“Kakek punya cucu laki-laki?” tanya kakek.“Astaga, Dad. Daddy bahkan melupakan cucu sendiri.”Kakek menatap putra dan menantunya bergantian. “Siapa suruh tidak pernah menjenguk kakeknya sendiri. Setelah mewarisi kekayaan, dia sibuk bekerja dan memupuk harta. Suruh dia ke sini.” Kakek berdiri dengan kemarahan.“Alesha cucu perempuan kakek. Tidak boleh pergi. Kamu tetap di sini.”“Tap—”Kakek tidak memedulikan apapun. Ia berjalan meninggalkan mereka bertiga melongo di ruang makan.“Daddy aneh sekali, cepat hubungi putra kita.”“Hallo, ini Mommy kamu jangan melupakan orang tua. Kamu harus ke rumah kakek. Kakekmu sangat aneh. Dia mengadopsi cucu perempuan—kalau kamu tidak ingin tersaingi kamu harus ke rumah kakek.”“Aku sibuk. Selesaikan kalian.”Wanita itu menatap Alesha dari atas hingga bawah. “Perempuan yang diadopsi kakekmu sangat cantik, kulitnya sangat putih, rambutnya pirang, pokoknya kecantikan orang asia. Kakekmu benar-benar aneh, kamu harus ke sini.”~~Alesha duduk di depan se
“Kamu sudah tahu tentang Alesha?” tanya Abraham. Garvin mengangguk. “Kekasih anak buahku yang berhianat, Aldrich.” “Ada harus kakek luruskan di sini. Aldrich tidak berhianat. Aldrich melakukannya atas suruhan kakek.” Garvin semakin bingung. “Maksud kakek?” “Aldrich mendatangi kakek untuk memutuskan kontrak dengan Blackton. Blackton hanya memutus kontrak saat sudah bekerja selama 10 tahun lebih. Jika memaksa ingin berhenti—maka akan dianggap sebagai berhianat. Aldrich ingin keluar dari Blackton dengan cara yang kakek sarankan.” “Kakek menyuruhnya berpura-pura berhianat dengan menjual informasi strategi jalur penjualan pada salah satu musuhmu. Setelah itu Aldrich harus bisa mencari informasi musuh dan memberikannya padamu. Dengan cara itu kakek sendiri yang akan memutuskan kontraknya dengan Blackton. Tapi setelah Aldrich mendapatkan informasi dari musuhmu, dia lebih dulu dibunuh.” “Aldrich sangat menyayangi kekasihnya, Alesha. Dia bahkan menitipkannya pada kakek jika terjadi sesuat
“GARVIN CARVER BLACKTON!” teriak Sean yang begitu menggema. “BERANINYA MEMBUAT KERIBUTAN DI DEPAN ORANG TUA!”Dari bawah Alesha menatap Garvin dan kakek. Garvin memegang bahunya sendiri yang mendapat tembakan kakeknya. Ia meringis pelan, untuk kesekian kalinya Abraham harus memberi pelajaran pada Garvin.“Kamu tidak pernah dewasa. Pikiranmu pendek, kakek tidak bisa membiarkanmu menyakiti cucu kakek yang tidak bersalah. Pikirkan sendiri perasaanmu. Kamu terobsesi dengannya atau kamu benar-benar suka dengannya.”Garvin memegang bahunya. “Seseorang kejam sepertiku tidak mempunyai perasaan menyedihkan seperti itu.” Kemudian berbalik dan berjalan ke arah kamarnya berada. ~~“Pergi ke kamarmu. Kunci yang rapat dan beristirahatlah,” ucap Valencia pada Alesha.“Terimakasih,” balas Alesha. Ia pamit pergi. Ia menghela nafas lelah, begitu sampai di kamarnya—ia mengangkat gagang pintu. Membukanya perlahan.Nafasnya tercekat saat melihat pria yang kini telanjang dada sedang duduk di tepi ranjang.
Alesha berada di dalam pesawat. Ia menatap sebuah ponsel pemberian kakek Abraham. Katanya saat sudah sampai, Alesha wajib mengabari kakek. Alesha hanya tertawa kecil saat mengingatnya.Garvin benar-benar melepas Alesha. Usai kegiatan ciuman mereka, Garvin membiarkan Alesha tidur di kamar dengan tenang.“Last goodbye.” Garvin mengusap puncak kepala Alesha waktu itu.Alesha yang malu. Tidak bisa berkata-kata lagi.Kemudian pagi harinya—Garvin sudah pergi dari rumah kakek. Dia pergi tanpa meninggalkan satu katapun. Alesha lega, setidaknya mereka tidak bertemu di pagi hari. Jika bertemu pasti Alesha malu setengah mati.Mengenai Aldrich. Alesha sudah tahu semuanya dari kakek. Abraham sudah memberitahu Alesha yang sebenarnya, jadi dia tidak perlu terbebani dengan Garvin. Alesha bisa pergi tanpa beban. Ia hanya akan menganggap semua kenangan dari tempat ini sebagai sebuah mimipi. Mimpi indah dan mimpi buruk.~~Sampai di sebuah bangunan besar. Alesha melangkah masuk. Kedatangannya di Panti m
“Untuk saat ini jangan dulu. Sebentar lagi Presiden baru akan dilantik. Kita tidak tahu peraturan apa yang akan ditetapkan. Bisa jadi peraturan itu memberatkan Blackton,” balas Garvin.“Suruh Vander mempelajari peraturan baru. Setelah itu suruh membuat strategi agar penjualan tanaman terlarang bisa semakin luas.”“Baik, Sir.” Christ mengangguk.“Sewa satu klub. Nanti malam aku ingin merayakan keberhasilan kita,” perintah Garvin. Memang sesekali ia senang mentraktir bawahannya saat berkontribusi dalam peningkatan kemajuan bisnisnya.~~Garvin berada di gudang senjata. Di sana ada beberapa karyawan yang bertugas membuat senjata. Garvin bisa saja membuat pabrik pembuatan senjata menjadi legal. Dengan mengurus surat ijin usaha dan pengurusan pajak. Namun Garvin tidak ingin repot-repot menyumbang pemerintah dari hasil usahanya. Lagipula dengan melibatkan pemerintah pasti ada pengawasan yang lebih ketat. Garvin tidak akan mau memikirkan hal yang merumitkan seperti itu.Ada puluhan karyawan
Seorang pria baru saja terbangun. Kepalanya begitu pusing. Ia melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 12 siang. Ia bangkit—begitu kakinya mencapai lantai kepalanya terasa sangat berdenyut. Efek alkohol, entah berapa botol yang ia habiskan tadi malam.Mengenai tadi malam—Garvin mengadakan pesta sederhana bersama anak buahnya di sebuah klub. Garvin juga sempat bermain sebentar dengan wanita penghibur yang ada di sana.Ia berjalan ke kamar mandi. Sekedar mencuci muka dan membersihkan mulutnya. Tak lama Garvin keluar. Ia memandang ponselnya yang tergeletak di atas sofa. Ia membiarkannya saja. Ia lebih mementingkan mengambil air putih dan meminumnya.TOK TOK“Siapa pagi-pagi yang mengangguku,” lirih Garvin menatap tajam pada pintu.TOK TOK“Sir, ini saya. Maaf mengganggu waktu anda yang berharga. Saya hanya ingin menyampaikan pesan kakek anda.”Garvin terpaksa membuka pintu kamarnya. “Akan kubunuh kau jika tidak penting.”Christ menelan ludahnya kasar. Ia mengangguk. “Saya mendapat pes
Garvin membalikkan badan. Tapi kemudian berhenti. “Tapi meskipun aku tidak peduli lagi dengannya. Aku akan mencarinya, kemungkinan orang yang menculiknya adalah Wiliam. Pasti dia takut karena hanya Alesha satu-satunya petunjuk untuk menemukan informasi apa yang didapat oleh Aldrich.”~~BYUURAir disiram kasar ke arah seorang perempuan yang tengah terikat di kursi. Alesha terperanjat dari tidurnya. Bukannya tidak mau bangun—tubuhnya masih lemas. Efek dari obat bius yang berdosis tinggi. Bahkan matanya sangat berat untuk membuka. Alesha berusaha memaksa dirinya bangun dan melihat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi dengannya.“Sudah bangun Princess Alesha?” tanya seorang pria di hadapan Alesha.“Wiliam…” lirih Alesha. Ia menatap wajah pria yang membunuh kekasihnya. Wiliam dengan santainya duduk di depan Alesha dengan sesekali menyesap rokoknya.“Kau mengenaliku, sayang.” Wiliam tersenyum menjijikkan. Hembusan rokoknya sengaja di arahkan pada wajah Alesha.Alesha yang tidak terbias
“Kau sudah mendapatkan lokasinya?” tanya Garvin pada Vander.Vander tidak henti-hentinya mengotak-atik komputer di depannya. Pencarian Alesha kali ini memakan waktu yang lebih lama dari dugaannya. Sudah 6 jam mereka berkutat dengan peretasan sistem untuk mencari keberadaan Alesha.“Di sini.” Vander menunjuk satu titik lokasi. “80 % Alesha berada di sini. Dari rekaman CCTV yang saya retas, mobil Wiliam memasuki hutan sejak kemarin.”“Kumpulkan pasukan. Aku akan menghabisinya.” Garvin mengepalkan tangannya.Puluhan anak buah Garvin berkumpul. Mereka adalah anggota Blackton yang terlatih. Ditangan mereka sudah ada senjata masing-masing.“Aku tidak ingin misi kali ini gagal. Tugas kalian yang pertama adalah masuk tanpa membuat keributan. Runtuhkan penjagaan di luar dengan hati-hati. Setelah itu kepung gedung itu.”“Siap!” serentak mereka.~~Alesha berjalan tertatih mengikuti tarikan Wiliam. Kedua kakinya dirantai dengan besi berat. Kedua pergelangan tangannya diborgol. Dua lapis lakban m
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun