BRAAKPintu dibuka dengan paksa. Alesha terperanjat dan langsung bangun dari pangkuan Garvin. Ia berdiri dengan canggung.“Gimana keadaan cucu kakek?” tanya Abraham mendekati Alesha. Mengamati Alesha dari bawah hingga atas. “Astaga kamu mendapat banyak luka.”Alesha tersenyum. “Alesha baik-baik saja, kek.” Memutar badannya agar kakek bisa melihatnya.“Baguslah.” Abraham mengangguk lega.“Aku yang terluka. Aku mendapat tembakan,” sahut Garvin berdiri. “Kenapa kakek hanya menghawatirkan cucu perempuan kakek ini? Aku juga cucu kakek.”“Mau kakek pukul lagi?” Abraham menunjukkan tongkatnya.Garvin ingin mengumpat. Tongkat itu harus dimusnahkan. Jika tidak, dirinya akan terus menderita mendapatkan pukulan dari tongkat itu. Ia harus menyusun rencana untuk mengambil dan memusnahkan selamanya tongkat itu dari bumi.“Alesha, kamu harus memutuskan dari sekarang. Kamu pilih tinggal dengan kakek atau dengan Garvin?”Alesha tersenyum canggung. “Alesha mau kembali ke Panti.”“Tidak.” Sahut bersama
Garvin tersenyum. Alesha malah bingung. Sejak kapan pria itu bisa tersenyum? Biasanya hanya diam dan datar. Apalagi kalau sudah marah—seramnya melebihi setan yang ada di Indonesia.“Jangan tersenyum.”“Kenapa? Aku semakin tampan bukan?” Garvin percaya diri.Alesha menggeleng. “Kau menakutkan. Jangan tersenyum.”Garvin merubah ekspresinya dari tersenyum menjadi datar kembali. Tanpa bisa menunggu waktu yang lama lagi. Ia menarik tengkuk Alesha kemudian menciumnya. Garvin memeluk pinggang Alesha—tidak membiarkan wanita itu pergi darinya.Alesha berusaha mendorong dada Garvin. Namun Garvin semakin mengukung tubuh Alesha. Mengusap pinggang Alesha perlahan. Menekan kepala belakang Alesha untuk semakin memperdalam permainan mereka.Perlahan tapi pasti. Garvin berhasil membuat Alesha menyerah. Sekarang Alesha tanpa perlawanan membuat Garvin tersenyum. Tangannya semakin berani—kini beralih ke belakang. Mencari di mana letak resleting. Bergerak menurunkan resleting dress yang digunakan Alesha.
“Non Alesha bangun.”Alesha mengerjap perlahan. Ia mengamati sekitar. Rasanya baru tidur beberapa jam. Ia mengucek matanya perlahan. Bi Rosa menyingkap tirai jendela kamarnya. Hingga sinar matahari masuk sempurna di kamar.“Bi, Aku masih ngantuk.” Alesha hendak kembali tidur. Tapi Bibi lebih dulu menahan lengannya.“Hari ini jadwalnya Nona berlatih.”Alesha buru-buru bangkit. “Berlatih?”“Berlatih bela diri dan menembak. Tuan Abraham menyuruh Zack untuk melatih Nona hari ini.”Alesha semakin lemas. “Latihan fisik yang pasti akan sangat melelahkan. Aku mau tidur lagi.”“Tidak boleh.” Bi Rosa menyeret Alesha turun dari ranjang. Mendorongnya masuk ke dalam kamar mandi.~~Alesha sudah berada di halaman belakang. Ia hanya menggunakan kaos dan celana pendek agar lebih nyaman saat latihan. Untuk yang pertama Zack menyuruhnya pemanasan kemudian berlari berkeliling rumah sebanyak 5 kali.“Sudah cukup?” tanya Alesha kelelahan bertopang pada lututnya.Zack mengangguk. “Aku akan menunjukkan gera
“Tidak semudah itu.” Garvin menaruh cincin itu ke dalam saku celananya. “Jika kau ingin aku mengembalikan cincin ini, kau harus ikut aku.”“Tidak mau,” balas Alesha cepat. “Jangan main-main denganku atau aku akan mengadukanmu pada kakek!” ancamnya.Garvin menaikkan salah satu alisya. “Kakek sedang keluar.”Alesha mengerjap mata. “Tetap saja. Aku akan melaporkanmu.”“Aku hanya ingin menunjukkanmu sesuatu. Aku tidak akan membawamu ke Mansionku. Aku juga tidak ingin merasakan tongkat kayu sialan itu.”“Perkataanmu bisa kupegang?” Alesha menyipitkan mata. Ia sungguh ragu dengan perkataan Garvin.Garvin menarik tangan Alesha. Berjalan di samping pria itu. “Apa kau tidak diberi baju kakek?” ia menatap Alesha dengan intens. Pasalnya ia tidak suka jika lekuk tubuh Alesha dilihat orang lain.Lihat saja sekarang. Kaos hitam itu begitu pas ditubuh Alesha, hingga tonjolan dan lekuk yang menggoda bisa dilihat siapapun. Belum lagi—celana pendek sebatas paha yang membuat kaki jenjang Alesha terlihat
Garvin menggeleng. Ia masih memeluk Alesha dari belakang. Melingkarkan tangannya di perut ramping Alesha. Kepalanya bersandar nyaman di bahu kecil wanita itu. Garvin benar-benar menyukai aroma tubuh Alesha. Ingin sekali rasanya memakan Alesha.“Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan denganku?” tanya Alesha pelan. Hanya bisa menerima. Melawan Garvin pun akan percuma.“Aku ingin menunjukkan aset Aldrich yang diataskan namamu.”“Bukankah sudah diambil Wiliam?”“Aku megambilnya kembali. Jadi aset itu kini menjadi milikmu.” Garvin menunjuk sebuah bangunan tinggi. “Itu milikmu, itu adalah sebuah Apartemen yang dihuni.”“Lalu di sana.” Menunjuk lebih jauh sebuah tanah kosong. “Itu juga milikmu.”“Sebenarnya ada satu lagi tapi bukan di sini. Kalau ingin melihatnya aku bisa mengantarmu.”Alesha membalikkan badannya, mendongak menatap Garvin. “Aku tidak berhak menerimanya. Itu hasil kerja keras Aldrich selama bekerja denganmu. Aku tidak pantas hanya menerimanya.”Lancang atau tidak, Garvin tid
“Aku memotong semua jari Wiliam sebelum membunuhnya. Seharusnya aku memotong semua jari kakinya juga,” jawab enteng Garvin.Alesha reflek menutup mulutnya dengan mata yang melebar. Ia bergerak mundur menjauhi Garvin. “Kau melakukan semua itu?”“Tidak. Anak buahku yang melakukannya. Aku melihatnya, aku memastikan jika jari-jarinya yang kotor itu dipotong habis,” jawab Garvin sangat santai mengganggapnya hal tersebut lumrah.Alesha kehabisan kata-kata. Hampir saja lupa jika Garvin bukan pria normal. Dia pria berdarah dingin yang kejam. Seharusnya Alesha tidak perlu terkejut, apalagi dirinya pernah mengalaminya sendiri bagaimana penyiksaan Garvin. Bagaimana penjara bawah tanah yang diisi teriakan orang-orang meminta pengampunan.“Ak-ku-aku akan masuk.” Alesha berjalan tergesa-gesa masuk ke dalam rumah.Saking terburu-burunya, kakinya sampai tersandung.DUK“Argh,” ringis Alesha. Kakinya tersandung undakan lantai. Alesha terjatuh—ingin segera kabur dari Garvin namun malah berakhir seperti
Berada di sebuah klub mewah yang hanya diisi oleh orang-orang dari kalangan atas. Garvin duduk di salah satu bangku. Hanya ada satu anak buahnya yang ikut yaitu Chris. Selain menjadi Sekretaris yang merangkap menjadi Asisten, ia juga menjadi pembantu Garvin. Harus selalu ada jika Garvin membutuhkannya.“Bos mau saya panggilkan wanita?” tanya Christ.“Cari yang cantik, anggun, lucu dan menggemaskan.” Garvin tersenyum tipis. Ia meminum Vodka dari gelas dengan santai.Banyak sekali wanita yang mengincarnya. Mereka semua cantik dan seksi tapi entah kenapa tidak membuat Garvin berselera. Tubuh mereka semampai, beberapa tonjolan yang mereka miliki sangat menggoda. Tapi lagi-lagi Garvin tidak tergoda.Christ mengernyit. Mana ada wanita seperti itu di klub. Gerutunya dalam hati. Ia harus bertanya lebih detail. “Ukurannya bos?”“Ukuran apa?” Garvin malah bingung dengan maksud Chist.Tangan Christ membentuk tubuh seorang wanita.“Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil.” Ia menatap tanganny
Alesha tidak yakin. Ia tidak sepenuhnya mengerti. Namun dari ucapan kakek, ada kemungkinan Garvin semakin tertantang untuk menaklukannya. Bagaimanapun Garvin seorang pria yang banyak disukai wanita. Sering gonta-ganti pasangan. Alesha tidak akan mau terjebak dengan pria seperti itu. Mulai saat ini ia akan janji pada dirinya sendiri akan selalu menghindari Garvin.“Sebentar lagi ulang tahun perusahaan. Kamu harus ikut sama kakek.” Abraham mengusap tisu ke sudut bibirnya.“Tapi Alesha bukan keluarga kakek.”“Kamu lupa apa kata kakek?” Abraham beranjak dari duduknya. “Kamu cucu kakek. Sama seperti Garvin. Kamu harus ikut.”Alesha mengangguk pelan. Tidak bisa menolak.Seperti jarum jam yang diputar lebih cepat dua kali. Hari yang dinanti sudah tiba. Persiapan untuk merayakan ulang tahun perusahaan sepenuhnya telah rampung. Orang-orang antusias dengan pesta yang diadakan perusahaan besar seperti Viction grup.Alesha telah menyelesaikan riasannya. Ia turun—berjalan bersama kakek menuju mobi
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun