Sanjaya melakukan pekerjaannya dengan tergesa-gesa, untung hanya tinggal beberapa muatan lagi yang harus dimasukan kedalam kontainer. Sisa pekerjaannya dilakukan dengan cepat, berharap Sandy segera memberinya kabar.
Setelah pekerjaannya selesai, Sanjaya langsung masuk kedalam mobil, meninggalkan sisa pekerjaan yang sudah dia serahkan pada perwakilannya.
"Apa sebenarnya yang dipikirkan oleh wanita itu? Apa selama ini aku terlalu baik?" gumam Sanjaya lirih.
"Langsung ke bank BRC!" titah Sanjaya pada sopir.
Sore itu Sanjaya tidak bisa melakukan banyak hal, kemacetan kota membuat langkahnya terhenti. Pikirnya sudah sangat kacau, dia tidak tahu lagi dimana dapat menemukan Davinka. Sandy sudah mengabarinya, wanita itu tidak ada dimanapun. Bahkan di rumah sakit tempat Yudha dirawat, dan rumah itu sudah kosong, Davinka tidak lagi memiliki kuncinya.
"Kamu dimana, Davin? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba kamu seperti ini?"
Berulang k
Mulai besok Sanjaya dan Uuna tidak up. Up setelah Dante Tamat đđ maaf sebelumnya ... Ikutin terus kisah Buenda Vania untuk dapat info terbaru terimakasih
Sanjaya membuka matanya, menatap wajah Rani tajam. "Kamu!" panggil pria itu hingga membuat tubuh Rani tersentak dengan wajah pucatnya. Raut wajah Rani jelas menunjukkan bahwa dia tengah berfikir keras dimana keberadaan Davinka saat ini. "Kamu pasti tahu dimana Davinka saat ini. Kalian sudah berteman lama, kan?" tanya Sanjaya masih mengunci pergerakan Rani. Rani mulai gelisah, dari tadi pikirannya sangat kalut. Semua ingatan akan Sanjaya dan Davinka tengah disusun menjadi satu. Sampai saat Sanjaya memanggilnya, Rani tidak bisa berkata apa-apa. Dirinya memang cukup mengenal Davinka di kantor ini. Tapi, diluar dari itu, ia sama sekali tidak tahu latar belakang Davinka. Mereka selalu bertemu di luar ketika ingin makan siang di luar hari kerja. Selama satu tahun ini Davinka lebih sering mengunjunginya di rumahnya, atau di rumah baru Davinka yang belikan oleh Yudha. Lebih dari itu, ia tidak tahu. "Sa-saya hanya tahu rumah Davinka di Regency. S
Rani mendengus tidak terima diperlakukan begitu kasar oleh pria berwajah datar yang duduk di sisinya. Semua penilaian awal tentang Sandy dan Sanjaya yang begitu sempurna dan berhati malaikat ternyata salah besar. Kedua pria ini jelas menyebalkan dan sangat arogan.Selama sisa perjalanan Rani hanya diam membisu tidak berani mengatakan sepatah kata pun. Bibirnya terkunci rapat, tapi sesekali dadanya bergemuruh jika kembali diingatkan akan penderitaan sahabatnya yang disebabkan oleh Sanjaya."Turun!" Titah pria itu masih tanpa belas kasih.Dengan hentakan kaki jengkel, Rani menuruni mobil. Dia bahkan tidak sadar bahwa mobil yang baru dia naiki adalah keluaran terbaru limited edition yang dimiliki oleh segelintir orang atas dengan kartu kredit tanpa batas.Sandy duduk di atas kap mobil dengan tangan terlipat di dada dan kaki yang ia silangkan. Sandy memiringkan kepala, memberi perintah kepada Rani untuk segera masuk dan bertanya pada security yang berja
Sanjaya terus menunggu dan menunggu, hingga akhirnya sebuah tanda keberadaan Davinka diketahui orang-orangnya. "Katakan, dimana wanita itu?" tanya Sanjaya pada penjaga depan pintu rumahnya. Pria itu langsung menghubungi penjaga di luar untuk mengetahui di mana posisi Davinka saat ini. Sinyal itu memang berasal dari gerbang utama, yang memang langsung diaktifkan pada jam di pergelangan tangannya. Sore tadi saat tahu Davinkanya hilang, Sanjaya langsung mengaktifkan penghubung pada jam tangannya yang sudah disetel kapan pun dia membutuhkannya. "Baru masuk rumah utama, Tuan," jelas penjaga. "Baiklah, terima kasih. Kalian bisa kembali berjaga," tukas pria itu. Sanjaya mematikan telepon, menghitung mundur guna meredakan emosinya. Biar bagaimanapun, ia lebih merindukan Davinka daripada marah terhadap wanita itu. Dirasa cukup, Sanjaya melangkah lebar menuju kamar Davinka. Ia berjanji tidak akan mengatakan apapun yang akan k
Davinka tahu, dia tidak bisa menolak pria itu. Tidak bisa dipungkiri beberapa hari tidak melihatnya, ia pun merasakan hal sama, Davinka sangat merindukan pria itu, ranjangnya terasa begitu luas. Namun, apa yang dikatakan oleh Rani kembali terngiang dibenaknya. 'Pak Sanjaya abis end-end diruangannya.' Suara itu terus menggema dibenaknya, membuat dadanya membusung dengan napasnya yang menderu. "Saya ambilkan Anda minum dulu," ujar Davinka bergegas keluar kamar. Membayangkan Sanjaya menjamah tubuh wanita lain membuat darahnya kembali mendidih. "Dasar nyebelin, tukang jajan!" Keluh Davinka dengan hentakan kaki jengkel. Wanita itu terus mengger untuk sepanjang jalan menuju dapur. Melihat punggung Davinka menjauh, Sanjaya hanya dapat melihatnya dengan tidak berdaya. "Apa dia masih, marah?" tanya Sanjaya pada dirinya sendiri, "bagaimana caraku membujuknya? Wanita memang aneh, kan? Merah tanpa menyelidiki dulu apa yang sebenarnya terjadi!" Selai
Davinka semakin mengangkat tinggi aslinya, tidak yakin dengan apa yang dia dengar. "Rasanya nggak akan pernah berubah kalau saya terus nyicip berulang-ulang," tukas Davinka dengan sedikit memiringkan kepalanya. Ujung bibirnya sesekali terangkat seolah mengejek Sanjaya. Sanjaya menepuk sisi ranjang yang kosong, ingin mengikis jarak diantara mereka. "Kemari," pinta pria itu, dan Davinka menuruti permintaan Sanjaya. Jelas Davinka tidak bisa menolak. Akhirnya wanita itu duduk tanpa menatap Sanjaya, terus menunduk menatap lantai. Walaupun dari jarak sejauh ini, Sanjaya dapat mencium parfum Davinka yang begitu ia rindukan. Tangan pria itu terulur, mengelus pipi Davinka dengan jarinya yang panjang, menyalurkan rasa hangat dari tubuhnya yang langsung direspon oleh Davinka yang balik menatapnya dengan manik yang terus bergerak-gerak. "Aku suka semua rasa yang ada dalam dirimu. Sedikit saja candu dari bibirmu menyentuh makananku, akan membua
Davinka tidak bisa lagi lagi. sudah ketahuan menjadi wanita simpanan Sanjaya.Tidak ingin meningkatkan citranya, Davinka langsung bangun dari tempat tidur, menjauh dari Sanjaya ag
Detak jantungnya seolah tengah di kejar oleh maut di depan mata. Napas Davinka mulai terengah-engah dengan butiran keringat yang sangat banyak. Rasa sakit yang luar biasa hebat mulai menyerang. Wajah itu semakin mendekat, ada banyak luka di sekujur tubuh.
Sanjaya melangkah lebar masuk ke dalam kamar Davinka, merasa kasihan atas penderitaan wanita itu. Tanpa menunggu lagi Sanjaya langsung menarik tubuh lemah wanitanya ke dalam dekapan. Mendaratkan bibirnya berulang kali di atas pelipis wanita itu. "Aku ada sini, Ra. Aku ada disini ..." Sanjaya sengaja mengatakan itu, memanggil Davinka dengan sebutan 'Ra' dengan harapan roh dari mendiang istrinya yang mungkin saat ini tengah merasuki bawah alam sadar wanitanya dapat mendengar bahwa dirinya selalu ada di sisi
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani âŚ." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais ⌠jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini âŚ.Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyonâ""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan âŚ. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atauâ' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.