“Ethan rasanya pahit,” adu Alesha pada Ethan. Ia memberikan gelas minuman itu lagi. “Oh aku salah.” Ethan terkejut. Ia mengambil gelas itu dan ditaruhnya ke atas meja. “Maaf Alesha, aku tidak tahu jika itu bukan jus jeruk.” Memukul kepalanya sendiri. “Aku bodoh sekali.” Alesha menggeleng pelan. “Tidak masalah.” Ia memegangi kepalanya yang tiba-tiba pusing. “Alesha kau baik-baik saja?” tanya Ethan memeluk Alesha yang hampir jatuh. “Sepertinya aku harus pulang,” lirih Alesha. Ethan menuntun Alesha berjalan. Alesha hanya pasrah ia mengikuti langkah Ethan. Sungguh badannya mendadak berkeringat dingin. Sampai tidak sadar jika Ethan telah membawanya di lorong hotel lantai dua. “Ethan ini di mana? Tubuhku panas sekali.” Alesha memejamkan mata. Panas di tubuhnya terasa sangat menyiksa. Ia mendongak, menatap wajah Ethan yang juga menatapnya. Ethan tersenyum. Ia menarik pinggang Alesha. Sentuhan yang diberikan Ethan membuat reaksi berlebihan pada tubuhnya. Alesha serasa ingin disentuh l
Ia juga bergerak melepaskan pakaiannya sendiri. Dari jas dan kemeja. Ia melepaskan kemeja putih yang melekat di tubuhnya. Hingga sekarang ia hanya bertelanjang dada. Garvin menyentuh titik sensitif Alesha. Sudah ia duga meski masih terbalut dengan kain, ukurannya sangat pas di tangannya. Ia mengangkat tubuh Alesha ke atas ranjang. Menindih tubuh kecil Alesha dengan tubuh besarnya. Kemudian menghirup aroma Alesha. “Aku menginginkanmu.” Garvin memberikan kecupan kecil di bahu Alesha. Ia berhenti menatap Alesha yang juga menatapnya. Tangannya bergerak mengusap wajah Alesha. Cantik dan damai. Garvin benci—perasaan ini hadir lagi. Perasaan ingin menjaga Alesha lebih dari apapun. Bukannya ingin memakan Alesha lebih dalam lagi. Garvin bangkit. Ia mengangkat tubuh Alesha. Membawanya ke dalam kamar mandi. Mendudukkannya di Bathup. Mengatur suhu di air itu paling dingin. Kemudian menyiramnya ke tubuh Alesha. “Kau hancur jika aku menolongmu dengan kenikmatan.” Baru kali ini Garvin mau meng
Alesha sudah terbangun dari beberapa menit yang lalu. Ia berusaha mengingat kembali mengingat kejadian tadi malam. Ia menyibak selimutnya—tubuhnya terbalut dengan piyama motif panda. Mengenai tadi malam Alesha mengingatnya. Tidak ada hal sekecil apapun yang terlupa. Pokoknya Alesha mengingat dengan jelas bagaimana kejadia tadi malam. Malunya melebihi luasnya taman di belakang. Alesha ingin menangis—ia tidak bisa bertemu dengan Garvin. Mau ditaruh dimana di wajahnya. Derap langkah yang terdengar samar-samar. Alesha segera menutup matanya kembali. Tak lama benar saja pintu kamar terbuka. Masuklah seorang pria. Parfum mahal yang menguar sudah dihapal oleh Alesha. “Dia belum bangun padahal sudah siang,” lirih Garvin menatap Alesha yang masih menutup mata. “Biarkan nona Alesha istirahat, Sir.” Itu suara Christ, Alesha yakin sekali. Tangannya meremas seprai saat benda kenyal mendarat di dahinya. Garvin mencium dahinya beberapa detik. Pria itu juga mengusap puncak kepalanya dengan pelan
Garvin melotot. “Jadi dia berlatih di rumah? Tidak di luar?” Mengusap rambutnya frustasi. “Seharusnya aku mendobrak pintu satu persatu kamar di rumah kakek.” “Berani merusak pintu?” Abraham menunjuk tongkatnya. Garvin menghela nafas. Baru kali ini ia berusaha sabar untuk mendapatkan keinginannya. Ia segera berjalan ke arah ruangan yang dimaksud kakek. Ia sampai—namun pintu terkunci dengan rapat. Pada akhirnya Garvin kembali menemui kakeknya yang sekarang berada di bawah. “Di mana kunci cadangannya?” tanyanya. “Alesha tidak mengijinkan siapapun masuk.” Abraham menatap Garvin yang frustasi. “Kamu hanya bertanya bukan meminta.” Garvin mengepalkan tangannya. “Sesulit inikah aku bertemu dengannya?” “Kadang-kadang memang perlu perjuangan,” balas Abraham enteng. ~~ Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Alesha menatap cermin di depannya. Tubuhnya berkeringat sangat banyak. Beruntung sekali kakek mau membuatkannya sebuah ruangan untuk digunakan berlatih ballet. Alesha mengambil handuk
Alesha berdandan cantik. Ia menggunakan dress putih. Rambutnya digerai, ia juga menambah bando di rambutnya. Helaian rambutnya bertebaran akibat terpaan angin. Padang hijau, rumput hijau yang menjadi lantai di tempat ini. Di batu nisan tertulis ‘Aldrich.’ Alesha berjongkok ia menaruh bunga yang sudah dibawanya di bawah nisan. “Hai Aldrich,” sapa Alesha. Hatinya begitu terasa sesak. Air matanya mulai berjatuhan. “Alesha datang pakai dress putih. Kamu suka banget kalau aku pakai dress putih terus pakai bando.” Alesha menunduk. “Maaf Alesha gak bisa buat apa-apa buat Aldrich.” Alesha melirik sebentar Garvin yang hanya diam di sampingnya. Mungkin karena Alesha berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang sama sekali tidak dimengerti oleh Garvin. “Kamu bilang kamu akan jadi duniaku, tapi kamu pergi lebih dulu.” Alesha tersenyum. “Tapi tenang aja, aku ketemu sama orang-orang baik. Ada kakek Abraham yang jaga aku. Aku seneng banget. Pertama kalinya aku punya orang yang menjagaku kecuali k
“Uangku banyak,” cuek Garvin. Alesha hampir tersedak dengan kepercayaan diri Garvin. “Sombong amat,” cibirnya menggunakan bahasa Indonesia. “Jangan berbicara menggunakan bahasa yang tidak aku mengerti.” Garvin hampir membuat Alesha jatuh dengan gerakannya yang tiba-tiba menarik kursi perempuan itu agar lebih mendekat. “Kau benar-benar!” Alesha reflek memukul bahu Garvin. Tenaganya tidak seberapa—yang pasti tidak akan terasa bagi Garvin. Membuat Garvin yang hanya diam saja membuatnya meringis. “Sorry.” Tapi selanjutnya Garvin segera balas dendam dengan mencubit pipi Alesha sedikit keras. Sungguh karena gemas—tidak bermaksud ingin menyakiti Alesha. Bahkan keinginannya sekarang bertambah. Ingin menggigit pipi Alesha! Bagaimana rasanya. Bagaimana jika dikunyah. “Aku ingin makan pipimu.” “Aku akan mengadukanmu pada kakek!” Alesha bangkit. Ia mengusap pipinya yang memerah akibat cubitan Garvin. “Alesha tunggu. Jangan mengadu pada kakek.” Garvin membuntuti Alesha dari belakang. Dengan
“Gerry come here!” teriak Garvin. Anjing itu tidak mengindahkan sang pemilik. Sekarang Alesha berlarian ke sana-kemari. Tidak bisa keluar karena terlanjur dikejar. “Gerry!” teriak Garvin tidak berguna. Anjingnya masih terus mengejar Alesha. Alesha sampai di sebuah tangga. Ia menaikinya. Sampai di atas. Ia masih dikejar—anjing itu menggonggong di bawahnya. “GARVIN PLEASE JAUHKAN DIA DARIKU!” teriak Alesha. Garvin sendiri tidak bisa mengatasi anjingnya. Pada akhirnya ia juga menyuruh beberapa anak buahnya untuk membawa Gerry menjauh dari Alesha. “Aku tidak akan memafkanmu.” Alesha menatap kesal Garvin yang sudah di bawahnya. Perlahan turun dari tangga. Menatap kesal pada Garvin. Ia menyingkirkan tangan Garvin dari pinggangnya karena ingin mengangkatnya. Ia berjalan kesal—meninggalkan Garvin di belakang. GUK GUK Anjing itu berlari lagi ke arah Alesha. Segera berbalik berlari dan melompat ke tubuh Garvin. Kedua kakinya melingkar di pinggang pria itu seperti Koala. “Takut,” liri
CHAPTER Bulan Purnama PalsuIa berusaha bangkit. Namun pinggangnya ditahan. Garvin menarik tengkunya dan menciumnya. Gerakannya yang begitu lembut membuat Alesha terbuai. Begitu intens—Garvin membalikkan posisinya menjadi di atas Alesha.Ia berhenti. Menatap Alesha. “Aku hanya ingin menciummu. Aku tidak akan berbuat lebih.” Kemudian bangun. Menggendong tubuh Alesha ala bridal style.Alesha melingkarkan tangannya di leher Garvin yang masih menciumnya. Pangutan bibir mereka belum terlepas. Sungguh Alesha terbuai, tapi Garvin berhenti sampai di dalam kamar. Garvin menurunkan tubuh Alesha di atas kasur dengan hati-hati. Ia mengusap puncak kepala Alesha pelan.“Good night.”~~Sinar matahari mengenai wajah seorang perempuan yang tertidur pulas. Tidak lama mulai terbangun. Alesha membuka mata—sudah menjadi kebiasaan saat baru bangun tidak langsung sadar. Ia mengerjap pelan—membiarkan dirinya larut dalam pikiran kosong untuk beberapa menit. Alesha melirik jam yang sudah menunjukkan waktu sia
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun