menemani kamu di sini?"Aruna menoleh, menatap mata suaminya yang menunjukkan kecemasan. Bibirnya tersenyum lembut. Ditambah hatinya terasa hangat karena sangat merasakan usaha Baskara yang masih berusaha menjaganya sejak ia memberitahu tentang teror itu.“Tidak usah, Mas,” ucap Aruna lembut sambil menyiapkan sarapan u
Senja mulai merayap perlahan, menggantikan cahaya matahari yang tadi menghangatkan ruangan. Lampu-lampu apartemen menyala lembut saat pintu utama terbuka dan suara langkah kaki Baskara terdengar memasuki apartemen. Aruna, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh yang sudah dingin di tangan, segera berdiri dan menyambut sang suami seperti biasa.“Capek, ya?” tanya Aruna sambil mengambil jas yang dikenakan Baskara.Baskara tersenyum kecil, lalu mengecup kening istrinya. “Tidak juga. Aku hanya ingin cepat pulang dan bertemu kamu.”Aruna terkekeh pelan, meski nada tawanya terdengar hampa. Ia berusaha bersikap seperti biasa dengan menyiapkan minuman, bertanya soal pekerjaan, dan menemani Baskara makan malam. Tapi pikirannya tidak pernah benar-benar fokus. Matanya sering melirik ke arah pintu. Tangannya kadang gemetar ringan saat mengambil sendok atau gelas.Baskara menyadarinya, tapi belum berkomentar. Sampai akhirnya mereka duduk berdua di sofa setelah makan, dan pria
Pagi itu, cahaya matahari yang hangat menyusup masuk lewat celah tirai kamar, menyorot lembut ke arah tempat tidur yang masih berantakan. Di sisi ranjang, Aruna duduk bersandar dengan selimut membungkus tubuhnya, rambutnya sedikit kusut namun wajahnya berseri. Di hadapannya, Baskara tengah mengenakan jasnya, bersiap untuk berangkat kerja.“Kenapa kamu tidak membangunkanku? Aku belum menyiapkan sarapan karena terlambat bangun,” gerutu Aruna, suaranya masih serak karena baru bangun.Tidurnya terlalu nyenyak hingga ia tidak menyadari hari sudah pagi. Ia bahkan tidak menyadari gerak-gerik Baskara yang pasti mengeluarkan suara-suara saat bersiap-siap. Apa yang terjadi semalam benar-benar membuat Aruna lelah dan hatinya penuh hingga tidur lelap.Baskara menoleh, lalu tersenyum kecil. Aruna perlahan mulai terbiasa dengan senyum sang pria yang hanya muncul untuk dirinya. Ia melangkah mendekat dan duduk di tepi ranjang, tangannya menyentuh pipi istrinya dengan lembut.“Kamu tidur nyenyak sekal
Ciuman mereka tidak lagi sekadar sentuhan bibir. Ada hasrat yang tertahan terlalu lama, ada gairah yang meronta untuk dilepaskan. Baskara mendekap Aruna erat, seolah ingin menyatu, bukan hanya tubuhnya, tapi juga hati dan luka-luka yang selama ini mereka simpan dalam diam.Baskara menatap Aruna sejenak, seolah meminta izin, memastikan bahwa ini adalah keinginan mereka berdua. Saat Aruna mengangguk pelan, dengan mata yang berkaca, ia tahu tidak ada lagi yang perlu diragukan.Dengan satu gerakan lembut namun tegas, Baskara mengangkat Aruna ke dalam gendongannya dan membawanya ke kamar. Cahaya temaram lampu tidur menyinari kulit mereka, menciptakan bayang-bayang yang seolah ikut menyaksikan malam yang menjadi momen penting bagi dua insan itu.Begitu Aruna berada di atas ranjang, Baskara bergabung di sana. Tubuhnya bera