"Bagaimana kalau aku resign dari sini? Mamah tau aku punya perusahaan sendiri," tolak Sanjaya tidak ingin kalah dari ibunya. Kali ini pun Sanjaya tidak ingin mengalah lagi. Dia memang menyayangi ibunya, tapi untuk pendamping hidup, Sanjaya punya pilihannya sendiri. Dia tidak ingin siapapun ikut campur. Venti semakin geram. Ia pikir dengan datang langsung ke kantor putranya, Sanjaya akan luluh dan mau mendengarkan permintaannya. Padahal jelas, tadi pagi dirinya sudah di tolak mentah-mentah oleh Sanjaya. "Sandy! Bawa sekertaris itu, biar aku sendiri yang pecat dia!" Venti penasaran sehebat apa kedua sekertaris Sanjaya. Sandy masuk ke ruang Tuannya, tapi matanya melihat sosok Davinka yang berdiri mematung menatap ruangan Sanjaya ngeri. Sandy berharap agar Davinka segera pergi dari sini, hingga dirinya memiliki alasan agar ia tidak membawanya masuk menghadap Venti, yang sepertinya ingin menyingkirkan siapapun yang menghalangi langkahnya. "Saya, Nyonya!" Sandy menunduk dengan hormat pa
Sanjaya menyibak anak rambut Davinka dengan ujung jarinya yang hangat hingga mampu membuat tubuh Davinka semakin menegang."Lanjutkan," bisik pria itu lirih, "aku dengar, kamu mendapat pencapaian terbaik, Davinka!" Pria itu semakin menarik tubuh Davinka agar menempel dengan dadanya. "Teresa Manopo bahkan setuju untuk mengalihkan seluruh depositnya. Hemm … benar, kan?" Pria mengendus aroma shampo Davinka yang sangat harum.Gila, mana bisa Davinka bicara di tengah rintihan nikmat yang selalu keluar dari bibirnya. Pria ini begitu memanjakan tubuhnya yang sudah sangat kecanduan akan jamahan serta buaian tangan Sanjaya yang lihai."Eh-pak Marko se-ahhh!" Davinka kembali menelan kata-katanya. Sanjaya semakin liar dengan permainan jari tangannya yang meremas, menekan dan sedikit menjepit putingnya diantara celah jarinya. "Tu-tuan!" ujarnya lirih."Hemm … kenapa, Sayang? Kamu suka?" tanya Sanjaya dengan suara bergetar hebat. Sepertinya pria itu meng
Pintu terbuka. Brata Hardian masuk dengan tatapan elangnya. Namun, langkahnya terhenti saat indra penciumnya menangkap wangi yang tidak biasa. Mendadak bulu kuduknya meremang, rasa dingin mulai menjalari seluruh tubuhnya.'Apa roh wanita itu juga ada disini?' Brata mengedarkan pandangannya. Mencari bayangan atau siluet apapun untuk mencari rasa penasarannya. Sementara putranya terlihat begitu santai dengan kemejanya yang acak-acakan. Penampilannya sudah sangat berantakan.'Apa sebenarnya yang terjadi? Semakin lama anak ini semakin aneh! Tapi, apa benar hantu wanita itu ada disini juga?'Brata yakin merasakan aura mendiang menantunya ada di sini. Dulu semasa wanita itu hidup, Brata cukup dekat dengan Diandra. Menantunya menjadi penghubung antara dirinya dan putranya. Dia bisa mencurahkan kasih sayang yang tidak bisa disampaikan langsung pada Sanjaya melalui Diandra.'Jika kau ada di sini buatlah putraku mengerti dan hidup dengan baik!' pinta Brata lirih.&n
Sanjaya sempat membeku, tatapnya mulai waspada, otaknya bekerja keras. Dia harus mencari alasan agar Rani percaya itu bukan Davinka."Bukan, dia teman wanitaku," jelas Sanjaya dengan nada datar, "pergilah, briefing lima menit lagi," usir Sanjaya agar Rani segera pergi. Waktu lima menitnya bahkan sudah hampir habis untuk meladeni Rani.'Bohong, itu jelas suara Davinka. Dia pasti di dalam.' Rani ingin membuktikannya sendiri, tapi tidak mungkin dia melawan perintah Sanjaya."Pak, tadi saya ketemu Davinka, dia bilang ada urusan sebentar, kopi Anda akan dibawakan oleh Asep, diruang briefing," cetus Sandy mengagetkan keduanya.'Syukurlah kamu datang Sandy. Jika tidak, Rani akan menerobos masuk.' Sananya menatap penuh terima kasih pada Sandy.'Hah, bener, ya itu bukan Davinka. Masa, sih? Itu suara dia kok. Gue yakin baget!' "Saya permisi, Pak. Kami tunggu di ruang meeting." Rani langsung lari menuju lantai tiga dimana briefing akan dimulai."Terima
Atik terus memasukkan pembalut ke dalam kantong belanjaan dengan pikiran yang terus menerawang jauh. Hati Atik menangis lirih saat tahu Sandy ternyata sudah memiliki pendamping hidup. Buktinya, pria itu memberikan banyak pembalut untuk wanita yang disayanginya.Jika bukan untuk buka toko, pasti untuk wanita, kan?"Kenapa gue apes baget, sih!" Atik memasukkan satu pembalut dengan kasar ke dalam kantong belanjaan. "Gagal dong gue jadi bininya." satu pembalut kembali masuk dengan kasar seperti bola yang menjebol gawang. "Dia itu orang no dua paling ganteng setelah si duren Pak Sanjaya!" Atik terus menggerutu sampai pembalut sisa dua bungkus dan Sandy menghentikan tangan wanita itu."Apa tanganmu baik-baik saja?" tanya Sandy saat melihat ronan pink di punggung tangan wanita itu.Atik hanya menatap pergerakan tangannya yang disentuh oleh Sandy. Detak jantung seperti genderang drum, tatapannya terlihat kosong. Wanita itu begitu terhipnotis oleh perlakuan
Davinka berpikir keras. Apa yang sebenarnya akan ditanyakan oleh Rani?Sedikit tergagap Davinka menjawab pertanyaan sahabatnya."I-ya, gue ada disana? Kenapa? Ada masalah apa?" Untuk menutupi kegugupannya Davinka balik menyerang Rani. Dia tidak ingin kebohongannya terbongkar."Yakin, Lo ada disana?" Rani menekuk alisnya tajam. Dia ragu untuk menuduh yang tidak-tidak terhadap sahabatnya. Tapi, dia yakin itu adalah suara Davinka yang terdengar begitu manja saat memanggil nama atasan mereka hanya dengan Sanja."Iya, gue ada di sana, dua hari ini gue full di ruangan pak Sanjaya," dalih Davinka dengan kesungguhan, dan nyatanya memang dia selalu ada di sana.Sanjaya mengultimatum dirinya agar tidak keluar dari ruangan pria itu walau sekedar untuk ke cafe tarian dan menikmati makan siangnya. Semua keperluan Davinka sudah diurus oleh Sandy tanpa harus dimintanya."Ya, bener, 3 hari yang lalu Davinka memang ada di ruangan Pak Sanjaya. Soa
Sanjaya melakukan pekerjaannya dengan tergesa-gesa, untung hanya tinggal beberapa muatan lagi yang harus dimasukan kedalam kontainer. Sisa pekerjaannya dilakukan dengan cepat, berharap Sandy segera memberinya kabar. Setelah pekerjaannya selesai, Sanjaya langsung masuk kedalam mobil, meninggalkan sisa pekerjaan yang sudah dia serahkan pada perwakilannya. "Apa sebenarnya yang dipikirkan oleh wanita itu? Apa selama ini aku terlalu baik?" gumam Sanjaya lirih. "Langsung ke bank BRC!" titah Sanjaya pada sopir. Sore itu Sanjaya tidak bisa melakukan banyak hal, kemacetan kota membuat langkahnya terhenti. Pikirnya sudah sangat kacau, dia tidak tahu lagi dimana dapat menemukan Davinka. Sandy sudah mengabarinya, wanita itu tidak ada dimanapun. Bahkan di rumah sakit tempat Yudha dirawat, dan rumah itu sudah kosong, Davinka tidak lagi memiliki kuncinya. "Kamu dimana, Davin? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba kamu seperti ini?" Berulang k
Sanjaya membuka matanya, menatap wajah Rani tajam. "Kamu!" panggil pria itu hingga membuat tubuh Rani tersentak dengan wajah pucatnya. Raut wajah Rani jelas menunjukkan bahwa dia tengah berfikir keras dimana keberadaan Davinka saat ini. "Kamu pasti tahu dimana Davinka saat ini. Kalian sudah berteman lama, kan?" tanya Sanjaya masih mengunci pergerakan Rani. Rani mulai gelisah, dari tadi pikirannya sangat kalut. Semua ingatan akan Sanjaya dan Davinka tengah disusun menjadi satu. Sampai saat Sanjaya memanggilnya, Rani tidak bisa berkata apa-apa. Dirinya memang cukup mengenal Davinka di kantor ini. Tapi, diluar dari itu, ia sama sekali tidak tahu latar belakang Davinka. Mereka selalu bertemu di luar ketika ingin makan siang di luar hari kerja. Selama satu tahun ini Davinka lebih sering mengunjunginya di rumahnya, atau di rumah baru Davinka yang belikan oleh Yudha. Lebih dari itu, ia tidak tahu. "Sa-saya hanya tahu rumah Davinka di Regency. S
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.