Mata sayu Davinka mulai terbuka dengan bibirnya yang masih terus meringis karena menahan sakit.
"Tuan …," panggil Davinka dengan suaranya yang serak.
Davinka menatap Sanjaya bingung. Suara yang memanggilnya tadi seperti sudah sangat dia kenal. Tapi, saat matanya terbuka di depannya bukanlah seorang yang dia kenal di masa lalu atau bayangan almarhum suaminya.
"Devin?" tanya Davinka dengan suaranya lirih.
"Ya, dia ada di hadapanmu," ujar Sanjaya menenangkan.
"Tuan … Tuan, tau Devin?"
Sanjaya mengangguk, "Dia anak kamu. Kamu mau ketemu dia, kan?"
'Kok dia tahu? Siapa yang kasih tahu?'
Davinka hanya diam tanpa kata. Sanjaya bisa melakukan apapun, bukan? Lebih baik tidak usah bertanya.
Dia hanya memegangi kepalanya yang masih berdenyut hebat, tapi sebisa mungkin ditahannya.
"Apa sudah selesai?" tanya Sanjaya lagi saat tidak mendapat jawaban apapun.
Sanjaya ingin membawa Davinka dari pem
Devinka menggeliat saat merasakan tangan kekar melingkar manis di atas perutnya. Davinka pikir pria ini tengah mengabaikannya mengingat perkataan sengit di dalam mobil dan sikap acuhnya. Tapi ternyata, dia tidak memberi ruang sedikit pun untuk dirinya bergerak saat ini. Pria itu memang tertidur lelap, tapi begitu mengintimidasi dan menguasai tubuhnya. Devinka berusaha menyingkirkan lengan kokoh itu. Akan tetapi, pria ini tidak bergerak sedikitpun. "Diamlah Davin, ini masih terlalu pagi untuk bangun!" dengus Sanjaya saat merasa tidurnya terganggu oleh ulah Davinka. Padahal dirinya baru saja terlelap. "Tuan, saya ingin ke kamar kecil. Hanya sebentar, saya janji," pinta Davinka. Sanjaya menguap lebar sambil mengeluh. "Seharusnya mereka menaruh pispot atau baskom di bawah tempat tidur! Tetap disana!" Masih dengan mata mengantuk Sanjaya menuruni ranjang. Devinka tidak senang mendengar perkataan pria itu, dirinya tidak
"Dia …." 'Dia gak sama, sama gue. tapi kenapa Tuan Sanjaya selalu nyebut nama dia pas nyentuh gue? Jelas ini gak masuk akal, kami berbeda!' Devinka benar-benar bingung membandingkan kesamaan antara dirinya dengan paras cantik berlesung pipi di bingkai itu. Lesung pipinya memang tidak sedalam wanita itu, tinggi hidung mereka terlihat berbeda. Yang tidak dapat Davinka enyahkan adalah sorot mata dan bibir sensual itu yang sama persis seperti miliknya. Tapi bagaimana Sanjaya bisa menyamakan mereka berdua? Jelas mereka sama sekali tidak mirip. Devinka terus menatap bingkai itu dan mengkopi dalam benaknya agar dia bisa membandingkan dengan wajahnya sendiri yang jelas sangat berbeda jauh. Suara Nani yang dingin mengenyahkan lamunan Davinka hingga membuat tubuhnya sedikit tersentak. "Pergi ke belakang!" ujar pelayan Nani dengan penuh penekanan di setiap katanya. "Tuan yang akan memutuskan apa hukuman dari kecerobohanmu!" ujar pelayan Nani lagi. Wanita itu sangat terlihat marah. Pelayan
"Baiklah akan saya maafkan. Tapi lain kali jika saya melihat kamu memikirkan pria lain tanpa izin dari saya. Bersiaplah untuk menghadiri pemakamannya!" Ancam Sanjaya terlihat tidak main-main. Kaki Davinka sedikit gemetar membayangkan kekejaman pria itu. Devinka sempat berfikir bahwa sebenarnya hati Sanjaya sangat lembut tapi sekarang setelah mengetahui semuanya, hati Sanjaya lebih keras daripada baja. "Baik, Tuan. Terima kasih," jawab Davinka yang hampir menangis dan menumpahkan air matanya hanya karena ancaman sanjaya yang keji. "Pergilah ke kamarmu, nanti saya menyusul!" ketus pria itu lagi sebelum pergi. Davinka masih menatap sinis punggung Sanjaya. Pria selalu bersikap semaunya. Sedikit tertatih, Davinka mulai berjalan ke kamarnya di lantai dua. Dia sama sekali tidak tahu apa yang akan ditugaskan oleh Sanjaya, saat ini Davinka hanya ingin membersihkan diri sebelum pria itu menganiayanya. Sepanjang siang Davinka lelah karena telah mengitari rumah mewah itu yang memiliki banyak
Mata Davinka terbelalak lebar saat Sanjaya mengarahkan tangannya pada kejantanan pria itu yang seperti menantang dirinya. "Sentuh, Davinka. Dia sudah sangat merindukanmu!" lirih pria itu. Melihat benda besar seukuran lengannya yang pernah memuaskan intinya membuat Davinka sedikit ngeri merasakan benda keras namun lunak itu kini berada dalam genggamannya. Namun, yang membuatnya heran, intinya berkedut seolah menyambut kejantanan Sanjaya yang terlihat begitu gagah dan perkasa. Bulu mata wanita itu berkedip beberapa kali, tanda dia sedang grogi. "Ba-bagimana caranya, Tuan?" tanyanya lirih. "Pijat dengan tanganmu dan maju mundurkan, puaskan dia dengan bibir dan payudaramu, Davinka!" pinta Sanjaya menjelaskan. Pria itu semakin mencondongkan tubuhnya, menarik dagu Davinka dan melumat bibir itu lembut. Sanjaya semakin liar menjelajahi isi dalam mulut Davinka dengan lidah dan bibirnya yang tipis. Sementara wanita yang sedang Sanjaya sentuh han
Namun, di luar prediksinya. Sanjaya mengarahkan miliknya pada dua benda kenyalnya."Tekan dengan kedua tanganmu!" pinta pria itu yang sudah dipenuhi kabut gairah."Hem?"Davinka sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud oleh Sanjaya. Adegan ini tidak pernah tergambar dalam benaknya, bahkan sebersit bayangan pun tidak pernah hadir."Tekan, Davinka!" pinta pria itu lagi.Dengan tidak sabaran Sanjaya kembali mengarahkan tangan wanita itu dan memintanya melakukan apa yang diinginkan oleh dirinya.Davinka menatap bingung. Jika ada intinya, mengapa harus menggunakan kedua payudaranya?Davinka mengenyahkan semua pertanyaan, dia mulai melakukan apa yang diinginkan Sanjaya, dan ternyata dia terkesima dengan sensasi yang didapat dari dua gesekan itu. Bibirnya tersenyum sangat mesum."Emmm …. Ya begitu sayang," ujar pria itu parau.Melihat kenikmatan Sanjaya, Davinka semakin menekan kedua payudaranya. Dirinya pun mulai
Pelayan Nani sangat ketakutan. Dirinya terlalu cepat mengambil kesimpulan hingga mungkin akan menimbulkan malapetaka bagi Tuannya. "Maaf, Tuan …. sepertinya saya salah menyimpulkan," ujar pelayan Nani mengoreksi ucapnya. Wajah Davinka masih dalam kebingungan. Benaknya penuh dengan berbagai tanya. Mungkinkah dia hamil? Siapa ayahnya? Dan, bagaimana bisa? Dirinya tidak sebodoh itu, Davinka masih mengingat dengan jelas. Dua kali melakukan hubungan badan, Sanjaya selalu mengeluarkan spermanya di luar. "Apa kamu hamil, Davinka?" Pertanyaan Sanjaya seperti petir di tengah kegelapan malam yang dapat menembus awan setebal apapun. Terdengar sangat menusuk dan mengerikan hingga membuat tubuh Davinka dan Nani gemetar karena takut. Davinka menatap Sanjaya bingung, dia sendiri merasa tidak yakin dengan keyakinan yang dia dapatkan. "Sa-saya tidak tahu, Tuan. Saya hanya melakukannya dengan Anda, dan itu pun Anda selalu—" "Apa kamu yakin hanya pernah melakukannya denganku?! Mungkin sebelum den
Sanjaya meniup asap yang keluar dari mulutnya. Entah sudah berapa batang nikotin yang dihisap dalam dua jam ini. Sanjaya sadar betul telah melukai hati Davinka. Dia hanya berharap, wanita itu tidak pernah menaruh hati terhadapnya yang mungkin akan dikhianati juga. "Kalian berdua itu sama, aku tidak akan terkecoh!" ujarnya penuh penekanan. Sanjaya hanya tidak ingin hatinya terluka untuk yang kedua kali karena mencintai seseorang. Semua yang dia lakukan saat ini tidak lebih dari buah kekecewaannya terhadap Diandra. "Tuan." Suara pelayan Nani memecah keheningan. Pelayan Ratih melihat banyak puntung rokok berserakan. Jika dilihat jumlahnya pasti lebih dari dua bungkus. Melihat ini, hatinya teriris. Ratih sudah cukup lama mengabdi pada Sanjaya, melihat bagaimana pria itu tumbuh, jatuh cinta, sampai patah hati. Ratih seksi dari setiap duka yang dirasakan oleh Sanjaya. Sanjaya memang tidak menyukai rokok elektrik, baginya itu terlihat s
Sekarang bukan hanya dirinya, tapi adiknya dan juga Moreno sangat terobsesi terhadap Davinka. Jelas ini tidak bisa dibiarkan! "Seharusnya Mama bisa menunggu sampai mobil, kan, baru terima telpon? Lain kali jangan ulangi lagi, sekarang istirahatlah. Besok aku kesini lagi." Sanjaya mengelus sayang tangan dan mendaratkan bibirnya di kening Venti, ibunya. "Bye, Mah!" Sanjaya meninggalkan kamar Venti, tapi tidak sedikitpun matanya melirik Brata yang sibuk dengan ponsel di tangannya. Hubungan ayah dan anak itu memang sudah sangat lama renggang. Puncaknya ketika semua perselingkuhan terbongkar dan menyakiti ibunya. Sanjaya sudah tidak lagi menganggap pria itu sebagai sosok ayah yang baik. "Apa waktu sudah tidak bisa mengembalikan kasih sayang diantara kalian? Bukankah semuanya sudah berlalu, bahkan duri dalam daging pun sudah aku cabut dengan paksa. Seharusnya hubungan kalian membaik, bukan?" tanya Venti pada Brata yang sebenarnya tidak lebih dari isi hatinya sendiri. "Sudahlah, walaup
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.