“Keluar dari hotel dia pergi ke sebuah restoran.” Di layar menunjukkan seorang perempuan yang tengah makan di sebuah restoran. “Kemudian di kafe sampai malam. Setelah itu….” Jalan yang diambil Yubin sangatlah gelap. “Dia tidak mendapatkan taksi mangkanya berjalan kaki. Seharusnya dia sampai di jalan ini. Tapi tidak ada tanda-tanda ada dia. Dia menghilang di jalan gelap tadi.” “Lihat rekaman CCTV jalan tadi lebih lama.” Garvin yakin ada orang yang menculik Yubin. “Mobil ini pasti membawa Yubin.” Tunjuknya pada sebuah mobil hitam yang melesat sangat cepat. Garvin menarik Alesha keluar ruangan. “Aku akan mencari Yubin bersama Vander dan Christ. Kamu di sini saja.” Alesha menggeleng keras. “Aku harus ikut. Bagaimanapun aku harus tahu bagaimana keadaan Yubin.” “Untuk kali ini dengarkan aku.” Garvin memegang kedua tangan Alesha. “Biarkan aku yang menyelamatkan Yubin. Kamu di sini, tunggu aku. Aku tidak ingin kamu kenapa-kenapa.” Tangan Garvin beralih menyentuh perut buncit Alesha. “Aku
“Aku ikut.” Alesha berjalan menyusul Garvin yang sudah keluar dari mobil. “Tunggu di sini.” Garvin menatap geram istrinya. “Jangan melawanku.” “Aku ingin ikut.” Alesha mulai berkaca-kaca ingin menangis. Apalagi melihat raut wajah suaminya yang garangnya setengah mampus. Garvin sungguh lelah menghadapi Alesha yang seperti ini. “Kubilang tetap di sini. Jangan ikut ke dalam.” Alesha menggeleng. “Aku tidak mau. Aku akan menyusul jika kamu meninggalkanku di sini.” “Sir tidak ada waktu lagi.” Vander mempersiapkan senjatanya. Beberapa anak buahnya sudah berjalan ke dalam gedung tua itu. Garvin menghela nafas. Ia mengambil senjata dari dalam kantongnya. Satu buah pistol untuk diberikan kepada istrinya. “Pakai ini. Jangan ragu menembak orang yang berusaha menyakiti kamu.” Alesha menerimanya. Ia sungguh payah dalam menembak. Tidak apa—untuk hari ini ia akan berusaha jadi penembak handal. Namun jangan sampai menembak orang. “Masukkan pelurunya,” perintah Garvin diangguki oleh Alesha. De
Bahkan untuk sekedar menjerit saja Yubin tidak punya tenaga. Saat tubuhnya terasa melayang—ia memejamkan mata. Ia kira akan jatuh mengenaskan sampai kepalanya terbelah menjadi dua. Ternyata tidak—tangannya ditangkap oleh seseorang. Di tengah kesadarannya yang semakin menipis. Yubin melihat Hendrick berusaha menariknya ke atas. “Bertahanlah,” ucap pria itu. Vander tidak tahu perasaan apa yang menyelimuti dirinya. Ia sangat ketakutan melihat wanita itu kesakitan. Meskipun hubungan mereka berakhir sebatas one night stand, sesungguhnya Vander merindukan Yubin. “Apa sakit?” tanya Vander. Tangannya yang besar menangkup wajah mungil Yubin. Yubin tertawa pelan. “Seluruh tubuhku sakit.” Vander memeluk tubuh Yubin. Merengkuh tubuh wanita itu ke dalam dekapannya. Ditengah mereka berdua yang melepas kerinduan. Niall mendekati Alesha. Meskipun bahunya sudah tertembak ia masih bisa berjalan. Dengan Niall yang semakin dekat. Otomatis Alesha berusaha menjauh dengan berjalan mundur. Garvin mela
Selama 10 jam Alesha tidak sadarkan diri. Selama itu pula Garvin tidak meninggalkan Alesha sendirian. Dia berada di ruang di mana istrinya terbaring tidak sadarkan diri. Tangannya menggenggam tangan kecil Alesha. Perlahan tapi pasti jemari mungil tersebut bergerak. Dengan mata yang seiring terbuka. Alesha mengedarkan pandangannya—ia melihat suaminya yang tengah menunduk. “Garvin…” lirihnya. Pelan-pelan mencoba mengangkat tangannya untuk mengusap rambut suaminya. “Garvin,” panggilnya lagi. Garvin yang merasakan kepalanya diusap—mulai terbangun. Ia mendongak. “Kamu sudah bangun?” tangannya mengambil tangan Alesha dan menggenggamnya. “Aku panggil dokter dulu.” Garvin buru-buru pergi. Setelah diperiksa oleh dokter. Alesha di pindahkan di ruangan biasa. Beberapa alat medis yang tertancap di tubuhnya juga sudah dilepas. Tinggal infus yang masih berada di punggung tangannya. “Bagaimana bayiku?” tanya Alesha. Garvin mengusap pipi istrinya pelan. “Bayi kita.” Koreksinya pada kata-kata
Abraham baru saja membuka pintu ruang inap Alesha. Namun ia langsung disuguhkan dengan keributan. “Kenapa kalian ribut sekali?” tanya Abraham menatap satu persatu di sana. Ia berhenti menatap Yubin. Kemudian menatap Alesha lagi. “Kenapa cucu kakek ada dua?” herannya. Alesha menghela nafas. “Aku Alesha, kek.” Menunjuk dirinya sendiri. Jika tidak pernah melihat Alesha dan Yubin, pasti akan mengira jika mereka seperti kembar. Wajah mereka memang sangat mirip. Kecantikan mereka menurun dari ayah mereka, Juhwan. “Oh cucu kakek.” Abraham mendekat. “Bagaimana keadaan kamu?” tanyanya. “Alesha baik-baik saja, Kek.” Alesha mengenalkan Yubin pada Abraham. “Ini adik Alesha, namanya Yubin.” “Yubin beri salam pada kakek,” ucap Alesha. Yubin keluar dari persembunyiannya. Ia melangkah lebih dekat dengan Alesha. kemudian menunduk sebentar. “Saya Yubin, adik Yuna Eonni—maksudnya Alesha Eonni.” “Kalian sangat mirip,” ucap Abraham. “Pantas saja kakek bingung pertama kali melihat kalian berdua.”
Ada kesedihan yang tidak bisa terucap. Di pangkuannya sudah ada bunga. Mobil yang ditumpanginya berjalan menuju di sebuah tempat peristirahatan seseorang. Garvin menoleh sebentar. Meskipun otaknya masih sibuk bekerja. Tangannya bergerak menggenggam tangan istrinya dari samping. “Garvin,” panggil Alesha. “Hm.” Gumam Garvin yang meletakkan tabletnya ke samping. “Bukankah tidak adil?” tanya Alesha. “Nyawa Samuel melayang hanya karena menyelamatkanku. Aku tidak pernah menginginkan hidup jika harus menukar nyawa orang lain.” “Aku tidak suka kamu berpikir seperti itu.” Garvin menatap Alesha. “Kenapa dia melakukan itu? Aku yakin dia masih ingin hidup bersama adiknya. Aku merenggut hidup orang lain.” Alesha mendongak. Memejamkan mata sambil menghela nafas panjang. “Dia memberi kamu hidupnya.” Garvin memeluk istrinya. Mendekap tubuh istrinya yang terlihat rapuh. “Bagaimana dengan Freya?” ~~ Sesampainya di sebuah pemakaman. Alesha dan Garvin berjalan hati-hati. Sampai di batu nisan be
Sudah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya hari ini Jake maupun Alesha bisa pulang. Jake sudah berada di dalam gendongan Alesha. “Hidungmu mancung sekali, Jake,” lirih Alesha. Jemarinya menyentuh hidung anaknya yang tinggi. “Dariku,” celetuk Garvin. Terlihat sibuk dengan tablet di tangannya—namun telinganya masih mendengar ucapan istrinya. “Apa?” tanya Alesha. “Hidung mancung Jake dariku.” Garvin menoleh. “Memangnya dari siapa lagi?” ia menatap hidung Alesha yang tidak semancung dirinya. “Garvin,” Alesha memutar bola matanya malas. “Mau menghina istri sendiri?” “Tentu tidak.” Garvin mengusap pinggang Alesha pelan. “Tapi memang fakta.” “Jangan menyentuhku.” Alesha melotot. Ia menepis tangan Garvin dari pinggangnya. “Bercanda baby.” Garvin tertawa pelan. Ia menyandarkan kepalanya di bahu istrinya. “Aku sangat lelah,” lirihnya. Satu tangan digunakan untuk menggendong Jake. Satu tangan lagi digunakan untuk mengusap kepala suaminya. “Istirahat. Jangan memaksa terus beker
21+ “Ayo apa?” Alesha mendongak. Ia kebingungan dengan ajakan Garvin yang tidak jelas. “Ayo.” Garvin mendekap tubuh mungil istrinya. “Aku sangat merindukanmu.” Sambil mengecup leher Alesha dengan sensual. “T-tapihh—” Tanpa babibu, Garvin langsung menarik tengkuk Alesha dan menciumnya. Memangut habis bibir istrinya. Tangannya juga tidak tinggal diam. Menelusup masuk ke dalam dress yang digunakan Alesha. Membelainya perlahan. Ia suka sekali dengan perubahan bentuk tubuh istrinya yang semakin berisi di bagian tubuh yang tepat. “Damn! I love you!” Garvin yang tidak sabar berusaha meloloskan dress itu dari tubuh Alesha. “Pelan-pelan, Jake bisa terbangun.” Peringat Alesha. “Aku tidak yakin bisa pelan.” Garvin mengangkat tubuh istrinya ke atas meja kerjanya. Setelah berhasil menarik resleting—ia bisa meloloskan dress itu dari tubuh istrinya. Hingga kini tubuh Alesha hanya terbalut dengan dalaman berwarna merah menyala. Sangat kontras dengan warna kulitnnya yang seputih susu. Garvin
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun