“Anyeonghaseyo kakak ipar.” Yubin tersenyum. Ia membawa sebuah koper. Seperti biasanya. Setahun sekali ia akan datang berkunjung. Ia berjalan mendekati Garvin. “Kau sudah datang,” ucap Garvin. “Bagaimana kau sampai di sini?” tanya Garvin dengan raut garangnya. Siapapun juga akan menciut, tidak terkecuali Yubin, adik iparnya sendiri. Yubin menunduk sebentar sambil menghela nafas. “Aku naik taksi sampai post depan. Lalu di antar pengawal sampai di sini.” “Sudah kubilang jika akan ke sini, kau harus bilang dulu. Pengawal akan menjemputmu di Bandara. Kenapa kau tidak mengerti-mengerti? Kau sudah dewasa Yubin. Mana ada dokter ceroboh sepertimu.”Yubin mencebikkan bibirnya. Garvin dengan Alesha tidak ada bedanya. Mereka sama-sama suka memarahinya. “Aku lupa, kakak ipar.” “Kejadian 4 tahun lalu tidak cukup membuatmu sadar? Kau ini—” tangan Garvin terangkat ingin mencakar adik iparnya. Tapi ia urungkan kembali. “Ah sudahlah.” “Di mana Yuna Eonni?” Yubin celingukan. Tidak mendapati kakakn
Yubin melotot. “Kakak ipar….” Desisnya kesal setengah mati. Garvin sengaja sekali melakukannya. Lihat saja—dengan raut datarnya, seolah tidak merasa bersalah sama sekali.“Kau berani melotot pada kakak iparmu?” tanya Garvin.Yubin mengerjap. “Bukan seperti itu kakak ipar. Aku hanya ingin kode akses apa susahnya?” “Pengawal bisa tersesat hanya berbekal peta lokasi,” balas Garvin semakin menambah kekesalan Yubin. Yubin menunjuk dirinya. “Aku yang akan membacanya. Adik iparmu ini sangat pintar. Aku tidak akan tersesat.” Menyodorkan kembali ponselnya. “Ayo kakak ipar, aku tidak sabar bertemu Yuna Eonni.” “Jalan ke rumah orang tuaku melewati berbagai jalur. Aku tidak yakin kau bisa membacanya.” Garvin mengambil ponsel Yubin. Ia hendak memberikan kode akses itu namun perkataan seseorang membuatnya berhenti. “Biar aku yang mengantarmu.” Yubin menoleh. Vander yang mengatakannya sendiri. Pria itu menatap Yubin—entah Yubin tidak bisa menebak ekspresi macam apa itu. “Aku yang akan menganta
“Eonni akan membawa Jake. Selama ini Eomma dan Appa tidak pernah melihat Jake secara langsung. Eonni juga merasa bersalah pada mereka.” Alesha menunduk. Yubin menggeleng. “Jangan menyalahkan diri sendiri, Eonni. Semua yang terjadi memang sudah seharusnya terjadi. Tanpamu ataupun tanpa kesalahan yang kau buat.”Alesha menatap Jake. “Jake, ayo ke korea bertemu Halmoni dan Halbeoji.” *Halmoni=Nenek Halboeji= kakek. “Dengan Dad dan Aunty Yubin?” tanya Jake polos. “Dad sedang sibuk. Kita pergi bersama Aunty.” Alesha mengusap pelan pipi Jake. Jake mengangguk. “Apa Korea itu indah? Jake tidak pernah bertemu dengan Halmoni dan Halbeoji. Jake ingin bertemu dengan mereka.” Alesha mengangguk. “Nanti bertemu mereka.” ~~Dua orang menyeret seorang pria. Sedangkan di depan ada satu orang wanita dengan pakaian minim. Berjalan dengan angkuh tanpa merasa takut sedikitpun. Di gedung tua ini—tidak begitu terang. Hanya ada beberapa buah lampu yang menyala. Garvin duduk santai di sebuah kursi. “Kau
“TUTUP MULUTMU!” beberapa kali Garvin menendang Christ hingga benar-benar tersungkur di lantai. Chirst batuk dan mengeluarkan darah. Namun ia malah tersenyum. “Setidaknya sebelum aku mati—aku bisa melihat seseorang yang aku suka.” Sambil menatap Garvin. Christ tersenyum. “SHIT!” Garvin mundur. Jijik sekali rasanya. Ia mengepalkan tangannya. “Kalian urus dia. Aku akan pergi.” Garvin mengambil jaketnya. Kemudian bergegas akan pergi. “Takut hah? Takut denganku? Hahaha pria sepertimu punya takut juga.” Christ berteriak agar suaranya di dengar oleh Garvin. Garvin berhenti. amarahnya sudah memuncak. Namun anehnya ia tidak bisa melampiaskannya—justru rasa jijik semakin menggerogoti dirinya. Ia berbalik—menatap Christ yang tersenyum. “Aku tidak takut. Aku jijik sekali denganku. Rasanya benar-benar jijik sampai aku mual dan ingin muntah.” Garvin berbalik—ia berjalan keluar dari gedung itu dengan perasaan campur aduk. Marah, kesal dan dongkol. Seharusnya ia bisa menghajar habis-habisan Chr
“Di mana Alesha dan Jake?” begitu Garvin sampai di kediaman orang tuanya. Ia langsung melangkah masuk dan mencari-cari keberadaan anak dan istrinya. BUGHGarvin mengusap rahangnya yang baru saja mendapat pukulan dari Sean. “Kenapa dad memukulku?” tanyanya.“Masih bertanya?” Sean hendak meninju Garvin namun lebih dulu dihalangi oleh Valencia. “Hentikan.” Valencia memegang lengan Sean. “Jangan bertengkar.” “Kenapa tidak lari pada wanita itu? kenapa malah ke sini dan mencari anak istrimu yang sudah pergi?” tanya Sean. Garvin mengernyit. “Pergi? Alesha pergi bersama Jake?” “Iya, karena kamu yang memilih Daisy. Alesha memilih pergi dan menunggu keputusan kamu,” balas Valencia. “Aku tidak bermaksud menyakiti Alesha, Mom. Aku hanya berpura-pura supaya Daisy mempercayaiku. Aku berpura-pura memilih Daisy agar bisa memanfaatkan wanita itu.” Garvin mengusap rambut kesal. “Aku berhasil memanfaatkannya. Dia mencabut semua laporan tuntutannya. Aku juga mendapatkan rahasia untuk menghancurkann
Bocah itu keburu lari. “DADDY!” Jake berlari ke arah Garvin yang tengah duduk dengan perasaan kacau.“Daddy!” Jake melompat ke pelukan Garvin. Garvin mengangkat wajahnya. “Jake,” lirihnya. Ia memeluk putranya dengan perasaan haru. Ia kira tidak bisa melihat anaknya lagi. “Kenapa ke sini?” tanya Alesha begitu berada di hadapan Garvin. Garvin berdiri. “Tentu saja mencarimu.” Menarik pinggang Alesha dan langsung menciumnya.Alesha mendorong Garvin dengan sekuat tenaga. “Bisa jelaskan dengan semua yang terjadi?” Garvin menarik Alesha. Membawanya masuk ke dalam toilet. “Tunggu Garvin, aku butuh penjelasanmu.” Alesha menyentak tangan Garvin yang memeluk pinggangnya. Dengan sorot matanya yang menajam—ia mendongak. “Kenapa ke sini? Sudah membuat keputusan? Memilihku atau memilih Daisy?” “Omong kosong.” Garvin menyerbu bibir istrinya lagi. Menciumnya rakus—sudah beberapa hari ia tidak bertemu apalagi menyentuh istrinya. “Garvin!” teriak Alesha tidak tertahan. Ia mendorong Garvin kesal.
Percuma dan sia-sia. Garvin terlanjur kesal. “KREEEK.” Dress yang digunakan Alesha sudah terbelah menjadi dua. Tenaga Garvin memang sebelas dua belas dengan titan. Tidak heran sudah banyak dress Alesha yang disobek secara Cuma-Cuma. “Garvin!” pekik Alesha. Alesha pasrah saat Garvin mulai menyentuhnya. Beberapa kali ia meringis karena permainan mereka yang terlewat kasar. Garvin membawanya masuk ke dalam bilik toilet. Di sana. “Berapa lagi?” tanya Alesha sudah banjir keringat akibat permainan mereka. “Satu lagi.” Garvin memejamkan mata sambil menyugar rambutnya. Bohong—dari tadi selalu berkata satu kali lagi. Tapi Garvin terus melakukannya sampai ia benar-benar puas. Sampai emosinya menjadi stabil. Ya hanya Alesha yang bisa meredakan emosinya. Hanya Alesha seorang. TOK TOK“Ayo berhenti.” Alesha mendongak ingin tahu apakah ada orang masuk atau tidak. “Teruskan di rumah saja.” Garvin menarik Alesha hingga semakin melekat padanya. “Tidak.” ~~Yubin dan Jake sudah berada di mobil
Mobil berhenti. Yubin membuka mata—setelah itu melakukan peregangan ringan. Ia mengusap kepala Jake pelan. Bocah itu tidur berjam-jam di pangkuannya. “Jake…,” pangil Yubin. Jake tidak terbangun. Mirip Alesha—kalau sudah tidur pasti susah bangun. “Jake…,” panggil Yubin lagi. “Aku akan menggendongnya.” Vander keluar dari mobil. Kemudian membuka pintu dan mengambil alih Jake ke dalam gendongannya. Tidak seberapa—Jake hanya anak kecil tidak akan membuat Vander sampai keberatan. Yubin menyelimuti Jake sampai batas leher. Sudah malam—kakaknya juga tidak kunjung pulang. Biar saja—Yubin tidak ingin memikirkan kakaknya karena ia terlanjur mengantuk. “Terima kasih sudah mengantarku dan Jake.” Setelah mengatakannya Yubin bergegas melangkah pergi. Vander menatap punggung Yubin yang semakin menjauh. Mengejar satu wanita saja rasanya sangat berat. Vander menggeleng pelan—ia akan pergi. Ia tidak akan menemui Yubin lagi. Semakin bertemu—perasaannya semakin kacau. ~~“Bagaimana keadaan Jake?” ta
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun