Tubuh Ella langsung berkeringat dingin. Amarahnya terganti dengan rasa bersalah. Membayangkan bahwa wanita baya itu pasti telah melihat kejadian tidak etis yang baru saja terjadi.
Ella tidak tahu seberantakan apa penampilannya saat ini, tapi itu pasti memalukan.
Dengan langkah cepat, wanita itu baya mendekati Ella dan menariknya menjauh dari Lorenzo, hingga membuat tubuh Ella terhuyung.
“Apa yang kau lakukan? Kau gila, hah?” maki Pamela, Ibu Daren dengan suara keras yang memekakkan telinga.
“Kau selingkuh? Beraninya kau menyelingkuhi putraku di depan wajahku? Beraninya kau melakukan ini pada putraku?!” teriaknya lagi tepat di depan wajah Ella sembari mendorong kasar bahu gadis itu hingga ia mundur selangkah. Suaranya menggelegar bagai petir di siang bolong.
Gadis itu pucat pasi dan tubuhnya gemetar. "Ini salah paham, ini tidak seperti yang Ibu lihat. Aku tidak berselingkuh, tolong dengarkan aku.”
Pamela berkacak pinggang, kepalanya menggeleng. “Masih berani kau mengelak setelah apa yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri?!”
“Tidak, kumohon dengarkan—”
Plak!
Pamela membungkam Ella dengan sebuah tamparan keras, hingga suaranya menggema di lorong.
Mata Lorenzo membola dalam sepersekian detik. Sebelum akhirnya kembali dengan tatapan tajamnya.
Tubuh Ella terhuyung, jatuh terjerembab ke lantai. Gadis itu menunduk, terkulai lemah dalam duduknya. Rambutnya jatuh menutupi wajahnya. Air mata kembali membanjiri pipinya.Tubuhnya bergetar. Suara keras dan bentakan Pamela telah memicu kecemasan berlebihan yang sedari tadi ia tahan. Ella merasa sangat sesak, pipinya berdenyut nyeri.
Lorenzo melangkah, berdiri di tengah-tengah antara Ella dan Pamela. Wanita baya itu terdiam sejenak, menatap Lorenzo yang menjulang di depannya.
“Apa? Kau mau apa? Membela wanita jalangmu ini, hah?!” teriak Pamela, matanya masih menyala-nyala dengan kobaran emosi.
Lorenzo menggeram. “Jaga mulutmu itu! Sekali lagi kau berani bicara seperti itu dan melukai Ella, kupastikan kau akan bernasib sama dengan putramu.”
Tangan Pamela terkepal, ia berdecih. “Kalian berdua benar-benar sudah kehilangan akal, hah?! Dasar menjijikan! Pergi dari hadapanku sekarang. Ini rumah sakit, bukan hotel. Dan kau, Ella, jangan temui anakku lagi!”
Ella mendongak terperangah, bibirnya bergerak-gerak ingin bicara. Sekuat tenaga mencoba mengendalkan diri.
“Maaf…,” ucapnya, hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.
“Tidak, pergilah kalian! Aku tidak mau mendengarmu dan melihatmu lagi!” bentak Pamela tidak ingin dibantah.
Lorenzo berlutut di samping Ella. Mengangkat tubuh gadis itu tanpa mengeluarkan usaha seolah Ella hanya sehelai bulu.
Ella menggeleng menolak, tapi ia tidak punya tenaga untuk memberontak. Merasa sangat lemas bahkan untuk mengeluarkan suara penolakkan.
*** Suara di dalam mobil hanya diisi oleh isakan Ella. Lorenzo membawa gadis itu ke dalam mobilnya yang kini telah melaju jauh meninggalkan rumah sakit. Pria itu melingkarkan lengannya ke tubuh Ella yang kini berada di pangkuannya, merengkuh pinggang Ella dengan erat.Napas gadis itu masih terputus-putus dan sesenggukan. Lorenzo menarik dagunya agar bisa menatapnya, ia ingin melihat keadaan gadis itu. Pria itu mengehela napas pelan yang terasa panas di wajah Ella.
“Kau aman di sini, Ella. Cobalah mengatur napasmu,” katanya. “Tarik napas dalam-dalam, lalu embuskan perlahan.”
Mata Ella fokus pada mata Lorenzo, perlahan mengikuti perintah Lorenzo pelan-pelan membuat pria itu tersenyum tipis.
Isakan gadis itu perlahan memudar, napasnya mulai kembali tenang. Lorenzo Lalu mengambil sebotol air mineral dari pocket door.
“Minumlah,” katanya sembari menyodorkan kepada Ella botol yang tutupnya sudah dibuka.
Ella menegakkan tubuhnya, meneguk air minum itu. Tangannya masih sedikit gemetar hingga tidak bisa memegang botol dengan stabil.Gadis itu hanya meminum sedikit, lalu mengembalikan botolnya pada Lorenzo.
Pandangan Lorenzo kembali turun ke wajah Ella. Perlahan ibu jarinya mengusap bibir bawah Ella yang masih bengkak dan merah.Gadis itu meringis, refleks menepis kasar tangan besar Lorenzo. “Sakit, Lorenzo,” rintihnya.
Namun, Lorenzo malah menyeringai puas. Ella yang mulai tenang perlahan mampu menguasai dirinya. Kepalanya perlahan mulai bisa berpikir kembali dengan jernih.Ia memperlihatikan sekelilingnya, lalu bergerak pindah ke kursi sebelah. Namun, Lorenzo menarik pinggang Ella agar kembali pada posisi semula. Ella menegakkan tubuhnya, otomatis menatap tajam Lorenzo. Urung pindah karena tahu Lorenzo tidak melepaskannya.
“Aku mau pulang, Lorenzo,” kata Ella dengan suaranya yang serak.
“Aku akan mengantarmu pulang,” balas Lorenzo tenang.
Ella tidak menjawab, ia menarik napas dalam sembari memejamkan matanya. Lega dengan jawaban Lorenzo.
Selama di perjalanan, ia mencoba mencerna semua yang terjadi padanya. Tatapannya kosong, ia belum bisa menerima kenyataan yang baru saja terjadi.
Lorenzo mengacaukan segalanya. Daren terluka, Ibu Daren salah paham.
Ia tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Lorenzo ke depannya. Susah payah gadis itu kabur sampai bersembunyi di negara kecil ini. Namun, pada akhirnya ia kembali dipertemukan dengan Lorenzo.
Hujan rintik-rintik membuat Ella mengalihkan pandangan ke jendela. Tatapannya terpaku pada bintik-bintik hujan di kaca jendela hingga ia menyadari ada sesuatu yang aneh.
Jalan yang mereka tempuh bukanlah jalan menuju tempat tinggalnya. Ella menyipit menatap Lorenzo yang sedang menatapnya santai, seolah sudah membaca isi pikiran Ella.
“Kau mau membawaku ke mana?” desaknya curiga, mulai merasa gelisah.
Lorenzo menyeringai, tangannya bergerak lambat, menyingkirkan sehelai rambut yang menempel di dahi Ella yang berkeringat.
"Ke tempat di mana tidak ada satu pun orang yang mengetahui keberadaanmu.”
Mata Ella membelalak penuh ketegangan dan keterkejutan, pupilnya melebar. Dengan cepat ia menepis tangan Lorenzo lagi. Sentuhannya, walau hanya sekilas, terasa panas di kulitnya. Tangannya mencengkeram kerah baju Lorenzo dengan kekuatan yang lahir dari campuran amarah dan keputusasaan, hingga jari-jarinya memucat. Ia salah telah percaya pada Lorenzo di awal. Percaya pada pria sepertinya adalah sebuah bencana! “Kau semakin kelewatan. Ini namanya penculikan, Lorenzo! Hentikan mobilnya sekarang! Aku mau turun!” desisnya. Lorenzo menarik napas panjang dan berat. Satu alisnya terangkat, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Ella hingga napasnya menerpa halus di kulit wajah gadis itu. Lorenzo menyeringai lebih lebar, ada kilatan kemenangan di matanya. Tangan Lorenzo di pinggul Ella mencengkramnya kuat, hampir menyakitkan membuat gadis itu meringis. “Siapa kau berani memberiku perintah?” gumamnya dengan nada yang sangat rendah. “Dasar bajingan sialan!” maki Ella, kata-katanya penuh keben
Ella mengerjap, pistol yang ia pegang tidak memiliki peluru. Pantas saja Lorenzo tidak bergeming. Namun, tindakannya tersebut berhasil memancing kemarahan pria itu. Ella mundur selangkah, tapi Lorenzo dengan cepat mencengkram tangan Ella dan merampas pistol itu dari tangannya. Ia membuang pistol itu ke sembarang arah. Tanpa kata ia mengangkat tubuh Ella dan melemparnya ke ranjang. Tidak terlalu kuat untuk menyakitinya, tapi cukup membuat Ella tersentak dan menjerit. Lorenzo menindihnya. Ella mengerjap beberapa kali, membeku. "Lorenzo!" teriaknya, tangannya menahan dada Lorenzo. Namun, tangan Lorenzo mencengkram pergelangan tangan Ella, menguncinya di atas kepala dengan genggaman yang tegas dan menyakitkan. Pria itu mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya pada wajah gadis itu. Tatapan mereka bertemu, saling melempar tatapan tajam. Ella merasa tatapan Lorenzo itu seperti predator yang ingin membunuh mangsanya. “Bajingan, mau apa kau?!” jerit Ella terus meronta-ronta, tubu
Plak! Suara tamparan itu terdengar nyaring. Ella berdiri dengan napas tersengal, telapak tangannya terasa panas setelah dengan penuh kemarahan menampar wajah Lorenzo. Rasa geram di dadanya tidak lagi bisa dilampiaskan dengan kata-kata. Matanya yang hijau berkilat penuh dendam. "Kau jahat, Lorenzo, kau anggap aku apa? Barang? Aku tidak akan pernah menjadi milikmu dengan cara seperti ini!” katanya. Tubuh tegap Lorenzo tidak berpindah seinci pun bahkan setelah mendapat tamparan kuat Ella yang membekas kemerahan di pipinya. Ia menatap Ella sesaat sebelum tawanya yang sinis memecah keheningan. Tangannya tiba-tiba terangkat, mencengkeram rahang Ella membuat gadis itu meringis. Jari-jarinya terasa dingin, menekan kulit lembut Ella hingga meninggalkan bekas merah samar. "Dan aku akan membuatmu menarik kata-katamu, cepat atau lambat," sahut Lorenzo. “Aku tidak akan memaafkanmu meski kau berlutut sekalipun,” ancam Ella, suaranya tegas, menolak menunjukkan ketakutannya di hadapan p
Bruk! Aw!” Ella mengerang kesakitan saat tubuhnya terhempas ke tanah yang becek dan licin, basah oleh guyuran hujan yang tak kunjung reda. Ia menatap kain lusuh yang masih digenggam erat di tangannya—sehelai kain yang tadinya ia ikat di pagar balkon sebagai alat bantu untuk turun dari lantai dua. Ikatan yang ia buat ternyata tidak cukup kuat untuk menahan berat tubuhnya. Berakhir jatuh dengan cukup keras. Hujan deras menerpa wajahnya, mengaburkan pandangan, sesekali petir menggelegar. Rasa dingin menusuk hingga ke tulang-tulangnya, membuatnya menggigil. Ia berdiri, menahan rasa ngilu pada anklenya, sesekali merintih. Memaksakan kakinya melangkah meski terpincang-pincang. Ia menyusuri semak-semak belukar. Mencoba mencari kalung yang dilempar Lorenzo. Ia harus menemukan kalung itu. Tidak peduli tangannya yang terluka tergores ranting-ranting semak belukar. Gadis itu terus menyusuri taman. Matanya menyapu setiap sudut taman yang gelap. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing, membua
Ella tidak menyangka ia masih memilki setitik rasa untuk Lorenzo. Permohonan pria itu ternyata mampu meluluhkannya. Menjadi sebuah genjatan senjatanya yang menghentikan perang mereka sementara. Namun, ada rasa kepuasan dalam diri Ella hanya karena Lorenzo menjilat ludahnya sendiri dengan berlutut di hadapannya. Ella tidak menyadari bahwa ia semakin terikat dengan Lorenzo, tidak menyadari bahwa perubahan situasi ini ada pada kendali Lorenzo. “Hatchu!” Lorenzo menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengeringkan rambut Ella dengan hair dryer. Mereka duduk di sofa dengan Ella memunggunginya. Pria itu menarik pundak Ella agar berbalik padanya ketika lagi-lagi mendengar Ella bersin. Ia menempelkan punggung tangannya di kening Ella. Suhu tubuh gadis itu terasa meningkat “Lihat apa yang kau dapat dari ulahmu, kau demam sekarang,” kata Lorenzo. Ella menepis tangan Lorenzo dia keningnya. Meskipun dirinya sudah tidak memberontak dan lebih tenang, gadis itu masih enggak berin
“Ella, kau masih di sana, Nak?” Suara Thomas masih terdengar karena telepon masih tersambung. Ella melirik ponsel dalam genggaman Lorenzo, lalu berdehem. Mencoba membuat suara sebagai kode yang bisa didengar Thomas. Sekaligus menjadi upayanya untuk mengaburkan rasa gugup karena ketidaksiapan menghadapi Lorenzo. Tatapan pria itu sangat tidak bersahabat dan entah mengapa membuatnya merinding. Segera Ella membuang wajahnya, menghindari kontak mata dengan Lorenzo. Sepasang mata hitam yang tajam itu seolah mampu menembus pertahanan terdalamnya. Mata Lorenzo beralih pada benda tipis dalam gengaman tangan kekarnya. Tanpa kata ia beranjak keluar ruangan lalu menutup pintu sembari mendekatkan ponsel ke telinganya dan bersandar di dinding. “Ella butuh istirahat,” ucapnya dingin sembari memasukkan satu tangan ke sakunya. “Kau... Lorenzo?” Thomas bertanya dengan nada curiga dan menyelidik. “Kau tidak perlu tahu siapa aku.” Lorenzo menjawab dengan sikap acuh tak acuh, suaranya datar. M
Bohong jika Ella tidak merasa cemas dengan ancaman Lorenzo. Gadis itu meringkuk di atas kasur, menggigiti kukunya. Pria itu tidak pernah main-main dengan perkataannya. Apa yang dilakukan pada Daren sudah membuktikan semuanya dan ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama—mengabaikan perkataan Lorenzo. Ancaman yang dilontarkannya bukan hanya isapan jempol belaka. Lorenzo merupakan tipe orang yang selalu bisa dipegang kata-katanya. Rasa frustasi semakin memuncak. Rambutnya yang acak-acakan ia cengkram. Kepalanya berdenyut nyeri sekali memikirkan jalan keluar dari lingkaran setan ini. Ella sadar, dengan melarikan diri terus menerus bukanlah solusi dari masalah ini. Ia harus mencari cara lain. Suara derit pintu memecah keheningan, membuat tubuhnya tegang. Refleks, Ella membalikkan badan membelakangi pintu dan memejamkan mata erat-erat. Terdengar suara derap langkah mantap yang semakin mendekat, diikuti gerakan kasur yang memberitahu bahwa seoseorang telah duduk di sisi ka
Menit-menit berlalu terasa sangat menegangkan untuk Ella. Keringat dingin membasahi telapak tangannya sejak ia mengatakan ingin membuat kesepakatan dan balasan Lorenzo hanya merintahkannya menunggu. Sedangkan pria itu sekarang mengurus orang-orang suruhan Thomas yang datang menjemputnya. Dengan gelisah, gadis itu berjalan mondar-mandir bak setrikaan. Otaknya terus berputar memikirkan segala kemungkinan kesepakatan yang bisa menguntungkannya sekaligus melindungi orang-orang terdekatnya. Dengan tangan gemetar, ia beranjak mengambil air minum untuk menenangkan diri. Namun gelas itu tergelincir dari genggamannya yang basah oleh keringat. Tiba-tiba Sebuah tangan besar dengan sigap menangkap gelas tersebut sebelum pecah membentur lantai. Ella tersentak dan menoleh, mendapati sosok besar Lorenzo menjulang di hadapannya. Bahkan derap langkah pria ini tak terdengar olehnya, mungkin karena pikirannya yang terlalu ramai. Tanpa kata, pria itu menuangkan air ke gelas lalu menyodorkannya
Cahaya matahari menyelinap halus ke dalam ruangan melalui jendela villa Lorenzo. Memantul di lantai marmer yang dingin dan mengkilap. Bau alkohol yang tajam memenuhi udara dalam ruangan yang remang-remang itu. Asap rokok masih mengepul dari sisa puntung di asbak. Lorenzo duduk di sofa kulit tua, sebatang rokok menyala di antara jari-jarinya. Di depannya, meja kaca dipenuhi botol-botol alkohol—ada gelas wiski yang tinggal separuh. Dering telepon memecah kehingan. Lorenzo mencondongkan tubuhnya ke arah meja untuk mengambil ponselnya. Tertera nama Alfonso di layar ponsel. “Kau sudah membaca hasil diagnosisnya?” tanya Lorenzo tanpa basa-basi. Suaranya serak saat berbicara. Ada ketegangan di dalamnya. Di ujung sana, suara Alfonso terdengar sangat hati-hati, seolah memilih kata-kata yang dapat diterima Lorenzo tanpa perdebatan. “Ya, aku pernah menangani penyakit seperti ini beberapa bulan lalu,” jawab Alfonso tenang. “Hipocampus Tumoris, penyakit yang diderita Ella merupakan tumor y
“Kekerasan tidak akan membuatnya jera,” gumam Ella lemah. “Ayah tidak seharusnya melakukan itu.” Ia bersandar di kepala ranjang memperhatikan Karen yang sedang memeriksa termometer. Angka di layar kecil itu membuatnya meringis—suhu tubuh Ella tinggi. “Istirahat, Ella. Jangan pikirkan pria itu. Dia pantas dihukum oleh ayahmu,” sahutnya sembari menarik selimut hingga menutupi perut Ella. “Apa yang kau harapkan akan dilakukan Ayahmu setelah putrinya dibawa pergi oleh pria tanpa izin? Mengajak Lorenzo ngobrol santai di gazebo sambil main catur dan minum kopi, begitu?” sarkasnya jengkel. Ella terdiam, ia menunduk menelan kata-kata yang ingin keluar. Ia tahu ibunya sama murkanya dengan ayahnya. Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan derit keras. Thomas berdiri di ambang pintu, matanya—yang biasanya penuh otoritas—kini dipenuhi kecemasan. Langkahnya berat saat ia mendekat. Tanpa kata, ia menarik Ella ke dalam pelukannya, erat. “Ayah sangat cemas.” Suara Thomas serak, penuh emosi yang i
Sepanjang perjalanan, Lorenzo menggenggam tangan Ella dengan kelembutan yang mengherankan. Suhu tubuh Ella masih panas. Wajahnya nampak khawatir saat melirik wajah Ella di kursi sebelah. Ella memejamkan mata dan berpura-pura tertidur menghadap jendela. Kepala Ella berdenyut-denyut sangat menyiksa. Pikirannya masih berkecamuk memikirkan kejadian tidak senonoh beberapa waktu lalu. Rasa menyesal dan bersalah kepada Daren menghantui benaknya. Ia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa mengendalikan perasaannya. Mobil memasuki halaman sebuah villa mewah. Alis Lorenzo berkerut dalam melihat sejumlah penjaga berseragam hitam di sekitar pelataran. Mereka mendekat dengan postur siaga. Meski situasi tampak mencurigakan, Lorenzo tetap tenang. Setelah mematikan mesin. Tangannya bergerak mengusap kepala Ella, membangunkan gadis itu dari tidur pura-puranya. Ella membuka mata perlahan, terkejut melihat villa dikelilingi banyak orang. Remasan lembut Lorenzo di tangannya membuat Ella menole
“Kau bisa mengawasiku,” jawab Ella tenang.“Hanya saja, pastikan kau mengawasiku dalam jarak yang wajar. Tidak terlalu dekat dan membuatku risih. Kau juga boleh ikut bersamaku jika aku keluar rumah, kau juga bisa datang ke rumahku kapan pun.”Lorenzo terdiam sejenak, sedikit merenung. Ia mengamati setiap detail ekspresi Ella. Dengan gerakan yang lembut namun posesif, ia menarik tubuh Ella ke pangkuannya. Meski terkejut, Ella tidak menolak.Tangan Lorenzo bertumpu di pahanya yang tidak tertutup kain. Ella bisa merasakan kehangatan dari tangan Lorenzo yang membuatnya gelisah. Sedangkan tangannya yang lain melingkar di pinggang Ella.“Apa alasanmu membuat keputusan seperti ini?” Suara Lorenzo terdengar sangat curiga.“Jangan kau pikir aku akan langsung percaya. Aku mengenalmu dengan baik, hingga aku tahu bahwa ada rencana lain yang kau rencanakan dalam kepala cantikmu itu, kan?”Ella mengernyit, memberanikan diri menatap mata Lorenzo langsung. Sebenarnya ia sendiri tidak yakin dengan ap
Menit-menit berlalu terasa sangat menegangkan untuk Ella. Keringat dingin membasahi telapak tangannya sejak ia mengatakan ingin membuat kesepakatan dan balasan Lorenzo hanya merintahkannya menunggu. Sedangkan pria itu sekarang mengurus orang-orang suruhan Thomas yang datang menjemputnya. Dengan gelisah, gadis itu berjalan mondar-mandir bak setrikaan. Otaknya terus berputar memikirkan segala kemungkinan kesepakatan yang bisa menguntungkannya sekaligus melindungi orang-orang terdekatnya. Dengan tangan gemetar, ia beranjak mengambil air minum untuk menenangkan diri. Namun gelas itu tergelincir dari genggamannya yang basah oleh keringat. Tiba-tiba Sebuah tangan besar dengan sigap menangkap gelas tersebut sebelum pecah membentur lantai. Ella tersentak dan menoleh, mendapati sosok besar Lorenzo menjulang di hadapannya. Bahkan derap langkah pria ini tak terdengar olehnya, mungkin karena pikirannya yang terlalu ramai. Tanpa kata, pria itu menuangkan air ke gelas lalu menyodorkannya
Bohong jika Ella tidak merasa cemas dengan ancaman Lorenzo. Gadis itu meringkuk di atas kasur, menggigiti kukunya. Pria itu tidak pernah main-main dengan perkataannya. Apa yang dilakukan pada Daren sudah membuktikan semuanya dan ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama—mengabaikan perkataan Lorenzo. Ancaman yang dilontarkannya bukan hanya isapan jempol belaka. Lorenzo merupakan tipe orang yang selalu bisa dipegang kata-katanya. Rasa frustasi semakin memuncak. Rambutnya yang acak-acakan ia cengkram. Kepalanya berdenyut nyeri sekali memikirkan jalan keluar dari lingkaran setan ini. Ella sadar, dengan melarikan diri terus menerus bukanlah solusi dari masalah ini. Ia harus mencari cara lain. Suara derit pintu memecah keheningan, membuat tubuhnya tegang. Refleks, Ella membalikkan badan membelakangi pintu dan memejamkan mata erat-erat. Terdengar suara derap langkah mantap yang semakin mendekat, diikuti gerakan kasur yang memberitahu bahwa seoseorang telah duduk di sisi ka
“Ella, kau masih di sana, Nak?” Suara Thomas masih terdengar karena telepon masih tersambung. Ella melirik ponsel dalam genggaman Lorenzo, lalu berdehem. Mencoba membuat suara sebagai kode yang bisa didengar Thomas. Sekaligus menjadi upayanya untuk mengaburkan rasa gugup karena ketidaksiapan menghadapi Lorenzo. Tatapan pria itu sangat tidak bersahabat dan entah mengapa membuatnya merinding. Segera Ella membuang wajahnya, menghindari kontak mata dengan Lorenzo. Sepasang mata hitam yang tajam itu seolah mampu menembus pertahanan terdalamnya. Mata Lorenzo beralih pada benda tipis dalam gengaman tangan kekarnya. Tanpa kata ia beranjak keluar ruangan lalu menutup pintu sembari mendekatkan ponsel ke telinganya dan bersandar di dinding. “Ella butuh istirahat,” ucapnya dingin sembari memasukkan satu tangan ke sakunya. “Kau... Lorenzo?” Thomas bertanya dengan nada curiga dan menyelidik. “Kau tidak perlu tahu siapa aku.” Lorenzo menjawab dengan sikap acuh tak acuh, suaranya datar. M
Ella tidak menyangka ia masih memilki setitik rasa untuk Lorenzo. Permohonan pria itu ternyata mampu meluluhkannya. Menjadi sebuah genjatan senjatanya yang menghentikan perang mereka sementara. Namun, ada rasa kepuasan dalam diri Ella hanya karena Lorenzo menjilat ludahnya sendiri dengan berlutut di hadapannya. Ella tidak menyadari bahwa ia semakin terikat dengan Lorenzo, tidak menyadari bahwa perubahan situasi ini ada pada kendali Lorenzo. “Hatchu!” Lorenzo menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengeringkan rambut Ella dengan hair dryer. Mereka duduk di sofa dengan Ella memunggunginya. Pria itu menarik pundak Ella agar berbalik padanya ketika lagi-lagi mendengar Ella bersin. Ia menempelkan punggung tangannya di kening Ella. Suhu tubuh gadis itu terasa meningkat “Lihat apa yang kau dapat dari ulahmu, kau demam sekarang,” kata Lorenzo. Ella menepis tangan Lorenzo dia keningnya. Meskipun dirinya sudah tidak memberontak dan lebih tenang, gadis itu masih enggak berin
Bruk! Aw!” Ella mengerang kesakitan saat tubuhnya terhempas ke tanah yang becek dan licin, basah oleh guyuran hujan yang tak kunjung reda. Ia menatap kain lusuh yang masih digenggam erat di tangannya—sehelai kain yang tadinya ia ikat di pagar balkon sebagai alat bantu untuk turun dari lantai dua. Ikatan yang ia buat ternyata tidak cukup kuat untuk menahan berat tubuhnya. Berakhir jatuh dengan cukup keras. Hujan deras menerpa wajahnya, mengaburkan pandangan, sesekali petir menggelegar. Rasa dingin menusuk hingga ke tulang-tulangnya, membuatnya menggigil. Ia berdiri, menahan rasa ngilu pada anklenya, sesekali merintih. Memaksakan kakinya melangkah meski terpincang-pincang. Ia menyusuri semak-semak belukar. Mencoba mencari kalung yang dilempar Lorenzo. Ia harus menemukan kalung itu. Tidak peduli tangannya yang terluka tergores ranting-ranting semak belukar. Gadis itu terus menyusuri taman. Matanya menyapu setiap sudut taman yang gelap. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing, membua