“Bagaimana kabarmu Dad?” tanya Sean. “Baik. Seperti yang kamu lihat. Dad senang sekali dibuatkan tempat golf oleh Garvin.” Abraham mengambil duduk di kursi paling ujung. Sean duduk di samping kanan Abraham. “Garvin? Anak itu tidak akan memberikan sesuatu tanpa imbal balik. Apa yang dia inginkan dari Dad?” Alesha duduk di samping kiri Abraham bersebrangan dengan Sean dan Valencia. Sembari makan bersama mereka juga bercengkrama. “Ada, hanya sepele. Dia akan malu jika aku memberitahukan pada orang-orang,” jawab Abraham dengan tawa ringan. “Dia ke mana? Sudah beberapa hari ini tidak ke sini?” Sean dan Valencia lagi-lagi dibuat terkejut. “Garvin sering ke sini, Dad?” tanya Valencia tidak percaya. “Dulu dia paling enggan mengunjungi keluarganya.” “Lebih sering dari dugaan kalian.” Abraham menunjuk pintu dengan dagunya. “Lihat anak kalian.” Benar di pintu utama, Garvin datang. Ia berjalan santai memasuki rumah. Terlihat dari pakaiannya sedikit berantakan. “Kalian di sini?” tanyanya.
Mendapatkan izin membawa Alesha keluar adalah hal yang paling sulit. Lebih sulit dari baku hantam dengan musuh. Pasalnya Garvin harus melewati serangan tongkat yang siap meluncur untuk membunuhnya. Bayangkan Garvin harus siap menghindar dari pukulan tongkat saat bilang ingin mengajak Alesha keluar di tengah malam. Setelah orang tuanya pergi. Garvin baru meminta izin. Ia hanya tidak ingin hubungan mereka diketahui oleh orang tuanya dulu. Untungnya urusan izin sudah selesai. Garvin berhasil membawa Alesha ke suatu tempat yang sudah di siapkannya. Sebenarnya untuk besok—tapi tidak ada waktu lagi. Tidak ada tunda-tunda. Lebih cepat lebih baik. Beberapa jam terlewati. Mobil masih berjalan, belum ada tanda akan berhenti. Alesha tertidur di pelukan Garvin. Seorang Alesha tidak akan tahan tidak tidur di dalam mobil . Apalagi sesekali tangan Garvin mengusap rambutnya. Di tambah cuaca yang dingin. Sunguuh perpaduan yang sangat epik. “Sha,” panggil Garvin. Ia menepuk pelan pipi Alesha. Mobi
“Aku tidak suka Garvin. Aku sungguh tidak suka jika dianggap barang.” Alesha menghentakkan kakinya. “Aku memang dibesarkan di Panti Asuhan, namun aku manusia. Aku bukan barang.” Garvin tidak menyangka jika Alesha akan berpikir sejauh itu. “Aku tidak bermaksud.” Ia mendekati Alesha. Memeluk perempuan itu. Mengusap rambut Alesha perlahan. “Minta maaf, cepat,” suruh Alesha. “Ak—aku..” Garvin terbata-bata. Hanya mengucapkan tiga kata susahnya minta ampun. “Aku….aku mi—minta.” Menghela nafas terlebih dahulu. “Aku minta maaf.” Akhirnya dalam satu tarikan nafas Garvin bisa meminta maaf. “Aku terima maafnya.” Alesha mengulurkan tangannya. Garvin tersenyum dan menggenggam tangan Alesha. Kemudian berjalan ke arah Yach yang terparkir di tepi pantai. Alesha naik dengan bantuan Garvin. Saat mereka sudah berada di dalam, Yacht mulai melaju membelah lautan. “Apa ini milikmu?” tanya Alesha. Garvin mengangguk. Tidak lama Yacht berjalan, kini berhenti. “Sebenarnya ada hal yang ingin kusampaika
Menjauh untuk mengendalikan emosi. Garvin tidak mungkin membuat Alesha semakin takut padanya. “Tunggu.” Alesha berlari. Memeluk Garvin dari belakang. Kedua tangannya melingar erat di pinggang Garvin. “Jangan tinggalkan aku.” Garvin menatap tangan Alesha yang melingar diperutnya. “Lepaskan aku. Kau akan ketakutan melihatku seperti ini.” Melepas tangan Alesha, kemudian membalikkan badan. “Aku akan pergi sebentar.” Alesha menggeleng. “Jangan pergi.” Ia berjinjit. “Aku tidak takut.” Kedua tangannya menarik tengkuk Garvin dan menciumnya. Alesha berusaha menyalurkan perasaannya pada Garvin. Bukannya takut—perasaan kawatirnya lebih dominan. Alesha kawatir. Ia takut jika Garvin menyakiti dirinya sendiri. Garvin memeluk pinggang Alesha. Mereka saling mencecap satu sama lain. Perlahan emosi Garvin mereda. Ia menjadi lebih tenang. Garvin membawa Alesha ke sebuah kamar. Menutup pintu dengan kakinya. Jemarinya bergerak menurunkan resleting dress yang digunakan Alesha. Mengangkat tubuh Alesha
