Home / Romansa / Terjebak Obsesi Sang CEO / 6. Kebenaran Tersembunyi

Share

6. Kebenaran Tersembunyi

Author: feynaa
last update Last Updated: 2025-02-03 16:54:14

Plak!

Suara tamparan itu terdengar nyaring. Ella berdiri dengan napas tersengal, telapak tangannya terasa panas setelah dengan penuh kemarahan menampar wajah Lorenzo.

Rasa geram di dadanya tidak lagi bisa dilampiaskan dengan kata-kata. Matanya yang hijau berkilat penuh dendam.

"Kau jahat, Lorenzo, kau anggap aku apa? Barang? Aku tidak akan pernah menjadi milikmu dengan cara seperti ini!” katanya.

Tubuh tegap Lorenzo tidak berpindah seinci pun bahkan setelah mendapat tamparan kuat Ella yang membekas kemerahan di pipinya. Ia menatap Ella sesaat sebelum tawanya yang sinis memecah keheningan.

Tangannya tiba-tiba terangkat, mencengkeram rahang Ella membuat gadis itu meringis. Jari-jarinya terasa dingin, menekan kulit lembut Ella hingga meninggalkan bekas merah samar.

"Dan aku akan membuatmu menarik kata-katamu, cepat atau lambat," sahut Lorenzo.

“Aku tidak akan memaafkanmu meski kau berlutut sekalipun,” ancam Ella, suaranya tegas, menolak menunjukkan ketakutannya di hadapan pria yang membuatnya tidak tahu apa itu artinya sabar.

Lorenzo mendesis, napasnya menyapu wajah Ella. “Siapa yang akan berlutut padamu? Jangan merasa superior hanya karena aku menginginkanmu. Aku yang akan membuatmu bertekuk lutut padaku.”

Kata-katanya seolah ia sangat percaya diri bisa menaklukkan Ella.

Tatapan mereka bertemu, mata kelam Lorenzo menyelami mata hijau Ella yang kini berkaca-kaca. Air mata yang tidak diundang perlahan mengalir di pipi gadis itu, bukan karena lemah, tetapi karena tubuhnya tidak lagi mampu menahan tekanan emosi yang berputar liar di dalam dirinya.

Sesuatu berubah di wajah Lorenzo—kerutan di dahinya mengendur, dan cengkeraman di dagu Ella perlahan lepas. Tanpa sepatah kata ia melangkah keluar kamar dengan langkah lebar.

Pintu kayu tua itu dikunci, ia memasukkan kunci tersebut ke saku celananya, meninggalkan Ella dalam kesunyian.

Lorenzo yang menuruni tangga dengan langkah berat, ekspresi wajahnya tidak melembut. Rambut hitamnya yang biasanya tersisir rapi kini acak-acakan oleh tangannya sendiri.

Langkahnya terayun menuju pantry. Jaket yang dikenakannya dilepas dengan gerakan kasar, kemudian melempar asal jaket itu ke meja.

Wajahnya yang biasanya hanya memancarkan ketegasan dingin, kini dipenuhi garis-garis kelelahan. Ia menghempaskan dirinya di kursi pantry, gerakan tangannya sedikit kasar saat membuka sebotol wine.

Dentingan pelan terdengar ketika ia menuangkan cairan merah gelap itu ke dalam gelas kristal. Punggungnya yang tegap kini melemas pada sandaran kursi. Ia meneguk wine itu dengan cepat. Helaan napasnya terdengar berat.

Tiba-tiba, suara langkah ringan memecah kesunyian. Seorang pria mendekat padanya—dengan kemeja kusut dan rambut panjang yang diikat asal-asalan, pria itu duduk di sebelah Lorenzo.

Pria itu tersenyum tipis pada Lorenzo, menyapanya. Kehadirannya memberikan kesan santai yang begitu bertolak belakang dengan ketegangan Lorenzo. Namun, kehadiran pria itu belum cukup mencairkan suasana.

“Kau terlihat banyak pikiran. Apa karena gadis itu?” tanya pria itu, Alessio, penuh keingintahuan. Matanya mengamati setiap kerutan di wajah Lorenzo yang mengeras.

Lorenzo tidak menjawab, menggenggam gelasnya lebih erat sebelum menghabiskan isinya dalam satu tegukan. Ia menuang lagi wine itu ke gelas hingga penuh dan meneguknya hingga tandas.

Alessio ikut menuangkan wine untuk dirinya sendiri, sambil mencuri pandang ke arah Lorenzo.

“Orang tuanya sangat hebat menyembunyikan gadis itu selama dua bulan di negara kecil ini tanpa tercium jejaknya. Membuat kita kelabakan mencari keberadaannya. Seharusnya kau senang kerja keras kita berhasil sejauh ini, tapi lihat wajahmu—muram sekali,” lanjut Alessio sebelum menyesap wine.

"Tapi gadis itu... sepertinya dia lebih sulit dihadapi daripada klien-klien bisnismu yang penjilat itu, kan? Jujur, aku terkesan dengan keberaniannya melawanmu."

Lorenzo abai, seolah tidak menganggap keberadaan Alessio. Pria itu mencondongkan tubuhnya.

“Aku mendapat informasi bahwa villa tempat gadis itu tinggal sedang kacau saat ini. Pasti mereka khawatir karena gadis itu belum kembali dan tidak ada kabar. Dengan kekuatan, kekayaan, dan overprotektif kedua orang tuanya, tidak heran jika tiba-tiba ada yang menerobos masuk villa ini,” lanjut Alessio, suaranya kini sedikit lebih serius.

Lorenzo mengangguk pelan, jari-jarinya memainkan kaki gelas wine. “Mereka penghalang sialan yang selalu mencoba memisahkanku dengan Ella. Aku tidak akan biarkan siapa pun mengambilnya, sekalipun itu orang tuanya. Perketat keamanan villa,” katanya, suaranya rendah dan terkesan tenang.

Alessio terdiam, matanya melebar dalam campuran kagum dan keheranan. “Kau merebutnya dari tunangannya dengan cara yang paling ekstrem, dan sekarang kau ingin merebutnya dari orang tuanya. Apa sebenarnya istimewanya dia untukmu?”

Keheningan merayap masuk saat Lorenzo menunduk, matanya terpaku pada permukaan wine yang berkilau tertimpa cahaya. Tangannya menggerakkan gelas dengan gerakan memutar yang lambat, seolah jawaban atas pertanyaan Alesio tersembunyi dalam pusaran cairan merah itu.

“Bukan hanya itu, kau bahkan yang membiarkannya bersikap kurang ajar. Jika posisinya di balik, aku yang bersikap sepertinya, mungkin kau sudah memotong lidahku,” celetuk Alessio setengah mengejek.

“Kau membiarkannya memaki, mengumpat. Mengerahkan orang-orang kita untuk melakukan banyak hal kotor hanya untuk mendapatkannya, meninggalkan bisnismu hingga berantakan, hanya demi dia. Kau sangat menyukainya, ya?”

“Menyukainya? Mungkin lebih dari itu,” jawabnya, nadanya ambigu, sengaja meninggalkan ruang untuk tanya.

Lorenzo mengangkat alis. “Jika kau hanya berniat main-main, tinggalkan dia. Jangan buang-buang waktu, masih banyak yang harus kau urus.”

Lorenzo mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. “Ini bukan urusanmu. Tutup mulutmu, Alessio, atau aku akan benar-benar memotong lidahmu,” ancamnya dengan menatap Alession tegas, penuh peringatan.

Alessio terdiam sejenak, matanya menerawang ke gelas kosong di tangannya. “Apa dia pelampiasanmu dari Seline?” lirihnya.

Pertanyaan itu membuat mata Lorenzo menyipit tajam, tangannya mencengkram kuat gelas wine.

Sebelum Lorenzo membalas perkataan Alesio, derap langkah tergesa memecah ketegangan. Dua pria bertubuh kekar dengan kemeja hitam muncul, wajah mereka tegang.

Lorenzo langsung menegakkan tubuh, instingnya menajam, menangkap urgensi dalam sikap mereka.

“Tuan.” Salah satunya berucap, suaranya bergetar. “Nona keluar dari kamarnya.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   7. Permohonan di Tengah Hujan

    Bruk! Aw!” Ella mengerang kesakitan saat tubuhnya terhempas ke tanah yang becek dan licin, basah oleh guyuran hujan yang tak kunjung reda. Ia menatap kain lusuh yang masih digenggam erat di tangannya—sehelai kain yang tadinya ia ikat di pagar balkon sebagai alat bantu untuk turun dari lantai dua. Ikatan yang ia buat ternyata tidak cukup kuat untuk menahan berat tubuhnya. Berakhir jatuh dengan cukup keras. Hujan deras menerpa wajahnya, mengaburkan pandangan, sesekali petir menggelegar. Rasa dingin menusuk hingga ke tulang-tulangnya, membuatnya menggigil. Ia berdiri, menahan rasa ngilu pada anklenya, sesekali merintih. Memaksakan kakinya melangkah meski terpincang-pincang. Ia menyusuri semak-semak belukar. Mencoba mencari kalung yang dilempar Lorenzo. Ia harus menemukan kalung itu. Tidak peduli tangannya yang terluka tergores ranting-ranting semak belukar. Gadis itu terus menyusuri taman. Matanya menyapu setiap sudut taman yang gelap. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing, membua

    Last Updated : 2025-04-23
  • Terjebak Obsesi Sang CEO   8. Genjatan Senjata

    Ella tidak menyangka ia masih memilki setitik rasa untuk Lorenzo. Permohonan pria itu ternyata mampu meluluhkannya. Menjadi sebuah genjatan senjatanya yang menghentikan perang mereka sementara. Namun, ada rasa kepuasan dalam diri Ella hanya karena Lorenzo menjilat ludahnya sendiri dengan berlutut di hadapannya. Ella tidak menyadari bahwa ia semakin terikat dengan Lorenzo, tidak menyadari bahwa perubahan situasi ini ada pada kendali Lorenzo. “Hatchu!” Lorenzo menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengeringkan rambut Ella dengan hair dryer. Mereka duduk di sofa dengan Ella memunggunginya. Pria itu menarik pundak Ella agar berbalik padanya ketika lagi-lagi mendengar Ella bersin. Ia menempelkan punggung tangannya di kening Ella. Suhu tubuh gadis itu terasa meningkat “Lihat apa yang kau dapat dari ulahmu, kau demam sekarang,” kata Lorenzo. Ella menepis tangan Lorenzo dia keningnya. Meskipun dirinya sudah tidak memberontak dan lebih tenang, gadis itu masih enggak berin

    Last Updated : 2025-04-24
  • Terjebak Obsesi Sang CEO   9. Ancaman Kematian

    “Ella, kau masih di sana, Nak?” Suara Thomas masih terdengar karena telepon masih tersambung. Ella melirik ponsel dalam genggaman Lorenzo, lalu berdehem. Mencoba membuat suara sebagai kode yang bisa didengar Thomas. Sekaligus menjadi upayanya untuk mengaburkan rasa gugup karena ketidaksiapan menghadapi Lorenzo. Tatapan pria itu sangat tidak bersahabat dan entah mengapa membuatnya merinding. Segera Ella membuang wajahnya, menghindari kontak mata dengan Lorenzo. Sepasang mata hitam yang tajam itu seolah mampu menembus pertahanan terdalamnya. Mata Lorenzo beralih pada benda tipis dalam gengaman tangan kekarnya. Tanpa kata ia beranjak keluar ruangan lalu menutup pintu sembari mendekatkan ponsel ke telinganya dan bersandar di dinding. “Ella butuh istirahat,” ucapnya dingin sembari memasukkan satu tangan ke sakunya. “Kau... Lorenzo?” Thomas bertanya dengan nada curiga dan menyelidik. “Kau tidak perlu tahu siapa aku.” Lorenzo menjawab dengan sikap acuh tak acuh, suaranya datar. M

    Last Updated : 2025-04-25
  • Terjebak Obsesi Sang CEO   10. Kesepakatan Mendesak

    Bohong jika Ella tidak merasa cemas dengan ancaman Lorenzo. Gadis itu meringkuk di atas kasur, menggigiti kukunya. Pria itu tidak pernah main-main dengan perkataannya. Apa yang dilakukan pada Daren sudah membuktikan semuanya dan ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama—mengabaikan perkataan Lorenzo. Ancaman yang dilontarkannya bukan hanya isapan jempol belaka. Lorenzo merupakan tipe orang yang selalu bisa dipegang kata-katanya. Rasa frustasi semakin memuncak. Rambutnya yang acak-acakan ia cengkram. Kepalanya berdenyut nyeri sekali memikirkan jalan keluar dari lingkaran setan ini. Ella sadar, dengan melarikan diri terus menerus bukanlah solusi dari masalah ini. Ia harus mencari cara lain. Suara derit pintu memecah keheningan, membuat tubuhnya tegang. Refleks, Ella membalikkan badan membelakangi pintu dan memejamkan mata erat-erat. Terdengar suara derap langkah mantap yang semakin mendekat, diikuti gerakan kasur yang memberitahu bahwa seoseorang telah duduk di sisi ka

    Last Updated : 2025-04-26
  • Terjebak Obsesi Sang CEO   11. Negosiasi Menyelamatkan Diri

    Menit-menit berlalu terasa sangat menegangkan untuk Ella. Keringat dingin membasahi telapak tangannya sejak ia mengatakan ingin membuat kesepakatan dan balasan Lorenzo hanya merintahkannya menunggu. Sedangkan pria itu sekarang mengurus orang-orang suruhan Thomas yang datang menjemputnya. Dengan gelisah, gadis itu berjalan mondar-mandir bak setrikaan. Otaknya terus berputar memikirkan segala kemungkinan kesepakatan yang bisa menguntungkannya sekaligus melindungi orang-orang terdekatnya. Dengan tangan gemetar, ia beranjak mengambil air minum untuk menenangkan diri. Namun gelas itu tergelincir dari genggamannya yang basah oleh keringat. Tiba-tiba Sebuah tangan besar dengan sigap menangkap gelas tersebut sebelum pecah membentur lantai. Ella tersentak dan menoleh, mendapati sosok besar Lorenzo menjulang di hadapannya. Bahkan derap langkah pria ini tak terdengar olehnya, mungkin karena pikirannya yang terlalu ramai. Tanpa kata, pria itu menuangkan air ke gelas lalu menyodorkannya

    Last Updated : 2025-04-27
  • Terjebak Obsesi Sang CEO   12. Ciuman Kesepakatan

    “Kau bisa mengawasiku,” jawab Ella tenang.“Hanya saja, pastikan kau mengawasiku dalam jarak yang wajar. Tidak terlalu dekat dan membuatku risih. Kau juga boleh ikut bersamaku jika aku keluar rumah, kau juga bisa datang ke rumahku kapan pun.”Lorenzo terdiam sejenak, sedikit merenung. Ia mengamati setiap detail ekspresi Ella. Dengan gerakan yang lembut namun posesif, ia menarik tubuh Ella ke pangkuannya. Meski terkejut, Ella tidak menolak.Tangan Lorenzo bertumpu di pahanya yang tidak tertutup kain. Ella bisa merasakan kehangatan dari tangan Lorenzo yang membuatnya gelisah. Sedangkan tangannya yang lain melingkar di pinggang Ella.“Apa alasanmu membuat keputusan seperti ini?” Suara Lorenzo terdengar sangat curiga.“Jangan kau pikir aku akan langsung percaya. Aku mengenalmu dengan baik, hingga aku tahu bahwa ada rencana lain yang kau rencanakan dalam kepala cantikmu itu, kan?”Ella mengernyit, memberanikan diri menatap mata Lorenzo langsung. Sebenarnya ia sendiri tidak yakin dengan ap

    Last Updated : 2025-04-28
  • Terjebak Obsesi Sang CEO   13. Serangan Balik

    Sepanjang perjalanan, Lorenzo menggenggam tangan Ella dengan kelembutan yang mengherankan. Suhu tubuh Ella masih panas. Wajahnya nampak khawatir saat melirik wajah Ella di kursi sebelah. Ella memejamkan mata dan berpura-pura tertidur menghadap jendela. Kepala Ella berdenyut-denyut sangat menyiksa. Pikirannya masih berkecamuk memikirkan kejadian tidak senonoh beberapa waktu lalu. Rasa menyesal dan bersalah kepada Daren menghantui benaknya. Ia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa mengendalikan perasaannya. Mobil memasuki halaman sebuah villa mewah. Alis Lorenzo berkerut dalam melihat sejumlah penjaga berseragam hitam di sekitar pelataran. Mereka mendekat dengan postur siaga. Meski situasi tampak mencurigakan, Lorenzo tetap tenang. Setelah mematikan mesin. Tangannya bergerak mengusap kepala Ella, membangunkan gadis itu dari tidur pura-puranya. Ella membuka mata perlahan, terkejut melihat villa dikelilingi banyak orang. Remasan lembut Lorenzo di tangannya membuat Ella menole

    Last Updated : 2025-04-29
  • Terjebak Obsesi Sang CEO   14. Rahasia Ella

    “Kekerasan tidak akan membuatnya jera,” gumam Ella lemah. “Ayah tidak seharusnya melakukan itu.” Ia bersandar di kepala ranjang memperhatikan Karen yang sedang memeriksa termometer. Angka di layar kecil itu membuatnya meringis—suhu tubuh Ella tinggi. “Istirahat, Ella. Jangan pikirkan pria itu. Dia pantas dihukum oleh ayahmu,” sahutnya sembari menarik selimut hingga menutupi perut Ella. “Apa yang kau harapkan akan dilakukan Ayahmu setelah putrinya dibawa pergi oleh pria tanpa izin? Mengajak Lorenzo ngobrol santai di gazebo sambil main catur dan minum kopi, begitu?” sarkasnya jengkel. Ella terdiam, ia menunduk menelan kata-kata yang ingin keluar. Ia tahu ibunya sama murkanya dengan ayahnya. Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan derit keras. Thomas berdiri di ambang pintu, matanya—yang biasanya penuh otoritas—kini dipenuhi kecemasan. Langkahnya berat saat ia mendekat. Tanpa kata, ia menarik Ella ke dalam pelukannya, erat. “Ayah sangat cemas.” Suara Thomas serak, penuh emosi yang i

    Last Updated : 2025-04-30

Latest chapter

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   15. Jadi Miliknya Sampai Mati

    Cahaya matahari menyelinap halus ke dalam ruangan melalui jendela villa Lorenzo. Memantul di lantai marmer yang dingin dan mengkilap. Bau alkohol yang tajam memenuhi udara dalam ruangan yang remang-remang itu. Asap rokok masih mengepul dari sisa puntung di asbak. Lorenzo duduk di sofa kulit tua, sebatang rokok menyala di antara jari-jarinya. Di depannya, meja kaca dipenuhi botol-botol alkohol—ada gelas wiski yang tinggal separuh. Dering telepon memecah kehingan. Lorenzo mencondongkan tubuhnya ke arah meja untuk mengambil ponselnya. Tertera nama Alfonso di layar ponsel. “Kau sudah membaca hasil diagnosisnya?” tanya Lorenzo tanpa basa-basi. Suaranya serak saat berbicara. Ada ketegangan di dalamnya. Di ujung sana, suara Alfonso terdengar sangat hati-hati, seolah memilih kata-kata yang dapat diterima Lorenzo tanpa perdebatan. “Ya, aku pernah menangani penyakit seperti ini beberapa bulan lalu,” jawab Alfonso tenang. “Hipocampus Tumoris, penyakit yang diderita Ella merupakan tumor y

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   14. Rahasia Ella

    “Kekerasan tidak akan membuatnya jera,” gumam Ella lemah. “Ayah tidak seharusnya melakukan itu.” Ia bersandar di kepala ranjang memperhatikan Karen yang sedang memeriksa termometer. Angka di layar kecil itu membuatnya meringis—suhu tubuh Ella tinggi. “Istirahat, Ella. Jangan pikirkan pria itu. Dia pantas dihukum oleh ayahmu,” sahutnya sembari menarik selimut hingga menutupi perut Ella. “Apa yang kau harapkan akan dilakukan Ayahmu setelah putrinya dibawa pergi oleh pria tanpa izin? Mengajak Lorenzo ngobrol santai di gazebo sambil main catur dan minum kopi, begitu?” sarkasnya jengkel. Ella terdiam, ia menunduk menelan kata-kata yang ingin keluar. Ia tahu ibunya sama murkanya dengan ayahnya. Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan derit keras. Thomas berdiri di ambang pintu, matanya—yang biasanya penuh otoritas—kini dipenuhi kecemasan. Langkahnya berat saat ia mendekat. Tanpa kata, ia menarik Ella ke dalam pelukannya, erat. “Ayah sangat cemas.” Suara Thomas serak, penuh emosi yang i

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   13. Serangan Balik

    Sepanjang perjalanan, Lorenzo menggenggam tangan Ella dengan kelembutan yang mengherankan. Suhu tubuh Ella masih panas. Wajahnya nampak khawatir saat melirik wajah Ella di kursi sebelah. Ella memejamkan mata dan berpura-pura tertidur menghadap jendela. Kepala Ella berdenyut-denyut sangat menyiksa. Pikirannya masih berkecamuk memikirkan kejadian tidak senonoh beberapa waktu lalu. Rasa menyesal dan bersalah kepada Daren menghantui benaknya. Ia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa mengendalikan perasaannya. Mobil memasuki halaman sebuah villa mewah. Alis Lorenzo berkerut dalam melihat sejumlah penjaga berseragam hitam di sekitar pelataran. Mereka mendekat dengan postur siaga. Meski situasi tampak mencurigakan, Lorenzo tetap tenang. Setelah mematikan mesin. Tangannya bergerak mengusap kepala Ella, membangunkan gadis itu dari tidur pura-puranya. Ella membuka mata perlahan, terkejut melihat villa dikelilingi banyak orang. Remasan lembut Lorenzo di tangannya membuat Ella menole

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   12. Ciuman Kesepakatan

    “Kau bisa mengawasiku,” jawab Ella tenang.“Hanya saja, pastikan kau mengawasiku dalam jarak yang wajar. Tidak terlalu dekat dan membuatku risih. Kau juga boleh ikut bersamaku jika aku keluar rumah, kau juga bisa datang ke rumahku kapan pun.”Lorenzo terdiam sejenak, sedikit merenung. Ia mengamati setiap detail ekspresi Ella. Dengan gerakan yang lembut namun posesif, ia menarik tubuh Ella ke pangkuannya. Meski terkejut, Ella tidak menolak.Tangan Lorenzo bertumpu di pahanya yang tidak tertutup kain. Ella bisa merasakan kehangatan dari tangan Lorenzo yang membuatnya gelisah. Sedangkan tangannya yang lain melingkar di pinggang Ella.“Apa alasanmu membuat keputusan seperti ini?” Suara Lorenzo terdengar sangat curiga.“Jangan kau pikir aku akan langsung percaya. Aku mengenalmu dengan baik, hingga aku tahu bahwa ada rencana lain yang kau rencanakan dalam kepala cantikmu itu, kan?”Ella mengernyit, memberanikan diri menatap mata Lorenzo langsung. Sebenarnya ia sendiri tidak yakin dengan ap

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   11. Negosiasi Menyelamatkan Diri

    Menit-menit berlalu terasa sangat menegangkan untuk Ella. Keringat dingin membasahi telapak tangannya sejak ia mengatakan ingin membuat kesepakatan dan balasan Lorenzo hanya merintahkannya menunggu. Sedangkan pria itu sekarang mengurus orang-orang suruhan Thomas yang datang menjemputnya. Dengan gelisah, gadis itu berjalan mondar-mandir bak setrikaan. Otaknya terus berputar memikirkan segala kemungkinan kesepakatan yang bisa menguntungkannya sekaligus melindungi orang-orang terdekatnya. Dengan tangan gemetar, ia beranjak mengambil air minum untuk menenangkan diri. Namun gelas itu tergelincir dari genggamannya yang basah oleh keringat. Tiba-tiba Sebuah tangan besar dengan sigap menangkap gelas tersebut sebelum pecah membentur lantai. Ella tersentak dan menoleh, mendapati sosok besar Lorenzo menjulang di hadapannya. Bahkan derap langkah pria ini tak terdengar olehnya, mungkin karena pikirannya yang terlalu ramai. Tanpa kata, pria itu menuangkan air ke gelas lalu menyodorkannya

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   10. Kesepakatan Mendesak

    Bohong jika Ella tidak merasa cemas dengan ancaman Lorenzo. Gadis itu meringkuk di atas kasur, menggigiti kukunya. Pria itu tidak pernah main-main dengan perkataannya. Apa yang dilakukan pada Daren sudah membuktikan semuanya dan ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama—mengabaikan perkataan Lorenzo. Ancaman yang dilontarkannya bukan hanya isapan jempol belaka. Lorenzo merupakan tipe orang yang selalu bisa dipegang kata-katanya. Rasa frustasi semakin memuncak. Rambutnya yang acak-acakan ia cengkram. Kepalanya berdenyut nyeri sekali memikirkan jalan keluar dari lingkaran setan ini. Ella sadar, dengan melarikan diri terus menerus bukanlah solusi dari masalah ini. Ia harus mencari cara lain. Suara derit pintu memecah keheningan, membuat tubuhnya tegang. Refleks, Ella membalikkan badan membelakangi pintu dan memejamkan mata erat-erat. Terdengar suara derap langkah mantap yang semakin mendekat, diikuti gerakan kasur yang memberitahu bahwa seoseorang telah duduk di sisi ka

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   9. Ancaman Kematian

    “Ella, kau masih di sana, Nak?” Suara Thomas masih terdengar karena telepon masih tersambung. Ella melirik ponsel dalam genggaman Lorenzo, lalu berdehem. Mencoba membuat suara sebagai kode yang bisa didengar Thomas. Sekaligus menjadi upayanya untuk mengaburkan rasa gugup karena ketidaksiapan menghadapi Lorenzo. Tatapan pria itu sangat tidak bersahabat dan entah mengapa membuatnya merinding. Segera Ella membuang wajahnya, menghindari kontak mata dengan Lorenzo. Sepasang mata hitam yang tajam itu seolah mampu menembus pertahanan terdalamnya. Mata Lorenzo beralih pada benda tipis dalam gengaman tangan kekarnya. Tanpa kata ia beranjak keluar ruangan lalu menutup pintu sembari mendekatkan ponsel ke telinganya dan bersandar di dinding. “Ella butuh istirahat,” ucapnya dingin sembari memasukkan satu tangan ke sakunya. “Kau... Lorenzo?” Thomas bertanya dengan nada curiga dan menyelidik. “Kau tidak perlu tahu siapa aku.” Lorenzo menjawab dengan sikap acuh tak acuh, suaranya datar. M

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   8. Genjatan Senjata

    Ella tidak menyangka ia masih memilki setitik rasa untuk Lorenzo. Permohonan pria itu ternyata mampu meluluhkannya. Menjadi sebuah genjatan senjatanya yang menghentikan perang mereka sementara. Namun, ada rasa kepuasan dalam diri Ella hanya karena Lorenzo menjilat ludahnya sendiri dengan berlutut di hadapannya. Ella tidak menyadari bahwa ia semakin terikat dengan Lorenzo, tidak menyadari bahwa perubahan situasi ini ada pada kendali Lorenzo. “Hatchu!” Lorenzo menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengeringkan rambut Ella dengan hair dryer. Mereka duduk di sofa dengan Ella memunggunginya. Pria itu menarik pundak Ella agar berbalik padanya ketika lagi-lagi mendengar Ella bersin. Ia menempelkan punggung tangannya di kening Ella. Suhu tubuh gadis itu terasa meningkat “Lihat apa yang kau dapat dari ulahmu, kau demam sekarang,” kata Lorenzo. Ella menepis tangan Lorenzo dia keningnya. Meskipun dirinya sudah tidak memberontak dan lebih tenang, gadis itu masih enggak berin

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   7. Permohonan di Tengah Hujan

    Bruk! Aw!” Ella mengerang kesakitan saat tubuhnya terhempas ke tanah yang becek dan licin, basah oleh guyuran hujan yang tak kunjung reda. Ia menatap kain lusuh yang masih digenggam erat di tangannya—sehelai kain yang tadinya ia ikat di pagar balkon sebagai alat bantu untuk turun dari lantai dua. Ikatan yang ia buat ternyata tidak cukup kuat untuk menahan berat tubuhnya. Berakhir jatuh dengan cukup keras. Hujan deras menerpa wajahnya, mengaburkan pandangan, sesekali petir menggelegar. Rasa dingin menusuk hingga ke tulang-tulangnya, membuatnya menggigil. Ia berdiri, menahan rasa ngilu pada anklenya, sesekali merintih. Memaksakan kakinya melangkah meski terpincang-pincang. Ia menyusuri semak-semak belukar. Mencoba mencari kalung yang dilempar Lorenzo. Ia harus menemukan kalung itu. Tidak peduli tangannya yang terluka tergores ranting-ranting semak belukar. Gadis itu terus menyusuri taman. Matanya menyapu setiap sudut taman yang gelap. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing, membua

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status