Mata Ella membelalak penuh ketegangan dan keterkejutan, pupilnya melebar. Dengan cepat ia menepis tangan Lorenzo lagi. Sentuhannya, walau hanya sekilas, terasa panas di kulitnya.
Tangannya mencengkeram kerah baju Lorenzo dengan kekuatan yang lahir dari campuran amarah dan keputusasaan, hingga jari-jarinya memucat. Ia salah telah percaya pada Lorenzo di awal. Percaya pada pria sepertinya adalah sebuah bencana! “Kau semakin kelewatan. Ini namanya penculikan, Lorenzo! Hentikan mobilnya sekarang! Aku mau turun!” desisnya. Lorenzo menarik napas panjang dan berat. Satu alisnya terangkat, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Ella hingga napasnya menerpa halus di kulit wajah gadis itu. Lorenzo menyeringai lebih lebar, ada kilatan kemenangan di matanya. Tangan Lorenzo di pinggul Ella mencengkramnya kuat, hampir menyakitkan membuat gadis itu meringis. “Siapa kau berani memberiku perintah?” gumamnya dengan nada yang sangat rendah. “Dasar bajingan sialan!” maki Ella, kata-katanya penuh kebencian yang membara. Keberanian Ella tidak goyah meski gadis itu sudah terpojok. Hanya dirinyalah yang bisa melindunginya saat ini. “Hati-hati dengan kata-katamu, Sayang,” bisiknya. “Aku sudah cukup sabar menghadapi tingkahmu yang kurang ajar selama ini. Jangan kau pikir kesabaranku tidak punya batas. Haruskah aku memberi hukuman untuk lidah tajammu itu?” peringatnya tegas. Ella melepaskan tangannya dari kerah kemeja Lorenzo untuk menepis tangan Lorenzo dari dagunya dengan gerakan penuh amarah, lalu memalingkan wajahnya dari pria itu untuk menatap keluar jendela. Ia menyugar rambutnya hingga berantakan. Dadanya naik turun dengan cepat, frustrasi menggerogoti setiap inci tubuhnya. Matanya mulai menyisir jalanan di luar jendela, mencari sesuatu. Apa saja yang bisa menjadi petunjuk, atau tanda-tanda kecil yang mungkin bisa membantunya jika ada kesempatan untuk kabur tanpa tersesat. Ralat, ia akan menciptakan kesempatan untuk kabur dari Lorenzo apa pun yang terjadi. Selama darah masih mengalir di nadinya, ia tidak akan pernah tunduk pada pria seperti Lorenzo. Mobil akhirnya berhenti di sebuah parkiran villa dua lantai yang berada di daerah pantai, pelabuhan. Mesin mobil mati, dan sopir turun membukakan pintu untuk Lorenzo. Pria itu turun sembari menggendong Ella bridal style. Cengkramannya tidak sedikit pun melonggarkan di pinggang Ella. Sedangkan Ella kehabisan cara untuk memberontak. Lorenzo melangkah mantap menaiki tangga. Pria itu membuka pintu salah satu ruangan. Membawa Ella masuk ke sebuah kamar sederhana lalu menurunkan gadis itu di atas kasur. “Mau apa kau bawa aku ke sini? Jangan macam-macam denganku, Lorenzo!” geram Ella, tangannya terkepal kuat seolah siap meninju wajah tampan Lorenzo yang arogan itu. Lorenzo menatapnya dengan senyum sinis. “Kalau aku memiliki niat untuk macam-macam denganmu, kau sudah mengandung anakku sejak lama, Ella,” sarkasnya. “Lalu kau mau apa membawaku ke sini? Aku tidak mau, aku ingin pulang, Lorenzo!” bentak Ella, suaranya meninggi, nyaring, bergema di ruangan kamar yang kosong ini, memekakkan telinga Lorenzo. “Teriaklah sesukamu, tidak akan ada yang bersimpati padamu. Kau akan tinggal di sini, bersamaku, suka atau tidak, mau atau tidak." Suara Lorenzo tegas tidak meninggalkan celah untuk perlawanan. “Dan jangan coba-coba kabur. Villa ini dijaga ketat. Memberontak hanya akan sia-sia.” Saat Lorenzo berbalik untuk keluar, Ella bangun, melangkah dengan gesit. Ia meraih pistol yang terselip di celana belakang pria itu. Tanpa ragu, ia mengacungkan senjata itu ke arah Lorenzo. Pria itu berbalik perlahan, keningnya berkerut dalam, matanya menatap Ella dengan tajam. “Setelah semua yang kau lakukan padaku jangan harap aku akan menurut,” ungkap Ella penuh tekad. Ella melangkah maju hingga ujung pistol kini menempel di kening Lorenzo. Pria itu bisa merasakan ujung pistol yang bergetar di keningnya. Tangan Ella tidak stabil menggenggam pistol. Gadis itu takut. Lorenzo tersenyum mengejek. Tubuh tegapnya tidak gentar sama sekali. “Kau mau menembakku dengan tangan gemetar seperti itu? Baiklah, lakukan, Sayang, sekarang. Tunjukkan padaku sebesar apa kemarahanmu,” tantangnya, suaranya penuh percaya diri. Ella menelan ludah, tenggorokannya terasa tercekat. Ketakutannya berubah menjadi kemarahan yang membakar dadanya yang semakin tidak terkontrol karena sikap Lorenzo yang meremehkannya. Ia mengangkat dagunya, jari-jarinya mengencang di pelatuk. “Tantangan diterima,” desisnya. Tanpa peringatan, tanpa jeda untuk berpikir ulang, Ella menarik pelatuk.Ella mengerjap, pistol yang ia pegang tidak memiliki peluru. Pantas saja Lorenzo tidak bergeming. Namun, tindakannya tersebut berhasil memancing kemarahan pria itu. Ella mundur selangkah, tapi Lorenzo dengan cepat mencengkram tangan Ella dan merampas pistol itu dari tangannya. Ia membuang pistol itu ke sembarang arah. Tanpa kata ia mengangkat tubuh Ella dan melemparnya ke ranjang. Tidak terlalu kuat untuk menyakitinya, tapi cukup membuat Ella tersentak dan menjerit. Lorenzo menindihnya. Ella mengerjap beberapa kali, membeku. "Lorenzo!" teriaknya, tangannya menahan dada Lorenzo. Namun, tangan Lorenzo mencengkram pergelangan tangan Ella, menguncinya di atas kepala dengan genggaman yang tegas dan menyakitkan. Pria itu mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya pada wajah gadis itu. Tatapan mereka bertemu, saling melempar tatapan tajam. Ella merasa tatapan Lorenzo itu seperti predator yang ingin membunuh mangsanya. “Bajingan, mau apa kau?!” jerit Ella terus meronta-ronta, tubu
Plak! Suara tamparan itu terdengar nyaring. Ella berdiri dengan napas tersengal, telapak tangannya terasa panas setelah dengan penuh kemarahan menampar wajah Lorenzo. Rasa geram di dadanya tidak lagi bisa dilampiaskan dengan kata-kata. Matanya yang hijau berkilat penuh dendam. "Kau jahat, Lorenzo, kau anggap aku apa? Barang? Aku tidak akan pernah menjadi milikmu dengan cara seperti ini!” katanya. Tubuh tegap Lorenzo tidak berpindah seinci pun bahkan setelah mendapat tamparan kuat Ella yang membekas kemerahan di pipinya. Ia menatap Ella sesaat sebelum tawanya yang sinis memecah keheningan. Tangannya tiba-tiba terangkat, mencengkeram rahang Ella membuat gadis itu meringis. Jari-jarinya terasa dingin, menekan kulit lembut Ella hingga meninggalkan bekas merah samar. "Dan aku akan membuatmu menarik kata-katamu, cepat atau lambat," sahut Lorenzo. “Aku tidak akan memaafkanmu meski kau berlutut sekalipun,” ancam Ella, suaranya tegas, menolak menunjukkan ketakutannya di hadapan p
Bruk! Aw!” Ella mengerang kesakitan saat tubuhnya terhempas ke tanah yang becek dan licin, basah oleh guyuran hujan yang tak kunjung reda. Ia menatap kain lusuh yang masih digenggam erat di tangannya—sehelai kain yang tadinya ia ikat di pagar balkon sebagai alat bantu untuk turun dari lantai dua. Ikatan yang ia buat ternyata tidak cukup kuat untuk menahan berat tubuhnya. Berakhir jatuh dengan cukup keras. Hujan deras menerpa wajahnya, mengaburkan pandangan, sesekali petir menggelegar. Rasa dingin menusuk hingga ke tulang-tulangnya, membuatnya menggigil. Ia berdiri, menahan rasa ngilu pada anklenya, sesekali merintih. Memaksakan kakinya melangkah meski terpincang-pincang. Ia menyusuri semak-semak belukar. Mencoba mencari kalung yang dilempar Lorenzo. Ia harus menemukan kalung itu. Tidak peduli tangannya yang terluka tergores ranting-ranting semak belukar. Gadis itu terus menyusuri taman. Matanya menyapu setiap sudut taman yang gelap. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing, membua
Ella tidak menyangka ia masih memilki setitik rasa untuk Lorenzo. Permohonan pria itu ternyata mampu meluluhkannya. Menjadi sebuah genjatan senjatanya yang menghentikan perang mereka sementara. Namun, ada rasa kepuasan dalam diri Ella hanya karena Lorenzo menjilat ludahnya sendiri dengan berlutut di hadapannya. Ella tidak menyadari bahwa ia semakin terikat dengan Lorenzo, tidak menyadari bahwa perubahan situasi ini ada pada kendali Lorenzo. “Hatchu!” Lorenzo menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengeringkan rambut Ella dengan hair dryer. Mereka duduk di sofa dengan Ella memunggunginya. Pria itu menarik pundak Ella agar berbalik padanya ketika lagi-lagi mendengar Ella bersin. Ia menempelkan punggung tangannya di kening Ella. Suhu tubuh gadis itu terasa meningkat “Lihat apa yang kau dapat dari ulahmu, kau demam sekarang,” kata Lorenzo. Ella menepis tangan Lorenzo dia keningnya. Meskipun dirinya sudah tidak memberontak dan lebih tenang, gadis itu masih enggak berin
“Ella, kau masih di sana, Nak?” Suara Thomas masih terdengar karena telepon masih tersambung. Ella melirik ponsel dalam genggaman Lorenzo, lalu berdehem. Mencoba membuat suara sebagai kode yang bisa didengar Thomas. Sekaligus menjadi upayanya untuk mengaburkan rasa gugup karena ketidaksiapan menghadapi Lorenzo. Tatapan pria itu sangat tidak bersahabat dan entah mengapa membuatnya merinding. Segera Ella membuang wajahnya, menghindari kontak mata dengan Lorenzo. Sepasang mata hitam yang tajam itu seolah mampu menembus pertahanan terdalamnya. Mata Lorenzo beralih pada benda tipis dalam gengaman tangan kekarnya. Tanpa kata ia beranjak keluar ruangan lalu menutup pintu sembari mendekatkan ponsel ke telinganya dan bersandar di dinding. “Ella butuh istirahat,” ucapnya dingin sembari memasukkan satu tangan ke sakunya. “Kau... Lorenzo?” Thomas bertanya dengan nada curiga dan menyelidik. “Kau tidak perlu tahu siapa aku.” Lorenzo menjawab dengan sikap acuh tak acuh, suaranya datar. M
Bohong jika Ella tidak merasa cemas dengan ancaman Lorenzo. Gadis itu meringkuk di atas kasur, menggigiti kukunya. Pria itu tidak pernah main-main dengan perkataannya. Apa yang dilakukan pada Daren sudah membuktikan semuanya dan ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama—mengabaikan perkataan Lorenzo. Ancaman yang dilontarkannya bukan hanya isapan jempol belaka. Lorenzo merupakan tipe orang yang selalu bisa dipegang kata-katanya. Rasa frustasi semakin memuncak. Rambutnya yang acak-acakan ia cengkram. Kepalanya berdenyut nyeri sekali memikirkan jalan keluar dari lingkaran setan ini. Ella sadar, dengan melarikan diri terus menerus bukanlah solusi dari masalah ini. Ia harus mencari cara lain. Suara derit pintu memecah keheningan, membuat tubuhnya tegang. Refleks, Ella membalikkan badan membelakangi pintu dan memejamkan mata erat-erat. Terdengar suara derap langkah mantap yang semakin mendekat, diikuti gerakan kasur yang memberitahu bahwa seoseorang telah duduk di sisi ka
Menit-menit berlalu terasa sangat menegangkan untuk Ella. Keringat dingin membasahi telapak tangannya sejak ia mengatakan ingin membuat kesepakatan dan balasan Lorenzo hanya merintahkannya menunggu. Sedangkan pria itu sekarang mengurus orang-orang suruhan Thomas yang datang menjemputnya. Dengan gelisah, gadis itu berjalan mondar-mandir bak setrikaan. Otaknya terus berputar memikirkan segala kemungkinan kesepakatan yang bisa menguntungkannya sekaligus melindungi orang-orang terdekatnya. Dengan tangan gemetar, ia beranjak mengambil air minum untuk menenangkan diri. Namun gelas itu tergelincir dari genggamannya yang basah oleh keringat. Tiba-tiba Sebuah tangan besar dengan sigap menangkap gelas tersebut sebelum pecah membentur lantai. Ella tersentak dan menoleh, mendapati sosok besar Lorenzo menjulang di hadapannya. Bahkan derap langkah pria ini tak terdengar olehnya, mungkin karena pikirannya yang terlalu ramai. Tanpa kata, pria itu menuangkan air ke gelas lalu menyodorkannya
“Kau bisa mengawasiku,” jawab Ella tenang.“Hanya saja, pastikan kau mengawasiku dalam jarak yang wajar. Tidak terlalu dekat dan membuatku risih. Kau juga boleh ikut bersamaku jika aku keluar rumah, kau juga bisa datang ke rumahku kapan pun.”Lorenzo terdiam sejenak, sedikit merenung. Ia mengamati setiap detail ekspresi Ella. Dengan gerakan yang lembut namun posesif, ia menarik tubuh Ella ke pangkuannya. Meski terkejut, Ella tidak menolak.Tangan Lorenzo bertumpu di pahanya yang tidak tertutup kain. Ella bisa merasakan kehangatan dari tangan Lorenzo yang membuatnya gelisah. Sedangkan tangannya yang lain melingkar di pinggang Ella.“Apa alasanmu membuat keputusan seperti ini?” Suara Lorenzo terdengar sangat curiga.“Jangan kau pikir aku akan langsung percaya. Aku mengenalmu dengan baik, hingga aku tahu bahwa ada rencana lain yang kau rencanakan dalam kepala cantikmu itu, kan?”Ella mengernyit, memberanikan diri menatap mata Lorenzo langsung. Sebenarnya ia sendiri tidak yakin dengan ap
“Kekerasan tidak akan membuatnya jera,” gumam Ella lemah. “Ayah tidak seharusnya melakukan itu.” Ia bersandar di kepala ranjang memperhatikan Karen yang sedang memeriksa termometer. Angka di layar kecil itu membuatnya meringis—suhu tubuh Ella tinggi. “Istirahat, Ella. Jangan pikirkan pria itu. Dia pantas dihukum oleh ayahmu,” sahutnya sembari menarik selimut hingga menutupi perut Ella. “Apa yang kau harapkan akan dilakukan Ayahmu setelah putrinya dibawa pergi oleh pria tanpa izin? Mengajak Lorenzo ngobrol santai di gazebo sambil main catur dan minum kopi, begitu?” sarkasnya jengkel. Ella terdiam, ia menunduk menelan kata-kata yang ingin keluar. Ia tahu ibunya sama murkanya dengan ayahnya. Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan derit keras. Thomas berdiri di ambang pintu, matanya—yang biasanya penuh otoritas—kini dipenuhi kecemasan. Langkahnya berat saat ia mendekat. Tanpa kata, ia menarik Ella ke dalam pelukannya, erat. “Ayah sangat cemas.” Suara Thomas serak, penuh emosi yang i
Sepanjang perjalanan, Lorenzo menggenggam tangan Ella dengan kelembutan yang mengherankan. Suhu tubuh Ella masih panas. Wajahnya nampak khawatir saat melirik wajah Ella di kursi sebelah. Ella memejamkan mata dan berpura-pura tertidur menghadap jendela. Kepala Ella berdenyut-denyut sangat menyiksa. Pikirannya masih berkecamuk memikirkan kejadian tidak senonoh beberapa waktu lalu. Rasa menyesal dan bersalah kepada Daren menghantui benaknya. Ia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa mengendalikan perasaannya. Mobil memasuki halaman sebuah villa mewah. Alis Lorenzo berkerut dalam melihat sejumlah penjaga berseragam hitam di sekitar pelataran. Mereka mendekat dengan postur siaga. Meski situasi tampak mencurigakan, Lorenzo tetap tenang. Setelah mematikan mesin. Tangannya bergerak mengusap kepala Ella, membangunkan gadis itu dari tidur pura-puranya. Ella membuka mata perlahan, terkejut melihat villa dikelilingi banyak orang. Remasan lembut Lorenzo di tangannya membuat Ella menole
“Kau bisa mengawasiku,” jawab Ella tenang.“Hanya saja, pastikan kau mengawasiku dalam jarak yang wajar. Tidak terlalu dekat dan membuatku risih. Kau juga boleh ikut bersamaku jika aku keluar rumah, kau juga bisa datang ke rumahku kapan pun.”Lorenzo terdiam sejenak, sedikit merenung. Ia mengamati setiap detail ekspresi Ella. Dengan gerakan yang lembut namun posesif, ia menarik tubuh Ella ke pangkuannya. Meski terkejut, Ella tidak menolak.Tangan Lorenzo bertumpu di pahanya yang tidak tertutup kain. Ella bisa merasakan kehangatan dari tangan Lorenzo yang membuatnya gelisah. Sedangkan tangannya yang lain melingkar di pinggang Ella.“Apa alasanmu membuat keputusan seperti ini?” Suara Lorenzo terdengar sangat curiga.“Jangan kau pikir aku akan langsung percaya. Aku mengenalmu dengan baik, hingga aku tahu bahwa ada rencana lain yang kau rencanakan dalam kepala cantikmu itu, kan?”Ella mengernyit, memberanikan diri menatap mata Lorenzo langsung. Sebenarnya ia sendiri tidak yakin dengan ap
Menit-menit berlalu terasa sangat menegangkan untuk Ella. Keringat dingin membasahi telapak tangannya sejak ia mengatakan ingin membuat kesepakatan dan balasan Lorenzo hanya merintahkannya menunggu. Sedangkan pria itu sekarang mengurus orang-orang suruhan Thomas yang datang menjemputnya. Dengan gelisah, gadis itu berjalan mondar-mandir bak setrikaan. Otaknya terus berputar memikirkan segala kemungkinan kesepakatan yang bisa menguntungkannya sekaligus melindungi orang-orang terdekatnya. Dengan tangan gemetar, ia beranjak mengambil air minum untuk menenangkan diri. Namun gelas itu tergelincir dari genggamannya yang basah oleh keringat. Tiba-tiba Sebuah tangan besar dengan sigap menangkap gelas tersebut sebelum pecah membentur lantai. Ella tersentak dan menoleh, mendapati sosok besar Lorenzo menjulang di hadapannya. Bahkan derap langkah pria ini tak terdengar olehnya, mungkin karena pikirannya yang terlalu ramai. Tanpa kata, pria itu menuangkan air ke gelas lalu menyodorkannya
Bohong jika Ella tidak merasa cemas dengan ancaman Lorenzo. Gadis itu meringkuk di atas kasur, menggigiti kukunya. Pria itu tidak pernah main-main dengan perkataannya. Apa yang dilakukan pada Daren sudah membuktikan semuanya dan ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama—mengabaikan perkataan Lorenzo. Ancaman yang dilontarkannya bukan hanya isapan jempol belaka. Lorenzo merupakan tipe orang yang selalu bisa dipegang kata-katanya. Rasa frustasi semakin memuncak. Rambutnya yang acak-acakan ia cengkram. Kepalanya berdenyut nyeri sekali memikirkan jalan keluar dari lingkaran setan ini. Ella sadar, dengan melarikan diri terus menerus bukanlah solusi dari masalah ini. Ia harus mencari cara lain. Suara derit pintu memecah keheningan, membuat tubuhnya tegang. Refleks, Ella membalikkan badan membelakangi pintu dan memejamkan mata erat-erat. Terdengar suara derap langkah mantap yang semakin mendekat, diikuti gerakan kasur yang memberitahu bahwa seoseorang telah duduk di sisi ka
“Ella, kau masih di sana, Nak?” Suara Thomas masih terdengar karena telepon masih tersambung. Ella melirik ponsel dalam genggaman Lorenzo, lalu berdehem. Mencoba membuat suara sebagai kode yang bisa didengar Thomas. Sekaligus menjadi upayanya untuk mengaburkan rasa gugup karena ketidaksiapan menghadapi Lorenzo. Tatapan pria itu sangat tidak bersahabat dan entah mengapa membuatnya merinding. Segera Ella membuang wajahnya, menghindari kontak mata dengan Lorenzo. Sepasang mata hitam yang tajam itu seolah mampu menembus pertahanan terdalamnya. Mata Lorenzo beralih pada benda tipis dalam gengaman tangan kekarnya. Tanpa kata ia beranjak keluar ruangan lalu menutup pintu sembari mendekatkan ponsel ke telinganya dan bersandar di dinding. “Ella butuh istirahat,” ucapnya dingin sembari memasukkan satu tangan ke sakunya. “Kau... Lorenzo?” Thomas bertanya dengan nada curiga dan menyelidik. “Kau tidak perlu tahu siapa aku.” Lorenzo menjawab dengan sikap acuh tak acuh, suaranya datar. M
Ella tidak menyangka ia masih memilki setitik rasa untuk Lorenzo. Permohonan pria itu ternyata mampu meluluhkannya. Menjadi sebuah genjatan senjatanya yang menghentikan perang mereka sementara. Namun, ada rasa kepuasan dalam diri Ella hanya karena Lorenzo menjilat ludahnya sendiri dengan berlutut di hadapannya. Ella tidak menyadari bahwa ia semakin terikat dengan Lorenzo, tidak menyadari bahwa perubahan situasi ini ada pada kendali Lorenzo. “Hatchu!” Lorenzo menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengeringkan rambut Ella dengan hair dryer. Mereka duduk di sofa dengan Ella memunggunginya. Pria itu menarik pundak Ella agar berbalik padanya ketika lagi-lagi mendengar Ella bersin. Ia menempelkan punggung tangannya di kening Ella. Suhu tubuh gadis itu terasa meningkat “Lihat apa yang kau dapat dari ulahmu, kau demam sekarang,” kata Lorenzo. Ella menepis tangan Lorenzo dia keningnya. Meskipun dirinya sudah tidak memberontak dan lebih tenang, gadis itu masih enggak berin
Bruk! Aw!” Ella mengerang kesakitan saat tubuhnya terhempas ke tanah yang becek dan licin, basah oleh guyuran hujan yang tak kunjung reda. Ia menatap kain lusuh yang masih digenggam erat di tangannya—sehelai kain yang tadinya ia ikat di pagar balkon sebagai alat bantu untuk turun dari lantai dua. Ikatan yang ia buat ternyata tidak cukup kuat untuk menahan berat tubuhnya. Berakhir jatuh dengan cukup keras. Hujan deras menerpa wajahnya, mengaburkan pandangan, sesekali petir menggelegar. Rasa dingin menusuk hingga ke tulang-tulangnya, membuatnya menggigil. Ia berdiri, menahan rasa ngilu pada anklenya, sesekali merintih. Memaksakan kakinya melangkah meski terpincang-pincang. Ia menyusuri semak-semak belukar. Mencoba mencari kalung yang dilempar Lorenzo. Ia harus menemukan kalung itu. Tidak peduli tangannya yang terluka tergores ranting-ranting semak belukar. Gadis itu terus menyusuri taman. Matanya menyapu setiap sudut taman yang gelap. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing, membua
Plak! Suara tamparan itu terdengar nyaring. Ella berdiri dengan napas tersengal, telapak tangannya terasa panas setelah dengan penuh kemarahan menampar wajah Lorenzo. Rasa geram di dadanya tidak lagi bisa dilampiaskan dengan kata-kata. Matanya yang hijau berkilat penuh dendam. "Kau jahat, Lorenzo, kau anggap aku apa? Barang? Aku tidak akan pernah menjadi milikmu dengan cara seperti ini!” katanya. Tubuh tegap Lorenzo tidak berpindah seinci pun bahkan setelah mendapat tamparan kuat Ella yang membekas kemerahan di pipinya. Ia menatap Ella sesaat sebelum tawanya yang sinis memecah keheningan. Tangannya tiba-tiba terangkat, mencengkeram rahang Ella membuat gadis itu meringis. Jari-jarinya terasa dingin, menekan kulit lembut Ella hingga meninggalkan bekas merah samar. "Dan aku akan membuatmu menarik kata-katamu, cepat atau lambat," sahut Lorenzo. “Aku tidak akan memaafkanmu meski kau berlutut sekalipun,” ancam Ella, suaranya tegas, menolak menunjukkan ketakutannya di hadapan p