“Kita akan menikah,” potong Garvin. “Tidak ada yang bisa menghalangiku menikahi Alesha.” Tidak sesuai dugaaannya. Kakeknya tidak memukulnya dengan tongkat. Justru Abraham tersenyum. Ia menatap Alesha. “Alesha tidak terpaksa menikah dengan cucu kakek?” tanya Abraham. Alesha menggeleng pelan sambil tertawa. “Tidak, kek.” Abraham memeluk Alesha. “Semoga kalian bahagia.” “Jadi kakek merestui kami?” tanya Garvin. Abraham mengangkat tongkatnya membuat Garvin mundur. “Tentu. Kemarilah, Kakek ingin memeluk kalian.” Garvin bernafas lega. Akhirnya Abraham memeluk kedua cucunya. Cucu angkat dan cucu kandung. Alesha tidak tahan dengan air matanya diujung pelupuk mata. Ia segera mengusapnya sebelum kedua pria ini sadar. “Kamu sudah tes kesehatan?” tanya Abraham. “Tentunya sudah. Tubuhku bersih tanpa penyakit apapun,” jawab Garvin bangga. “Bagus.” Abraham menepuk pelan puncak kepala Alesha. “Beritahu kakek jika dia menyakiti kamu. Kakek akan memotong asetnya supaya jera.” Garvin berdecih
Namun sejak kapan panggilan ‘aku kamu.’ Alesha tersenyum. Mengusap tangan Garvin yang berada di perutnya. “Sudah berapa lama tidak tidur di sini?” “10 tahun mungkin. Aku hanya sesekali berkunjung sebentar tidak pernah sampai menginap.” Garvin mencium pipi Alesha dari samping. “Ayo.” Ia mengajak Alesha ke balkon kamarnya. Pemandangan sebuah lapangan Golf yang hijau. Alesha takjub. Dibawah balkon langsung berhadapan dengan kolam renang. “Mau berenang?” Alesha menggeleng. Garvin membuka pematas Balkon. Ternyata bisa dibuka. “Aku sering terjun dari sini.” Alesha mundur. “Tidak, Garvin.” “Ayo babe.” Garvin menarik Alesha. Memeluknya kemudian terjun bersama ke bawah. Secepat itu—Alesha memejamkan mata ketika tubuhnya terasa melayang di udara. BYUUR “Garvin!” Alesha mengusap wajahnya. Ia tidak bisa melepas pegangannya pada tubuh pria itu. Tingginya yang tidak seberapa membuatnya tenggelam. Juga Alesha tidak terlalu bisa berenang. “Jangan macam-macam.” Peringat Alesha melihat gelag
“Jika kakek menangis Alesha juga akan menangis. Jangan menangis, kek.” Alesha mengerucutkan bibirnya. Pasalnya Alesha bisa ikut menangis jika melihat orang menangis, meskipun tidak tahu alasannya. Abraham menggeleng. “Siapa yang bilang kakek menangis? Kakek tidak menangis.” Menyodorkan bahunya. “Lets go.” Upacara pernikahan dilakukan secara tertutup di sebuah Gereja. Tamu undangan yang datang merupakan keluarga dekat saja. Setelah upacara pernikahan akan dilanjut dengan pesta di sebuah gedung. Pintu terbuka menampilkan Alesha yang sudah menggandeng lengan Abraham. Mereka berjalan perlahan menuju Altar. Garvin tidak berkedip menatap Alesha dari pandangan lurus. Tidak menyangka jika moment pernikahan akan seindah ini. Alesha berjalan anggun dengan gaun putih yang menjuntai indah. Sesampainya di depan Garvin. Alesha melepaskan genggaman tangannya di lengan Abraham. Kini berganti menggandeng lengan Garvin. Mereka sudah berhadapan di depan Pendeta. Tiba saatnya mengucapkan janji suci
Beberapa orang yang menyadari pengantin kabur dari pesta. Mereka tertawa sambil melambaikan tangannya. Alesha meringis dalam hati—ia sangat malu jika bertemu lagi dengan mereka. Apalagi para bodyguard yang siap mengejar mereka. Bodyguard Garvin sangat siap sedia mengawal bosnya ke manapun. Masuk ke dalam hotel yang sudah disewa. Hotel yang terletak tepat menghadap laut dengan pemandangan paling indah. “Sudah menyiapkan semuanya?” tanya Alesha berjalan mundur dengan tangan yang menggenggam tangan Garvin. “Hm.” Alesha tersenyum. “Lets go.” Garvin sangat senang sungguh. Tapi ia tidak terlalu bisa mengekspresikan kesenangannya. Dengan tidak sabaran hendak meraih Alesha. Namun wanita itu lebih dulu menghindar. “Kejar aku dulu.” Alesha berlari. Ia berhenti saat dirasa jaraknya dengan Garvin sudah jauh. Kemudian berbalik dan berjalan mundur lagi. “Garvin jelek.” Alesha menjelekkan lidahnya. “Apa?!” Garvin mulai berjalan cepat. “Aku akan menghukummu.” “Oh ya?!” Alesha berpura-pura tak
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun