Dari menyipitkan matanya, kini Sanjaya sudah melotot, siap menghancurkan apapun. Jika sampai Si Jepang itu menyentuh Davinka sedikit saja, maka bisa dipastikan pria itu tidak akan bisa pulang ke negaranya. "Kenapa harus end-end?" tanya Sanjaya geram hingga mampu membuat tubuh Atik gemetar. "Untuk mendapatkan ikan kakap, terkadang nelayan butuh umpan yang lebih besar," tukas Davinka terlihat acuh. Wanita itu jelas memancing kemarahan Sanjaya. Davinka hanya ingin tahu seberapa besar Sanjaya peduli terhadapnya. Gadis di hadapan Davinka seperti tengah berfikir, gadis itu hanya diam mematung dengan pandangan ke bawah. 'Apa Atik merasa takut?' Dua Minggu dipimpin oleh Bosnya ini, baru kali ini Atik mendengar nada tidak suka, bahkan sekarang tangan bosnya ini mengepal kuat dengan buku tangan yang hampir memutih. 'Apa Pak Sanjaya marah? Aku 'kan hanya mengatakan fakta di bank sebelah!' "I-itukan, di bank sebelah, Pak. Bank kita jangan, dong! Lagian saya yakin Davinka bisa membujuk nas
"Karena hasilnya ditunggu Pak Sanjaya," jawab Sandy dengan menekan nama Tuannya. "dan, Davinka, kamu sekarang menjadi aspinya pak Sanjaya, kan? Jadi pulang cepat dan selesaikan tugasmu!" Sandy bergegas pergi dan berharap Davinka mengerti. Sandy tidak tahu apa yang akan terjadi jika Davinka pergi kerumah sakit untuk menemui mantan suaminya. Tuannya pasti akan merasa dikhianati. Rani menggandeng tangan Davinka dan kembali mengajaknya keluar kantor. "Lo masih jadi asisten pribadi Pak Sanjaya, Vie?" tanya Rani hanya menatap wajah Davinka sekilas sebelum naik kedalam mobil. Davinka hanya menghela napas setelah bokongnya duduk dengan nyaman di samping Rani. Ia ingin menjawabnya pertanyaan Rani, akan tetapi tatapan dari kaca spion membuat Davinka kembali mengunci mulutnya. Sementara Rani, wanita itu masih menatap Davinka games karena tidak juga menjawab pertanyaan, dan Davinka, Davinka kini malah mulai membaca berkas PT Cahaya Paper. "Jalan, Pak!" pinta Rani pada sopir. Nadanya sedikit
Rani menggeleng tidak percaya, apa ada orang segila itu di dunia, yang begitu memaksa untuk memiliki Davinka hingga mau melakukan apa pun. Termasuk membuat Davinka bercerai dengan Yudha. "Namanya, pasti punya nama kan? Siapa nama orang itu?" desak Rani penasaran. Davinka tersenyum getir, dia sendiri tidak tahu harus mengatakan apa pada Rani, siapa identitas pria itu yang tadi bahkan sudah ditebak dengan mudah oleh sahabatnya ini. Namun, Davinka tidak ingin mengambil resiko. Nama baik Sanjaya dan dirinya menjadi taruhan. Jika dia mengatakan kebenarannya, Devinka takut Rani tanpa sengaja mengatakan kepada orang lain. Walau Davinka tahu Rani tidak akan mengatakan itu. "Dia minta dirahasiakan identitasnya, dia cukup punya nama, juga punya keluarga. Gue nggak mau skandal ini buat dia dalam posisi yang sulit!" Rani kembali menyipitkan mata. Beberapa saat lalu dia melihat penderitaan Davinka yang begitu menyedihkan, dan sekarang ia melihat ada sedikit pancaran kebahagiaan di bola mata sa
Tangis Yudha terdengar begitu memilukan, menyayat hati siapapun yang kebetulan melewati koridor itu. Wulan tidak bergeming sedikitpun. Hatinya sudah sekeras batu. Dengan tanpa belas kasih wanita itu menyulut sumbu yang mengarah pada ledakan terdahsyat dalam hidup putranya. "Wanita itu pezina, Yudha. Wanita itu telah pergi dengan laki-laki lain pada saat kau—" "Cukup, Mah. Cukup! Aku tidak ingin mendengar apapun lagi! Semua yang keluar dari mulutmu adalah kebohongan!" "Tidak, Yudha, kamu harus tahu yang sebenarnya bahwa wanita itu bukan lagi istrimu! Dia sudah mencerikanmu demi laki-laki lain. Aku sendiri yang melihatnya dengan mata kepalaku, wanita itu menandatangani berkas pengadilan!" Wulan mengatakan semua yang seharusnya diketahui oleh Yudha. Dia ingin anaknya itu mulai berjung demi dirinya sendiri. Wanita itu tidak ingin Putranya bergantung pada Davinka, yang sudah membuat Yudha-nya menderita. Yudha tekulai dan hampir saja kepalanya menyentuh lantai jika Nurmala tidak seger
"Bagaimana kalau aku resign dari sini? Mamah tau aku punya perusahaan sendiri," tolak Sanjaya tidak ingin kalah dari ibunya. Kali ini pun Sanjaya tidak ingin mengalah lagi. Dia memang menyayangi ibunya, tapi untuk pendamping hidup, Sanjaya punya pilihannya sendiri. Dia tidak ingin siapapun ikut campur. Venti semakin geram. Ia pikir dengan datang langsung ke kantor putranya, Sanjaya akan luluh dan mau mendengarkan permintaannya. Padahal jelas, tadi pagi dirinya sudah di tolak mentah-mentah oleh Sanjaya. "Sandy! Bawa sekertaris itu, biar aku sendiri yang pecat dia!" Venti penasaran sehebat apa kedua sekertaris Sanjaya. Sandy masuk ke ruang Tuannya, tapi matanya melihat sosok Davinka yang berdiri mematung menatap ruangan Sanjaya ngeri. Sandy berharap agar Davinka segera pergi dari sini, hingga dirinya memiliki alasan agar ia tidak membawanya masuk menghadap Venti, yang sepertinya ingin menyingkirkan siapapun yang menghalangi langkahnya. "Saya, Nyonya!" Sandy menunduk dengan hormat pa
Sanjaya menyibak anak rambut Davinka dengan ujung jarinya yang hangat hingga mampu membuat tubuh Davinka semakin menegang."Lanjutkan," bisik pria itu lirih, "aku dengar, kamu mendapat pencapaian terbaik, Davinka!" Pria itu semakin menarik tubuh Davinka agar menempel dengan dadanya. "Teresa Manopo bahkan setuju untuk mengalihkan seluruh depositnya. Hemm … benar, kan?" Pria mengendus aroma shampo Davinka yang sangat harum.Gila, mana bisa Davinka bicara di tengah rintihan nikmat yang selalu keluar dari bibirnya. Pria ini begitu memanjakan tubuhnya yang sudah sangat kecanduan akan jamahan serta buaian tangan Sanjaya yang lihai."Eh-pak Marko se-ahhh!" Davinka kembali menelan kata-katanya. Sanjaya semakin liar dengan permainan jari tangannya yang meremas, menekan dan sedikit menjepit putingnya diantara celah jarinya. "Tu-tuan!" ujarnya lirih."Hemm … kenapa, Sayang? Kamu suka?" tanya Sanjaya dengan suara bergetar hebat. Sepertinya pria itu meng
Pintu terbuka. Brata Hardian masuk dengan tatapan elangnya. Namun, langkahnya terhenti saat indra penciumnya menangkap wangi yang tidak biasa. Mendadak bulu kuduknya meremang, rasa dingin mulai menjalari seluruh tubuhnya.'Apa roh wanita itu juga ada disini?' Brata mengedarkan pandangannya. Mencari bayangan atau siluet apapun untuk mencari rasa penasarannya. Sementara putranya terlihat begitu santai dengan kemejanya yang acak-acakan. Penampilannya sudah sangat berantakan.'Apa sebenarnya yang terjadi? Semakin lama anak ini semakin aneh! Tapi, apa benar hantu wanita itu ada disini juga?'Brata yakin merasakan aura mendiang menantunya ada di sini. Dulu semasa wanita itu hidup, Brata cukup dekat dengan Diandra. Menantunya menjadi penghubung antara dirinya dan putranya. Dia bisa mencurahkan kasih sayang yang tidak bisa disampaikan langsung pada Sanjaya melalui Diandra.'Jika kau ada di sini buatlah putraku mengerti dan hidup dengan baik!' pinta Brata lirih.&n
Sanjaya sempat membeku, tatapnya mulai waspada, otaknya bekerja keras. Dia harus mencari alasan agar Rani percaya itu bukan Davinka."Bukan, dia teman wanitaku," jelas Sanjaya dengan nada datar, "pergilah, briefing lima menit lagi," usir Sanjaya agar Rani segera pergi. Waktu lima menitnya bahkan sudah hampir habis untuk meladeni Rani.'Bohong, itu jelas suara Davinka. Dia pasti di dalam.' Rani ingin membuktikannya sendiri, tapi tidak mungkin dia melawan perintah Sanjaya."Pak, tadi saya ketemu Davinka, dia bilang ada urusan sebentar, kopi Anda akan dibawakan oleh Asep, diruang briefing," cetus Sandy mengagetkan keduanya.'Syukurlah kamu datang Sandy. Jika tidak, Rani akan menerobos masuk.' Sananya menatap penuh terima kasih pada Sandy.'Hah, bener, ya itu bukan Davinka. Masa, sih? Itu suara dia kok. Gue yakin baget!' "Saya permisi, Pak. Kami tunggu di ruang meeting." Rani langsung lari menuju lantai tiga dimana briefing akan dimulai."Terima
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.